Setiap sore aku melihat Mbak Diah duduk depan teras rumahnya. “ Ale. Jangan lupa doain Mbak ya.” Tegurnya saat aku hendak pergi ke Masjid. Aku diam saja. Kulitnya putih bersih. Dia pandai bersolek. Keliatan cantik memang. Ayahnya sudah meninggal. Dia yatim. Ibunya dagang sayur di pasar. Waktu aku kelas 1 SMA, Mbak Diah menikah dan diboyong suaminya ke Jakarta. Sejak itu aku tidak pernah lagi bertemu Mbak Diah di terasnya. Teman temanku cerita kalau Mbak Diah sudah jadi orang kaya di Jakarta. Mungkin doaku dikabulkan Tuhan. Entahlah.
Setahun kemudian, aku dapati Mbak Diah duduk di teras rumahnya. Seperti biasa dia tersenyum menegurku. AKu hanya menunduk. Dari temanku aku tahu Mbak Diah sudah bercerai dengan suaminya. Dia pulang ke Tanjung karang sebagai janda tanpa anak. Aku tidak tahu dimana Mbak Diah kerja. Hanya yang kutahu, setelah aku pulang sholat maghrib di Masjid, aku pasti berpapasan dengan Mbak Diah di jalan. Dia senyum menatapku. Aku cepat menunduk.
Seusai dagang kaki lima di pasar, aku pulang. Dekat gang rumahku, dari jauh aku melihat Mbak Diah turun dari Motor. Dia digonceng pria. Oh itu mungkin pacarnya” pikirku. Aku pura pura tidak tahu. Dia berdiri depan gang. Namun saat aku mau masuk gang, Mbak Diah mendekatiku. “ Ale, bareng mbak ya.” katanya. Aku mengangguk aja. Tetapi aku terkejut melihat wajahnya ada lebam di bibir dan keningnya. “ Ada apa mbak. Kenapa muka mbak.” tanyaku.
“ Pacarku mau jual aku ke boss. Tapi aku engga mau. Dia pukul aku. Besok aku engga berani kerja lagi.Takut dipukul lagi “ Kata Mbak Diah dengan airmata berlinang
“ Emang mbak kerja dimana ?
“ Aku kerja di cafe dan Bar di Panjang.”
“ Oh.. “
“ Ale, aku tempo hari menikah. Suamiku bawa ke Jakarta. Ternyata hanya sebulan bulan madu. Setelah itu aku dijual ke boss. Setelah itu aku jadi pelacur. Aku engga tahan. Dan berhasil lari pulang ke rumah orang tua, di sini ” katanya. Aku engga paham arti kehidupan. Yang kutahu jadi wanita cantik seperti Mbak Diah memang beresiko. Apalagi miskin. Saat itu aku kelas 3 SMA.
Seminggu kemudian, malam hari Mbak Diah lewat tempat aku dagang kaki lima di Pojok Jalan Pemuda. Dia berhenti dan tersenyum. “ Ale, rame dagangnya.”
“Lumayan mbak. Kan malam minggu ini” Kataku.
“Mbak udah dapat kerjaan di Biskop Merdeka. Jual karcis di loket.” Katanya.
“ Ya Alhamdulilah Mbak. “
“ Ale doain mbak terus ya. Ale kan anak sholeh.”
“ Ya mbak saya doain terus.” Kataku. Tetap menunduk. AKu tidak pernah menatapnya secara langsung.
Tak berapa lama datang motor tepat berhenti depan aku dagang. Dua pria datang. sala satunya menarik lengan Mbak Diah. Dia berusaha bertahan dari hentakan pria itu. Tidak mau pergi. Mbak Diah teriak. Entah kenapa aku replek mendorong pria itu. Diah terkejut.” Jangan ikut campur lue” teriaknya. Temannya datang menyerangku. Namun belum sempat dia naik ke trotoar, kakiku sudah sampai dadanya. Dia terjatuh. Pria yang sedang berusaha menarik Mbak Diah balik menyerangku, namun cepat aku tangkis dan sapu kakinya. Dia terhempas di trotoar. Aku tatap mereka berdua. Entah kenapa mereka pergi begitu saja.
Aku lihat lengan Mbak Dia merah bekas dipagut keras oleh Pria itu.” Itu tadi pacarku. Dia preman. “ kata mbak Diah dengan wajah geram.” Tapi Ale, Seru mbak Diah dengan wajah kawatir. “ gimana kalau dia bawa teman temanya. Kamu dagang di sini lagi? kata Mbak Diah. Dia justru mengkawatirkan aku daripada dirinya. “ Engga apa apa mbak. Saya akan tetap dagang di sini. “kataku tersenyum. “ Sebaiknya Mbak pulang aja.” sambungku.
“ Tapi aku harus kerja Ale.”
Aku hanya diam. Itu hidupnya. Itu resiko yang harus dilaluinya. Aku tidak bisa berbuat banyak.
Setelah Mbak Diah pergi. Sebelum aku tutup lapak, datang rombongan pria dengan empat motor. Mereka berhenti tepat depan aku dagang. Aku tenang aja. Mereka turun serentak. Mendatangiku. Salah satu dari mereka mengancamku dengan pisau. Yang lain aku liirk. Ada yang bawa celurit. “ Lu jagoan ya. Ayo lawan gua. Mati lue sekarang sama gua.” teriaknya. Orang sekitar tempatku dagang menjauh. Ada rasa takut akan terjadi pembantaian sebentar lagi. AKu diam aja tapi tetap waspada.
Salah satu mereka mengayunkan celurit kearah kepalaku. Dengan cepat aku gunakan kursi tempatku duduk sebagai senjata dan perisai. Aku memang tidak menangkis celuritnya tetapi menghindar seraya mengayunkan kursi ke rahangnya. Dia terjatuh. Pada waktu bersamaan ayunan kursi itu juga nyasar ke orang yang mengancamku dengan pisau. Tepat mengenai rusuk sebelah kiri bagian bawah.Keduanya terjatuh. Cepat sekali kejadianya.
Aku diam saja melihat mereka terjatuh. Aku tahu itu sakit sekali. Karena aku belajar arah pukulan yang membuat orang semaput. Apalagi kursi itu aku buat sendiri tanpa senderan. Jadi efektif untuk senjata. Ada orang melerai “ Lue orang mending pergi aja. Ini anak kaliawi. Kalau dia lapor ke temannya. Lue orang pasti diburu teman temanya. Kampung lue orang bisa diserbu mereka” katanya. Mereka keliatan takut saat mendengar aku anak kaliawi. Akhirnya mereka pergi.
Seminggu setelah kejadian itu aku dapat kabar Mbak Diah pergi merantau ke Jakarta. Setahun setelah itu aku juga pergi merantau ke Jakarta.
***
Tahun 85 aku bertemu lagi dengan Mbak Diah di Hotel HI, Barito cafe and Bar. Sebagai pebisnis muda, memaksa aku harus sering menjamu relasi di hotel berbintang. Aku tidak pernah lupa Mbak Diah. Dia juga tidak lupa. Dia hanya tersenyum melihatku. Tidak mau tegur aku. Karena dia sedang bersama pria baya. Aku kenal pria baya itu pejabat. Aku maklum. Dan lagi aku memang tidak merindukannya.
Lalu, suatu saat aku ingat. Mbak Diah datang ke Barito Room HI. Dia datang sendirian. Aku bersegera mendekatinya. Mengajaknya gabung di tableku. Aura wajahnya tidak seperti sebelumnya. Aku mengantarnya pulang. Tetapi dia menolak. Setelah aku paksa, diapun menyerah. “Ale, ku sudah tidak lagi tinggal di Kalibata. “
“ Ya sabar aja Mbak. “
“ Aku tadinya jadi umpan rekanan pemerintah untuk menghibur pejabat. Mungkin karena aku putih dan sedikit sipit, mereka suka aku, ale. Eh salah satu pejabat jadikan aku piaran. Tapi hanya tiga bulan dia udah bosan. Ajudannya minta aku keluar dari rumahnya.“ Kata Mbak Diah.
Aku duduk di kursi belakang kendaraan bersama Mbak Diah. Aku sempat melirik ke samping. Entah mengapa mataku mengarah ke buah dadanya. Pakaiannya Tanktop. Sepertinya dia merasa. “ Ale, kamu mau lihat tubuh Mbak? Katanya menatapku. Dekat sekali wajah kami. " Kita Check in aja di Hotel. Aku memang engga dapat tamu hari ini” katanya dengan nada datar.
“ Engga mbak. Saya tidak pernah beli untuk sex. “ kataku menunduk malu. Aku keluarkan uang pecahan Rp 10.000 dari balik tas tanganku. Aku serahkan ke tangan Mbak Diah dua puluh lembar. Aku tahu mbak Diah sedang tidak punya uang. Dia terkejut. “ Ale kenapa baik sekali dengan Mbak? katanya menatap kosong ke arahku.” Uang sebanyak ini. Ale bisa beli wanita cantik lebih dari Mbak. Ini bisa hidupku sebulan. “ lanjutnya.
Aku diam saja.
“ Dulu waktu di tanjung karang. Ale lindungi mbak dengan resiko terbunuh. Sampai kini sikap Ale engga berubah terhadap Mbak. Mengapa?
Aku diam saja. Mau jawab apa ? Itu udah nature ku. “ Engga apa apa kan mbak.?” kataku cepat. Kawatir Mbak Diah tidak nyaman aku berbuat baik dengan dia.
“ Kalau gitu Ale cepatlah menikah. Kan udah kaya dan punya uang. Kenapa belum menikah?
“ Ya mbak, Ada pacar tapi tidak mau dinikahi. Entah mengapa dia menolak diajak nikah.”
" Ale orang baik. Pasti akan dapat jodoh yang baik pula. " Kata Mbak Diah.
Aku diam saja.
" Aku tahu dari Papisan. Kamu sering order anak asuhannya untuk jadi umpan ke pejabat.” Kata Mbak Diah. Aku terkejut. Ternyata dia asuhah agent modeling khusus prostitusi. Mbak Diah tersenyum. Aku tersentak malu. " Ale tidak pantas bisnis seperti itu. Hidup Mbak udah melewati batas. Tidak mudah untuk kembali normal. Tapi Ale masih punya kekuatan dan kesempatan untuk terus jadi orang baik. Jangan larut bergaul dengan pejabat, Mereka jahat dan tidak bisa jujur, apalagi setia kepada keluarga dan negara. Hidup mereka lebih rendah dari Mbak, pelacur."
Aku termenung akan kata kata terakhir Mbak Diah. Memang aku sering mengumpan pejabat dengan wanita cantik, bahkan aku sempat gunakan wanita asing dari Philipina untuk mendapatkan kontrak dengan BUMN. Ya, apa bedanya aku dengan Mbak Diah? Memang aku bukan pelacur tetapi aku menjadi sumber penyebab pejabat melacurkan jabatannya. Sama sama tidak bermoral dan mendapatkan uang dari cara cara dilaknat oleh Tuhan.
Kutatap dari samping. Mbak Diah nampak tidak baik baik saja. Tepat lampu merah Sarinah, sebelum aku bicara Mbak Diah sudah membuka pintu kendaraan. “ Aku berhenti di sini saja, Ale.” Dia keluar dari kendaraan dan melambaikan tangannya dengan sedikit senyum. Keesokannya aku bertekad untuk meninggalkan bisnis haram. Akhirnya pada moment yang tertentu aku bisa keluar dari bisnis suap menyuap. Setahun setelah itu aku menikah. Bukan pilihanku tapi pilihan orang tuaku. Setelah itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan Mbak Diah. Sepertinya dia ditelan bumi. Tapi doaku selalu untuk dia.
***
Tahun 2023
Aku sedang sama Awi di Burgundy Grand Hyatt. Kami santai ngopi. “ Ale, ini ada surat dari karyawan. Dia kirim surat ke Lina, Tetapi Lina disposisi ke gua. “ Kata Awi perlihatkan surat itu. Itu tulisan tangan. Aku baca cepat. Setelah itu aku termenung. Terakhir saya bertemu Mbak Diah tahun 1985. Kini ada orang mengaku anaknya dan berharap aku bisa bertemu dengan ibunya.
“ Jangan jangan anak lue, Ale.” kata Awi tersenyum. Aku melotot ke Awi.” Gua engga pernah lari dari tanggung jawab. Apalagi soal darah daging gua sendiri. “
‘“Anak ini kerja dimana sekarang?
“ Di kantor Aling di Jalan kartini. Dia bagian trading LNG dan komoditi. “
“ Gimana dia bisa kerja sama Aling?
“ Ya ikut test di Singapore. Kan kantor Aling itu langsung dibawah Yuan Singapore.” Kata Awi.
“ Telp Aling dan suruh anak itu kemari sekarang” Kataku. Awi telp Aling. “ ya dia segera kemari” kata Awii. Aku tunggu sekitar 35 menit. Dia datang. Pria usia sekitar 30an. Dia menyalami Awi, “ kenal kan, ini Pak Ale “ Kata Awi kenalkan ku. “ Dia yang kamu maksud dalam surat ini” kata Awi perlihatkan surat dia. Dia menatapku. Dan segera menyalamiku seraya membungkuk mencium punggung tanganku. “ Maaf, apa boleh saya telp Mama” Katanya. Aku mengangguk.
“ Tadinya saya tidak yakin bapak teman mama saya. Karena nama depan bapak sama dengan nama teman mama saya, tetapi nama belakang beda. Tetapi setelah saya perlihatkan photo bapak ke mama, Dia yakin sekali bapak temannya. “Kata pria itu. Namanya Andi.
“ Mama hanya ingin ketemu bapak. Belakangan ini dia selalu sebut nama bapak. Mungkin halusinasi usia menula. Tetapi mama sehat sehat saja. Dia tinggal sama saya.” Kata Andi.
“Ya mama kamu sahabat saya.” Kataku
Tak berapa lama, ada wanita muda menuntun wanita tua masuk ke dalam cafe. Aku cepat tahu pasti yang tua itu Mbak Diah. “ itu Mama dan istri saya pak. “ Kata Andi.
Diah lama menatapku tanpa melepas jabatan tanganku. Akhirnya dia peluk aku “ Kok lue engga berubah Ale..” kata Mbak Diah dengan airmata berlinang. Usia ku dan dia bertaut 8 tahun.
“ Nah mah. Kan udah ketemu dengan sahabat Mama, Ternyata dia boss dari anak mama sendiri. “ Kata Mantu perempuannya tersenyum menatapku
“ Tahun 85 Ale kasih mama uang Rp. 200.000. Dengan uang itu, mama gunakan dagang gado gado depan rumah. Terus berkembang jadi restoran. Dan berkat restoran itu mama bertemu dengan ayah Andi. Kami berdua kembangkan restoran itu. Dari hasil restoran itu mama bisa biayai andi sampai sarjana. Dan kini ternyata Andi kerja sama Ale. Begitu cara Tuhan mentunaikan rasa terimaksih mama kepada Ale..”Kata Mbak Diah kepada mantunya. Aku senyum aja dengar Mbak Diah cerita. Duh segitunya rasa terimakasihnya…padahal memberi itu memang udah nature-ku
11 comments:
Sehat2ki sekeluarga ๐ค
Rahayu Uda, happy weekend
Selalu terpilih utk berbuat kebaikan. Hormat
sad ending
Cerita yg menginspirasi, apalagi di jaman sekarang ini
Gimana kabarnya mbak diah..
Sehat selalu Babo
Sehat selalu Babo dan Oma sekeluarga
Salam hormat๐๐
Hidup adalah pilihan pak.
Mau milih jalan seperti apapun.
Ya itulah pilihan masing masing individu.
Aku sudah pernah baca Uda.
Babo nature-nya memang suka berbuat baik, dalam kondisi apapun kebaikan menjadi lakunya
Post a Comment