Sunday, July 02, 2023

Sampah politik.

 




1963 


“ Dimana mimik wajah yang kau lakonkan, Sobar! “ Bentak Darno. “ Kamu juga Anti!!. Darno menatap mereka berdua. “  Kalian berdua harus tahu. Yang kalian perankan itu Mangir Wanabaya, tokoh besar, pahlawan wong cilik. Dia itu gagah dan sangat berani melawan Senopati yang digdaya, adidaya tapi sewenang-wenang. Kenapa lakon yang sangat inspiratif itu kalian bawahkan dengan tanpa hati? jangan jangan hati kalian sudah beku atau bercampur dengan darah tikus !” Lanjut Darno. 


“ “Maaf kawan Darno. Saya ini sarjana ekonomi. Diajarkan berpikir ekonomi. Sulit untuk mengerti dan memahami alur cerita Sandiwara.” Kata Sobari berusaha melunakan Darno sebagai sutradara dan juga wakil partai mempropagandakan politik egaliter “ Saya kira lakon ini kurang tepat. Bagaimana kalau lakonnya kita ganti saja…,”  


“Diganti? ‘ Suara Darno menggelegar. “ Diganti dengan lakon-lakon borjuis itu? Kita ini pejuang, kawan. Bukan hanya seniman. Apa kata kawan-kawan partai nanti kalau drama kita lembek? Karena itu aku angkat Mangir. Dia itu simbol perlawanan…! Baik, sekarang diulang sekali lagi…. Eh Anti, kalau kamu masih main seperti orang loyo, aku ganti! Paham?” Kata Darno. Sobar dan Anti terpukul. Dada mereka sesak. Sobari sarjana tapi dia tidak memilih jadi pegawai negeri. Dia memiih jalan perjuangan wong cilik lewat Teater. Walau hanya teater tapi dialogh penuh dengan nilai nilah kesadaran politik kepada wong cilik. Setidaknya rakyat tahu apa tujuan hidup mereka dan bagaimana memperjuangkannya tanpa dibelenggu oleh gerombolan berjuis. Tapi apa benar mereka berpihak pada jalan revolusioner. Dia sendiri sebenarnya tak begitu yakin. 


350 tahun Belanda menjajah, 350 tahun rakyat tetap percaya dengan Sultan dan Senopati. Seakan hidup mereka sudah ditakdirkan menerima saja. Terlahir terbelenggu kepada kekuasaan Raja yang bersenggama dengan Belanda. Dan seburuk apapun ketidak adilan yang dirasakan, pikiran mereka tidak bisa menjangkau untuk menilai dan memprotesnya. Budaya dan agama, memang memaksa mereka untuk menerima kalah dan tertindas. Jangankan melawan, menatap wajah bangsawan saja mereka tidak berani. Feodalilisme memang menciptakan rakyat penakut dan lemah untuk diexpolitasi oleh politik berjuis.


Mungkin selama ini hanya partai Darno saja yang menganggap perjuangan revolusioner itu penting. Mimpi sosialis hanya bisa terjelma lewat revolusi. Revolusi itu sendiri adalah perjuangan kelas. Kelas yang satu mengganyang kelas yang lain. Target mereka adalah mengganyang kaum berjuis itu.


***

Anti yang dikenal Sobari, memang cantik. Ayahnya Tionghoa tapi ibunya Jawa Solo. Sobari mengenal Anti sejak bergabung dalam teater yang dipimpin oleh Darno. Teater itu tergabung dibawah Lekra. Mungkin cinta panggung. Cinta terjelma di panggung. Di luar panggung Anti lebih dekat kepada Darno. Apakah Anti tertarik dengan idealisme Darno. Ataukan tertarik dengan kegantengannya? Kecerdasannya. Setidaknya dari segi penampila saja Sobari jelas kelah. Tapi Sobari punya cinta dan ingin terus menjaga Anti.


Tak lebih 4 bulan bergabung di teater, Sobari lebih memilih jadi wartawan. Dia tidak nyaman dilingkungan yang terlalu utopia. Benar dia mencintai wong cilik. Benar dia ingin memperjuangkan mereka. Tapi apakah mungkin mengubah budaya jongos dan mental suka jadi korban penguasa hanya dengan lewat teater.  Lewat propaganda. Jangan jangan malah mengubah budaya jadi kebencian dan pengutuk kehidupan yang tidak ramah. Sobari inginkan cara yang lebih elegan untuk membebaskan kedunguan rakyat jelata. Merebut hati mereka dengan cinta itu lebih masuk akal. Walau tentu lambat, tapi itu jalan yang indah.


Di tempat kerjanya yang baru, Sobari berkenalan dengan Sumiati. Gadis jawa yang cantik dan anggun. Cerdas tentunya. Hubungannya dengan Suamiati terjalin ditengah acara peliputan berita. Lama lama mereka semakin dekat dan saling jatuh cinta. Wajah Anti terus hadir dalam mimpinya. Andaikan hidup hanya soal cinta tanpa harus memiliki, dia ingin memiliki Anti dan mencintai Sumiati. Mungkinkah? ah lagi lagi dia terjebak dalam pikiran utopia.  Namun setidaknya dia bersama Sumiati bisa berdiskusi dan bebas mencumbuinya. 


Satu waktu, Sobari ajak Sumiati ke rumah Anti “ Kesalahan kita paling besar adalah membiarkan Soekarno dan kawan kawan mengikuti perundingan dengan delegasi Belanda. Padahal kita sudah proklamirkan kemerdekaan 17 agustus 1945. “ Kata Anti


“ Mengapa ? Sumiati berkerut kening.


“ Ya. Dengan mau ikut perundingan LinggarJati, Renvile, Roem and Royen, konferenesi inter-Indonesia, konverensi meja bundar, itu artinya para pemimpin kita tidak percaya diri dengan kemerdekaan secara de facto. Kita memilih pengakuan the jure. Kalau begitu, tidak akan ada perubahan. Ini hanya mengganti kekuasaan dari Kolonial Belanda ke kolonial kaum berjuis. Padahal banyak sekali korban berjatuhan sejak proklamasi kemerdekaan. Itu sebagian besar rakyat jelata karena provokasi tokoh agama.


Yakinlah. Kelak perjuangan rakyat jelata untuk kemerdekaan tidak akan dapat tempat istimewa bagi elite politik. Siapapun itu. Kini maupun besok. Rakyat jelata hanya jadi pelengkap saja atas berdirinya negara. Hubungan emosional antara penguasa dan rakyat jelata tidak ada. Yang ada hubungan penguasa dengan kaum herjuis semakin mendapat tempat, bahkan teramat istimewa, sehingga merasa pantau kalau karena hubungan istimewa itu rakyat dikorbankan. “ Kata Anti


“ Ya kamu ada benarnya, Anti. Kata Sobari. “ Terbukti UUD 45 dan Pancasila hanya berlaku sampai dengan tanggal 19 maret 1947 saat kita menandatangani perjanjian Linggarjati. Dengan perjajian itu Belanda mengakui secara de facto atas wilayah Jawa, madura dan Sumetera, tapi itu bukan Negara Kesatuan seperti amanah proklamasi kemerdekaan. Bentuk Repulik adalah negara federal. Kemudian pada Perjanjian Renvile, Belanda semakin dapat pengakuan dari kita bahwa kedudukan mereka sejajar dengan Republik Indonesia sampai terbentuknya RIS.


Kemudian 7 Mei 1948 kembali malakukan perjanjian dimana kita harus mengikuti konferensi dibawah PBB agar kita dapat pengakuan sebagai negara berdaulat. Itupun dengan syarat RIS sudah harus terbentuk. Belanda mengakui kedaulatan Indonesia paling lambat 30 Desember 1949, berbentuk negara serikat dan merupakan sebuah uni dengan Belanda. Uni Indonesia-Belanda dipimpin oleh Ratu Belanda. “ Lanjut Sobari menimpali.


“ Nah sumber masalah ketidak adilan sekarang terjadi, karena ruh proklamasi 1945 terhapuskan dengan persetujuan pemimpin kita berunding dengan Belanda. Mereka tidak merasa kemerdekaan itu buah dari revolusi bau amis darah. Tapi konsesus international. Kaum international yang mengakui kemerdekaan adalah neokolin. Kita harus ubah keadaan dengan mengembalikan ruh kemerdekaan dan nilai patriotisme para pejuang kemerdekaan” Kata Anti dengan mimik penuh semangat. 


Sumi memang berbeda dengan Anti. Secara personal Anti tidak tertarik kepada Sobari tapi lebih mencintai Darno. Karena dianggapnya Sobari tidak seidealis Darno. Makanya kalau bertemu Sobari berdua saja. Anti lebih banyak diam. Tapi Anti hebat dalam hal diskusi politik. Sum? baginya terlalu naif mengulas ketidak adilan penguasa.


***

1965


Berita Radio pagi membuat Sobari terkejut. Cakrabirawa pasukan pengawal presiden berhasil menggagalkan upaya kudeta dari Dewan Jenderal. Hari hari berikutnya Jakarta mencekam. Berita soal kudeta itu dengan cepat berubah. Bukan Dewan Jenderal tapi PKI lah pelakunya. Aksi gelombang demontrasi meluas untuk membubarkan PKI. Sampai akhirnya PKI memang dibubarkan. Selanjutnya terjadi pengganyangan kepada pengikut  PKI dan pemimpinnya dari tingkat pusat sampai ke daerah.


Sobari ingat Anti. Tengah malam dia segera pergi ke rumah Anti di kawasan Setiong Jakarta. Di rumah itu sudah ada Darno dan taman temannya.


“Gawat. Tentara dan kapitalis-kapitalis birokrat itu sudah menguasai Jakarta! Lambat atau cepat, mereka pasti merangsek kemari. Untuk sementara, kita bekukan kegiatan teater kita, sampai keadaan normal kembali!” ujar Darno dengan suara cemas. Empat atau lima orang termasuk Anti saling memandang. Tak putus-putusnya mereka menghisap rokok. Ruangan seperti diselimuti kabut. Puntung-putung rokok menggunung di asbak.


“Terus apa yang bisa kita lakukan, kawan Darno. Bagaimana kalau kita lari atau…?” ujar seseorang sambil menyulut rokoknya. Menghisap dalam-dalam lalu menghembuskan asap kuat-kuat.


“Lari? Sejak kapan partai mendidik kita jadi pengecut?” sergah Darno  dengan mata yang berkilat-kilat.

“Bukan itu maksud saya, kawan. Itu hanya taktik saja. Kita toh tak ingin mati konyol….”


“Mati konyol? Kamu pikir kita ini tidak memperjuangkan apa-apa?! Tiap detik kita hanya memikirkan rakyat. Jiwa kita, rakyat. Darah kita, rakyat. Nafas kita, rakyat! Waktu 24 jam bagi kita tidak cukup untuk memikirkan rakyat, kawan….” Darno kembali meradang, dengan tekanan suara yang berat dan pelan.


Ruangan senyap. Detak jam dinding terdengar sangat keras, seiring dengan detak cepat jantung mereka. Darno mencoba memompa keberanian kawan-kawannya. “Usaha kita makin menunjukkan hasilnya, kawan. Lewat seni, partai kita berhasil bikin kawan-kawan tani dan buruh di desa ini punya tatapan mata bertenaga dan punya sinar. Luar biasa, mata mereka tidak lagi loyo, kosong, tapi bersinar. Mereka makin berani dan gagah menatap mata para tuan tanah yang hendak merampas tanahnya. Begitu juga kawan-kawan kita kaum buruh. Mereka makin punya nyali menghadapi para juragan yang memeras tenaganya.”


Mereka segera pergi keluar rumah. Tinggal Anti dan Sobari berdua. 


“ Kamu tidak apa apa Ti? 


“ Tidak apa apa? 


“ Kalau begitu aku pulang dulu. Besok pagi aku akan cari cara agar kamu bisa lari. “ Kata Sobari. Anti menahan langkah Soberi depan pintu. Dai berdiri mematung. Ia menangkap getar kecemasan Sobari, kecemasan akan nasipnya. Kesan kawatir itu tidak nampak pada Darno. Dia baru sadar bahwa Darno tidak bisa mencintai apapun kecuali PKI. Tanpa sadar, jantungnya pun berdetak cepat. Ruang yang cukup besar mendadak menyempit. Malam yang dingin, terasa sangat panas. Anti membuka bajunya pelan pelan dan menatap Sobari. Malam itu bertambah panas saat mereka berpacu  menuju puncak gelombang panas dan terhepas dengan peluh bercucuran. Ketika gorden disibak, ia menatap bulan perak sebesar semangka diam tak bergerak, seolah terjebak dalam bingkai jendela.


Sejak peristiwa malam itu, keadaan makin tak menentu. Waktu terasa membeku. Angin mati. Ke mana para pemuda itu? Ke mana Darno? Lamunan Ati pecah berkeping ketika pintu rumahnya diketuk orang. Dengan perasaan galau, ia membuka daun pintu. Dalam tempias cahaya lampu, ia melihat wajah Sobari.


“Tik, tentara-tentara sedang memburu antek PKI. Apa pun caranya, kamu harus lari …,”  Kata Sobari.


“Di mana Mas Darno?”


“Darno tertembak malam tadi saat akan melarikan diri…Teman teman lekra ditangkapi semua. Makanya aku kemari untuk ajak kamu lari.” ujar Sobari dengan lesu dan kawatir. Anti terdiam mematung. Sobari berkali kali mengusap kepalanya. Kadang mengusap wajahnya. Rokok terus mengepul. Mendadak pintu rumah Anti didobrak. Orang-orang yang tidak dia kenal masuk dan merangsek ke kamarnya. Mencari entah apa yang dicari. Anti dan Sobari digelandang. Dengan mata terbebat kain, mereka didorong masuk jeep. Dalam kegelapan mata, mereka tak tahu mobil itu bergerak ke mana. mereka hanya merasakan mobil itu melaju begitu cepat.


“Turun!” suara orang mendorong Anti dan Sobari dari jok jeep. Mereka berjalan. Kaki dirasakan menjamah lantai yang dingin. Dengan kasar, seseorang membuka kain yang membebat mata mereka. Mereka digelandang masuk ke dalam. Di koridor bangunan kuno itu, Sobari berpapasan dengan Sumiati. “Sum? Kamu di sini?” ujar Sobari pelan. Sum itu tak menanggapi. Seperti tidak kenal. Ia cepat berlalu dengan senyum yang dirasakan mengejek. 


Dua orang laki-laki kembali menggelandang Sobari menuju ke suatu ruangan. Ia masih tertegun, tidak menduga akan bertemu dengan Sum di rumah tahanan itu. Sum yang dia kenal sebagai wartawan ternyata selama ini adalah intel tentara.


Dalam setiap sesi interogasi para tentara selalu meneriakkan pertanyaan yang sama, ”Kamu PKI tak tahu diri. Kamu kenal Darno. Kenal Anti? itu semua teman teater kamu”  Sebelum mulut Sobari terbuka gagang pistol menghantamnya. Tentara memukul kepala Sobari dengan popor senapan. Seketika darah segar menyembur… Sobari hanya diam bagai sekerat daging beku. Dia meringkuk tak berdaya. Darah terus-menerus mengalir dari kepalanya. Dari paha kiri dan betis kanannya. Seluruh wajahnya memar, bahkan nyaris bonyok. ”Ayo jawab!! Siksaan fisik paling ringan adalah ditempeleng. 


Setelah bosan tentara itu memukulnya, Sobari diseret ke dalam penjara yang berbau busuk. Karena sengaja air tinja di buang ke lantai. Tidak boleh dibersihkan. Tidurlah disana. Belakangan Sobari dapat kabar. Dia dan Anti termasuk tapol lain akan dibuang ke Pulau Buru untuk menjalani tahanan. Entah sampai kapan akan bebas. Yang menguatkan dirinya adalah Anti. Dia harus bertahan hidup untuk Anti. Kelau kelak dikirim ke penjara Pulau Buru, dia masih berharap untuk bertemu kembali dengan Anti, untuk menjadi pelindung dan menua bersama.


***

1995. 


Bulan perak sebesar semangka masih terjebak di bingkai jendela kamar Anti, perempuan paruh baya itu. Tangan Anti masih memegang kisi-kisi jendela. Ditatapnya bulan itu lekat-lekat. Sobari mendekapnya dari belakang. Kini mereka menua bersama, Tinggal di rumah berdua saja. Setelah lepas dari penjara Pulau Buru, Sum dan Sobari menikah. Untuk menghidupi keluarga, Sobari menulis novel dan cerpen dengan nama alias. Mereka punya anak satu, yang kini berkarir sebagai tenaga peneliti di Pusat Riset di Perancis. Sobari tahu, sum menikah dengan tentara. Sum dikaruniai dua anak. Satu anaknya  yang laki laki meninggal karena narkoba. Dan satu lagi yang perempuan, idiot. Kemelimpahan harta karena jabatan tidak membuat mereka damai. 


“Ti, Sum telah meninggal dunia” kata Sobari. Anti terkejut dan akhirnya termenung. Wajah Sum hadir kembali. Juga saat ia berdiskusi dengan Sum lebih dari 30 tahun lalu. Ia menarik nafas dalam-dalam. Dalam beberapa saat, ia berbenah. Ia raih baju hangat, kemudian keluar rumah bersama Sobari. Mereka bergegas menuju rumah Sum, yang terletak di kawasan Menteng Dalam. Kedatangan Sobari dan Anti  membuat tercengang para pelayat. Mereka  berdua menyalami handai tolan Sum.


Di depan peti jenazah yang terbuka, ia menatap lekat-lekat wajah Sum yang bulat, seperti bulan sebesar semangka yang terjebak di bingkai jendela kamarnya. Sobari menggenggam jemari Anti yang berlinang airmata. Walau selama 30 tahun hak politiknya hilang dan masih harus menerima stigma bahaya laten komunis dari penguasa. Anti bersukur karena saat itu dia berdoa untuk kebaikan Sum agar damai di sisi Tuhan . Ia merasakan kehangatan mengalir di rongga dada. Tidak ada dendam. Ini masalah politik, bukan personal.  Biarlah sejarah nanti akan menilai apakah kemerdekaan yang dimaksud untuk kaum berjuis atau wong cilik. Setiap generasi menentukan pilihannya dan menerima takdir atas pilihannya.

No comments:

Mengapa Hijrah ke China.

  Sore itu saya makan malam dengan Florence dan Yuni. Kebetulan Yuni ada business trip dari Hong Kong ke Jakarta. Yuni kini CFO Yuan Holding...