Saturday, March 20, 2021

Agama dan fantasi

 



Dalam hening jauh dari keramaian. Di dalam sebuah Goa, disebuah bukit, Hira. Seorang anak manusia. Duduk tapakur. Saat itu tahun 610 M Bulan Ramadhan, Malaikan hadir seketika. Menghampirinya, seraya berkata “Bacalah!” 


“Aku tidak bisa membaca.” Katanya


Lalu malaikat itu menariknya dan memeluknya erat-erat. Kemudian Malaikat melepaskan dan berkata lagi, “Bacalah!” 


 “Aku tidak bisa membaca.” Katanya.


Ia lalu ditarik dan dipeluk lagi kuat-kuat. Seraya melepaskan, Malaikat berkata lagi, “Bacalah!” 


“Aku tidak bisa membaca.” Katanya.


Kemudian untuk ketiga kalinya malaikat menarik dan memeluknnya sekuat-kuatnya, lalu seraya melepaskanya, 


“ Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan; Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah; Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam; Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Kata Malaikat. Itulah drama awal Muhammad diangkat sebagai messenger. Kali pertama, Islam diperkenalkan. Perintah membaca. Sumber pengetahuan adalah Tuhan. 


Memang bukan hanya Muhammad yang begitu. Pada malam hari Budha di bawah sebatang pohon di Bodh Gaya. Setelah enyah balatentara Mara, gergasi gaib yang mencoba mengusiknya, Budha melanjutkan meditasi. Akhirnya sampailah ia pada “ empat kebenaran luhur….” Setibanya di “Thur Sina” Musa kehilangan pedoman dan bingung manakah yang harus ia tempuh. Jauh dari keramaian. Kesunyian malam, perintah kepada Musa datang kali pertama sebagai Messenger.


Berabad-abad setelah sang mesennger wafat, kita pun menyaksikan agama tidak lagi soal keheningan. Tidak ada lagi bersahaja. Tidak ada lagi ruang privat. Di hadapan kita kenisah yang megah, mesjid yang agung, gereja yang gigantis, patung emas yang terbujur 14 meter, pagoda dengan pucuk yang berkilau – dan umat yang makmum, berdesak. Tampaknya dalam kemegahan itu. Berhala baru diciptakan. Tuhan ditempatkan dalam keramaian. 


Fantasi terbangun. Tentang yang agung, untuk dimintai apa saja. Tuhan Penghukum yang bengis. Rasa kalah dalam gelut kompetisi kehidupan, tersalurkan dalam doa agar Tuhan mengutuk mereka yang berbeda. Tuhan juga sumber euforia tentang janji sorga. Dari sana tempat ibabah berubah jadi mesin kapitalis. Terorganisir mendatangkan uang mudah bagi pengelolanya. Akses mendapatkan kekuasaan bagi para politisi culas. 


Mengapa ? Kita hidup dalam hasrat memiliki. Menjadikan nafsu sebagai Tuhan. Padahal agama dimaksudkan untuk membebaskan kita dari semua itu. Tapi apa lacur: agama, yang bermula lahir dari keheningan, berakhir menjadi alat propaganda sosial dan politik, juga tentunya berujung pada bisnis. Agama di era sekarang wajah lain dari sekularisme. Orang menghitung abad, mendepa seculum. Waktu, seperti jabatan dan  harta yang harus dikuasai dan dipunyai.


Usai sholat shalat jumat di masjid hagia sophia, Azra menantiku di resto di pusat kota Istanbul. “ Megah ya masjidnya ? Katanya. 


“ Begitulah buah kekuasaan Ottoman sekian abad. “ Lanjutnya. Azra mengalihkan pandangan ketempat lain. Azra kemudian tersenyum kepadaku. Setidaknya Azra tetap jadi orang merdeka. Tak berhijab dan bergamis. Membuat hari hariku di istanbul menyenangkan. 


“ B kamu sangat sibuk. Tapi sholat selalu ada waktu. Hebat”


“ Ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia”  Kata saya menirukan kata kata Tan Malaka. Azra tahu, lira terjun bebas. Orang masih percaya doa bisa menyelesaikan segalanya. Faktanya bantuan uang China yang menyelesaikan. Toa masjid made in China juga yang membantu meramaikan masjid. Youtube made in AS yang membuat ustad terkenal dan kaya lewat like dan subscriber.

No comments:

Mengapa Hijrah ke China.

  Sore itu saya makan malam dengan Florence dan Yuni. Kebetulan Yuni ada business trip dari Hong Kong ke Jakarta. Yuni kini CFO Yuan Holding...