Saturday, September 25, 2021

Lumpur kesengsaraan.


 

Aku terjatuh. Batu kapur yang ada di pikulanku juga terjatuh. Sementara tubuhku berguling guling menuruni tebing. Tidak ada yang memar pada tubuhku. Karena memang tempat pijakanku tanah becek yang habis disirah hujan. Namun kaki dan bahuku lecet walau tak berdarah. Ini cukup membuat aku meringis. Sementara teman temanku yang melihat kejadiaan itu tertawa terpingkal pingkal. Hidup memang ironi. Kadang penderitaanpun layak jadi ketawaan.


“ Makanya , pikiran kamu jangan kerumah terus. Engga usah dipikirin rumah. Kita disini kerja aja. “ Kata temanku sambil berteriak. “ Dan lagi apa yang mau dipikirin , wong kerja sekeras apapun, tetap aja tidak cukup untuk makan sehari. “ Kata temanku yang lain. Mereka mengetahui bahwa aku sedang dirudung masalah keuangan. Istriku sedang hamil tua dan aku bingung mendapatkan uang untuk membawa istri kerumah sakit atau kebidan atau kedukun.


Tapi sebetulnya bukan itu yang kupikirkan. Aku sedang bingung mendapatkan uang untuk rencananya pergi menjadi TKI. “ Wah…mahal sekali biayanya !” Kataku mengerutkan kening, ketika mengetahui biaya yang harus disediakan untuk mengurus keperluaan berangkat ke luar negeri sebagai TKI. “ Darimana aku mendapatkan uang sebanyak itu,?.Tanyaku kepada teman.


***

Waktu istirahat kerja aku hanya makan ubi rebus. Aku melamun. Memikirkan tentang hidupku. Terlahir dari keluarga miskin. Tahun 1959. Namun kemudian organisasi Tani sayap kiri merampas tanah tuan tanah, Kemudian ayahku dapat kebagian tanah itu 1 hektar. Bukan hanya ayahku, tapi ada ratusan kuli tani dapat tanah gratis dari organisasi tani. Karena itu kehidupan berubah. Ayahku tidak lagi bekerja di lahan orang tetapi di lahan sendiri. Itulah kemerdekaan yang seharusnya setiap orang bekerja diatas lahannya sendiri.


Namun terjadi pergolakan politik paska 1965. Ayahku bersama ratusan petani yang dapat tanah dari Organisasi tani ditangkap. Sementara pimpinan Organisasi Tani dikirim ke Pulau Buru. Maklum mereka itu bukan orang biasa. Mereka adalah guru, tokoh masyarakat dan orang cerdik pandai. Sementara Ayahku dan kawan kawan dibawa ke pinggir laut oleh Tentara. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengah ayahku. Yang aku tahu, pagi hari orang kampung geger. Karena disuruh gotong royong menyeret  ratusan mayat yang bergelimpangan ke dalam lubang. Saat itu aku meraung. Ibuku hanya terdiam menahan getir ketika melihat salah satu mayat yang diseret itu adalah ayahku. 


Satu saat ibuku dijemput tentara. Setelah itu tidak pernah kembai lagi. Usia 6 tahun, Pamanku yang mantri guru membawaku dari jawa  ke Sumatera. Usia 12 tahun paman meninggal. Tetanggaku mengajakku bekerja sebagai anak bagan. Berada di tengah laut dalam kesendirian dan kerja keras sepanjang musim.  Usia 16 tahun aku pindah kerja di darat. Pekerjaan yang kudapat adalah sebagai buruh di perkebunan milik negara.  


Dua tahun bekerja di perkebunan, aku berkenalan dengan Sumiati yang bekerja sebagai anak bedeng. Sebenarnya anak bedeng kata lain dari pelacur. Aku mencintai Sumiati dan ingin membahagiakannya. Akupun menikahinya. Usia kami bertaut 4 tahun. Sum lebih tua dariku. Akupun  pindah ke Lampung, dekat dengan keluarga Sumiati. Aku ingin memulai kehidupan sebagai keluarga kecil. Aku bekerja sebagai buruh di tambang kapur milik pak Haji, yang juga tokoh masyarakat. Setiap tahun pak Haji pergi ke makkah, sementara kami buruhnya tidak pernah dinaikan upah.


*** 

Pikiranku selalu kepada Bejo. Lima tahun lalu Bejo pergi ke luar negeri menjadi TKI dan sekarang kehidupan keluarganya telah berubah. Rumahnya sudah berdinding beton. Televisipun sudah menyala di rumah. Istrinya sudah pula mengendari motor sendiri dan tidak perlu berjalan kaki kepasar. Anak anaknya juga dapat bersekolah dengan pakaian bagus. Sementara aku masih terjepit dengan kesulitan hidup dan tidak pernah dapat merasakan makan cukup setiap harinya. Berganti tahun, tidak ada kemajuan , kecuali anak yang dilahirkan terus bertambah.


Aku kadang mendengar cerita tentang penderitaan para TKI di negeri jiran itu dari teman temanku. Bekas guratan pecutan di punggung dari para TKI yang baru datang menjadi cerita seram bagi siapa saja yang ingin mencoba merubah nasip di negeri orang. “ Hidup di negeri sendiri jauh lebih enak. Makan ora makan yang penting kumpul. “ Demikian temanku yang lain mengomentari penderitaan para TKI diluar negeri. Tapi bagiku ,masalahnya adalah ora makan ya mati !. 


Semua orang di negeri ini senang dengan dirinya sendiri. Yang miskin , semakin miskin dan yang kaya semakin kaya. Seperti halnya Pak Haji pemilik tambang kapur itu , andai dapat menghentikan kebiasaan pergi haji tiap tahun dan membagikan uang pergi haji itu untuk menaikkan penghasilan buruhnya tentu akan sangat berarti bagi buruhnya. Tapi , kenyataanya Pak haji lebih doyan jalan jalan ke mekkah daripada berbagi.


Aku memikirkan nasipku dan tentu juga nasip masa depan anak anakku. Anakku yang tertua sudah berangkat menjadi wanita belia. 17 tahun usianya. Yang nomor dua juga wanita, berumur 14 tahun. Yang terakhir sekarang masih dalam kandungan istriku. Inilah yang menyesakkan hatiku. Ada pria dari kota berjanji akan membantu mengurus segala sesuatunya untuk aku dapat bekerja sebagai TKI. Syaratnya ya , aku harus rela menyerahkan anak gadisku dibawa oleh pria itu. Aku menolak. Aku tahu bahwa cerita duka para wanita yang bekerja di kota di negeri ini jauh lebih seram dibandingkan cerita duka para TKI diluar negeri.


Hari telah berangkat sore. Ditanganku ,tergenggam uang Rp. 30,000 sebagai upah kerja kerasku seharian menjadi kuli penambang batu kapur. Setelah dipotong ongkos ojek dan angkutan umum maka yang tersisa sampai dirumah hanyalah Rp. 20,000. Itupun kalau aku  tidak makan siang. Bila aku harus makan siang maka yang tersisa hanyalah Rp. 15.000. Agar dapat menghemat uang, akupun terpaksa pulang seminggu sekali dan makan sekali sehari. 


Kemana harapan akan dijemput untuk masa depan keluargaku? Ya bila malam datang ,  selalu ada agent togel yang datang kebarak. Tapi aku memilih tidak mengadu nasip lewat kupon togel. Mungkin aku termasuk orang yang pengecut menghadapi ketidak pastian walau harapan besar. Beda dengan teman temanku ,yang tidak peduli dengan resiko kalah. Bagi mereka selagi ada harapan maka togel adalah hiburan tersendiri. Setidaknya mereka masih dapat hidup dalam harapan untuk besok dan besok. Walau besok tidak pernah datang.


Ini akhir minggu. Jadwalku harus kembali ke rumah. Ditangaku ada uang tidak lebih Rp. 150,000 dan tentu setelah dipotong ongkos maka akan sampai di tangan istri tidak lebih Rp. 125,000. Itulah uang yang harus dihemat istriku untuk makan selama seminggu lagi. Terlalu sulit dikatakan cukup dan terlalu jauh disebut manusiawi. Tapi itulah nasip yang harus ditanggungnya. 


Aku harus berbuat sesuatu untuk merubah nasipku. Bayangan tentang keberhasilan Bejo sebagai TKI telah membakar semangatku bahwa saatnya aku harus hijrah mencari ruang yang bisa membayarku dengan manusiawi. Tapi, membayangkan nasip anak gadisku , akupun menjadi ngeri.


Ketika aku sampai di rumah, kudapati istri sedang terduduk muram dibale bale. Nampak mata istriku sembab oleh airmata.


“ Apa yang terjadi , Sum ? “ Kataku lembut.


Sumiati langsung menghambur memeluknya“ Maafkan aku, Mas..Murni sudah pergi kemarin.” Kata istriku


“ Pergi kemana ? “ Aku terkejut dan terus berlari keluar kamar dan berteriak teriak memanggil nama anak gadisku.


“ Mbak Mur, sudah pergi ..” Anak gadisku yang nomor dua menatap kosong kearahku. Aku terduduk lemas.


“ Mas, Dia sendiri yang maksa untuk ikut kerja kekota. Aku sudah berusaha melarangnya tapi dia tetap maksa…” aku melirik kearah istriku. “ Ini ada surat dari Murni. “ Lanjut istriku sambil menyerahkan surat itu.


Ayah..Kita miskin. Setiap hari aku melihat kita selalu kekurangan. Adik sudah lama berhenti sekolah dan nasipnya tidak lebih sama dengan aku. Kelak , sebentar lagi adik akan lahir lagi. Tentu nasipnya akan sama dengan kami. Tidak ada pendidikan, kurang gizi dan tidak ada masa depan. Kita tidak punya apa apa lagi untuk kita jual agar memberikan kesempatan bagi Ayah dapat hijrah bekerja di tanah Jiran. 


Pergilah , Ayah…kita sekarang sudah punya cukup uang. Pak Darto memberikan uang kepada Ibu. Aku rasa itu cukup untuk mengurus segala sesuatunya yang Ayah perlukan untuk menjadi TKI.


Ayah..Kalau ayah sudah berhasil di tanah Jiran, kirimilah kami uang agar kita bisa membayar hutang kepada Pak Darto. Aku ingin di kampung menemani Ibu dan mendidik adik adiku. Maafkan aku Ayah bila lancang berbuat tanpa restu ayah. Namun itulah mungkin yang bisa aku lakukan untuk Ayah, untuk keluarga kita. Aku akan baik baik saja. Doakan Aku ya Ayah…


Aku tak bisa menahan tangis. Terlalu mahal harga yang harus aku bayar, hanya karena ingin dihargai sebagai manusia di negeriku sendiri dan mendapatkan bayaran dari tenagaku di negeri orang. Aku hanya dapat berdoa , semoga Murni akan baik baik saja. Besok, ya tentu besok, Istriku akan melepasku pergi ke tanah Jiran untuk menjadi kuli di negeri orang dan sementara anak gadisku sudah lebih dulu pergi ke kota untuk menjadi pelacur di negerinya sendiri.


***

"Kita benamkan mereka ke dalam lumpur kesengsaraan, sampai ke batang lehernya. Pemerasan kepada orang yang tidak punya apa-apa selain tenaga.” Brooshoft, De Etische Koers in de Koloniale Politiek" hal. 65). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah penduduk miskin dengan pengeluaran kurang dari Rp. 500.000 perbulan pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang.



Friday, September 24, 2021

Dendam karena cinta.

 




“ Ale, saya udah cerai dengan istri bulan lalu “ Kata Ali. Saya senyum aja.  Mengapa? itu istri yang ke 7. Waktu pernikahan pertama, saya ikut sedih. Temannya semua ikut prihatin dengan nasipnya. Apalagi dia sudah punya anak 1, perempuan. Kami memberi semangat kepada Ali agar menikah lagi. Selalu ada harapan untuk kedua. 


Tak berapa lama dia menikah lagi. Gadis cantik dari pontianak. Tak lebih 1 tahun dia  bercerai. Kami mulai berpikir. Ada yang salah pada Ali. Tetapi kami tidak nampakan kecurigaan itu. Tetap berharap dia bisa move on, apalagi perceraian kedua ini tanpa anak. Setelah itu, dalam rentang 15 tahun Ali menikah, bercerai, dan menikah, bercerai. Sampai 7 kali.


***


Ali saya kenal tahun 90an. Dia terlahir dari keluarga kaya raya. Walau dia etnis Tionghoa, tetapi ayahnya dapat bintang Grilya dari Pemerintah. Karena pernah ikut berjuang melawan Belanda. Peran ayahnya sebagai pamasok logistik bagi tentara. Setelah tahun 1956, mereka pindah dari Medan ke Jakarta. Berkat koneksi kuat di TNI, ayahnya dapat fasilitas impor komoditas. Dari situlah keluarga Ali jadi kaya.


Era Soeharto, usaha ayahnya semakin cepat berkembang. Maklum hampir semua ring kekuasaan Pak Harto , adalah TNI dan pejuang yang dikenal baik oleh ayahnya. Berkat koneksi kepada kekuasaan, tidak sulit bagi ayahnya mengembangkan usah ke beragam bidang.  Tahun 1985, Ayahnya meninggal. Ali saat itu masih berusia 35 tahun. Dia tidak menyangka ayahnya  berpulang begitu cepat. Selama ini dia tidak pernah mau terlibat dalam bisnis ayahnya. Itu karena kesibukannya dengan kehidupan glamour. Saat itu siap tidak siap, sebagai anak tertua,  dia harus tampil sebagai kepala keluarga.


Setelah ayahnya meninggal, Ali tidak juga berubah kelakuannya. Dia serahkan semua pengelolaan bisnis kepada profesional, dan itu kebanyakan adalah teman temannya sendiri. Fungsi pengawasan dia percayakan kepada sepupunya. Dia sendiri sibuk dengan  pergaulan jetset.  Saya berkali kali ingatkan dia untuk focus kepada bisnisnya. Dia hanya senyum saja. Tapi secara pribadi dia orang baik. Saya pernah dapat pinjaman modal dari dia. Ketika saya lunasi, dia sendiri lupa bahwa saya pernah pinjam uang kedia. 


Tahun 1998 satu adik perempuannya meninggal karena chaos Mei 1998. Tiga orang adiknya dia ungsikan ke AS. Semua asset keluarga dia jual. Dia sendiri tinggal di Jakarta, tidak ikut ke AS. Tapi dia sempat menikah lagi dengan gadis philipina. Itu pernikahan ke 7 nya. Dan akhirnya hanya setahun  bercerai.  Karena kesibukan setelah tahun 2000 saya sudah jarang ketemu dia. Apalagi tahun 2004 saya hijrah ke China.


***


Ali punya anak perempuan. Namanya Heni. Itu hasil perkawinan dia yang pertama. Setelah bercerai, Anak perempuannya tinggal dengan Lona, mantan istrinya. Tahun 1996 saya meliat dengan mata kepala Ali mengusir Lona karena minta uang untuk biaya sekolah Heni. Saya sempat terkejut. Karena pertengkaran itu dilakukan depan  Heni yang masih remaja. Saya bisa maklum kamarahan Ali lebih kepada dendam. Perceraian terjadi karena Lona terbukti selingkuh. 


“ Saya engga yakin itu anak saya.” Kata Ali. “ Engga ada miripnya dengan saya.” Lanjutnya. Wajah Heni memang mirip sekali dengan Lona.  


Saya menemui Lona, saya berjanji akan biayai sekolah Heni, yang berencana melanjutkan ke Singapore. Waktu itu saya berpikir sederhana. Ali pernah bantu modal untuk saya bisnis tanpa  bunga dan tanpa collateral. Kalaulah bukan nilai persahabatan engga mungkin dia percaya kepada saya. Saya tidak mendukung sikap Ali yang salah, tetapi sebagai sahabatnya saya harus ambil bagian mengkoreksinya tanpa menyudutkan dia. Itu sebanya bantuan biaya pendidikan Heni tidak pernah saya ceritakan kepada Ali. Biarlah waktu yang nanti bercerita.


Dua tahun di Singapore, Heni dapat jodoh. Pacarnya adalah putra dari pengusaha pabrikan di Indonesia. Mereka menikah tanpa dihadiri Ali. Saat itu saya hadir di undang oleh Lona. 


Setelah itu saya kabarkan kepada Ali bahwa Heni sudah menikah.“ Saya ceraikan Lona bukan karena rumor. Saya pergoki dia di kamar hotel di Hong kong bersama pria lain. Bukan rumor dia selingkuh. “ Kata Ali, dengan wajah dingin. Masih dendam dia. Masih ragu dia bahwa Heni anak kandungnya.


“ Setelah itu saya menikah 6 kali, itu bukan cinta. Itu hanya sekedar memperlihatkan kepada Lona bahwa bukan dia saja wanita cantik.” Lanjut Ali. Dari sikapnya saya tahu  bahwa Lona adalah cinta pertama Ali dan wajar kalau dia sulit berdamai dengan kenyataan atas perselingkuhan Lona. Saya bisa maklum.


***

Tahun 2008 saya dapat telp  dari teman. “ Kamu masih ingat kan dengan Ali teman lama kita? 

“ Tentu kenal.”

“ Sebaiknya kamu temui dia, Kasihan. Dia tinggal di rusun Penjaringan. Usianya sudah kepala 6. Tinggal sendirian tampa anak dan tampa teman.” 

“ Bukankah uangnya banyak hasil penjualan aset tahun 1998.” Kata saya.

“ Uang itu habis untuk ongkosi adiknya di Amerika, Semua mereka hidup glamour, Sama aja dengan dia. Ya berapapun uang kalau tidak pernah ditambah, diambil terus ya habis lah.”


***


Tahun 2008, pagi pagi saya datang ke Pantai Mutiara ke rumah Heni. “ Eh om, Ale, Apa kabar” Kata Heni menerima saya di ruang tamu. “ Dengar kabar sekarang bisnis di Hong Kong ya.” Katanya.

Tak berapa lama ada ABG cantik masuk ke ruang tamu. “ Ini loh om  yang sering mama ceritain ke kamu.” Katanya kepada ABG itu. Saya tersenyum. Wajahnya ada mirip Ali. Ah ini dia. Saya tidak salah dengan sikap saya.  Ternyata benar Ali salah dengan sikapnya. 


“ Mirip kakeknya ya. “ Kata saya spontan.


“ Ya semua teman teman kakeknya cerita begitu.” Kata Heni. Tak berapa lama wajahnya mendung. “ Mama larang aku ketemu papa”


“ Mama dimana sekarang ?


“ Ada di lantai atas, Yuk kita keatas ketemu mama. Udah lebih 10 tahun ya engga ketemu. Suprise pasti nih. “ Kata Heni tersenyum. Benarlah, ketika pintu kamar terbuka. Lona terkejut melihat kedatanganku. “Ale, kamu!! serunya. Dia menghambur dalam pelukanku. “ Kok kamu putihan sekarang, Ale?  “ Katanya menatap wajah saya lama.


“ Kelamaan di China mah..” Kata Heni. Setelah acara kangenan selesai, saya mulai bicara soal misi saya datang. Saya ceritakan keadaan Ali yang tinggal sendiri dan miskin. 


“Ale, saya tidak akan pernah lupa diusir dia dan dimaki maki dia.  Saya salah dan itu sudah saya tebus dengan perceraian. Berat sekali. Tetapi dia tidak mengakui Heni sebagai anaknya, itu saya engga terima. “ Kata Lona dengan nada emosi.


“ Lona, Ali itu hanya emosi sesaat. Dia akui Heni sebagai anaknya. Butkinya biaya pendidikan Heni di Singapore, itu dari dia.”


“ Bukannya kamu yang biayai ?


“ Bukan, itu uang dari Ali. “ Kataku tersenyum. 


Lona terdiam. Tak berapa lama dia menangis. “ Mengapa Ali tidak terus terang Ale? 


“ Butuh waktu untuk membunuh ego,. Semua ada prosesnya sampai kepada kesadaran diri. Tetapi hubungan anak dan ayah itu ikat batin yang tak bisa dipisahkan oleh apapun. “Kata saya. 


***

Sore hari saya datang ke rusun penjarangin. Ali senang dengan kehadiran saya. “ Seharusnya kamu sering tengok saya. Kan saya kakak kamu. “ Katanya.


“ Saya banyak di luar negeri, Koh.” saya merangkul dia.


“ Heni udah punya anak. Cantik lagi. “ Katanya dan wajahnya mendung. “ Saya tahu itu dari Awi. Dia perlihatkan photo. Mirip gua , Le..” 


Saya diam saja. Terus perhatikan wajah tuanya yang nampak menderita. Saya juga ceritakan kedatangan saya ke rumah Heni dan bertemu dengan Lona. “ Jadi kamu yang biayai Heni kuliah di Singapore“ 


“ Ya. “


Ali kembali memeluk saya. " Kamu bukan hanya sahabat tetapi juga sudah menjadi keluarga saya. Sementara banyak sahabat pergi dan melupakan saya setelah saya jatuh miskin. Padahal tadinya mereka banyak saya tolong.” Kata Ali. 


“ Saya ingin peluk cucu saya. Sekali aja Ale, . “  Lanjutnya 


“ Koh Ali, kita pergi keluar, ya. Cari makan enak.” Kata saya.  ALi senang. Saat itu juga saya SMS Heni untuk ketemu di restoran Akha di Majapahit. Sedang asik makan, Heni, Lona dan anaknya datang. Ali terkejut ketika melihat Lona.


“ Maafkan saya Lona, maafkan saya. Heni, maafkan papa yaa” Ali berlutut di hadapan Lona dan Heni dengan airmata berlinang  Heni langsung memeluk papanya. “ Lina, kemari sayang, peluk kakek kamu. “ kata Heni kepada putrinya yang nampak bengong. Hari itu mereka berempat saling berpelukan dalam haru. Saya ikut terharu. Saat itu saya merasa sangat bahagia.***


Source “ MyDiary.

Disclaimer : Nama dan tempat fiksi belaka.

Wednesday, September 22, 2021

Orang asing di negeri sendiri.

 




Inilah nasip. Ingin kuceritakan kepadamu. Aku ikut PETA dan dilatih oleh Tentara Jepang sebagai petugas intelijent. Setelah Republik berdiri, aku memperoleh beasiswa untuk belajar di Jepang, Di Universitas Waseda. Tidak mudah bisa diterima di Waseda. Orang jepang juga sulit apalagi aku orang dari negeri yang baru merdeka. Tapi niatku ingin ke bumi baru, aku bisa melewati semua test dan akhirnya bisa tamat universitas dengan gemilang. Akupun tidak ingin langsung pulang ke Indonesia yang masih sibuk dengan jargon revolusi. Beberapa tahun aku menetap di Tokyo, menjadi koresponden koran Partai Komunis yang terbit di Jakarta.


Tetapi entah mengapa tahun 1960 aku pulang. Padahal saat itu aku pacar Ayano, gadis Jepang yang sering aku temui di perpustakaan. Pernah aku ajak nonton teater dan dia tidak menolak. Satu saat aku sampaikan cintaku kepadanya. Ayuno bersemu merah. Dia membungkuk sebagai tanda terimakasih. Wanita Jepang sangat tertutup dalam berhubungan. Lebih banyak mendengar daripada menyampaikan pendapatnya. Kadang terkesan dia lebih mementingkan aku saja.  Tapi bagaimanapun Ayano memang cantik dan aku suka. Sama dengan ibuku wanita jawa. Yang lebih pasrah dihadapan suami dan menerima saja.


Lambat laun aku mulai bosan dengan Ayano. Apa arti hubungan bila tidak ada tantangan. Tidak ada yang diperdebatkan. Dipertanyakan. Aku ingin menikah dengan wanita yang bisa menjadi pengkritikku, teman berdebat dan berani mengingatkanku. Itu sebabnya aku putuskan pulang ke tanah air. Itu tahun 1960. Jadi alasanku pulang bukan karena aku rindu Indonesia tetapi melupakan Ayano. Aku rindu Sunarti. Berteman sejak masih sekolah rakyat. Semua hal tentang Sunarti aku suka. Dia putri dari tokoh agama yang moderat. Terpelajar dan jago berdebat. Teman bicara yang asyik. Yang penting Sunarti adalah cinta pertamaku dan wanita yang pertama menerima cintaku.


Benarlah, kedatanganku seperti pangeran yang siap menjemput tuan Putri dari puri Indah. Keluarga Sunarti bersenang hati menerima aku sebagai menantu. Apalagi mereka tahu aku orang terpelajar dan bekerja sebagai wartawan, kepala perwakilan kantor berita PKI.  Mas kawin yang diminta Sunarti adalah pergi ke Makkah. Aku sanggupi dengan akad hutang. Aku bertekad dengan  tangan dan otakku untuk dapatkan uang mentunaikan mas kawinku.


Di Jakarta, aku bekerja  di Media Rakyat, milik partai Komunis. Sebenarnya aku juga melamar ke Koran Abadi milik Masyumi. Tetapi mereka tidak bisa membayarku seperti di Media Rakyat. Padahal aku senang berkumpul dengan teman teman gerakan politik islam. Aku lahir dari keluarga yang taat beragama. Tentu aku senang menyuarakan suara syiar agama lewat media politik. Tetapi lagi lagi karena aku sudah berkomitmen cari uang untuk secepatnya membawa Sunarti ke Makkah. Aku tidak punya pilihan.  Apalagi PKI adalah partai besar urutan 4 di negeri ini. Berada dalam barisan nasional NASAKOM. Banyak kolomnis Media Rakyat akhirnya jadi pejabat sipil dan perusahaan negara. Latar belakang pendidikanku dari Waseda akan sangat mudah meraih puncak karirku. 


Oktober 1965 situasi jakarta mencekam. Banyak kader PKI ditangkap oleh militer.  Aku masih merasa aman saja. Karena aku bukan politisi dan bukan kader PKI. Aku hanya pekerja PERS yang bertugas menyampaikan  berita tentang derita rakyat yang butuh keadilan dari elite kekuasaan. Salahku dimana. Makanya aku tetap di rumah dalam keadaan tidak bekerja. Berharap situasi politik mereda, aku bisa kembali bekerja dimana saja. Mertuaku mulai kawatir karena banyak orang yang bukan kader PKI ditangkap. Mereka tidak mau terseret kasus. Malam itu, Sunarti dijemput oleh ayahnya dari rumahku.


Sejam setelah kepergian Sunarti dan Ayahnya, kemudian, tentara datang ke rumahku. Yang aku heran, tentara datang bersama Ayah Sunarti. Tidak ada sedikitpun dari wajah mertuaku merasa menyesal telah menjadikan aku pesakitan. Saat itu politik sedang tidak menentu. Balas dendam politik menghilangkan akal sehat. Terbukti berkali kali aku katakan bahwa aku bukan  kader partai.  Menantu dari tokoh agama. Namun tentara tidak percaya. Walau aku punya kartu anggota PKI, tetapi itu hanya syarat agar aku bisa bekerja di kantor berita PKI, dan karena itu aku bisa menabung mentunaikan mahar kawinku kepada Sunarti. Mereka tetap tidak percaya.


***

Tiga tahun digelandang dari Salemba, ke Cipinang, ke Tangerang, kemudian digiring ke kapal rusak untuk dikucilkan selama sepuluh tahun di Pulau Buru. Tiga belas tahun yang gulita, aku melewati malam dengan terang bohlam yang redup. Semalaman gelisah. Bukan bohlam itu benar yang membuat aku tak bisa lelap, tetapi hantu tentang sebuah rencana hidup yang terus menumpati otakku. Bagaimana esok, dan keesokan harinya lagi, aku mempertahankan hidup di surga yang bernama dunia bebas ini? 


Di Pulau Buru, aku dan kawan-kawan punta lahan yang kami buka sendiri dengan tangan telanjang. Ya, benar-benar tangan telanjang! Jangankan traktor. Arit pun tak ada. Walau begitu, pulau buangan itu akhirnya bisa berswasembada pangan berkat tangan-tangan kami orang rantai, meskipun yang menikmati adalah tentara yang mengawasi hidup kami dalam pemencilan dan kerja paksa. Yang membuatku tetap semangat bertahan hidup adalah karena janjiku kepada Sunarti. Hutang yang harus kutunaikan. Aku tidak mau mati dalam keadaan mata melotot karena gagal membayar hutang.


Setelah melewati 13 tahun terpanjang dalam hidupku. Kami semua dapat amnesti sebagai tahanan politik.  Setelah melewati laut, kami dibawa dengan truk menuju tangsi militer. Puluhan tahanan politik, diturunkan dari truk dan diperlakukan tidak lebih berharga dari kawanan kerbau dan kambing yang sedang dihalau ke pejagalan. Kasar gerendel pintu bak truk diempaskan, papannya dibiarkan terbanting berdentam, kawir-kawir ke bawah. Untuk hewan saja disediakan titian turun. Tidak buat kami. Serentetan bentakan keluar dari muncung seorang sersan supaya kami buru-buru melompat dan masuk ke pekarangan markas militer itu. 


Aku keluar dari tangsi militer itu setelah melewati upacara pelepasan. Tidak ada yang menjemputku. Di depan gerbang itu aku melihat ada pria mata sipit dan berbadan agak kurus, pendek mendekat kepadaku. Dia menggunakan bahasa jepang. “Apakah anda Suroto?. Katanya memperlihatkan photoku. Aku mengangguk. Dia kemudian memperlihatkan photo dan nama gadis yang tak asing bagiku. “ Ayano. 


“ Dimana dia” kataku dalam bahasa jepang. 


“ Ada di hotel “ Kata pria itu. “ Mari saya antar ke hotel “Lanjutnya. Seperti kerbau ditusuk hidung, aku manggut saja. Apalagi ada di dalam kendaraan mewah untuk ukuranku almuni Pulau Buru. “ Tidak semua orang bisa masu Waseda university. Anda cerdas dan punya bakat sebagai Ekonom, terutama ekonomi ke rakyatan. Ya kan. “ Kata pria itu.


Aku hanya tersenyum. Aku tidak tahu apakah aku pantas disebut ahli ekonomi lulusan universitas terkenal di Jepang. Lebih 10 tahun aku merasa bukan manusia dan tidak berada di bumi manusia. Aku sampah dan debut jalanan. Akupun tidak punya rasa percaya diri untuk bertemu dengan Ayano. Tetapi setidaknya langkah pertamaku setelah dari Pulau Buru adalah bertemu dengan gadis yang pernah jadi kekasihaku dan kutinggalkan tanpa rasa bersalah.


“ Suroto San..” Ayano membungkukan setengah badannya sebagai tanda hormat kepadaku. “ Ayono memperkenalkan   kedua orang tuanya. “ Kami dapat kabar tanggal kebebasan kamu. Sebagai sahabat Ayuno, kami menawarkan jalan untuk masa depanmu. Mari kita ke Tokyo, Kamu bisa ambil Doktor di Waseda dan bekerja di Jepang. Bukankah kamu punya cita cita mengangkat ekonomi petani.” Kata Ayah Ayumo. Aku tahu bahwa keluarga Ayumo adalah keluarga Partai Komunis Jepang (PKJ). PKJ adalah salah satu partai komunis non-berkuasa terbesar di dunia, dengan sekitar 300.000 anggota yang tergabung dalam 20.000 cabang.


“ Kalau takdir memungkinkan, kamulah orang pertama yang akan kutemui.” Kataku kepada Ayuno. Itulah caraku menolak halus. Sebenarnya aku ingin bertemu dengan istriku terlebih dahulu dan mentunaikan tanggung jawabku yang tertunda selama 10 tahun.  Bayanganku tetap kepada janjiku untuk melunasi mahar nikahku kepada Sunarti. 

“ Aku bisa mengerti sikap, anda Soroto San. Pergilah temui istrimu. Yang pasti aku selalu menanti kamu. “ Kata Ayuno nampak berwajah kecewa.


Sore hari aku pergi jalan kaki ke arah bilangan Menteng Dalam rumah Sunarti. Aku tidak akan menumpang makan. Tidak pula menumpang tinggal. Aku hanya akan beritahu Sunarti bahwa aku sudah jadi manusia bebas. Tentu bebas juga melaksanakan tanggung jawabku dengan kedua tanganku sendiri.  Ternyata apa yang kudapati. ? Di rumah aku temui Sunarti sudah jadi istri orang lain.  Pria suaminya sama dengan Aku, sama sama memberikan mahar pergi ke haji. Namun tidak sepertiku yang berhutang. Suami Sunarti membayar tunai. Aku baru sadar aku berada di negeri kapitalis. Semua harus tunai. Tidak seperti sosialis komunis yang membayar dengan janji dan harus diperjuangkan dengan kerja keras mentunaikannya. 


Aku tidak protes.  Begitulah hukum nikah. Sesuai akad nikah lewat 3 bulan berturut turut suami tidak memberikan nafkah lahir batin, talak cerai berlaku otomatis. Sunarti sudah membebaskanku dari hutang dengan menikah lagi. Sama seperti aku dibebaskan dari Pulau Buru. Namun keduanya bukan karena kesalahan yang aku buat. Aku hanya kurang beruntung karena berada pada tempat dan waktu yang salah.


Aku sudah benar benar jadi orang bebas. Setahun setelah itu, aku kirim surat kepada Ayuno bahwa aku siap untuk kembali ke Tokyo. Aku tidak berharap Ayuno akan membalas. Setidaknya aku sudah memenuhi janji kepada Ayuno. Tetapi balasan itu tidak pernah datang. Aku kembali merasa jadi orang merdeka. Masa lalu sudah ada dibelakang. Aku harus move on untuk masa depanku. Sampai ajalku aku tetap jadi sampah kota dan terabaikan oleh hiruk pikuk pembangunan orde baru. Aku tetap najis untuk dibantu atau ditemani. Aku jadi orang asing di negeriku sendiri…semoga kalian paham..

Saturday, September 11, 2021

Pilihan..

 





“ Kenapa ayah pulang dalam keadaan mabok? sementara aku di rumah seharian berkutat dengan urusan anak yang rewel. Antar mereka sekolah. Beresin rumah. Engga ada habis habisnya. “ Kata istriku. Rumah tangga kami memang tanpa servant. Sumi tidak ingin ada wanita lain di rumah kecuali dirinya. Baginya profesi ibu rumah tangga itu sangat mulia, Setiap keringat akan Tuhan catat sebagai pahala.


“ Aku bosan dengan kehidupanku. Bosan dengan semua hal, termasuk pekerjaan dan kamu.” Kataku dengan nada keras. Istriku tersentak. “ Aku bosan selalu disalahkan. Disudutkan seperti tidak ada sisi baiknya. Apakah kamu tidak pernah belajar untuk sedikit saja menghargai suami kamu? “Lanjutku, dan setelah itu aku tidak sadarkan diri. Paginya aku terbangun agak siang. Aku bersegera keluar rumah. Seperti biasa, tidak ada sarapan pagi.  Karena istri antar anak ke sekolah. Rumah dalam keadaan berantakan. Biasanya setelah istri pulang dari sekolah anak, dia akan membereskan rumah, mencuci pakaian dan masak untuk makan siang.


Perkawinan kami berusia 10 tahun. Istriku awal kukenal sangat mudah ceria.  Tapi sejak menikah dan punya anak keceriaanya  lambat laun mengabur. Berat badannya bertambah. Sikap santun tak lagi nampak. Mudah sekali marah. Memang kehidupan kami sedang sulit tetapi tidak membuat kami kelaparan. Dia memang mengkawatirkan akan masa depan keluarga kami. Memikirkan masa depan anak anak, tentunya.. 


Tetapi sikapnya yang tidak mengerti situasiku, membuat aku sesak.  Selalu aku disalahkan. Tidak responsif lah. Tidak cerdaslah. Terlalu peragu. Tidak bisa menjaga penampilan diri sebagai pengusaha. Mudah dibohongi tapi senang dipuji. Aku berusaha sabar dan tidak terpancing marah. Memang bisnisku sedang lesu. Aku butuh dukungan moral. Setidaknya maklumi aku yang sedang labil. Wanita pandai mencari kesalahan ketika pria sedang jatuh. Karena itu kadang rasanya aku ingin bunuh diri untuk mengakhiri semua masalah yang tak sanggup aku tanggung. Namun keberanian itu tidak pernah datang. Mungkin salahku tidak siap mati juga takut hidup. Tepatnya gagal bersaing. Bahkan setiap hentakan kata kata istriku seperti jutaan jarum menghujam egoku. Membuat aku seperti keset kaki..


Sementara di luar rumah aku berteman dengan orang yang selalu cerita tentang keluarga yang bahagia. Aku hanya bisa diam dan kadang menangis di tempat sepi. Di tengah situasi kehidupan  keluarga yang tidak nyaman itu, aku kenalan dengan Rita. Dia sangat manis. Mudah mengerti aku. Selalu memberi semangat. Ayahnya punya pabrik genteng. Kalau aku suka dan jatuh cinta, itu juga manusiawi. Tetapi lagi lagi kebaikan dan perhatian Rita membuat aku semakin menderita. Menyesali hidupku yang salah memilih pasangan hidup.


***

“ Mas, bangun,. Sudah siang. Saatnya sarapan.” Kata suara yang membuat aku terjaga. Di depanku nampak wajah wanita yang sangat dekat dengan mukaku. “ Ah Rita. “ mengapa dia ada di kamar. Dalam keadaan  bingung, aku bangun mengikuti langkah Rita keluar kamar.  “ Mas, aku duluan pergi ke kantor. “ Kata Rita. Melangkah keluar rumah dengan kendaraan yang mentereng. Aku berusaha mengusap mataku. Apakah aku sedang bermimpi. Di pojok tempat tidur ada meja lampu. Itu ada photo kemantin aku dan Rita. Ah kemana Sumi, istriku?. Kemana anak anakku.?


Kuperhatikan seluruh ruangan. Mengapa cepat sekali berubah.  Beda dengan rumahku tipe BTN. Rumah ini besar dan bersih. Namun lengang. Tidak ada rengek anak kecil. 


“ Pak, apakah sarapannya mau disiapkan sekarang” Kata pembantu rumah tangga mengejutkan aku dalam lamunan. Ah aku ada ART? pantas keadaan rumah selalu bersih. Makan selalu tersedia. Ini benar benar kehidupan yang aku dambakan.  Tuhan telah membalik keadaanku dari derita menjadi bahagia. Setelah sarapan, aku keluar rumah dengan kendaraan tersedia di gerasi lengkap dengan supir. Sampai di kantor ternyata posisiku sebagai presiden direktur. 


“ Bisa engga sih kamu itu datang  pagi. Kita dapatkan fasilitas ini semua berkat ayahku. Jangan sampai ayah kecewa karena sikap Mas yang  bossy. “ Kata Rita ketika masuk kamar kerjaku. Posisi nya sebagai direktur keuangan. Itu aku tahu dari kartu pengenal yang nempel disaku blezzernya. 


“ ini tanda tangani semua. Biar business process bisa jalan. Bagian pembelian dan lainnya tunggu anggaran ini.” Kata Rita ketus dan berlalu. Aku membaca tumpukan file yang ada di meja. Semua butuh tandatanganku untuk bisa keluar. Belum sempat aku baca semua, Rita telp lewat intecom “ Udah teken! Cepatlah. “ 


“ Aku harus periksa pengeluaran ini.”


“ Periksa ? Emang Mas siapa?. Aku direktur keuangan dan aku pemegang saham mayoritas.  Ingat itu! cepat teken. “ Kata Rita dengan nada keras seraya membanting telepon.


Sore hari Rita sudah ada di kamar kerjaku. “ Mari kita pulang. “


“Kenapa engga pulang sendiri sendiri saja.”


“ Eh sejak kapan kita pulang sendiri sendiri? Bertahun tahun sejak kita menikah. Selalu begitu. “ Kata Rita. Aku mengangguk. 


Malam hari di rumah terasa lengang dan sepi. “ Aku merindukan anak anak” Kataku kepada Rita.. 


“ Engga usah dibahas soal anak. Dari awal kita menikah, kita sudah sepakat. Aku yang menentukan kapan punya anak. Stop diskusi soal anak. “ Rita berkerut kening menatapku seakan menatap orang asing.


“ Lantas kapan?


“ Apa masalah Mas? Nikmati seja semua yang ada selagi kita muda. Engga ada yang perlu dikawatirkan tentang masa depan. Engga usah terlalu dibawa suasana melankolis soal anak. Dan lagi sampai sekarang aku engga liat yang Mas bisa perbuat kecuali menikmati fasilitas Ayahku. “ Kata Rita dan pergi ketempat tidur. Saat itu aku merasa tidak berguna hidup. Apa artinya hidup bila kehadiranku tidak dianggap penting dan diperlukan. Tinggal aku sendiridi sofa.  Entah mengapa, seluruh ruang itu berubah jadi biru semua. Terasa sangat tentram.  Tidak ada suara angin. Benar benar aku terpesona dengan diaroma yang terbentang di hadapanku.

“ Manusia itu bernilai apabila kehadirannya diperlukan dan dibutuhkan” Terdengar suara yang tak tahu darimana sumbernya.  Aku masih terpesona. Suasana serba hijau itu berubah jadi teater yang aku sebagai penoton. Nampak Sumi, sedang menegur putraku “ Makan yang tertip nak. Jangan sampai ada remah. Nasi yang kita makan itu adalah keringat ayahmu. Kasihan ayahmu cari uang begitu sulitnya tetapi kamu anggap remeh remah itu. “ 


Lain segmen nampak putriku bertanya Sumi, istriku “ Ayah kenapa selalu pulang malam. Aku bangun ayah masih tidur, aku tidur ayah belum pulang” 


“Ayah cari uang sayang, untuk kita. Kamu harus belajar menjadi wanita yang kuat. Kelak kamu akan jadi istri. Beri kepercayaan kepada suami kamu untuk dia tidak ragu menjadi suami dan pria sejati”


“ Apa mungkin ada pria sejati?


“ Memang tidak tersedia di luar. Tapi dengan tangan kamu dan cinta , kamu bisa mengubah pria biasa menjadi pria sejati. Karenanya jangan ragu ingatkan suami kamu agar dia bisa berubah menjadi lebih baik. Kamu juga harus terus belajar dari situasi yang tidak nyaman agar kamu bisa lebih baik sebagai ibu yang diamanahkan Tuhan  untuk menjaga harta dan kehormatan suami” 


Lain segmen nampak Sumi sedang berdoa “ Tuhan jaga suamiku dan tetapkan hidayah dihatinya untuk senantiasa sadar akan amanahMu, untuk menjadi imamku dan palang pintu keluarga kami dari segala fitnah dunia. Beri aku kesabaran disaat aku lelah dan lemah sebagai istri dan ibu bagi anak anakku.” 


Kemudian terdengar suara menggema “ Perlakukanlah istrimu dengan baik. Bila kamu tidak suka, bersabarlah. Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Tuhan menjadikan pada dirinya kebaikan yang banyak”


“ Ayah..ayah..” terdengar ada kecupan halus di pipiku,. Ternyata putriku membangunkanku. “Ayah Fitri sekolah ya..” Katanya berlalu dari kamar. Kutatap keliling kamar. Ah kemana Rita, ?  Aku segera berlari keluar kamar. Nampak Sumi sedang keluarkan kendaraan dari grasi untuk antar putriku ke sekolah. 


“ Dah …Ayah” Kata putriku melambaikan tangan. Aku kembali ke dalam rumah. Aku rapikan rumah dan cuci piring. Masukan pakaian kotor ke dalam mesin cuci.  Sambil menanti pakain bersih , aku membuat kopi. Aku pergi ke kantor,  rumah sudah rapi oleh tanganku sendiri. Aku harus berubah. Ketidak-bahagian kurasakan karena aku tidak bisa membunuh agoku dan selalu merasa sempurna: minta dihormati dan dicintai“ Terimakasih Bun, udah menjadi istri dan ibu bagi anak anakku. Ayah akan berusaha mengerti Bunda. Maafkan ayah..” Kutulis surat diatas secarik kertas yang kutempelkan di kulkas.

Tahu diri...

  Aku berdiri di dekat jendela. Temaram lampu kamar kerja, membingkai bayangan Esther seperti setengah memanjang. “ Ah mimpi kamu B. “ kata...