Friday, May 01, 2020

Babo dan kaki.







Di Lapau Mak Siti, seperti biasa kami berkumpul selepas Isya. Sekedar menanti kantuk. Biasanya jam 10 malam kami akan segera angkat kaki. Kecuali ada yang nantangi main ceki.

“ Menurut kau, dari organ tubuh kita, bagian mana yang paling penting “ Tanya Samad.

“ Semua penting. Semua ciptaan Allah “ Jawab Sabri.

“ Bodoh kau. Kutanya mana yang penting. Kau jawab semua penting. Dasar kau memang seumur hidup tak bisa bedakan mana yang penting dan mana yang bukan “

“ Heh Samad, kenapa kau bilang begitu? jaga bicara kau. Aku lebih tua dari kau. Paham kau” kat Sabri sewot.

“ Eha, Kemarin kau utamakan pergi pengajian di surau tetangga desa. Sementara sawah kau yang harusnya dapat giliran air kau abaikan. Sampai pagi orang lain yang menikmati jatah air kau. Besok besok seperti biasa panen kau lebih buruk dari kami. Tapi kau bilang itu kehendak Tuhan. Anehnya keorang orang kau bilang kami tidak adil. Kau pandai menghibur diri atas nama Alla. Pandai menyalahkan orang lain atas nama Allah. Padahal kau memang pemalas. Lebih utamakan ikut pengajian guru Nando yang punya istri lebih dari satu tapi hidupya tak lebih menumpang dari santunan orang lain.”

“ Heh..panjang sekali kau ceramahi aku. Aku bukan kau, Samad. Hidup kau memang hanya dunia dan urusan akhirat tak penting bagi kau. Semoga Allah memberikan hidayah kau”

“ Kudoakan semoga Allah membukankan pikiranmu sehingga cerdas bersikap dalam hidup. “

“ Kau pikir aku tidak cerdas ?

“ Tanah dan ladang kau lebih luas dari kami. Tapi kami punya motor. Di rumah kami ada antena parabola. Kami semua sekolah. Sementara keluarga kau malahan anak di perbanyak. Satupun engga ada yang sekolah sampai kekota. Orang tua kau suruh kalian banyak mengaji tapi kau tak di ajarkan bagaimana bisa mandiri. “

“ ya ya sudahlah. Kenapa pula kalian bertengkar.Engga akan sudah itu urusannya. Sekarang aku jawab pertanyaan Samad. Yang penting diantara organ tubuh kita adalah Kaki.” kataku.

“ Coba kau jelaskan mengapa kaki “ tanya Samad.

“ Kau ingat si Masri ?

“ Ya, ingat. Kamanakan si Dulah.”

“ Betul. Tadi dia miskin di kampung tapi karena ringan kakinya sampai dia di jawa. Sekarang dia kaya raya sebagai pedagang. Bahkan sudah pula pergi haji. Semua kamanakan dan orang kampung yang datang ke kota di bantunya modal. “ Kataku.

“ Ah itu riya. Dan lagi orang orang itu tidak dibantu tapi dipekerjakannya agar dia semakin kaya.”

“ Bukan riya tapi berbagi kesempatan. Dia pekerjakan oran agar orang punya rasa hormat dibantu. Pahamkau, Sabri.” Kata Samad lagi.

“ Kalau menolong karena ALlah tak perlulah berharap apapun” Kata Sabri sengit.

“ Hanya orang dungu dan tak punya rasa malu kalau badan sehat dan kuat mau diberi begitu saja. Jangan kau bawa bawa nama Allah kalau alasan itu halal mengemis bagimu.”

“ Aku tidak pernah mengemis. “ Kata Sabri dengan nada keras.

“ Kalau kau tak berharap kepada manusia dan hanya kepada Allah tak akan keluar dari mulut kau mengeluh sepanjang hari. Penat aku mendengar kau terus mengeluh dilapau, bahkan di surau.” Kata samad.

“ Baiknya aku pulang. Tak pantas aku bersama kalian yang munafik dan kafir.” Kata Sabri. Sebelum pergi Sabri berkata kepada Mak Siti 

“ Dia yang bayar minum kopi ku “ Menunjuk kearah Samad.

“ Kau bilang aku kafir dan munafik tapi minum kopi kau minta perai. Kantong ku ternyata tak ikut haram bagimu ya Sabri.”

Sabri hanya tersenyum kecut. Mereka bersahabat sedari kecil dan canda dalam satire mewarnai pergaulan mereka.

***
Babo (Kakek) ku pernah mengajak ku masuk kedalam kebun dan terus melangkah mendaki bukit. Sampailah di pinggir hutan tak bertuan.” Kita sampai disini karena kaki pemberian Tuhan. Karena kaki kita melihat begitu besarnya tumbuhan berjejer. Didalamnya ada binatang . Ada kehidupan, Tentu ada rezeki. Kau sebagai pria minang, jangan kau beratkan melangkah. Ringangkan kaki untuk melangkah kemana saja kau suka. Bumi ini terlalu luas untuk hanya dipahami oleh Babo yang hanya pandai mengaji. NIkmat Allah itu tidak akan kau rasakan dengan menghafal Al Quran dan mendengar apa kata guru di surau. NIkmat Allah itu hanya kau rasakan apabila kau gunakan kakimu melangkah. Sekali kau ragu melangkah maka yang tampak hanya kampung halamanmu. Dan itu hanya masa lalu yang tak akan membuatmu menjadi apa apa.”

Aku hanya manggut manggut. Karena entah yang keberapa kali kudengar Babo bicara seperti itu. Tapi Babo tidak pernah mengajak ku sampai kedalam hutan. Ketika kutanyakan itu, “ Nanti bila kau sudah dewasa, pergilah merantau ke negeri orang. Carilah ilmu dan pengalaman darimanapun sumbernya. Setelah itu pulanglah kemari, Masuklah ke hutan itu dengan ilmu dan pengalaman. Kelak kau akan berguna sebaik baiknya dirimu bagi orang lain.” demikian pituah Babo.

***
Tahun berganti , aku melanjutkan SMA di kecamatan. Kudengar banyak pria minang pulang kekampung tidak menerobos hutan tapi mereka datang dengan pakaian Guru mengaji. Ada sorban dan janggut. Setiap di surau yang terdengar kutukan dan hujatan kepada pemerintah. Kutukan kepada wanita minang yang hanya pakai baju kurung tanpa jilbab. Lambat laun orang kampung semakin kurang minat merantau. Karena mendengar kotbah di Surau bahwa di kota tempat maksimat bekulindan. Semakin banyak orang menjauh dari Surau. Hanya masalah waktu azab Allah akan datang. Neraka semua bagi mereka. Kita lebih baik hidup miskin di kampung daripada di kota jad calon penghuni neraka. Cerita orang kampung yang sukses dirantau tak lagi mewarnai setiap pembicaraan di lapau. Tak ada lagi motivasi anak muda untuk merantau. Yang ada hanyalah rasa takut. Takut masuk neraka.

Ketika liburan sekolah aku kembali ke kampung. Kudapati Babo sudah jarang bicara. Tak lagi mengajakku wisata ke pinggir hutan. Babo hanya kadang memperhatikan aku kalau sedang belajar di ruang tengah rumah. Kadang dia mengelus kepalaku ketika sedang membaca buku “ Rajin rajinlah kau belajar. Namun sehebat apapun kamu dikampung, kau belum akan berguna. Merantau akan menjadikan kau seorang pria sejati. Yang tentu berguna bagi orang kampung” Kata Babo. Kulihat wajah tuanya nampak semakin tua. Dan aku bertekad setelah tampat SMA akan merantau.

Benarlah, setamat SMA aku merantau. Sahabatku Samad ikut aku merantau walau dia hanya tamat SMP. Sabri tetap di kampung. Dia bahkan mendoakan agar kami dapat hidayah. Kami hanya mengaminkan. Namum ketika mengantar kami ke terminal bus , dia nampak sedih berpisah dengan kami sahabat masa kecilnya.

***
Tak terasa sudah 15 tahun aku merantau. Aku sudah jadi pengusaha yang mengageni produk impor. Telapak kakiku bukan hanya menginjak tanah Jawa tapi sudah pernah menginjak negeri China, Korea, Jepang, bahkan Eropa. Aku sudah menikah sesuai pilihan orang tua. Istriku adalah anak Mak Tuo-ku sendiri. Orang minang menyebut aku kembali ke Bako. Atau menikah dengan keluarga ayah. Selama 15 tahun, baru sekali aku pulang ke kampung, itupun ketika mendengar kabar bahwa aku sudah di tunangankan dengan keponakan ayah. Sementara Samad pergi merantau ke Sulawesi. Dia sukses sebagai pengusaha ekspedisi laut. Kami pernah bertemu waktu melaksanan rukun islam ke lima di tanah makkah. Dia juga sama tak rindu untuk pulang kampung. Apalagi semua saudara dan orang tuanya sudah ikut dengan dia di rantau.

“ Aku tak merasa itu kampung yang pernah kita tinggalin. Suasana kampung tak lagi seperti dulu. Canda tawa teman sepermainan tak terasa hangat lagi ketika orang orang berbaju gaya padri dengan janggut dan jidat hitam semakin banyak di kampung. Entah darimana mereka itu mendapatkan ajaran. Adat sudah lama di punggungi. Surau tak lagi diisi kisah hikmah agar hidup berakal mati beriman. Tapi surau sudah jadi tempat dokrin bahwa akhirat lebih penting dan sorga adalah pilihan hidup. Hidup di dunia tidak penting.” demikian alasan Samad. Aku hanya mengangguk dalam miris.

***
Dan, suatu waktu aku dapat kabar dari pak Tuo bahwa di kampung ku sekarang banyak sekali pekerja dari jawa berdatangan. Tapi mereka tidak menetap. Mereka hanya melewati kampung kami dengan kendaraan truk besar menuju pinggir hutan. Alat berat berdatangan. Semua pohon direbahkan, Bukit di ledakan. Akar kayu dibakar menimbulkan asap menghitam menutupi pandangan dijalan kampung. Memang jalan kampung di perbaiki. Diaspal. Kantor lurah di perbaiki. Surau diperbesar menjadi ukuran masjid yang megah. Rumah guru dan iman masjid di rombak seperti rumah orang kota. Para pemuka kampung tanpa bekerja tapi hidup senang dengan rumah berantena parabola, termasuk salah satunya Sabri.

Hutan itu telah menjelma menjadi kebun sawit dan ditengah tengahnya ada perkampungan orang jawa, yang tak pernah menyatu dengan warga kampung kami. Konon katanya orang jawa dapat tanah gratis 2 hektar dan jaminan makan selama pohon sawit belum menghasilkan. Tapi selama itu mereka harus bekerja keras agar pohon sawit terawat baik. Sementara penduduk kampung kami semakin muram dan semakin pemarah kepada pemerintah. Tapi para pemuka masyarakat dan tokoh agama mereka hidup senang tanpa harus kerja keras. Orang kampung bilang itu kharamah orang suci yang rezekinya bisa datang darimana saja…sebetulnya itu donasi dari simata sipit juragan kebun.

”Kau tahu apa sebenarnya yang membuat orang kampung kita kalah sama pendatang dari jawa ?”Kata ku suatu waktu kepada Samad ketika bertemu dengannya di Singapore.

Samad menggeleng.

”Karena mereka tak lagi menggunakan kakinya. Setiap hari pikiran dan fantasinya kepada sorga dan takut neraka. Akibatnya mereka engga kemana mana. Kakinya bengkak dan malas melangkah. Hilang akal sehat dan tentu hilang semangat menaklukan dunia untuk mencapai kesempurnaan iman dihadapan Allah. Bukan salah bundo mengandung buruk surat tangan sendiri. Bukan salah aseng mendapatkan kebun besar karena kita malas melangkah dan berbuat” 

Samad diam, hanya terpana. Sebenarnya, aku tak begitu yakin apakah memang perlu menyimpulkan seperti ini kepada Anda hingga cerita tentang Babo dan kaki punya versi lain. Karena belakangan memang aku tak bisa membangun kampungku tapi di kampung lain aku mencetak kebun Pisang di provisi lain di Yunnan, China dan Samad juga berhasil mencetak kebun coklat di sulawesi. Bumi ini luas dan milik Allah dan itu hanya untuk orang berlmu dan mau bekerja keras menghadang resiko dan kelelahan.***

Wanita hebat dari Changsa





Changsa 2008

Petugas business center mengirim guide untuk aku berkunjung  ke Mao monumen. Guide itu seorang wanita dengan tinggi di perkirakan diatas 170 cm. Dia mengenakan Baju putih, kerah berenda dan dipadu dengan rok diatas lutut warna merah. Dia kenalkan namanya, Fang Yin atau panggil dia Lin. Kalau saja matahari musim panas sedang berbaik hati, rok tipisnya tentu menerawang pula. Bagiku dia tidak lebih wajah lain dari China sekarang. Kalah dan menang. Komunisme memang telah terkubur secara culture kesehariaan di China. Ia hanya tinggal simbol seperti patung Mao itu dari sekian banyak monumen yang dibangun di China. 


Walau sebetulnya kematian Mao, komunis juga ikut mati. Namun para elite politik tak ingin komunis kehilangam simbol.  Bagiku, pesan yang disampaikan oleh monumen itu bukanlah simbol keagungan Komunisme. Tapi simbol yang pernah membuat pemimpin china menawarkan kebohongan berongkos mahal. Seolah menyediakan anak tangga untuk naik menggapai kejayaan, tapi sejatinya adalah parade prosesi kematian kemanusiaan.


Sepekan menyusuri Changsa cukup untuk menemukan betapa masa lalu, termasuk yang baru saja lewat, beroleh tempat penting. Monumen, mural, artefak museum, teater mutakhir, seni rupa beramai-ramai mengabadikannya dengan saksama. Sepertinya, ada kerja kolektif untuk menjaga ingatan. Semacam saling mengajak waspada. Jakarta adalah lain cerita. Uang dihamburkan untuk lampu-lampu hias, air mancur, patung-patung pahlawan palsu dan monumen-monumen nirmakna. Ketika Changsa dikepung ingatan, Jakarta terkubur kepalsuan dan lupa. Dia tetap mematung menerawang di sana. Di pelataran monumen yang luas dan memanjang sungai Xiang , jarak aku dan dia , mau tak mau, dekat belaka.


" Apakah orang inni semua seperti kamu ?”  Katanya. Orang china menyebut indonesia dengan sebutan Inni. Entah mengapa. Mungkin lidah mereka tidak bisa melafalkan secara utuh Indonesia.

” Mengapa kamu tanyakan itu.?”Kataku.


”Mengherankan juga. Ada yang suka monumen Mao, apalagi dari Indonesia.” Batas antara seringai dan senyummu menyembul dari balik payung jingga. Gigimu putih berkilau.


”Memang jelek secara artistik. Terlalu naturalistis. Tapi aku suka pesan yang dibawanya. Ajakan waspada pada kembalinya kebrutalan masa lalu. Menjaga ingatan. Melawan lupa.” kataku.


”Hmmm….” Dia mengerutkan kening.


”Ada apa dengan orang Indonesia ?”Kataku penasaran.


”Saya suka orang Indonesia karena mereka punya akal sehat dan berani melawan komunis.”


”Wow! Tahu dari mana kamu ? pernah ke Indonesia.


“ Itu yang saya tahu dari buku bacaan dan saya menyimpukan rakyat Indonesia cukup cerdas dan berani bersikap. Suatu saat saya ingin berkunjung ke Indonesia.”


”Sekarang giliranku yang mesti heran kalau begitu. Kenapa kau harus bekerja sebagai Guide. Kamu cantik dan tentu tidak sulit dapatkan kerjaan lebih baik ?” Aku menyergah, mengubah posisi.


”Di China orang hidup berkompetisi dan mengambil resiko. Kami tidak ada waktu berpikir dan bertanya mengapa. Kalau ada kesempatan hari ini ya gunakan. Aku butuh kerjaan dan makan.”


Senyap menyergap senja Changsa. Gerimis mulai mereda. Langit merah di sungai Xiang memanggil-manggil malam.


***

Perjumpaan kedua kami adalah pada senja bergerimis berikutnya. Angin tak mau mengajak berkawan. Udara musim panas Changsa pun sedikit mendingin.


”Boleh aku sedikit mendekatimu?”katanya.


Permintaan yang tiba-tiba. Dan mustahil kutolak.


”Aku ingin bunuh diri.” Kau pecah sunyi dengan cara yang sama sekali tak kuduga.


”Hah!? Maksudmu?”


”Kurang jelaskah itu? Atau bahasa Inggrisku kurang bagus di telingamu?


”No. No. Inggrismu sempurna. Aku mendengar. Tapi….”


”Ya. Aku sedang berpikir untuk bunuh diri….”


”Bagiku tak masuk akal.”


”Maksudmu?”


”Kau begitu muda. Ranum. Cantik. Cerdas. Dunia membentang luas di depanmu. Di sekelilingmu, perubahan berdentum-dentum. China-mu begitu bergairah. Kau hidup persis di tengah contoh sukses Asia da barat yang terpuruk. Masa depan menunggumu. Tinggal kau jemput. Kau dikepung musim semi daya hidup. Bagaimana mungkin kau justru ingin melangkah ke arah sebaliknya.”


”Oh… Begitukah kami dari kejauhan? Kau terlalu romantis. Kau pikir kematian komunisme adalah berita baik seluruhnya? Setelah komunisme mati, perubahan menghasilkan para penikmat sekaligus korban. Celakanya, aku menjadi yang kedua, korban! ”


”OK. Sorry untuk kenaifanku. Aku siap menjadi pendengar.”


”Ceritaku akan panjang. Ayo kita ke hotelmu saja. Keberatan kutemani dengan cerita panjangku?”


”No. Sama sekali tak keberatan.” Tentu aku menggeleng. Begitu baikkah Tuhan padaku senja ini?


***

Ceritamu panjang. Lirih. Dan kelabu. ”Aku anak  bungsu dari 4 bersaudara. Dulu  di bawah kekuasaan komunis Mao, hidup menjadi begitu rutin. Ayah dan Ibuku menjadikan kegiatan membuat anak sebagai selingan menantang. Anak demi anak lahir begitu saja. Setiap tahun satu. Berderet-deret seperti pagar. Komunisme memang memanjakan. Negara menyediakan apa saja, mulai sabun mandi hingga roti, dengan tak ada lebih pada seseorang dibanding yang lain. 


Di bawah komunisme, orangtuaku dan siapa pun tak dibiasakan apalagi didesak untuk berkompetisi. Segalanya tersedia tanpa perlu upaya berlebih. Tapi itulah, hidup kami menjadi manja. Tidak menjadi kaya, tapi dalam kesehajaan yang terpelihara. Hidup terasa mudah belaka sampai kemudian Mao wafat dan seakan komunis juga ikut terkubur bersamanya. Keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Reformasi Deng  memaksa kami untuk berkompetisi. Negara tak lagi jadi penyantun, tapi membiarkan kami saling sikut untuk bertahan dan saling berebut hidup yang lebih baik.”


Suara-suara bising beragam bahasa dunia yang menyelinap dari balik jendela terbuka mulai perlahan menyenyap. Malam makin sepuh. Kubayangkan, para turis yang mulai letih telah memenjarakan dirinya di kamar-kamar hotel atau menyerbu panti-panti pijat dan klub-klub malam untuk menukarkan penat dengan keletihan yang lebih menyenangkan. Suaramu masih benderang, ceritamu seolah tak berujung, sementara ujung malam beringsut mendekat.


”Ibuku yang terlampau tua di hadapan kapitalisme, tersingkir dan tak lagi terpakai sebagai pejabat di kecamatan. Ayahku terkena program rasionalisasi Deng, yang memangkas lebih separuh PNS  tanpa diberi uang pensiun. Diberhentikan begitu saja. Kakak-kakakku sibuk dengan urusan masing-masing. Hidup yang keras membikin mereka tak lagi saling peduli satu sama lain. Aku terjepit dalam ketiadaan pilihan sampai sebuah tawaran yang begitu manis datang begitu saja dua tahun lalu. Sebuah biro penyalur tenaga kerja menawariku bekerja sebagai pramusaji di Malayasia.”


Kau terdiam. Menunduk. Matamu segera menjadi telaga. Dua sudut bendungan di sisi luar pangkal hidungmu makin tak mampu menahan air telagamu yang membanjir. Air matamu berjatuhan tanpa tercegah. Lalu suaramu menyendat pada pangkal cerita yang rupanya segera tiba.


”Aku ditipu. Aku dijual ke sebuah tempat prostitusi di Bukit Bintan dan Genting. Garis nasib yang kelam mesti kuterima tanpa daya. Badanku remuk dihantam kerja jahanam itu. Kemanusiaanku terbunuh oleh rutinitas itu. Membuka pintu kamar, membiarkan diperlakukan sebagai binatang, memunguti uang yang dilempar begitu saja ke atas tempat tidur sambil mendengar pintu ditutup dan suara sepatu lelaki di lantai menjauh hingga hilang ditelan lobi berkarpet. 


Badanku hancur, tapi hatiku lebih hancur. Kemanusiaanku makin hari makin tak bersisa. Benar-benar binasa.” Airmatanya jatuh. Kupeluk kamu untuk menentramkan hatimu. Air matamu membasahi pundakku. Dingin. Kita diterkam senyap yang tiba-tiba menjadi asing.


”Untunglah aku akhirnya bisa melepaskan diri dari enam bulan terpanjang dalam hidupku itu. Kabur dari  Kualalumpur, kembali pulang. Tapi hidup tetap tak bersahabat. Akhirnya kuulang pekerjaan yang sama di sini. Kali ini atas kemauanku. Persisnya, karena aku tak punya pilihan lain. Hingga sampailah aku menjadi guide dari biro tour. Ya… aku ingin bunuh diri. Rasanya aku sanggup menghadapi hidup yang berat dan keras, tapi tidak hidup yang terasa hambar seperti ini….” Sesenggukanmu mengeras. Sebuah cara pilu mengakhiri cerita panjangmu.


***

Shenzhen 2012. Shenzhen.

Pertemuan berikutnya 4 tahun setelah terakhir bertemu di Changsa. Dia mengirim email bahwa dia ada di Shenzhen. Kalau ada waktu dia ingin bertemu sebagai sahabat. Weekend aku temui dia. Penampilannya sudah berbeda. Eskpresi wajanya lebih bersemangat namun kadang kala berbicara aku bisa melihat mendung di matanya. 


“ Tiga tahun lalu aku dipiara oleh pengusaha kaya dari Hong Kong. Dia beri aku tempat tinggal di Distrik Changping. Sekitar 1 jam dari Shenzhen. Kehangatan hanya berlangsung setahun. Setelah itu dia acap datang ke apartemenku bersama wanita lain. Aku tidak berdaya. Itu hak dia. Tapi setidaknya dia memberi tahu aku lebih dulu sebelum membawa wanita ke apartement. Jadi aku bisa menyingkir. 


Setelah itu aku memutuskan untuk bekerja. Apa saja yang bisa membuatku tidak tergantung kepada orang lain. Aku diterima bekerja di pabrik milik BUMD Changsa. Di sana aku dapat posisi sebagai PR.  Bahasa inggris membantuku mendapatkan pekerjaan terhormat. Tetapi setahun kerja, pabrik terpaksa ditutup. Karena korupsi dan tidak efisien. 


Tapi aku bersukur masih boleh tinggal di paviliun pabrik. Itu karena aku ditugaskan mencari investor yang mau mengambil alih pabrik itu. Sudah 2 bulan aku di Shenzhen bertemu dengan banyak orang calon investor. Tetapi tidak ada titik terang” ceritanya.


Dia ceritakan detail business dari pabrik BUMD itu. Ternyata pabrik itu memproduksi filter knalpot agar pembuangan mesin kendaraan tidak menimbulkan pencemaran udara. Ini bisnis proteksi. Aku tertarik menjajaki. Dia berjanji akan membawaku ke Changsa meninjau dari dekat pabrik tersebut. 


***

2012, Changsa.

Bulan november aku berangkat ke Changsa bersamanya. Proses negosiasi pengambil alihan pabrik berlangsung cepat. Holdingku berhasil menyelesaikan proses akuisisi itu februari 2013.  Menurutku itu deal terbaik. BUMD tidak minta dibayar satu senpun. Mereka memberi hak mengelola pabrik itu selama 25 tahun. Jadi ini skema MBO. Market disamping dapat proteksi oleh Pemda Hunnan juga dapat longterm contract ekpor dengan iran dan Amerika Latin lewat counter trade. Kami dapat kredit modal kerja dari Bank of China. 


Selama proses itu aku tidak terlibat. Ada team yang terlibat. Namun yang membuat aku terkejut. Nama Lin tidak ada dalam susunan staf pabrik yang kami akuisisi. Mengapa ? “ Salah satu pejabat Pemda bercerita bahwa yang membongkar korupsi di pabrik itu adalah Lin. Sehingga memaksa dewan kota dan sekretaris partai Hunnan membuat keputusan melikuidasi pabrik itu dan akhirnya berhasil kita akuisisi. “ Kata James.


“ Ya, Ok paham. Jawab pertanyaan saya. Mengapa dia tidak ada dalam daftar staff kita di pabrik itu?


“ Dia sendiri yang tidak mau bergabung. Dia pergi begitu saja. Tampa sebab. “ Kata James.


Musim panas aku terbang ke Changsa setelah kirim email kepada Lin. Dia menyambutku di Bandara Changsa. Di lounge executive hotel, dia tersenyum menatapku. “ Aku tahu kamu datang inginkan jawaban. Mengapa aku tidak mau bergabung di pabrik itu ?  Katanya.


“ Ya kenapa Lin?


“ Seumur hidupku selalu salah membuat keputusan. Kalau ada yang benar maka itu adalah ketika aku memutuskan membongkar korupsi di perusahaan yang milik Pemerintah Daerah. Bukan hanya berhasil tetapi juga aku bisa membawa solusi untuk masa depan pekerja yang ada. Dan produksi tetap berlangsung. Tugasku sudah cukup sampai disitu, B. Sekarang  aku merasa sangat bahagia dengan hidupku  walau hanya bekerja sebagai guru mengajar bahasa inggris di pusat kursus di Changsa. Apalah aku. Tetapi setidaknya aku bisa membayar hutangku kepada China” Kata Lin. Aku terpesona dengan sikap hidupnya.


“ Hutang terbesar rakyat China bagi kemajuan bangsa adalah memberantas korupsi. Negara menyediakan sistem yang kuat untuk memberantas korupsi. Tapi tampa keterlibatan rakyat dalam proses itu, perang terhadap korupsi tidak akan dimenangkan. Aku adalah korban dari sistem yang korup. Cukuplah aku saja. Generasi sesudahku tidak perlu ada lagi..” katanya melanjutkan.


***

Senja bergerimis. Langit di atas Bandara Internasional Changsa tersapu terlalu banyak kelabu. Birunya seperti malu-malu. Enggan memperlihatkan diri. Kau mematung menopang dua matamu yang nanar. Lagi-lagi bertelaga. Aku nyaris kaku ketika kau bisikkan kata-kata itu…. ”Terima kasih banyak Bro. Untuk pertama kali dalam waktu yang sangat panjang, aku sanggup berbagi dan berbuat yang lebih berarti bagi negeriku.” Suaramu parau. Aku mengusap-usap lembut punggungmu. “ Mengenalmu dan menjadi sahabatmu itu sudah hadiah bagiku” katamu.


”Keep in touch ya...” Kataku  seraya berjalan menuju ruang tunggu pesawat yang akan membawaku ke Hong Kong,  seperti memasuki lorong panjang yang asing. Kita menjauh, tapi suaramu seperti makin keras memanggil-manggil. Sosokmu hilang tertelan kelokan menuju ruang tunggu pesawat.


Seorang pria bule tersenyum duduk di sampingku.  “ Tahun 1998 saya datang ke China" kata pria bule itu. "Saya tidak suka orang china. Mereka kasar. Tidak tertip. Sikap yang tertutup.  Tapi kini mereka ambil hampir  semua asset kami.” sambungnya, entah apa maksudnya. Wajahnya nampak muram. Sambil menggeleng gelengkan kepala.


“ Bagaimana mungkin, masyarakat yang tertutup akhinrya bisa jadi kekuatan ekonomi dunia. Dari bank, telekomunikasi , property, dan lain lain orang china kuasai. Itu hanya dua puluh tahun baru kami sadari. Kini negeri kami berhutang lebih dari separuh anggaran kami. “ Kata Bule touris dari Amerika. Saya hanya tersenyum dan tak bergairah untuk menemaninya ngobrol sampai nunggu boarding. Ruang tunggu yang ramai tiba-tiba terasa begitu senyap.  


Di belakangku, terhalang berlapis-lapis dinding, di bawah gerimis senja Changsa seorang perempuan China tampil gagah berani berbuat untuk negeri yang dia cintai. Nun di depanku, di negeriku, orang orang masih sibuk bicara soal anti china, anti komunis, bersatu karena Sunnah. Masih sibuk dengan politik populis. Masih sibuk membangun mimpi utopia. 


Padahal bukan idiologi atau etnis atau agama penyebab kemakmuran dan kemiskinan. Bukan. Tapi karena mental hebat yang bisa membuat orang bisa berguna bagi orang lain. Karena mental buruk yang membuat orang jadi beban sosial. Karena mental juga orang bisa bertahan dari kehidupan yang memang apa boleh buat tidak ramah..


Ternyata cinta Itu berbalas.





“ Jangan sampai engga datang ya. “ Kata teman SMA ku waktu di kampung. Pesan itu disampaikan via BBM. Ketika itu aku sedang di luar negeri. Sebetulnya aku malas untuk reunian. Semua teman SMA ku melanjutkan pendidikan sampai Universitas. Sementara aku tidak. Pasti mereka akan bertanya” Kuliah di mana ? Sudah S2?  Dimana S2 nya.? Kalau itu ditanya, aku harus bilang apa. Toh dari sejak SMA aku memang bukan anak yang masuk hitungan mereka. Aku dari keluarga miskin dan otak pas pasan. Sudah pasti mereka tahu aku, keadaanku, dan pertanyaan itu seakan hanya ingin mempertegas bahwa aku berbeda dengan mereka. Aku bukan generasi first class. 

Tapi entah mengapa aku sempatkan juga datang. Itu karena dalam pesan singkat tertera “ Bunga, datang loh dari Palembang. Dia kangen kamu katanya “ Benarkah? apakah ini hanya dagelan saja. Aku yakin tidak ada yang tahu kalau dulu waktu SMA aku sering mencuri pandang kepada Bunga. Aku menaruh hati dan cukup puas sampai pada perasaan. Tanpa ada keberanian untuk menyampaikan perasaanku. Rahasia perasaanku tersimpan rapat. Tak ada yang tahu. Mengapa sampai ada pesan seperti itu. Menyebut nama Bunga? Ah mungkin kebetulan saja. Tapi ini mendorongku untuk datang reunian. 

Sampai di Jakarta, aku langsung terbang ke kotaku tempat reunian. Aku sempat telp sahabat SMA ku untuk memastikan aku sudah di Bandara menuju Kotaku. Dia senang sekali. Setiba aku di kotaku, aku sengaja tidak memberi tahu orang tuaku. Aku memilih tinggal di Hotel. Rencana keesokan harinya aku kembali ke Jakarta. Keluar dari gate bandara, seseorang berjalan menghampiriku. Wajanya berbalut senyum. Wanita berkerudung. Aku membalas senyum seadanya. 

“ Bimo ya? Katanya bertanya kearahku. 
“ Ya..” aku masih bingung. Siapa wanita ini.
“ Duh lupa ya. Aku Bunga.” Katanya. Itu seperti geledek di siang bolong. Benarkah ini Bunga. Mengapa sekarang dia berbeda?. Oh ya , dia pakai jilbab. Muslimah kah dia? 
“ Keren kamu Bimo” katanya membuyarkan lamunanku. “ Makin gagah dibandingkan waktu SMA. Aku yakin kamu pria terkeren di reunian nanti” Katanya
“ Ah engga juga. Ini kebetulan aja aku pakai jas. Maklum aku dari luar negeri langsung ke mari. Aku tetap seperti dulu yang kamu kenal” 
“ Engga. Kamu berubah total. Benar benar berubah. Kulit kamu engga lagi keling. Udah putihan. Kaya china kamu”
“ Bisa aja kamu.”
“ Eh benar. Kokoh ku mungkin lebih gelap dari kulit kamu”
“ Loh katanya kamu di Palembang.” 
“ Ya. Tadi pagi datang. Aku sengaja jemput kamu. Aku kangen kamu Bimo. Kamu engga kangen? “ Katanya yang membuat aku terkejut. Mengapa dia berbeda sekarang. Dulu dia sangat berjarak dengan aku.
“ 20 tahun kita engga bertemu. Kamu sudah punya anak berapa ? kataku mengalihkan pembicaraan. Dia terdiam lama.  Ada mendung di wajahnya.
“ Aku tidak pernah menikah, dan tidak pernah punya pacar.”
“ Kenapa ? Kataku terkejut.
“ ya engga ada jodoh. Mau gimana lagi.”
“ Jangan begitulah. Kamu itu cantik. Pintar dan keluargamu orang kaya. Engga mungkin engga ada pria yang mendekati kamu.”
“ Faktanya ya aku sampai sekarang masih jomblo. Udah ah bicara soal keluarga. Kan ini acara reunian. Engga ada hubungan dengan keluarga. Kita bertemu tentang kita yang remaja dulu pernah bersama sama. Ya kan.”  Katanya. Aku mengangguk.

***
Setelah reunian itu, tiga bulan kemudian aku dapat telp dari Bunga. Bahwa dia sudah pindah di Jakarta. Perusahaannya memindahkan dia ke Kantor Pusat. Berharap bertemu denganku. Kami bertemu disebuah cafe pada sore hari. 

“ Aku punya rahasia yang harus aku sampaikan. Mohon aku dimaafkan.” katanya.
“ Rahasia apa sih. Ngomong apa Dan lagi emang kamu pernah ada salah denganku. “ Kataku tersenyum.
“Ingat engga waktu SMA kamu menulis cerpen untuk lomba tingkat sekolah. “
“ Ya ya aku ingat. Tapi engga jadi aku ikut lomba. Cerpenku ditolak oleh guru bahasa. Kalau engga salah, ibu guru bilang tuisanku tata bahasanya banyak salah. Juga penulisan kalimat kata penghubung dan kata keterangan, salah semua. Terus gimana kamu bisa tahu cerpe aku itu ?
“ Rudi yang kasih ke aku sambil mengolok ngolok kamu. Katanya dia dapat dari kamu.”
“ Entah aku lupa.”
“ Tetapi setelah aku baca, tulisan itu bagus sekali. Makanya aku kirim cerpen kamu ke majalah remaja untuk lomba menulis. Itu bukan karena aku plagiat tetapi aku engga terima kamu diolok olok oleh teman. Aku ingin buktikan tulisan kamu bagus. Soal tata bahasa aku perbaiki sendiri. Terbukti kemudian cerpen kamu dapat penghargaan dari majalah sebagai cerpen remaja terbaik tentang spiritual.”
“ Oya aku ingat. Pernah ditempel di majalah dinding sekolah. Penghargaan itu atas nama kamu.”
“ Terus kenapa kamu engga protes?
“ Aku malah senang. Karena aku lihat kamu bahagia sekali dengan ucapan selamat dari teman teman.
“ Begitu? mengapa ?
“ Aku naksir berat sama kamu. Tetapi itu dulu. Aku malu untuk menyampaikannya. Aku sadar diri. Aku dari keluarga miskin, dan kamu orang kaya”
“ Ih segitunya pikiran kamu.” 
“ Faktanya memang begitu.”
 " Sekarang here i am" katanya. Dia tersenyum dengan wajah merona
" Sekarang semakin jauh untuk kugapai. You are too perfect. " 
" So...." 
“ Jadi engga perlu minta maaf soal cerpen itu. Justru itu kenangan terindah bagiku. pernah membuat orang yang aku cintai bahagia.”

Setelah itu apabila aku sedang di Jakarta, aku menyempatkan untuk bertemu dengannya. Dia teman ngobrol yang sangat mengasyikan. Entah mengapa kadang kalau sedang gundah karena masalah bisnis, ,aku telp dia. Dengan sabar dia menerima telpku. Kadang tengah malam, dia tidak merasa terganggu menerima telpku.

Begitu besar perhatiannya kepadaku namun aku tetap mengganggap dia ayam merak yang engga mungkin berdekat dengaku yang ayam kampung. Hubunganku dengan dia tetaplah sebagai sebuah persahabatan. Tetapi bagiku indah sekali. Kadang, ada keraguan untuk telp dia bila aku sedang di luar negeri. Namun entah mengapa seketika ada SMS masuk dari dia. Selalu mengingatkan aku untuk menjaga kesehatan. Cukup tidur dan istirahat.

Suatu waktu ketika aku di kantor di Luar negeri,  aku dapat telp dari dia. Kami bicara sekitar 15 menit. Aku terpaksa sudahi telp karena ada jadwal meeting. Berjanji akan telp kembali. “ Engga usah, Bimo. Utamakan kerjaan kamu. Yang penting jangan lupa  istirahat. Ya.” Katanya. Sejam setelah aku keluar dari kantor, aku dapat telp dari seseorang. “ Nak Bimo, Bunga dipanggil Tuhan.” terdengar suara wanita menahan tangis.
“ Ah yang benar, bu. Baru sejam lalu dia telp saya.”
“ Ya itu kami tahu. Kami semua mendengar dia telp Nak Bimo.”
“ Maaf, anda siapa ?
“ Saya mamanya.” 
Aku terduduk lemas di kantor. Segera aku berangkat ke Airport untuk terbang ke Jakarta. Dari keluarganya aku tahu ternyata Bunga mengidap kanker sudah 3 tahun. Mengapa dia tidak pernah cerita bahwa dia sedang sekarat. Mengapa?  

Keluarganya memberikan surat kepadaku.  “ Bunga, titip surat ini untuk kamu “ kata mamanya. Aku segera membuka surat itu. Airmataku jatuh. Dalam surat itu dia menulis singkat sekali. “ Aku berdoa kepada Tuhan agar jemputlah aku pulang setelah aku bertemu dengan cintaku. Cinta pertamaku.  Aku tahu Tuhan tidak pernah salah menitipkan perasaan cinta kepada manusia. I do love you, Bimo. You take care my dear..” 

Monster pemangsa

  Sehabis meeting dengan Michael Chang, saya tatap James cukup lama. Dia sempat bingung dan salah tingka karenanya. Namun akhirnya  saya ter...