Friday, May 01, 2020

Anak yang sholeha






“ Tadi pagi dia masih sehat. Tak kurang apapun. Tapi kini dia telah tiada. “ Kata anggota keluarganya ketika aku datang menjenguk di rumah duka. Memang sangat mengejutkan. Semua Para sesepuh adat, alim ulama, dan karib kerabat yang berdatangan, semua terkejut. Mereka memasang wajah duka. Merekalah tadinya yang ketiban rezeki melimpah ketika Pilkada, dan memenangkan Rahmat dalam Plkada. Itu karena pak Rahmat sangat peduli dengan para tokoh itu. Memberi mereka uang dan hadiah. 

“ Kamu udah tahu? kata teman berbisik kepadaku. 
“ Apaan ? 
“ Pak Rahmat meninggal di hotel. Padahal sejam sebelumnya dia meresmikan peletakan batu pertama proyek pembangunan masjid. Itu sesuai janjinya waktu pilkada. “
“ Ngapain dia di hotel ? 
“ Engga tahulah aku. Yang jelas , jasadnya ditemui dalam keadaan mengenaskan. Lidah terjulur hingga dagu dan mata terbelalak serupa orang mati setelah gantung diri. “
“ Kata dokter apa penyebabnya ?
“ Tak tahu aku. Mungkin narkoba ya. Overdosis.”
“ Ah jangan pula kau berprasangka buruk. Dia itu orang sholeh”
“ Ya maafkan aku. Bisa jadi jantung ya.”
“ Ah sudahlah. Engga usah berprasangka macam macam. Nanti terdengar pula sama anggota keluarganya. Jadi ribut. Kita doakan saja semoga arwah beliau diterima di sisi Tuhan.” 

Mata orang banyak tertuju kepada wanita yang baru turun dari taksi. Itu putri Pak Bupati. Namanya Arum. Waktu dia datang, Jenazah ayahnya sudah rampung dikafani, tak lama lagi akan segera disembahyangkan, sebelum diusung ke pemakaman. Raut muka perempuan itu tampak murung dan kecewa. Sebab, sudah tak mungkin lagi ia melepaskan tali pengebat kain kafan sekadar memberi kecupan di kening ayahnya, sebagai ciuman yang terakhir sebelum jenazah itu dikuburkan.

“Jadi pejabat ndak usah terlalu jujur,!” begitu kelakar almarhum ayahnya dua tahun lalu. Saat aku sedang di rumah Pak Bupati untuk urusan Pilkada. Sesaat sebelum Arum berangkat ke Mellbourne, menyelesaikan program doktor, bidang ilmu politik.

“Maksud ayah ?”

“Lihatlah jalan umum kampung kita! Persis seperti kubangan kerbau. Rusak parah dan sudah tak layak tempuh.”

“  Nah, mumpung ayah sedang memegang jabatan bupati, ndak ada salahnya ayah membuat proyek pelebaran jalan. Bila perlu diaspal beton sekalian!” jelas Arum, “Hitung-hitung proyek itu dapat menunjukkan rasa terima kasih ayah pada rakyat yang memiliih”

“ Waktu pilkada memang Ayah butuh rakyat. Mereka butuh janji. Tetapi setelah menjabat Ayah butuh DPRD. Mereka engga butuh janji tertunaikan. Mereka hanya ingin berbagi uang APBD. Apapun proyek, yang utama berbagi dulu. Sisanya baru untuk proyek.”

“Ah Ayah. Tak ada salahnya utamakan rakyat. Perbaiki insfrastruktur jalan,  perbaiki pasar rakyat.  Kalau itu dibangun, ekonomi juga akan tumbuh cepat, ayah. Pajak akan bertambah, uang APBD akan meningkat. Pada akhirnya semua happy.”

“Itu hanya ada di bangku kuliah kamu.  Dalam politik kadang kita perlu keadaan kumuh dan miskin. Agar rakyat semakin tergatung kepada pemerintah dan partai. Nanti waktu Pilkada mudah dibohongi. Kalau mereka makmur, mereka pasti pintar. Tak bisa lagi dibohongi. Engga mudah lagi dapatkan korsi anggota dewan dan Bupati.” Kata Pak Rahmat sambil melirik kearahku dengan tersenyum.

“ Tapi jabatan itu adalah amanah Tuhan, Ayah. “

“ Dalam kehidupan nyata engga begitu sayang. Kalau itu yang ayah lakukan, semua anggota DPRD akan memusuhi ayah, termasuk para ulama, ketua adat dan lainnya. Lihat contoh Guberur DKI si kafir itu. Dia jujur, tetapi dijatuhkan, didemo jutaan orang. Amanah itu bukan kepada rakyat tetapi kepada mereka yang bantu ayah jadi bupati, paham kamu.” 

“ Kalau tidak ada kinerja yang berarti selama ayah jadi bupati. Lantas ayah mau dikenang sebagai apa setelah mati?. Kata Arum. Menurutku itu kata kata yang sangat bijak bagi orang terpelajar dan anak yang sholeh. Tetapi tidak ditanggapi serius oleh Rahmad

Pak Rahmat berpendidikan tinggi. Namun prestasinya tidak ada yang bisa dibanggakan sebelum dia jadi Bupati. BIasa saja. Tetapi dia memang pandai bicara. Para ulama dan tokoh masyarakat dia dekati dengan janji macam macam. Jaringannya luas. Mungkin waktunya lebih banyak sibuk diluar kerjaannya sebagai pejabat kota. Tapi sayang dia bukan orang partai. Aku mendekatinya untuk dicalonkan sebagai Bupati. Waktu itu dia sangat antusias. 

“ Kalau kau bisa sediakan uang mahar ke partai, sekian miliar. BIsa kasih uang sekian miliar untuk tokoh agama dan adat. BIsa kasih uang sekian miliar untuk tokoh pemuda dan buruh. Aku pastikan kita bisa menang mudah. “ Kata Pak Rahmat. Memang uang sebanyak itu tidak ada arti kalau memang dia bisa menang dan meloloskan rencana boss ku di jakarta dapatkan konsesi alih fungsi  hutan lindung untuk tambang emas. Aku percaya akses jaringan primordial Rahmat. Semua mengenal dia.

Ketika aku mendatangi Partai agar mengusung Rahmat, mereka senang dengan uang yang aku janjikan. Soal mahar engga ada masalah. Tetapi partai tetap ingin kepastian memang Rahmat punya elektabilitas tinggi. Karena partai tidak mau mengusung untuk kalah. Itu bukan masalah. Konsultan survey untuk menentukan rating elektabilitas bisa dibayar. Hasil survey memang memuaskan partai untuk mengusung Rahmat. Maka resmilah Rahmat sebagai Calon Bupati. Aku menyerahkan  uang sekaligus. Tentu tidak dengan transfer tetapi dengan uang tunai, dalam mata uang dollar. 

Tetapi setelah Rahmat memenangkan Pilkada, dia selalu berkilah untuk menepati janjinya. “ Kita harus pastikan tidak melanggar AMDAL. Kita harus pastikan tidak ada pelanggaran hukum baik tingkat Provinsi maupun Pusat.  Sebelum itu ada kepastian, saya tidak bisa mengeluarkan rekomendasi konsesi alih fungsi lahan hutan lindung.” Bah, dasar politisi. Engga bisa dipegang omongannya. Rasanya aku ingin pukul jidatnya dengan botol. Tetapi aku berusaha bersabar. Uang yang dia terima dan jabatan yang dia dapat  tidak membuat dia bisa dibeli. Dia terlalu cinta dengan jabatan dan reputasinya.

Setelah dua tahun menanti sabar. akhirnya aku menyerah. Udah engga tahan ditekan oleh boss di Jakarta.  Apalagi semua network  politik ku di partai dan DPRD kandas. Semua berpihak kepada Rahmat. 
“ Maaf boss. Saya gagal “ Kataku dengan wajah murung.
“ Ah santai saja. Engga usah terlalu kawatir. Sekarang kamu cari kelemahan dia.’
“ Engga ada kelemahan dia. Uang dan jabatan tidak bisa membeli dia.”
“ Kalau gitu kasih dia  perempuan.”
“ Dia orang sholeh. “
“ Justru karena itu kasih dia wanita sholeh”
“ Istrinya lebih sholeh.”
“ Cantik ?
“ Engga juga.”
“ Kalau gitu, kasih dia yang sholeh dan cantik.”
“ Oh baru kepikiran boss. Benar juga.”
“ Lakukan itu. Soal uang engga ada masalah “ 

Pada satu kesempatan , Rahmat ada tugas ke jakarta. Aku mendampinginya. AKu sudah atur pertemuan dia dengan wanita yang akan jadi umpan.  Benarlah. Umpan itu dimakan begitu saja. Setelah itu hubungan mereka semakin dekat. Rahmat semakin kasmaran dengan wanita itu.  Tiga bulan kemudian, mereka menikah sirih di Jakarta. Aku belikan apartement untuk wanita itu. Selanjutnya tugasku adalah memaksa wanita itu membujuk Rahmat agar meloloskan keinginanku mendapatkan rekomendasi lahan. Tetapi tetap saja ada alasan Rahmat untuk menolak. Aku engga menyerah. Wanita itu aku jejali terus dengan uang dan perhiasan. Agar dia merasa berhutang. 

Rahmat akhirnya luluh dan setuju memberikan rekomendasi setelah aku setuju mengeluarkan donasi membangun masjid. Rencananya keesokannya setelah peletakan batu pertama pembangunan masjid , rahmat akan menyerahkan surat rekomendasi kepadaku. Kami janjian di hotel yang sudah aku siapkan untuk istri sirihnya yang khusus datang dari Jakarta. Tetapi sejam setelah rahmat di kamar, istri sirih nya dengan wajah pucat menemuiku di lobi hotel. “ Bang, bapak meninggal “  Kata istri sirihnya dengan wajah pucat. Itu membuat aku terkejut. 
“ Tapi surat nya sudah kamu terima.” Kataku cepat. Itu yang penting bagi ku. Soal Rahmat mati engga penting amat.
“ Udah. Ini suratnya Dia teken dua hari lalu.Jadi giman bang. Aku takut” Kata istri sirihnya seraya menyerahkan surat itu. Aku langsung masukan kedalam tas.
“ Tenang saja. Kamu pergi saja ke bandara. Langsung pulang ke Jakarta, selanjutnya urusanku.”
“ Makasih Bang. “ Kata istri sirihnya bergegas pergi.

Aku telp Polisi untuk evakuasi Jasad Rahmad. Hasik pemeriksaan dokter Rahmat meninggal karena overdosis obat kuat. Di meja baca, ada jamu khusus obat jantung. Ternyata Rahmad mengidap penyakit jantung udah lama. Namun dia tidak pernah periksa ke dokter. Polisi bisa aku ajak damai. Sehingga rahasia istri sirih Rahmat tidak sampai muncul di publik. Kehormatannya di depan keluarga tetap bagus. Keluargapun dapat menerima kematian Rahmad. Tapi yang sangat berduka adalah Arum. ingat kata kata Arum dulu, “  Kalau tidak ada kinerja yang berarti selama ayah jadi bupati. Lantas ayah mau dikenang sebagai apa setelah mati?. Yang jelas setelah setahun Rahmat meninggal, hutan lindung sudah berubah fungsi untuk tambang emas. Hutan hancur dan lingkungan rusak. Rakyat tetap miskin.

Karena aku mencintaimu...






Kalau kamu tanya apakah pernikahan itu harus dengan Cinta?  bagiku itu belum tentu. Aku tidak mengerti apa itu cinta. Setidaknya itu yang kupahami terhadap Ayumi. Pertemuan kami tidak direncanakan. Waktu itu tahun 1983 dia sebagai Customer Manager dan aku sebagai Salesman di perusahaan Jepang yang meng-ageni bahan kimia. Usia kami bertaut 4 tahun. Ketika itu usiaku 20 tahun, dan dia 24 tahun. Bahasa indonesianya bagus. Kebetulan dia sedang menyelesaikan studi sastra Indonesia di Universitas. 

Awalnya kedekatan antara kami, karena dia sering ke tempat kos ku untuk membahas sastra. Lambat laun entah kenapa aku tidak sungkan lagi dengan dia walau dia atasanku di kantor. Suatu waktu yang tidak direncanakan terjadi. Empat bulan setelah itu dia hamil. Aku memutuskan untuk menikahinya. Setahun setelah dia melahirkan anak perempuan, dia kembali ke Jepang membawa bayiku. Kepergiannya sangat mendadak. Ketika itu aku sedang di luar kota untuk urusan bisnis. Sekembali dari luar kota, kudapati hanya surat ucapan maaf, dan dia beralasan kepergiannya demi cintanya padaku.

Ketika itu aku dalam keadaan merintis hidup untuk tegak berdiri. Aku tidak punya cara untuk mencarinya. Apalagi ke Tokyo. Aku hanya bisa menyesali. Empat tahun kemudian, setelah ekonomiku mapan, sebagai pengusaha. Selama 4 tahun itu aku tidak pernah berkirim surat. Bahkan aku sudah menikah lagi. Apakah aku melupakannya ? tentu tidak. Kebetulan ketika aku ada urusan bisnis ke Tokyo, aku sempatkan untuk mencarinya.  Tidak sulit menemukan alamatnya. Karena data dari kantor tempat dia kerja, cukup jelas. Dia tamak terkejut dengan kedatanganku di rumah orang tuannya. Kulihat ada anak Balita sedang bermain di teras rumah.  Dia membungkukan tumbuhnya, sebagai tanda hormat. 

Ada keinginanku untuk marah ketika itu.Namun melihat wajahnya yang tampak pasrah, aku jadi kasihan.  Aku mendekati Balita itu. Menggedongnya. Tak ada nampak Balita itu merasa asing  kepadaku. Dia tenang dalam pelukanku. 

“ Kamu ganti namanya?

“ Tidak. Tetap Emi.”

Kami terdiam lama. Seperti kehilangan kata kata.

“ Aku..” Katanya memecah keheningan. “ Aku sudah urus di kedutaan tentang Warga negara Emi, dia tetap WNI. Aku bawa akta kelahariannya dari Jakarta. Sekali lagi maafkan aku “

“ Kamu bekerja di mana?

“ Aku tidak bekerja tetap. Emi butuh perhatianku. Tetapi aku bekerja dari rumah, jadi penulis kolom di Majalah.” Katanya dengan tetap menundukan wajah di hadapanku.

“ Mulai sekarang aku akan menanggung biaya hidup Emi. “ Kataku.  Dia terdiam. “ Kami akan baik baik saja. Engga usah merepotkan kamu.” Katanya.

“ Merepotkan? kamu bicara apa ? Kamu masuk dalam hidup saya, dan kini kamu bicara seperti itu, seperti tidak bersalah dengan keadaan Emi? Kataku dengan nada tinggi. Dia tertunduk. “ maafkan aku, maafkan aku. Bukan itu maksudku..” Katanya terputus.

“ Jadi apa ? Kamu pikir segampang itu urusannya. Pergi dari hidupku dan membawa anakku.”

“ Maafkan ku.” Dia menangis. 

“ Mana rekening bank kamu.? 

Dia terdiam. Akhirnya masuk ke dalam kamar, memberikan buku tabungan. “ Ini nomor rekeningku. Jangan marahi aku, Angga. Maafkan aku.” katanya terisak.

“ Ok. aku catat nomor rekening kamu. Dan pastikan setiap tiga bulan kamu buat laporan perkembangan Emi. Paham?  Dia mengangguk seraya membungkukan tubuhnya.

“ Dan ingat, setelah Emi tamat SMU kembalikan kepadaku. Setuju?

Dia mengangguk tanpa berani menatapku. 

Sebelum kembali ke Jakarta, aku menitipkan uang USD 25,000 ke Ayumi. “ Pakai uang ini untuk membayar selama 4 tahun kamu mengurus Emi.” Kataku. Dia sempat ingin menolak, Tetapi Mi tidak pernah punya keberanian melawanku.

Dia hanya menunduk, dan melirik ketika aku mencium Emi berkali kali. “ Boleh aku photo” katanya menunjuk photo polaraid di dalam tasnya. Aku mengangguk. Dia tersenyum haru ketika usai mengambil photoku bersama Emi. 

Aku menyerahkan kembali Emi ke Ayumi” Jaga dia baik baik. Kamu juga jaga kesehatan “ Kataku.

Dia mengangguk. 

“ Oh ya, kalau kamu menikah, tolong kabari aku.”

“ Angga, aku tidak akan meikah lagi. Never. Emi adalah cintaku, dan itu sudah cukup bagiku. Engga perlu apa apa lagi. Sekali lagi, maafkan aku.” 

***

“ Angga, Emi sudah tamat SMU. Aku harus kirim ke mana Emi” Kata Ayumi via Yahoo messenger tahun 2002. Aku sempat terdiam. Bingung harus bagaimana. Ini soal masa depan Emi. Di mana dia akan tinggal kalau bersamaku. Tetapi bagaimanapun dia adalah putriku, yang setiap awal tahun aku kirimi uang untuk biaya hidup dan sekolahnya selama setahun. Jadi kalau dihitung dalam rentang 15 tahun, ada 15 kali aku kirimi uang. Walau aku sering ke Tokyo tapi aku tidak pernah sempatkan untuk menjenguknya. Tetapi setiap tiga bulan, Mi selalu kirim surat perkembangan putriku.

“ Mi, apakah dia mengenalku? terakhir aku bertemunya waktu dia masih balita. “ Kataku bingung.

“ Aku hanya mengikuti keinginanmu dulu agar Emi kembali kepadamu setelah tamat SMU. Apakah rencannya berubah?

“ Eh..engga. Engga berubah. “ aku tergagap. Tapi aku berusaha tenang. “  Ya udah. Kirim ke Hong Kong. Aku sedang di Hong kong” kataku sekenanya. 

“ Baik. Besok dia akan terbang ke Hong kong. Kamu jemput ya di Bandara”

“Loh kamu engga antar. “

“ Maaf, engga. “

“ Kenapa ?

“ Apa harus ? 

“ Eh engga. Ya udah. Aku tunggu di Bandara. Pastikan skedul terbangnya. “

“ Ya. Pastikan kamu jemput. “

“ Tentu.” 

***

Sesuai jadwal aku sudah di Bandara Hong Kong 15 menit sebelum pesawat mendarat. Tidak ada laporan delay. Tetapi sudah lebih 20 menit sejak pesawat mendarat, Emi belum nampak keluar dari kuridor kedatangan. Aku sempat cemas.  Padahal aku sudah bawa poster memperkenalkan namaku. Kawatir Emi lupa wajahku.

“ Papa…” terdengar panggilan dari arah samping. Aku menoleh. Nampak olehku gadis cantik. Lebih tinggi dariku. Mungkin 170 cm. Dia tersenyum cerah ke arahku.

. “ Emi.? Seruku. Dia mengangguk dan tersenyum. Matanya seakan tenggelam dalam senyuman itu. Aku merentangkan kedua tanganku. Tanpa ragu Emi merangkulku. Erat sekali. “ Aku kangen pa” Katanya halus. Aku sempat terkejut.. Bagaimana dia bisa bahasa indonesia.?

“ Kamu udah besar, Emi. Tinggi lagi.” kataku membalai kepalanya. Dia tersenyum. 

“ Kamu bisa bahasa indonesia.? kataku.

“ Ayumi ajarin aku. Katanya, aku tidak akan bertemu dengan ayahku kalau tidak bisa bahasa indonesia.” 

“ Oh. Bagaimana kamu bisa kenal wajah papa, Kan ini kali kita ketemu sejak kamu balita…?kataku melongok. Emi memberikan photoku dan dia waktu baliita. " Photo ini selalu ada di dompetku. Setiap pagi bangun tidur, photo ini aku liat. Berkali kali photo ini di reproduksi oleh Ayumi. Agar aku selalu bisa melihat wajah Papa. " Katanya. Membuat aku terharu.

“ Aku kangen papa.” katanya dengan airmata berlinang.

Aku rangkul dia kembali. “ Ya sekarang kamu sudah sama papa. Mari kita pulang” 

Aku membawa Emi tinggal di Apartemenku di Hong Kong. Aku masih bingung memikirkan masa depan Emi. Dimana dia harus tinggal. Sementara aku tidak menetap di Hong Kong. Dia bagian masalaluku yang tidak mungkin aku bahas dengan istriku. Ini tetap menjadi catatan gelap masa laluku. Tetapi dia tetap putriku, tanggung jawab dunia akhirat. Sampai di apartemnet. Emi dengan manja melihat kamarnya. Aku memang mempersiapkan kedatangannya dengan baik.

Keesokannya, waktu sarapan pagi…

" Papa dimana ibuku ?Kata Emi

Aku terkejut.

" Mengapa kamu bertanya seperti itu? “

" Karena Ayumi bilang bahwa aku punya ibu. Dimana dia ?

“ Ayumi engga cerita.?

Dia menggeleng penuh tanda tanya.

Aku tak bisa menjawab. Aku pergi ke dalam kamar. Aku segera telp Ayumi.

“ Mengapa Emi tanya soal ibunya. Bukankah kamu ibunya?

“ Kalau dia tahu aku ibunya, dia tidak akan mau berpisah denganku. Jadi selama ini aku cerita bahwa aku ibu asuhnya”

“ Mengapa ? Aku tetap tidak bisa percaya.

“ Emi milikmu, Angga. dan kamu membayar semua kebutuhannya termasuk jasa saya merawat dia." 

“ Berapapun bayaran tidak akan cukup dibandingkan cinta yang kamu berikan untuk Emi selama  membesarkannya” 

Ayumi hanya diam. Aku tahu dia pasti menangis. Aku membayangkan betapa berat bagi Ayumi harus berbohong demi menuntaskan tanggung jawabnya agar dia bisa mengirim Emi kepadaku. 

“ Maafkan aku, Angga”

“ Ya udah. Nanti aku selesaikan masalah ini. “Kataku kembali ke meja makan. “ Ibumu ada dihatimu selalu.Yakinlah. “Kataku membelai kepada Emi.

“ Boleh saya anggap Ayumi ibu kandungku.?

“ Tentu boleh sekali.”

Suasana hening. Begitu banyak kekakuan terjadi dihadapan putriku sendiri. Entahlah. Inikah harga yang harus kubayar karena tidak pernah dekat dengan dia.

“ Gimana dengan rencana sekolah mu.” Kataku

Emi memperlihatkan surat panggilan dari Universitas. “ Ke London. Cambridge university ? Seruku.

Emi mengangguk. 

“ Kamu terima? 

Emi mengangguk.  “ Boleh kan Papa? katanya dengan nada kawatir.

“ Tentu boleh. Papa bangga sekali. Papa akan siapkan biaya kamu ke London, dan juga tempat tinggal kamu.” 

Emi langsung berdiri dari tempat duduknya dan merangkulku. Dia senang sekali. “ Tetapi aku ingin Ayumi juga ikut aku, tinggal bersamaku ke London. Boleh kan Papa.”

“ Boleh. Mengapa ?

" Ayumi selalu bercerita betapa dia bangga aku punya ayah yang selalu mencintaiku dan dia harus menjagaku dengan segenap cintanya agar dia bisa melaksanakan tugasnya dengan baik dan menyerahkan aku kepada Papa setelah tamat SMU. Karena itu izinkan aku memanggilnya ibu dan menemaniku”

“ Kamu udah gede, kan harus mandiri, sayang”

“ Dari kecil aku selalu dijaga Ayumi. Aku belum siap berjauhan dengan Ayumi.” Wajahnya nampak mendung. Aku luluh. Ternyata cintanya kepada Ayumi tertanam begitu kokoh walau dia tahu bahwa Ayumi bukan ibu kandungnya.

“Ya. Udah. Boleh. Ayumi akan ikut kamu. Ayah akan siapkan segala galanya. Apalagi?

" Setelah aku tamat kuliah dan bekerja, boleh Ayumi  tinggal bersamaku."

" Boleh , tapi mengapa ?

" Aku ingin merawatnya seperti dia merawatku sedari kecil. Boleh ya Papa?.."

' Boleh !" aku memeluk Emi dengan erat. Biarlah waktu nanti akan bercerita. Ada saatnya nanti aku akan cerita bahwa Ayumi adalah ibu kandungnya sendiri. 

***
Tahun 2007. Hong Kong. Kami jalan kaki menyusuri pinggir dermaga di  pagi hari. “ Emi,  sudah sarjana ,sebentar lagi akan menikah. itu pasti. “ Kata Ayumi.

“ Ya, Dia sudah cerita soal pacarnya” Kataku. Mengajak Ayumi duduk di korsi taman menghadap dermaga. 

“ Tidak terasa telah 24 tahun kebersamaan kita. Itu terhitung sejak kali pertama aku mengenal kamu.” Katanya. Dia menatapku dari samping. Wajahnya nampak menua. Kami saling bertatap.

“ Angga..” katanya menyentuh pipiku dengan kedua telapak tangannya. “ Kamu adalah pria yang pertama dan terakhir dalam hidupku. Selama bertahun tahu kehadiran Emi melengkapi hidupku. Seakan kamu selalu hadir bersamaku. Dalam diri Emi ada kamu, dan itu selalu membayang dalam setiap aku memandang Emi. Kututup jendela hatiku dari semua pria. Mungkin aku bisa mencintai orang lain, tetapi tidak akan pernah sesempurna aku mencintai Emi dan kamu, Angga.”

“ Tapi mengapa dulu kamu tinggalkan aku ?

Ayumi terdiam. Dia melepas kedua telapak tangannya dari pipiku. 

“ Aku tahu pernikahan kita tidak direncanakan. Aku tahu kamu ketika itu belum siap. Dan kamu tidak mencintaiku dengan sesungguhnya. Aku memang salah. Tapi jauh lebih salah bila aku membebanimu dengan hidupku dan Emi. Apalagi ketika itu kamu masih sangat muda sekali”

“ Dan kamu pergi tanpa bersalah karena itu?

“ Aku tidak sanggup mengucapkan goodbye bila harus menatapmu, Angga. Tapi aku harus pergi. Jangan tanya bagaimana perasaan hatiku ketika harus berpisah dengan orang yang aku cintai. Berat sekali, Angga. “ Yaumi menangis.  Aku bisa memakluminya. Aku tahu Mi sangat mencintaiku.

“ Dan mengapa akhirnya kamu mencariku dan Emi? tanyanya.

“ Kamu engga bisa bayangkan bagaimana rasanya menjadi utuh sebagai seorang pria. Itu kurasakan ketika kamu melahirkan Emi. Itu kali pertama dalam hidup aku merasa sangat diandalkan oleh Tuhan untuk mendidik seorang anak manusia. Aku merasakan menjadi pria itu bukan hanya berkah tetapi juga kehormatan ketika kita bisa diandalkan sebagai ayah dan suami. Itu sebabnya aku bekerja keras siang malam dan berdoa kepada Tuhan agar aku dapat kesempatan bertemu dengan putriku, dan tentu kamu”

Yaumi terdiam. Dia menatap arah dermaga.. Pandanganya jauh. Seakan ingin menggapai ujung langit. “ Sampai kini kamu selalu ada disaat aku dan Emi membutuhkan. Semua masalah Emi kamu selesaikan dengan sempurna. Tetapi mengapa kamu tidak ingin dekat dengan Emi?  katanya tanpa menatapku. Seakan dia tidak siap menerima jawabanku.

“ Aku ingin Emi lebih dekat kepadamu. Dan aku ingin Emi jadi tongkatmu di masa tuamu. Itulah harapanku sesungguhnya kepada  Emi.”

“ Hanya aku alasannya.?

" Ya. Kalau Emi mencintaimu dan menjagamu hidupnya aka selamat. Tuhan akan menjaganya. Itulah keyakinanku, dan juga harapanku untuk putriku" 

" Aku maklum walau kamu kurang kebersamaan dengan kami, namun dengan perbuatanmu aku merasakan cintamu begitu sempurna.”

“ Aku mencintai mu dan Emi karena Tuhan, Mi. Kita bertemu karena Tuhan dan berpisahpun karena Tuhan. Dan akhirnya kita tetap saling menjaga juga karena Tuhan, ya kan” 

Ayumi merebahkan kepalanya di dadaku. “ Terimakasih Angga. Malam kemarin luar biasa sekali. Aku bisa rasakan , cintamu tidak pernah berkurang sedikitpun." Katanya dengan tersenyum malu, wajah merona. Teringat dulu sebelum kami menikah, ketika aku sakit, Mi lah yang merawatku. Ketika dia pergi tanpa pamit, dia tinggalkan uang di dalam lemari kamar. Itu uang tabungannya selama bekerja. Dia tahu betul impianku untuk mendiri tapi terkendala modal. Dia tahu betul aku tidak nyaman dengan pekerjaanku sebagai salesmen. Dia ingin aku sukses dalam bisnis tanpa harus dibebani dia dan Emi. Ya, bagaimanapun itu sudah masa lalu. Ayumi sudah membuktikan cintanya kepadaku dan aku bersyukur mendapatkan wanita yang benar benar mencintaiku, dan selama hidupnya berkorban untuk itu.   “ Terimakasih sudah mendidik Emi , menjaga Emi dengan baik dan luar biasa.” hanya itu yang dapatkan kukatakan. 

“ Hari ini aku kembali ke Tokio bersama Emi. Bulan depan, Emi akan kembali ke London. Dia dapat kerjaan di sana.” 

“ Jaga diri kamu baik baik. Terimakasih,Mi “ 

Ayumi menatapku dan memelukku erat seakan tidak  ingin berpisah denganku. Pagi di dermaga itu begitu sunyi.  Suara kapal melenguh tanda akan lepas dari dermaga menuju samudra. Ya sebentar lagi Mi dan Emi akan pergi dariku, untuk menjalani hidupnya tanpa aku...namun doaku akan selalu ada untuk mereka berdua..

Kelas Menengah di Indonesia.

  Saya datang ke Cafe itu dengan agak males. Karena ini cafe anak muda yang ada di jantung kota di puncak office tower. Entah mengapa Alisa ...