Hari jumat usai sholat maghrib. Saya sempatkan bertemu dengan anak muda. Dia mahasiswi. “ Saya suka baca blog bapak. Itu dasar saya jadikan bapak sebagai narasumber saya dalam TA. “ katanya dalam email. Saat bertemu dia mau cium tangan saya tetapi cepat saya jabat tanganya dengan tersenyum. Saya layani dia di CafĂ©.
“ Apa yang mau ditanya? Kata saya setelah usai ramah tamah. Saya tanya nama universitasnya dan kelurganya.
“ Saya tergugah dengan buku Indonesia paradox yang ditulis oleh Pak Prabowo. Esensi tulisannya memang soal keadilan ekonomi. Apa yang salah dengan negeri kita, pak. Mengapa sudah lebih 75 tahun, kita belum juga bisa mencapai masyarakat adil dan makmur. Padahal kita banyak orang pintar dan terpelajar. Hampir semua literasi ekonomi dunia kita pahami. Dan dari 7 presiden yang kita punya, semua orang baik. Saya ingin tahu sudut pandang bapak sebagai praktisi bisnis yang hidup sejak era Soekarno. “ katanya.
Saya terdiam. Di hadapan saya. Ada anak muda yang sedang mencari identitas dan tempat berpijak. Engga elok kalau saya menyampaikan hal yang ideal. Karena hidup memang tidak ramah. Tidak ada yang ideal kecuali nanti di Mahkamah Tuhan. Namun ikut larut mengadili kesalahan, juga tidak bijak. Karena kebenaran absolut juga tidak ada. Justru itu tidak mendidik dan tentu tidak menyehatkan secara kejiwaan.
“ Dulu ..” kata saya mulai bicara. “ waktu kita proklamasikan kemerdekaan. Ekonomi Pancasila diperkenalkan oleh Hatta. Namun hanya berupa pokok pokok pikiran dengan dilatar belakangi kegagalan ekonomi kapitalis klasik dari Adam Smith. Itu dibuktikan dengan krisis demi krisis terjadi. Dalam tataran filsafat, ekonomi Pancasila memang ideal. Beranjak dari budaya Indonesia yang terikat dengan patron dan clients dalam mengatasi masalah keseharian lewat gotong royong. Namun sebenarnya esensi dari ekonomi Pancasila itu yq kritik terhadap ekonomi klasik. Konsep akademisnya tidak jelas. Baru tahun 2022, pemerintah melalui BRIN mulai Menyusun naskah akademis ekonomi Pancasila.
Sementara sampai dengan tahun 1969 kita tidak membangun ekonomi secara terstrukur. Maklum kita baru merdeka secara yuridis formal dengan adanya pengakuan PBB tahun 1950 atas dasar resolusi PBB No. 56. Sejak tahun 1950 sampai 1969 kita sibuk mengahadapi pemberontakan demi pemberontakan. Puncaknya tahun 1965 dengan adanya G30S PKI.
1966 Orde baru resmi berdiri. Para sarjana yang ada di luar negeri kembali ke tanahair, seperti Soemitro Djoyohadikoesoemo, yang kemudian dikenal sebagai arsitek ekonomi orde bau. Namun pemerintah baru bisa legitimate setelah pemilu 1971.
Pak Harto tanya kepada Pak Soemitro. “ Apakah kita akan terapkan ekonomi Pancasila ?
“ Ya. “ kata Pak Soemitro. Sebenarnya secara makro Soemitro terapkan system ekonomi Keynes. Maklum dia memang sosialis sejati. Tentu dia ingin ekonomi seperti Keynes. Bahwa negara harus hadir menjaga atau mengendalikan ekonomi dan pasar. Pak Harto engga penting soal teori siapa. Yang penting sesuai dengan prinsip Pancasila.
Tapi karena pak Harto ini seorang dengan latar belakang Perwira Militer. Dia terbiasa berpikir strategis. Maklum perwira tinggi dilatih berpikir strategi untuk memenangkan perang dengan terbatasnya sumber daya. “ Gimana strategi mencapai tujuan Pancasila. Sementara SDM masih tradisional dan modal terbatas “ tanya Pak Harto.
“ Oh itu mudah pak. Kita terapkan pembangunan bertahap lima tahunan. Tahap pertama, kita focus membangun ekonomi rakyat dengan target swasembada pangan. Agar mayoritas penduduk yang bekerja secara tradisional pada sector pertanian dan nelayan bisa bangkit menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Negara harus lead secara terprogram membangun dan pada waktu bersamaan menjami ketersediaan pangan.
Tahap kedua. Sambil terus membangun swasembada pangan, kita sudah mulai mengarah kepada ketahanan pangan dalam jangka Panjang, dengan membangun industir hulu. Ya kita bangun pabrik pupuk. Bangun pabrik baja agar mesin pertanian bisa dibuat. Pertamina di-revitalisasi dengan membangun kilang minyak agar kita tidak perlu impor BBM. Tujuannya agar transfortasi produk pertanian bisa efisien
Tahap ketiga. Kita moderenisasi jaringan perdagangan international. Dengan memperkuat BUMN Niaga seperti Pancaniaga, Kerta Niaga dan lain lain. Tujuannya agar kita bisa mendapatkan nilai tambah dari ekspor komoditas pertanian dan mendapatkan produk pangan yang murah.
Tahap 4. Sector pertanian sudah tangguh untuk siap masuk ke era manufaktur dan industry. Maka kita buka investasi swasta dan asing untuk tahap awal membangun industry substitusi impor dan terus bangun sector perbankan agar bisa menjadi sumber daya keuangan saat kita masuk era industrialiasi
Tahap 5, kita mulai masuk ke tahap pembangunan industry berientasi ekpspor. Nah itu lima tahap pembangunan selama 25 tahun.
“ Setelah itu” tanya pak Harto.
“ Ya kita take off “ kata Soemitro. Pak Harto langsung setuju.
Apa yang dikatakan Soemitro yang kemudian dikenal dengan REPELITA sebenarnya mengadopsi teori ekonomi WW Rostow, yang dikenal dengan “ the stage of economy Growth”. Dia memang Keynesian. Untuk bisa terlaksana teori itu maka negara harus jadi sumber daya keuangan. Pemerintah jadikan BI hanya sebagai alat mengatur moneter dan kasir pemerintah. Kebijakan ada pada Menteri keuangan sebagai otoritas moneter.
Lima tahapan itu memang sukses dilaksanakan Pak harto. Tahun 1984 kita berhasil keluar dari ketergantungan impor pangan menjadi swasembada pangan. Pertanian dengan dukungan jaringan Koperasi seluruh Indonesia sudah menjadi Lembaga yang Tangguh untuk menjamin sustainable growth. Peran Bulog semakin strategis sebagai penyangga pasar.
Semua industry substitusi impor dia bangun. Tahun 1971 Pertamina di revitalisasi sebagai distributor dan pusat logistic BBM. Kilang minyak dibangun, Pemerintah juga bangun Pabrik pupuk, Petrokimia, Pabrik baja, dan termasuk industry strategis. Selesai. Hanya proses itu tentu ongkos nya sangat mahal. Negara kedodoran menyediakan uang. Pendapatan devisa kita terbatas. Sementara pajak juga sangat rendah.
Ketergantung terhadap utang luar negeri sangat besar. Memang kita tidak menerbitkan SBN tetapi lewat pinjaman bilateral dan. Multilateral. Tentu utang itu tidak free of lunch. Ada trade off nya berupa pemberian konsesi bisnis kepada asing mengeksploitasi SDA. Namun hasilnya tidak berdampak luas terhadap tumbuh nya industry domestic. Nilai tambah semua untuk asing. Sementara Bagi Hasil SDA tidak significant untuk mengcover dukungan pembiayaan sektor industry dan manufaktur.
Terpaksa pada Repelita 5 dan 6, pak Harto melonggarkan pembukaan bank baru dan memberi akses bank berhutang ke luar negeri dengan jaminan BI. Ya hanya lima tahun utang luar negeri lebih besar dari Cadev. Ya tumbang lah rupiah dan berdampak sistemik. Krismon terjadi. Tetapi karena pertanian kita Tangguh. Kebanyakan rakyat justru diuntungkan dari adanya krismon itu. Produk pertanian naik harganya berlipat. Banyak yang OKB justru petani kopi, lada dan cengkeh. Yang krisis pemeritah bukan rakyat.
Saya terdiam sebentar. Menatap dia dengan sejurus yang sedari tadi asik menyimak. “ Apa yang dapat kita pelajari dari orde baru. “ tanya saya.
“Hanya 10 tahun kebebasan ekonomi diserahkan kepada dunia usaha, langsung terjadi moral hazard, KKN dan tidak lagi terkendali. Sehingga puncaknya terjadi krismon. Kalaulah Pak Harto tetap pertahankan system ekonomi Keynesian, tentu sekarang kita lebih hebat dari China. “ Katanya.
“ Tidak ada yang salah dengan teori Keyness dimana peran negara harus kuat dan tentu juga tidak ada yang salah dengan strategi pembangunan, yang tentu banyak hal yang dikorbankan untuk mencapai tujuan. Yang salah itu adalah attitude dari elite dan pelaku ekonomi yang memanfaatkan program pemerintah itu untuk kepentingan pribadi. Padahal itu semua berasal dari negara. Seharusnya kan untuk kepentingan nasional “ Kata saya.
" Nah sekarang kita lanjut." Kata saya. Dia tersenyum seraya teguk juice lemonnya. " Tahun 1998 sampai tahun 2004. Kita lakukan serangkaian reformasi. Belajar dari kesalahan orde baru dimana BI dibawah otoritas pemerintah. Penyebabnya krisis bukan teori yang salah. Yang salah peran BI tidak independent. Makanya setelah tahun 1998 dibuatlah UU independensi BI tahun 1999 dan tahun 2004.
Timbul lagi masalah. Era SBY, Orang kaya baru (OKB) bertambah karena maraknya bisnis batubara dan sawit. PDB meningkat 3 kali lipat. Banyak uang parkir di luar negeri. Apa pasal? Para OKB justru menggunakan kelebihan uang itu lewat instrument investasi asing. Karena acuan bunga deposito adalah SBI. Itu tidak menarik. SBI itu bukan alat investasi. Hanya sebagai alat pengendali inflasi. Dampaknya kepada kurs rupiah secara berlahan lahan terus melemah. Keseimbangan primer negatif. Artinya pendapatan setelah dipotong belanja, engga ada lagi uang untuk bayar bunga dan cicilan utang.
Era Jokowi pada periode pertama. Pemerintah menarik investasi swasta yang ada diluar negeri itu lewat instrument SUN. Caranya? suku bunga harus lebih tinggi dari surat berharga asing. Ya kalau air mengalir ke bawah. Uang mengalir keatas bukan ke bawah. Kemana bunga tinggi kesanalah uang mengalir. Kemudian diadakan tax amnesty agar uang parkir milik WNI di luar mudah mengalir masuk. Tetapi ternyata upaya itu tidak efektif. Mengapa? Pertimbangan orang bukan hanya suku bunga tetapi juga volatile kurs rupiah terhadap valas. Makanya pada waktu bersamaan agar kurs bisa dikendalikan, BI mengeluarkan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR).
Maka sejak itu terciptalah surat utang negara sebagai alat investasi. Bukan lagi alat pengedali inflasi. Moneter kita sudah dikudeta oleh pasar. Nah ini udah nyimpang dari Keyness. Tapi masuk ke neoliberal, dari Milton Friedman. Yaitu memanjakan orang kaya lewat instrument investasi. Sejak itu SBN dan SUN jadi solusi pemerintah untuk ongkosi APBN yang defisit. Semakin besar defisit semakin besar ketergantungan pemerintah kepada utang dan semakin besar hegemoni pasar.
Walau SBN itu lebih banyak di beli oleh investor local. Namun struktur kepemilikan tetap aja asing di belakang sebagai penggerak likuiditas SBN. Apalagi dengan adanya kebijakan QE The Fed membuat likuiditas banjir. Likuiditas SBN juga meningkat. Kerjasama BI dan Pemerintah terjalin apik. Namun sejak adanya kebijakan taper tantrum the fed tahun 2022, suku bunga the Fed terkerek naik. BI kedodoran dapatkan dana lewat pasar uang untuk menjaga volatile kurs IDR.
Maka tahun 2023, BI keluarkan instrument SRBI. Bunganya lebih tinggi dari bunga the fed. Berharap capital outflow tidak terjadi. Kurs bisa dikendalikan. Namun itupun engga efektif. Apa pasal? Pemerintah juga keluarkan SBN menarik uang di pasar dengan bunga tinggi. Nah desember 2023, BI mengganti BI7DRR menjadi BI-Rate. Maka kita masuk debt trap pasar bebas. Main di pasar lah. Kalau bunga fed tinggi, ya BI-Rate harus lebih tinggi. Kalau engga, capital out flow terjadi. Rupiah bisa tumbang.
Apa yang terjadi sekarang? Surat utang negara maupun BI, sudah berperan sebagai alat investasi dan yang menyedihkan itu hanya sebagai alat menjaga stabilitas kurs bukan sebagai alat pengendali inflasi dan ekspansi sektor real. Praktis peran negara lumpuh dan dirantai tangannya. Siapa yang diuntungkan? Ya orang kaya yang jumlahnya sangat sedikit, mungkin tidak lebih 1000 orang, yang uang mereka dikelola oleh fund manager kelas dunia. Kalau kebijakan diubah dan anti pasar, ya dalam semalam uang bisa eksodus, yang bisa berdampak sistemik. Prabowo engga mau itu terjadi, Dia butuh stabilitas. Makanya dia pertahankan SMI “ kata saya.
" Sehebat apa SMI itu sehingga punya bargain kuat di hadapan politik? Padahal dia bukan politisi. Dan apa mahzab ekonomi dia.?
" SMI itu kalau dianalogikan dia sebagai commitment holder. Orang yang pegang komitmen menyediakan dana utangan kepada Presiden. Berapapun presiden punya program belanja, dia siap menyediakan uang kalau APBN defisit. Dan dia punya power terhadap sumber daya kuangan. Nah ini juga menjawab pertanyaan, apa mahzab nya. Ya ekonomi neoliberal " Kata saya.
" Kalau dipertanyakan pertumbuhan ekonomi yang tidak significant terhadap peningkatan utang . SMI selalu membandingkan dengan negara lain. Malaysia, utangnya naik sebesar US$69,5 miliar. Sedangkan PDB hanya naik US$48,9 miliar. Atau Thailand, naik utang US$86,1 miliar, PDB hanya naik US$29,6 miliar. Dan, Tiongkok menaikkan utangnya US$6,11 triliun, PDB hanya naik US$4,25 triliun. Dalam hal ini Indonesia lebih baik. Karena setiap kenaikan 1 dolar AS utang pemerintah, menghasilkan kenaikan PDB nominal 1,34 dolar AS." Katanya.
" Tapi ada satu hal yang mungkin lupa. Sejak era Soeharto sampai SBY tidak pernah di-revaluasi asset kita. Bahkan asset negara tidak tercatat dengan baik. Nah di era Jokowi, BMN, termasuk BUMN di-revaluasi. Ya kalau ketemu angka tinggi, itu wajar. Yang namanya revaluasi kan angka appraisal. Tentu tidak otomatis kenaikan PDB itu lantas membuat kita Makmur sebagaimana ukuran negara G20. Engga juga begitu. Dari segi kualitas jelas dibawah Thailand, Malaysia, apalagi Tiongkok. " Kata saya.
" Mengapa ?
" Kita memang rezim neolib yang berfocus kepada peningkatan PDB secara akuntansi, agar semakin besar kita bisa berhutang dan mempertahankan demand agregat lewat ekspansi APBN. Sementara Thai, Malaysia, Tiongkok, mereka engga ada urusan dengan revaluasi. Karena memang utang bukan tujuan meningkatkan PDB agar bisa terus berhutang. Tetapi mereka focus bagaimana utang bisa menghasilkan kesejahteraan bagi semua. Ya beda mahzah dengan kita.
Jadi bisa dipertegas, bahwa Neolib itu adalah simbiosis utang dan disiplin anggaran. Tujuannya bagaimana meningkatkan PDB. Semakin tinggi PDB semakin besar peluang berhutang. Makanya belanja APBN terus dipompa. Yang jadi focus adalah bagaimana memfasilitasi financialisasi ekonomi. Misal bagaiman mengubah SDA jadi asset financial dan lain lain. Makanya perlu ada UU Cipta kerja. Rezim neoliberal ini menggantikan rezim Keynesian. Kita tahu, Keynesian berorientasi kepada kesejahteraan bagi semua. Neolib lebih kepada kesehteraan bagi pemodal. Selagi itu dijaga maka APBN akan sustain. " Kata saya.
" Pemerintah selalu mengatakan bahwa rasio utang terhadap PDB kita lebih rendah dibandingkan negara lain." Katanya.
"Pemerintah benar. Engga salah. Tetapi pemerintah engga jujur mengatakan adanya perbedaan system akuntansi hufang dengan negara lain. Kita menganut cash basic. Sementara negara lain menerapkan accrual basic. Kan engga apple to apple. Nah utang kita yang bersifat akrual itu jumlahnya jauh lebih besar dari utang yang tercatat pada perhitungan cash basis APBN. Kalau ditotal semua utang itu, ya rasio utang terhadap PDB udah diatas 100%. " Kata saya.
“ Tapi kalau lihat indikator utang on balance sheet dan off balance sheet udah sangat mengkawatirkan. Seperti prologh kejatuhan orde baru. Saat tangan negara dirantai, dunia usaha diberi kebebasan, saat itu juga terjadi moral hazard dan selalu yang diuntungkan segelintir orang. Dan kalau terjadi krisis, tentu lebih buruk dari tahun 1998. Karena sekarang sector pertanian kita hancur. Bahkan pangan kita tergantung impor. Daya beli drop. “ katanya. Saya senyum aja. Senang dia bisa menarik benang merah dari apa yang saya sampaikan.
“ Bahwa sudah takdir kita sebagai bangsa engga bisa ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada pemodal, apalagi oligarki. Culture dan struktur sosial kita memang terikat dengan patron. Kalau itu terlepas, maka rakyat lemah akan diexploitasi oleh kekuatan modal. Dan karena modal pula politik keperbihakan akan dikebiri. “ Kata saya.
“ Artinya rakyat harus cerdas seperti China mencerdaskan rakyatnya dan itu karena pemerintah juga cerdas mengelola kepentingan modal tanpa mengorbankan rakyat. Kuncinya ada pada penegakan hukum yang equal before the law” Katanya. “ Apakah Pak Prabowo menyadari ini?.
“ Menurut saya dia sangat paham. Apalagi proses dia jadi presiden itu tidak mudah. Kalaulah tidak punya cita cita luhur engga mungkin dia bisa bertahan melewati kegagalan demi kegagalan. Dan lagi dia dibesarkan oleh ayahnya yang dikenal sebagai arsitek ekonomi orde baru. Tentu dia akan kembalikan ekonomi kepada esensi Pancasila, dimana negara harus lead dalam bidang ekonomi demi tercapainya keadilan sosial. Engga bisa lagi diserahkan sepenuhnya kepada pasar yang dikomandani oleh jaringan oligarki. “ Kata saya.
“ Hanya saja masalahnya kapan dia akan arahkan Haluan kapal ke dermaga harapan Pancasila itu. Dan bagaimana dia memulainya. “ Katanya. Dia lihat ke hape nya. " Pada semester pertama 2024. AFLN sebesar 491,5 miliar dolar AS dan posisi KFLN sebesar 738,7 miliar dolar AS. Maka selisihnya PII netto sebesar USD 247 miliar, Itu negative. Artinya kan collateral rupiah dari modal asing. Bukan surplus neraca. Apa jadinya kalu asing call asetnya katakanlah USD 50 miliar aja. Ya tumbang rupiah. Bisa jadi sampah. Jadi sebenarnya kita duduk diatas bomb waktu. Yang kapanpun bisa meledak. Faktor eksternal itu sudah jadi alat hegemoni atas kedaulatan kita sebagai bangsa. " Katanya. " Kita kawatir terlambat pak..." Lanjutnya dengan tatapan kosong. Saya senyum aja.
“ Itu pertanyaan yang sulit dijawab sekarang. Kita lihat aja nanti. “ kata saya. " Jam 7 lewat. Saya harus pulang. Kamu lanjut aja makan. Saya sudah bayar bill nya. " Kata saya dan dia tersipu malu ketika saya sisipkan uang ketangannya 3 lembar pecahan USD 100. " Engga usah malu. Kamu masih kuliah. Belajar yang rajin ya. Nanti lulus ikut Babo ya." kata saya. Dia acungkan jempol saat saya akan berlalu