Thursday, May 07, 2020

Pilihan...

Menjelang tahun baru aku stuck di Beijing. Sebentar lagi akan berganti tahun 2006.  Aku terkurung dalam kesendirian di Panninsula Hotel Beijing. Salju berjatuhan mengiringi kedatangan tahun baru. Sepanjang malam, aku termenung dalam melankolia. Dari jendela kamar hotel, aku lihat jalanan kota ramai. Kendaraan bergerak berselambat. Malam semakin larut. Tahunpun berganti. Bebunyian yang tersisa hanya deru kendaraan malam. Yang terlambat bangun. Yang melintasi malam bersama kerahasiaan tentang tujuan. Perjalananku sendiri lamat saja. 

Belum pernah kurasa amat sepi. Malam ini, kota seakan lelah, sebagaimana aku yang masih bertarung dengan waktu menggapai asa. Perjalanan hidupku mengajarkan tidak bisa tergesa gesa. Pelan adalah keselamatan. Menekuri ketelitian. Menghindari bakhil yang celaka. Semenjak beberapa tahun lampau. Ketika aku masuk dalam dunia bisnis. Aku tidak pernah tahu apa itu ulang tahun. Waktu aku habis dalam rapat bisnis, menganalisa setiap peluang, mencari solusi dan bersikap awas terhadap segala kemungkinan. 

Bulan mendengkur. Aku mendengarnya. Aku selalu dapat mendengar dengkurnya yang keras menggaung di antara awan dan gedung tinggi. Bulan selalu tertidur selepas tengah malam. Bosan barangkali. Lelah juga mungkin. Tapi kau selalu mengatakan, ”bulan bukan bosan. Ketika kota hening, ketenangan akan membiusnya.” Tak setuju benar aku perihal itu. Tapi memang keheningan selalu dapat membius. Keheningan adalah jenis racun dengan wujud yang lain.

Selalu, kuingat semua tentang kita, Suci. Awal phase kehidupanku yang tak henti terjerambab, bangkit dan kembali terjerembab. Kadang membuatku masuk dalam lobang gelap tak bersinar. Terkurung dalam sepi dan teracuhkan orang banyak. Kalaulah tanpa kesabaran yang dibekali oleh Tuhan dalam jiwaku, rasanya sudah lama aku ingin akhiri hidupku. Kesabaran itu lahir dari kekuatan. Kekuatan itu sendiri tercipta karena kepercayaan yang kau berikan, Suci. Aku tidak pernah takut dan kawatir akan hidupku. Itu berkat sabar, berkat Tuhan mengirim kau.

“ Aku ingin punya rumah besar, Mobil mewah dan semua hal yang wah “ katamu setelah tiga bulan kita saling kenal. Aku sempat mentertawakan dirimu. Bagaimana pedagang teh botol kaki lima bermimpi seperti itu. “ karenanya aku harus dapat suami yang bisa memenuhi keinginanku.“ Katamu lagi. Aku tersentak. Saat itu aku perhatikan dengan seksama wajahmu. Sebetulnya kamu cantik, tetapi karena kemiskinan kecantikan itu berkabut. Entah Pria kaya mana yang mau perhatikan wajah dibalik kabut itu. Tapi aku bisa meliatnya, saat itu.

Kamu dan aku, orang kampung. Walau matamu sipit, kamu tetap orang kampung yang datang ke Jakarta menambah daftar kemiskinan. Kita bertemu di tengah debu jalanan. Aku harus berpeluh menyusuri kota sebagai salesman. Sementara Kamu harus duduk di pojok tangga pasar sepanjang hari menjual teh botol. Dalam lelah tanpa ada satupun prospek pembeli, kamu memberiku teh botol tanpa meminta uang kepadaku. Ketika aku bingung bayar uang kuliah , kamu memberikan uang tabunganmu. Ketika aku sakit, kamu menjengukku dan merawatku dengan uangmu. Kamu terlalu baik, Suci.
“ Aku harus berhenti kuliah. Ini membosankan. Aku tidak butuh titel. Tidak Ci.” Itu kataku suatu ketika setelah setahun hubungan kita yang semakin dekat.

Kulihat Suci terdiam dalam keterkejutannya. Dia hanya menahan kecewanya dengan menundukkan kepala.  Apakah Suci setelah ini akan pergi meninggalkanku. Mungkinkah itu ? oh, Jangan Suci. Kalau kau benar benar mencintaiku , tolong juga maklumi pilihanku. Ya, kan. Suci tetap diam. Benarlah setelah diam nya beberapa saat, diapun pergi. Tinggal aku sendiri. Banyak hal yang ingin kujelaskan kepadamu , Suci tapi apakah kamu bisa mengerti. Tentu kamu bisa mengerti karena kamu cukup cerdas dan memahami perasaanku terdalam. Benar katamu bahwa jadi sarjana dan kemudian jadi PNS adalah pilihan yang aman. Dan lagi Pegawai negeri adalah profesi mulia dan hanya segelintir orang saja yang bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang pejabat. Masalahnya aku tak ingin menjadi segelintir orang itu ? Aku ingin menjadi orang kebanyakan. Tentu banyak profesi yang bisa dikatakan mulia. Bukan hanya PNS. Mei seakan membantah itu. Seperti dialogh ku sebelumnya dengannya.

“ Ya Hidup sebagai pengusaha juga tidak lebih buruk. Memang tidak sehebat PNS tapi setidaknya penghasilannya lebih besar dibandingkan PNS dengan sepuluh tahun pengalaman kerja. Kita bisa bebas dan merdeka untuk tidak dibawah kendali orang. Apakah ada yang lebih baik hidup ini selain kemerdekaan itu sendiri. ? “

"Memulai bisnis bukan hal yang  mudah. Siapa kamu? Kamu terlahir dari keluarga miskin. Jangan terlalu bermimpi.Hadapi kenyataan” Itulah yang selalu diulang ulang oleh Suci. 

Tapi pikiranku sudah bulat. Berhenti kuliah. Mungkin Suci juga berhenti menjadi kekasihku. Sakit dan sangat menyakitkan kehilangan orang yang dicintai hanya karena perbedaan prinsip. Bukankah cinta itu alat ampuh untuk saling memaklumi dan meredam perbedaan, apalagi soal prinsip. Ya, keliatannya hubunganku dengan Suci tak lebih hubungan percintaan ala kapitalis. Selagi tidak menguntungkan sesuai pemikirannya maka hubungan tak perlu dilanjutkan.  Aku yakin Suci tidak akan merasa berdosa , apalagi kecewa bila harus menjauh dariku.  Tapi bagaimana denganku ? 

Benarlah beberapa minggu kemudian, Suci tidak lagi nampak berjualan di pojok pasar. Behari hari ku nanti kedatangannya di pasar itu, tetapi dia tidak pernah nampak lagi. Kudatangi tempat tinggalnya, menurut tantenya dia kembali ke Pontinak. Mungkin menikah. 

Sejak itu aku tak ingin lagi mencari wanita lain. Aku lebih focus dengan bisnis yang sedang kurintis. Kalau ada wanita yang bersedia dengan keadaanku, maka itulah jodohku. Siapapun itu. Tak penting cantik seperti Suci.

***
Aku melangkah keluar kamar. Menuju cafe and Bar Panninsula Hotel. Tahun telah berganti. Suasana cafe masih ramai pengunjung. Mataku mengarah ke table dimana seorang wanita duduk sendirian. Jantungku terasa berhenti. “ Kau…” desisku tertahan saat menatapnya. Perempuan yang barusan ada dalam lamunanku. Setelah 24 tahun tak bersua. Telunjukku tiba-tiba layu saat dia tersenyum kearahku.  Suci kini ada dihadapanku. Ya Suciku. Tatapan mata kami begitu teduh. Begitu lembayung. Butir-butir air mata Suci menepi di antara kelopak. Berderai di pipinya yang ranum. Jatuh satu-satu bagaikan salju. Butir air mata itu menyelam di genangan bola mataku yang terdedah sedari tadi. 

Suci memelukku dan merebahkan kepalanya didadaku. Hangat. Aku hanya diam tanpa ada keberanian membalas pelukannya. Aroma rambutnya begitu semerbak. Bukan itu, tapi itu aroma yang dulu pernah hadir dalam hidupku...dulu sekali. Kutatap kedua bola matanya bergantian. Sorot matanya masih nyalang. Berbunga-bunga. 
“ Kamu sehat, Ci “
Suci tersenyum. Mengangguk beberapa kali. Bola matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sebuah sapaan mesra.

Aku berkaca di bola matanya yang bening. Masih begitu bening. Aku menatap diriku dalam tiupan angin petang bagai alunan gazal yang lembut. Sayatan biola tua yang mendayu-dayu. Aku merasa sudah begitu tua. Tapi sapa lembut Suci bagai mengelupaskan kerutan-kerutan di keningku.

”Apa yang masih kau ingat?” bisiknya dengan irama rendah. Menyayat-nyayat. Mataku kian terbuka lebar saat menyaksikan banyak lukisan, kata-kata, rekaman, dan irama berloncatan dari bola matanya. Tiap helaan napasku bagai memutar kenangan di sebuah layar seluloid yang usang. Warnanya lembayung kecoklatan. Sudah terlalu lama rekaman-rekaman tersebut mengendap di bola mata itu.

Di Beijing menjelang pagi, 24 tahun kemudian, kami bersua. Bak seekor burung yang bersayap lembayung pula terbawa angin yang mengantarkan dirinya padaku. Dan aku pun bagaikan sebuah ranting kayu mendedahkan diri tempat berhinggap bagi dirinya. Tentu saja, ia agak lelah karena bertahun-tahun terbang menembus gumpalan awan dan tabir masa silam yang tertinggal jauh.

”Kau nampak masih berlum terlalu tua…” sapanya.

”Udah diatas 40 usiaku. Tepatnya 43 tahun. Dan kau juga masih tetap cantik ?” Kataku. 

Ia menggeleng. 

”Aku tidak muda lagi. udah 40 tahun…” katanya dengan senyumnya yang dulu. Tak berubah.

”Semua kita menua, Ci” sambutku meyakinkan dia semua orang menua namun persahabatan tak akan lekang oleh waktu.

”Aku kangen, kamu. Kangen sekali..?” ucapnya mengangkat alis kiri yang kian memperlihatkan kemanjaan yang pernah kurasakan di masa-masa yang sudah terlewati.

”Kau masih suka ke Pasar dulu ketika kita sering bersama…” kataku menunduk.

”Sudah lama aku tidak kesana. Entah kapan kali terakhir kesana.”

“ Ada apa Ci? Apa yang terjadi dalam 24 tahun ini? tanyaku dalam hati. Tatapan matanya yang teduh menangkap tanda-tanya itu. Ia menjawab tanpa ragu-ragu. Segalanya begitu bening. Bagaikan titisan gerimis yang jauh di sebuah telaga jernih yang menguraikan riak-riak kecil menjadi not angka dan nyanyian.

”Kau masih menyukai lagu “ always on my mind ?” tanya Suci.

”Iya… masa lalu dan masa kini, sama saja bagiku….”

Giliran ia terpekur.

”Aku masih ingat semuanya. Sebuah kehampaan yang membuat hatimu terluka. Aku tak banyak tahu apa maknanya waktu itu. Aku hanya seorang anak gadis yang mudah memalingkan diri dari siapa saja. Aku merasa bagai seekor burung berbulu keemasan yang boleh terbang sesukanya. Dan aku tak pernah hinggap di ranting mana pun. Aku hanya terbang dan terbang…” kata Suci dengan suara tertahan kerinduan dan air mata.

”Tentu kau sudah melupakanku…”

”Iya..tepatnya 10 tahun sejak berpisah dengan mu. Namun setelah itu setiap bangun tidur pagi, wajahmu terus terbayang, sampai kini…”

”Kamu baik baik saja, Ci?”

Suci mengangguk. 

Kemolekannya memukauku kembali. Kemolekan yang bertapis kematangan jiwanya. Ia memang sudah tidak muda lagi.

”Aku pernah jadi piaran pengusaha kaya. Menenaminya kemana mana, bahkan sebagian besar negara didunia telah aku kunjungi. Tapi itu hanya sebentar. Cepat sekali berlalu..” tuturnya mengenang.

”Kau telah terbang begitu jauh. Melintasi awan, langit, gunung, kenangan, batu, hujan, lelaki… dan…”

”Jangan sebut itu…” tiba-tiba suaranya agak keras sambil meletakkan telunjuknya di bibirku. Aku terperanjat. Sentuhan lembut itu bagai menguliti diriku. 

Kami sama-sama terdiam. 

Ia bercerita tentang masa lalunya. Ia tidak pernah menikah tapi punya sorang anak laki laki.

”Aku datang kesini bersama pria. Dia sedang mendengkur di kamar. Namun aku tetap sendiri…” tuturnya mulai berterus terang.

”Aku amat bersimpati…” sambutku lemah-lembut. ”Ada banya pria tempatmu berlabuh. Selalu ada untuk mu Ci ?” ucapku dengan tersenyum

Suci merunduk. Diam. 

”Aku datang ke sini diajak berlibur dan menghibur pria. Akhirnya takdir mempertemukan kita lagi disini." 

Kami kembali terdiam. Kemudian terdengar suara Suci dengan lembut " Ceritakan tentang kamu. Aku ingin tahu...boleh kan ”

" Aku memulai hidupku dengan sangat keras. Berkali kali aku membangun usaha berkali kali juga jatuh. Namun jatuh atau bangun ,tidak membuat aku berubah. Ya, aku tidak punya pilihan karena memang no way return. Aku harus terus melangkah. Aku menikmati proses hidup ku bagaikan ulat berusaha keluar dari kepompong untuk menjadi kupu kupu yang indah. Hambatan dan kegagalan tidak membuat aku kalah dan lelah tapi semakin membuat aku bijak. Bisnis tidak membuat aku bangga. Tidak. Namun dengan bisnis yang ada, setidaknya aku diperlukan oleh istri dan anakku, orang tuaku, keluarga besarku, serta sahabatku. 

”Kamu sudah berkeluarga ?” sela Suci

”Sudah. Sudah 15 tahun usia pernikahan kami. Kini punya anak dua.”

“ Wanita yang beruntung” Wajah suci murung. " Bagaimana dengan bisnis mu ?sambungnya

“ Bisniku memang berkembang di banyak negara. Walau kehidupanku bergaul dengan banyak orang hebat tapi aku tetap seperti dulu.Tidak ada yang berubah.Tak pernah bisa meninggi. Aku tak bisa terbang seperti dirimu…”

”Setinggi-tinggi burung terbang… akan merendah juga suatu ketika. Seperti diriku kini…hanya masalah waktu”

Aku sedih karena melihat Suci ku nampak lelah dan menua..Kutatap wajahnya. Ada goretan kelelahan dan tentu harapan akan pertemuan ini. Apa yang harus kukatakan kepada dia? Kepada Suci ku...

“ Di usia ku kini aku tak mau lagi berpikir memaknai bahagia itu apa. Aku hanya ingin mengisi sisa hidupku dalam realitas hidupku. Karena inilah sebaik baiknya untuk ku. Apapun pilihanku telah kucoba lakukan namun yang terjadi ternyata kehendak Allah juga yang berlaku. Kita hanyalah hamba Alllah yang diberi tugas melewati rentang waktu seperti scenario Tuhan. Kamu bertemu dengan pilihanmu dan akhirnya tetap sendiri. Akupun melangkah sesuai pilihanku sebagai pengusaha, dan berkeluarga”

Suci menunduk. 

“ Memang tidak seharusnya kita bertemu bila harus berpisah namun juga tidak seharusnya disesali yang telah terjadi. Mahal sekali pelajaran hidup kita. Sementara sang waktu terus bergerak kedepan. Rambut semakin memutih dan gigi semakin goyah. Langkahpun semakin lemah. “ Ucap Suci.

" Tak ada cara terbaik dalam hidup ini kecuali bertobat. Dan bersiap siap untuk pulang keharibaanNya.' kataku.

" Aku selalu mencintaimu walau ragaku dimiliki orang lain." katanya memelas.

" Kamu akan selalu baik baik saja. " kataku merangkulnya. " Jaga diri baik baik ya Ci " sambungku seraya berlalu dari hadapannya.

Semoga dia mendapatkan hikmah dari pertemuan kami. Tentu Allah yang mengatur ini semua setelah rentang waktu 24 tahun terpisah. Untuk memberikan jawaban atas rahasia pilihan hidup kami dulu ketika remaja. Kita memang bebas memilih yang kita suka namun Allah pun bebas menentukan. Nasip buruk yang terjadi, tak bahagia dan menderita, bukanlah karena pilihan kita tapi karena kita tidak pernah ikhlas menerima kenyataan itu. Setidaknya dalam hidupku, Tuhan pertemukan aku dengan wanita yang bersedia menjadi istriku, dan tidak pernah pergi meninggalkanku dalam kondisi apapun. Kemanapun aku pergi dia selalu setia menantiku pulang. Dan Suci sudah menentukan sikapnya ketika dulu aku berhenti kuliah, dia meninggalkanku. Semoga kamu paham ya Ci..

Jodoh...

“ Sampai kapan Mas begini terus ? kata Sri suatu waktu.. Setahun setelah tamat kuliah aku mendapatkan pekerjaan. Setahun setelah itu , aku sudah berniat untuk melamar Sri untuk menikah. Makanya aku mengambil rumah BTN walau harus mencicil. Namun rencana tinggal rencana yang terjadi terjadilah. Ayah terkena stroke dan terpaksa berhenti bekerja sebagai masinis kereta api. Keadaan ekonomi kedua orang tuaku menjadi semakin sulit. Akupun bertindak cepat. Kedua orang tuaku berserta adik adiku kuboyong ke Jakarta untuk tinggal bersamaku. Maka ramailah rumahku. Mira, Dewi dan kedua orang tuaku menjadi bebanku.

“ Aku tidak pernah berharap beban datang tapi kalau datang pantang kutolak. Aku berharap kamu bisa mengerti. Janganlah karena mereka tinggal dirumaku lantas rencana menikah kita gagal “ Kataku memelas.

“ Aku tidak pernah membayangkan keadaan ini akan terjadi. Kita pacaran sejak masih sama sama di universitas. Udah 6 tahun hubungan kita. Tapi sikap Mas engga pernah berubah” Kata Sri. “ Tadi kupikir ketika Maria menikah, beban Mas berkurang. Tapi dia kembali ke rumah Mas, menjadi beban Mas, karena suaminya tugas belajar ke luar negeri. Entah kapan akan dijemput suaminya. Kemudian, Budi, adik sepupu Mas menjadi beban Mas pula. Alasannya orang tuanya tidak mampu di kampung. Kakak sepupu Mas mengirimnya kepada Mas untuk melanjutkan ke Universitas.

Kemudian, tadinya aku senang ketika Dewi sudah bekerja dan dapat suami. Dia akan mandiri. Namun hanya dua tahun berselang, dia bercerai setelah punya anak satu dan kembali mereka menjadi beban Mas. Belum cukup. Om Feri,. adik ayah Mas yang paling bungsu juga Mas tampung. Bukan hanya Om Feri tapi juga kedua anaknya. Dan ketika kedua anaknya sudah bekerja, om Feri tetap tinggal sama Mas. “ Kata Sri seperti sedang mengadili ku.. Aku hanya diam berusaha mengerti dan siap menerima keputusannya.

“ Sri, mereka semua hadir karena alasan yang yang jelas. Aku adalah putra ibuku dan kehadiran ibu di dekatku, di rumahku adalah ladang ibadah tak ternilai untuk kuberbakti sampai hayatnya. Mira tak ingin tinggal di rumahku andaikan suaminya tidak menitipkannya kepadaku, kakaknya.. Dan juga menjadi tanggung jawabku untuk menjaganya dari fitnah selama suaminya tidak ada didekatnya. Dewi, adikku yang janda. Tentu aku harus menjaganya karena tak aman bagi seorang janda tinggal seorang diri di rumah.

Om Feri tentu juga tak ingin tinggal dirumahku kalau dia mampu. Budi juga tak ingin membebaniku bila saja orang tuanya mampu. Deni tentu akan lebih senang tinggal dengan orang tuanya bila orangtuanya mampu.. Cobalah mengerti…”

“ Sebaiknya kita putus disini saja Mas. Aku engga bisa berharap banyak dengan Mas. “ Kata Sri. Hubungan 8 tahun kandas begitu saja.

Di rumahku , ada delapan manusia yang menjadi bebanku. Mereka hadir melengkapi hidupku. Walau sampai di usia 35 tahun, aku belum menikah namun kehadiran mereka tidak membuatku kesepian. Pekerjaanku hanyalah junior auditor di perusahaan asing. Aku tinggal di komplek perumahan BTN ukuran 70 Meter. Awalnya rumah ini hanya dua kamar. Tapi seiring bertambahnya anggota keluarga, akupun berusaha menambah ruangan lagi. Sekarang tersedia empat kamar berukuran kecil untuk sekedar memisahkan setiap orang punya privasi sendiri. Ruangan tamu teramat sempit dan menyatu dengan ruang makan. Tapi walau begitu, kami selalu bahagian dirumah ini. Canda dan tawa selalu mewarnai kehidupan kami. Hati kami lapang ditengah ruangan yang serba sempit.

Sejak putus dengan Sri, Mas Burhan mencarikan jodoh untukku tapi tak pernah ada kelanjutannya. Adikku Mira juga mengenalkan aku dengan teman temannya tapi seperti biasanya mereka mundur sebelum hubungan berlanjut serius. Ada teman di kantor yang kuyakin dia menyukaiku tapi memilih menikah dengan pria lain tanpa alasan yang jelas. Tapi yang pasti , aku tahu bahwa mereka para wanita itu tidak mau hidupnya mengambil resiko terlalu besar dengan melihat beban hidupku yang juga besar. Aku maklum dan mereka punya hak untuk bersikap.

***
Hari berlalu, berganti minggu dan minggu berlalu melewati bulan dan tahun. Usiaku sudah 45 tahun. Di rumahku kini hanya tinggal aku seorang diri. Dewi sudah dapat jodoh lagi. Menikah dengan pengusaha. Tinggal di Kalimantan. Ibuku tinggal dengan Dewi. Maria pindah ke Jepang ikut suaminya yang memilih berkarir di sana. Om Feri sudah meninggal karena kanker Paru paru. Budi dan Deni sudah bekerja dan tinggal di luar kota. Jabatanku di kantor juga sudah naik sebagai Chief Accountant. Dan aku masih Jomblo.

Suatu saat Sri datang ke kantor ku. Dia bercerita bahwa dia sudah bercerai dengan suaminya. Dua anaknya tinggal dengan dia. Aku senang karena Sri ingin bertemu lagi denganku. Aku tetap mencintainya walau dulu dia pergi meninggalkanku. Itu sebabnya aku cepat berkata “ Mari menikah denganku, Sri “

“ Aku sudah tidak muda lagi, Mas. Aku akan membebani Mas dengan dua orang anakku.”

“ Engga apa apa kok. Kamu tetap Sri ku”

“ Ya aku kenal betul pribadi Mas. Itu yang kusesali mengapa dulu aku bertindak bodoh. “

“ Lupakan masa lalu. Kadang kita harus melewati semua hal untuk menemukan hikmah dari perjalanan hidup kita. Hidup bukan apa yang kita dapat tetapi apa yang kita beri. Bukan apa yang kita perlajari tapi apa yang kita ajarkan. Bukan apa yang kita pikirkan tetapi apa yang kita lakukan. Aku yakin, kita akan baik baik saja. Aku senang dibebani oleh kedua anakmu. Mereka akan jadi belahan hatiku sebagaimana aku mencintai ibunya, Ya kan..”

Setelah menikah, Sri bersikukuh mengajak ibuku tinggal bersama kami. Dia akan merawat ibuku. Bukankah aku anak tertua ibuku, yang harus bertanggung jawab kepada ibuku, katanya. Sampai kini curahan perhatian dan kasih sayang Sri kepada ibuku sangat luar biasa. Aku senang akhirnya aku bisa menua bersama dengan orang yang kucintai. Tuhan maha adil…

Saturday, May 02, 2020

Kebodohan berjamaah


Abunawas berjalan di tengah pasar sambil menengadah melihat kedalam topinya. Orang banyak perhatikan ulah Abu Nawas itu dengan wajah heran. Apakah AbuNawas telah gila ? Apalagi dia melihat kedalam topinya sambil tersenyum dan penuh bahagia. Salah seorang datang menghampiri Abunawas 

" Wahai saudaraku, apa yang sedang kamu lihat di dalam topi itu?
" Aku sedang melihat sorga lengkap dengan barisan bidadari.." Kata Abunawas dengan wajah cerah dan senyum puas.
" Coba aku lihat ! 
" Saya engga yakin kamu bisa melihat seperti yang saya lihat"
" Mengapa ?
" Karena hanya orang yang beriman dan sholeh saja yang bisa lihat sorga di topi ini." Kata Abunawas meyakinkan.
" Coba aku lihat. " Kejar si penanya penasaran.
" Silahkan " kata Abunawas...

Orang itu melihat kedalam topi itu dan sejenak kemudian dia melihat kearah Abunawas " Benar kamu..aku melihat sorga di topi ini dan juga bidadari. Subhanallah ...Allahuakbar " Kata orang itu berteriak dan didengar orang banyak . Abu Nawas tersenyum. Sementara orang banyak yang menyaksikan ulah abunawas ingin pula membuktikan apakah benar ada sorga di dalam topi itu. Abu Nawas mengingatkan kepada mereka semua " Ingat hanya orang beriman dan sholeh yang bisa lihat sorga didalam ini. Yang tak beriman tidak akan melihat apapun."

Satu demi satu orang melihat kedalam topi Abunawas itu. Ada yang dengan tegas menyatakan melihat sorga dan ada juga yang mengatakan ABunawas bohong. Abunawas tetap tenang saja sambil menebar senyum. Akhirnya, bagi mereka yang tidak melihat sorga di dalam topi itu melaporkan kepada Raja. Bahwa Abunawas telah menebarkan kebohongan kepada orang banyak. Raja memanggil Abunawas menghadap raja. Di hadapan raja...

" Abu nawas! Seru raja" benarkah kamu bilang di dalam topi mu bisa nampak sorga dengan sederet bidadari cantik?

' Benar raja. Tapi yang bisa lihat hanya orang beriman dan sholeh. Bagi yang tidak bisa melhat itu artinya dia tidak beriman dan kafir"

" Oh begitu..Coba saya buktikan apakah benar cerita kamu itu." Kata raja, yang segera melihat kedalam topi Abunawas dari sudut kiri dan kanan, atas dan bawah. Akhirnya raja terdiam seakan berpikir " Benar tidak nampak sorga di dalam topi ini. Tapi andaikan aku bilang tidak ada sorga maka orang banyak akan tahu aku termasuk tidak beriman dan termasuk kafir. Tentu akan hancur reputasiku" Demikian kira kira yang di pikirkan Raja. .Akhirnya " Benar! Saya sebagai saksi, bahwa di dalam topi Abunawas kita bisa melihat sorga dengan sederetan bidadari..." Kata Raja setengah berteriak. Orang banyak akhirnya menerima cerita abunawas karena kawatir berbeda dengan Raja...
***
Ketika akal sehat di buang ke keranjang sampah maka akan selalu ada orang culas membungkus agama untuk menciptakan kebodohan berjamaah....

Friday, May 01, 2020

Limited Edition...


Tidak ada yang istimewa bila aku bercerita tentang suamiku. Dia seperti suami kebanyakan. Menurut yang kurasa selama  pergaulan dengannya bahwa dia adalah suami yang bertanggung jawab, mencintai keluarga, walau kadang terkesan tidak setia.  Soal tanggung jawab maka secara materi aku bisa katakan dia termasuk suami yang segelintir. Maklum saja sebagai pengusaha dia bisa memberikan apa saja kebutuhanku. Pakaian bagus, rumah bagus , liburan keluar negeri, kendaran, perhiasan, dan ATM yang selalu penuh. Namun dalam bentuk lain, suamiku sama dengan suami suami lainnya. Tak ada yang terlalu istimewa kecuali memang dia pekerja keras dan mencintai bisnisnya selain aku dan anak anaknya. 

Kadang dengan segala kesibukannya , aku sempat mempertanyakan kesetiaannya namun dia menjawab  “Bahwa sebenarnya kesetiaan itu bukan diukur apakah seseorang berkhianat atau tidak, melainkan apakah ia kembali lagi atau tidak.” Kata-kata itu mungkin menghibur bagi wanita lain tapi tidak bagiku. Ini seperti ejekan yang menyakitkan. Apalagi ketika dia melanjutkan dengan kata kata ‘ Sebagaimana kematian adalah bagian dari kehidupan, demikian juga patah hati atau sakit hati adalah bagian yang sama dengan jatuh cinta. Kalau kamu pernah mengalami sakit hati, cintamu akan menjadi sempurna.”

Dengan tangkas aku membalas kata katanya. “Mungkin akan sempurna kalau aku patah hati dengan lelaki lain, misalnya. Bukan dengan suami sendiri” Ku ingin tahu apa reaksinya. Apakah dia tersinggung soal kata kataku ini. Dia hanya tersenyum.  “Sebetulnya sama saja. Hanya saja sebutan suamiku, menunjukkan kepemilikanmu, jadinya terasa lebih menyakitkan.”

Sedih kan.!

Ketika awal berumah tangga adalah saat awal yang berat hidup bersama pria yang berstatus suami namun mempunya cinta selain aku.  Perhatiannya kepada bisnisnya melebihi segala galanya. Dunianya adalah bisnisnya. Oh, ada lagi rival ku selain bisnisnya, yaitu ibunya. Didunia ini hanya satu yang bisa menghentikan langkahnya untuk pergi rapat bisnis maha penting yaitu ibunya. Tak ada yang dia takuti selain Tuhan dan ibunya. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi dengan suamiku bila ibunya meninggal dijemput Tuhan. Mungkin separuh atau sepertiga jiwanya juga ikut mati. 

Dalam hal lain , dia merasa bangga dengan keperkasaanya menerjang gelombang,  diatas kelelahan ku berpacu birahi menuju puncak. Untuk hal ini aku senang tapi bukan segala galanya.

“Dalam pikiran lelaki, hubungan seks adalah bentuk cinta. Makin perkasa dia, membuktikan ia makin mencintai. Suami berkewajiban men-delivery kepuasaan batin kepada istrinya, sama halya dia harus bekerja keras untuk men-delivery kepuasaan lahir bagi istrinya.. ” Katanya satu ketika. Bagiku itu tak lain menunjukkan keegoanya sebagai penakluk. Dia pikir apakah urusan tempat tidur disamakan dengan bisnisnya yang harus selalu tampil unggul.  Bagiku semua itu omong kosong. Hanya mitos. Wanita tidak menjadikan ukuran keperkasaan laki laki sebagai dasar menilai seorang laki laki. Bukan. Bagi wanita adalah sentuhan walau hanya sesaat namun dilakukan dengan penghargaan yang tinggi , itu lebih dari cukup.  

Kukatakan kepadanya bahwa akan ada waktunya nanti ketika daya seksual melemah atau habis, cinta memisahkan diri dengan nafsu seksual. Ketika itu cinta tak perlu dibuktikan dengan hubungan seksual. Nafsu seks bisa mati dan berhenti, tapi cinta bisa terus jalan sendiri.  Artinya kalau setelah daya seks melemah, tapi masih bisa betah bersama-sama, itu artinya masih cinta. Saat seperti itu akan datang dengan sendirinya, tak perlu dipaksa, sebagaimana usia. Tanpa kecuali semua bertambah tua, juga dunia. Dia tertawa terbahak bahak. " Bagiku Sex hanya option, bukan segala galanya. Kita akan selalu bersama sama walau tanpa sex. Insya Allah." katanya berargumen

Ya sudahlah, Dia dengan dirinya dan aku bagian dari dirinya, perhiasannya. pakaiannya. Naif sekali.  Dan kini, ia punya hobi baru yang membuatnya mabuk seakan sedang jatuh cinta lagi. Apa itu ? Dia gemar menulis. Menulis apa saja. Bahkan sudah pula bukunya diterbitkan oleh penerbit terkenal. Sepulang kerja di rumah, waktunya di habiskan di depan computer menulis. Entah apalagi yang hendak dia capai dari kecintaannya menulis. Yang pasti tidak ada uang yang dia dapat dari kegemarannya yang baru ini. Padahal selama ini yang menjadi standarnya bahwa apapun kalau tidak ada uang yang didapat , engga usah di kerjakan, apalagi di paksakan berbuat. Hidup tidak ramah dan semua harus bayar. Yang mau gratis harus siap di jadikan duafa dan dipermalukan oleh diri sendiri. 

“Bagaimana abang bisa jatuh cinta dengan menulis "

“Seperti yang selama ini terjadi,” katanya menjelaskan. “Begitu banyak peristiwa berlalu, tapi apakah semua orang memahami perisitawa itu dengan benar. Apakah mereka mendapatkan hikmah? Tidak semua. Tanggung jawab kaum terpelajar adalah mencatat peristiwa itu agar orang membacanya dan mendapatkan hikmah”

“Menulis itu tidak ada gunanya sama sekali. Abang hanya memuaskan ego abang saja.,” kataku.

“Salah, Bukan soal ego tapi soal tangung jawab..”

“ Dan abang menikmati rasa tanggung jawab itu  ? 

“ Aku hanya senang melakukannya. Aku senang. Karena baru kali ini rasa tanggung jawabku membebaskan aku dari rasa inginkan uang, pujian, harapan dan apalah “

“ Jadi abang senang dengan tanggung jawab seperti itu ? Kenapa engga dari dulu dulu. Sekarang abang udah engga muda lagi. Apa tidak sebaiknya gunakan waktu yang terbatas ini untuk hal lain yang menyenangkan" 

“Kesenangan tak akan pernah bisa dikalahkan oleh waktu. Justru kesenangan menang dengan waktu. Walau hanya sejenak , kesenangan makin bermutu. Ingat itu.”

Dan lagi menurutnya “ Aku merasakan bahwa sebetulnya kehidupan manusia ini adalah episode tentang kelemahannya terhadap ruang dan waktu. Ini sudah takdirnya dan dia berdamai dengan takdirnya. Walau manusia terisolasi akan ruang dan waktu namun dia mungkin lebih bahagia bila dia menyadari kelemahannya..”

“Sama denganku.” kataku

“Juga ibuku.” Jawabnya cepat.

“ Mungkinkah abang akan menikah lagi suatu saat?”

“Mungkin, karena semua lelaki mempunyai bakat untuk itu. Tapi secara praktis tak akan menyenangkan. Di dunia ini, satu-satunya standar moral yang aneh dan disepakati di seluruh dunia adalah moral dalam lembaga perkawinan. Bayangkan, semua transaksi sekarang selalu bayar dimuka dan orang akan mendapatkan apa yang dia mau. Dalam perkawinan pembayaran dan ikatan berlangsung selamanya. Kalaulah bukanlah karena Tuhan, lembaga perkawinan adalah kontrak moral yang paling dungu. Itu sebabnya Allah mengatakan silahkan poligami asalkan kamu bisa berlaku adil, sementara Allah mengatakan sendiri bahwa manusia tidak akan pernah bisa berlaku adil. Hanya pria dungu yang tidak paham bahwa izin poligami itu bukanlah free will tapi by tight condition dan mungkin mission impossible. Paham kamu.." 

“Berarti abang  menyesali perkawinan?”

“Satu-satunya yang kusesali dalam hidup ini adalah karena aku tak bisa menyesali apa yang terjadi. Aku bahkan tak mampu menyesali kenapa aku tak dilahirkan di tempat yang paling aku sukai, tempat yang ada sungainya dengan empat musim, lalu aku bisa bermain bola salju ketika salju turun.  Menyesal adalah hasil dari pikiran, dari nalar.  Dan nalar bahkan tak bisa menjelaskan hal yang paling sederhana tentang cinta. Jadi ikhlas melewati hidup adalah cara mudah untuk bahagia."

" Ya,  karena cinta ?

" Ketahuilah oleh kamu, sebesar apapun cinta pria atau wanita kepada selain Tuhan bukanlah cinta yang aman. Mengapa ? Tuhan tidak pernah cemburu. Tuhan tidak pernah meminta. Tuhan selalu memberi. Kedua orang tua kita juga sama, sama  sama cinta dalam arti memberi, tanpa cemburu dan ikhlas berkorban. Cinta aman. Itu sebabnya aku begitu hormat dan sayang kepada ibuku. Karena ibuku adalah cinta amanku, bayang bayang Tuhan..."

“Benarkah semata-mata karena rasa aman yang membedakan cinta sesungguhnya ?” tanyaku.

“Ya. Sesungguhnya cinta selain kepada Tuhan hanya ada dalam pembesaran di pikiran, di perasaan. Cinta tak akan selesai dirumuskan dengan pemikiran. Cinta aman tidak akan kamu peroleh dari anak, cucu, menantu, suami atau istri, harta atau jabatan. Seseorang hanya memiliki satu cinta, yaitu Tuhan , yang bagaikan air sungai, bisa mengalir ke mana-mana, membelok ke selatan atau ke utara, tapi sebenarnya satu arus saja, menuju Tuhan.

“Ketika aku memutuskan untuk melamarmu menjadi istriku maka  itulah keberanian, itulah anugerah Allah. Keberanian, karena banyak cinta diutarakan tanpa keberanian menikah. Anugerah, karena itu hadiah besar dari Tuhan. Semua itulah harga yang kita bayar sepanjang usia berbagi rasa, merawat, memanjakan dan dimanjakan. Kita tak akan merasa aman, merasa tentram, hanya dengan menyewa, membeli atau memandangi. Paham, kan. Aku bisa saja mengagumi keindahan ikan berenang didalam aquarium. Memandangi wanita cantik berbikini melenggok dipinggir kolam renang.  Menyewa escort jelita untuk acara business dinner dengan relasiku. Bisa.! Tapi aku tidak merasakan cinta aman. Aku hanya bisa memandangnya. Tapi… kamu adalah takdirku yang dianugerahkan Allah yang bukan hanya kupandangi tapi memang kamu amanah terindah dari pemberi Cinta, Tuhan.” 

Dan akhirnya aku sadar bahwa aku harus bersyukur memiliki suamiku sebagai anugerah dari Allah walau kadang terkesan seperti ikan yang berenang didalam aquarium , ada kebebasan namun terhalang oleh dinding tebal dalam bentuk budaya dan agama yang mengharuskan aku selalu menjaga kehormatan suamiku dalam kondisi apapun. Menghindari fitnah ketika suamiku sedang tidak ada dirumah. Menjaga dan merawat semua yang di amanahkannya dan menantinya ketika dia pulang , untukku dan semua karena Tuhan tentunya..

"Bagaimana sikapmu sebetulnya terhadap aku, suamimu ? Katanya dengan nada lucu.

" Abang memang bukan pria sempurna tapi ya limited edition".

Obsesi di masa tua

  Bulan mendengkur. Aku mendengarnya. Aku selalu dapat mendengar dengkurnya yang keras menggaung di antara awan dan gedung tinggi. Bulan sel...