Banten harus dikalahkan. Tapi bagaimana? kas sudah hampir habis karena perang delapan tahun. Selat Sunda tidak pernah bisa dikuasai Kompeni. Pasukan Banten begitu kuat. Kesultanan Banten mencoba membikin kapal-kapal besar yang dilengkapi baterijj, barisan meriam, untuk menandingi kapal-kapal VOC. Prajurit yang dipimpin para kiyai yang gagah berani. Ternyata tidak semudah menaklukan Mataram. Trunajaya. Lelaki itu telah tewas di tangan para pembesar Mataram. Kini ancaman satu-satunya tinggal Banten. Darimana uang untuk terus berperang. ini sudah berlangsung 8 tahun. Belum juga ada tanda tanda Banten takluk. Meski kompeni memonopoli perdagangan opium namun itu tidak cukup kas terkumpul untuk biaya perang.
Demikian Tuan van Goens berpikir keras di meja kerjanya. Dia berusaha menemukan siasat yang jitu untuk memenangkan perang. Seorang opsir tiba-tiba mengetuk pintu. “Tuan Gubernur, para penambang telah tiba di pelabuhan,” kata opsir bernama Heinrich Schumann dengan sikpa hormat sempurna. Mata Tuan van Goens sekonyong berbinar. Aha..ini solusi. Ya emas. Solusi untuk dapatkan uang untuk biaya perang menjatuhkan Sultan Ageng. Dia memang meminta para penambang dari Sachsen untuk mencari emas di Hindia.
***
Dari geladak, Henze bisa melihat kapal melepas sauh di pelabuhan Batavia. Ia ingin lekas-lekas menjejakkan kaki di pantai, minum bir dan mengisi perutnya dengan makanan lezat. Sudah sejak berbulan-bulan lalu ia kehilangan selera dengan masakan juru masak kapal. Delapan bulan lalu seorang utusan VOC dari kantor pusat Amsterdam datang ke Sachsen dan meminta para penambang bekerja untuk VOC di Sumatera. Henze bersama ketujuh belas awaknya dan 5 ahli tambang diminta mencari emas di sana.
Malamnya Henze dan kelima kawannya makan dengan lahap di cafe dan restoran itu. Dia bertemu dengan Heinrich Schumann. Yang bercerita panjang lebar, membangga-banggakan keberaniannya bertualang di Hindia selama belasan tahun. Kepada Henze dan kawan-kawan, ia mengaku berasal dari Duesseldorf. Kehidupan yang sulit memaksanya mengadu nasib di Hindia, bertempur di banyak medan bersama Mayor Isaac de Saint-Martin, lelaki Perancis penggemar lukisan yang tersohor piawai menyusun siasat. Tapi sebuah sabetan parang saat pertempuran di Ternate membikin kaki kirinya invalid seumur hidup. Kompeni tak mau lagi memakainya. Setahun lalu, dengan meminjam uang dari rentenir ia membikin restoran Rhine.
Henze hanya mendengar tanpa reaksi apapun. Apalagi diceritakan oleh Heinrich Schumann dalam keadaan setengah mabuk. Dia hanya senang melihat piring 5 ahli penambang itu licin. Menu restoran ini tak terlampau mewah, tapi masakannya cocok di lidah mereka. Meski emas adalah penyebab dirinya terlibat dalam petualangan, tapi itu bukan satu-satunya alasan kenapa dirinya mau pergi ke Hindia. Tujuan utamanya adalah menikmati tubuh wanita. Noni Hindia Belanda. Blasteran Belanda pribumi. Kecantikannya dikabarkan pula oleh para pelaut dan orang-orang di Tanjung Harapan, Ceylon, dan bandar-bandar lain sewaktu mereka singgah, “Het paradijs op aarde.” Secuil firdaus yang jatuh ke dunia.
“Adakah perempuan Eropa di kapal kalian?” tanya Schumann dengan bahasa Jermannya yang sudah kaku.
“Istri atasan kami, Nyonya Olitzsch,” sahut Henze
“ Sudah lama saya mendambakan seorang istri Eropa. Perempuan Eropa yang tinggal di Batavia terlampau sedikit. Setiap kali mereka turun dari kapal, para lelaki Eropa yang kesepian selalu berebut menyunting mereka. “ kata Schumann.
“Dari semua lelaki di Hindia, Tuan Gubernurlah yang paling beruntung,” kata Schumann kemudian. “Meski ada istri, ia bisa dengan mudah mendapatkan perempuan lain, dan entah mengapa dia suka sekali wanita pribumi dan lebih bernafsu dengan wanita jawa blasteran Belanda.”
***
Henze tengah celingukan di depan sebuah rumah saat seorang lelaki bersuara berat menegurnya dari balik pagar. Ia rada menyesal karena tadi memilih jalan-jalan sendiri, meninggalkan kawan-kawannya di klinik. “Kau orang baru?” tegur lelaki itu. Henze tak lantas menjawab. Ia menoleh kanan-kiri, takut-takut teguran itu bukan buat dirinya. Tahu tak ada orang lain di dekatnya, ia lalu menunjuk ke arah dadanya sendiri. “Aku?”
“Iya. Betul kau,” kata orang di balik pagar. “Kau orang baru? Kulihat kau seperti kebingungan.”
“Betul, Tuan. Baru seminggu aku tinggal di kota ini. Aku sedang mencari jalan pulang.” Henze mendekat ke arah pagar.
“Ah kau bukan orang Belanda. Logat Belandamu buruk sekali.”
“Aku orang Sachsen. Baru sebentar belajar bahasa Belanda.”
“Sachsen?”
Kemudian keduanya mengenalkan diri. Pieter Mossel, nama lelaki itu, pedagang budak yang cukup makmur di Batavia. Ia mengajak Henze untuk mampir. Tak biasanya ia mengajak orang asing mampir ke rumahnya. Kali ini tiba-tiba saja ia ingin mendengar kabar Eropa yang telah ditinggalkannya lebih dari dua puluh tahun silam.
“Jadi apa pendapatmu tentang kota ini? Tak terlampau buruk, bukan?” Mossel berkata setelah Henze menceritakan Eropa yang dilihatnya terakhir kali.
“Entahlah…. Sudah dua minggu kapal ke Sumatera belum datang. Belum ada kabar kapan kami berangkat.” Ia menundukkan wajah. Sejurus kemudian ia meneruskan, “Beberapa kawanku meringkuk di klinik. Di sini, cuaca tropis malah memperburuk sakit mereka.”
“Hanya yang kuat yang bertahan,” Mossel menyela.
“Kudengar di sini juga sulit mencari perempuan. Kebetulan saya perlu sedikitnya 15 budak untuk kerja di penambangan Sumatera. “ Kata Henze kepada Tuan Mossel.
Mossel tak menjawab. Air muka lelaki itu berubah murung.
***
Seorang opsir datang terengah-engah masuk ke cafe dan Bar. Ia membuka topinya dan lekas memesan minuman. Pelayan restoran segera menghampirinya dengan membawa bir dalam gelas besar. Seperti orang kehausan, opsir berwajah pucat itu lantas menandaskan bir di gelasnya dalam dua tegukan. Ia lekas meminta minuman yang sama kepada si pelayan. Sang pemilik restoran yang mengintip dari sejarak segera menghampirinya.
“Opsir,” sapa Schumann, “siang-siang sudah minum. Gadis yang kau incar pasti jatuh ke pelukan lelaki lain.”
Opsir itu mendongak. Ia tertawa pelan sebelum menanggapi omongan Schumann. “Bukan perempuanku, tapi istrinya Tuan Mossel.”
“Mossel? Pengusaha budak?”
“Ya,” jawab opsir itu. “Dan yang lebih memalukan, istrinya jatuh ke pelukan budak laki-lakinya.”
Schuman terbahak. Ia menarik kursi di hadapan opsir itu, lantas duduk di situ. “Sudah lama aku tak mendengar cerita menggelikan. Lantas bagaimana nasib Mossel?”
“Ia mati gantung diri.”
“Semoga Tuhan menerimanya di surga,” kata Schumann seraya membikin tanda salib.
“Perempuan adalah sumber bencana.” Kata opsir itu. Schumann tak menyahut. Ia tak begitu setuju dengan kata-kata opsir di hadapannya.
“Kisah menggelikan ini menyeretku ke dalam masalah,” ujar opsir itu lagi. “Aku harus mencari di mana budak itu bersembunyi.”
“Bersembunyi?”
“Ia kabur dari pelukan janda Tuan Mossel dengan menggondol perhiasan dan uang tak sedikit. “ Kata opsir dengan geram. “ Kau tahu uang itu untuk apa? Lanjutnya. Schumann menggelengkan kepala.
“ Untuk membebaskan para budak.” kata opsir dengan mata marah.
“Lalu apa masalahnya?”
Opsir itu tak langsung menjawab. Ia meneguk bir yang baru saja diantarkan ke mejanya. Schumann mengernyitkan dahi.
“Nah dengan uang dan perhiasan itu, dia gunakan menyuap tangsi militer Belanda untuk dapatkan senjata dan amunisi, membantu pasukan Sultan Ageng berperang melawan kompeni,” kata opsir itu meneruskan.
Henze mendengar pembicaraan itu. Dia membayangkan Nyonya Matje, istri pemilik kapal yang ikut berpetualang ke HIndia Belanda. Dia kangkangi berkali di kapal itu dan akhirnya dia lupakan. Mati saat melahirkan bayi haramnya. Setelah itu Tuan Olitzsch merasa bersalah atas kematian istrinya. Karena dia tak bisa lepas dari pagutan vagina juru masak budak wanita asal Tiongkok. Akhirnya bunuh diri juga.
***
Di tengah samudra, sebuah kapal berbendera Belanda terapung-apung menuju Sumatera Barat. Berdiri di geladak seraya menatap hamparan air yang biru, Henze membiarkan angin laut menampar-nampar wajahnya. Seseorang akan melihat kepedihan pada matanya yang remang-remang.
Masih terngiang Schumann mengucapkan belasungkawanya delapan hari lalu. Henze datang ke Cafe mengabarkan kematian semua ahli penambang di klinik. Tanpa sempat memelototi bongkahan-bongkahan emas di Sumatera. Kini tersisa sembilan penambang bukan ahli, termasuk dirinya, yang akan mencari emas tanpa semangat dan harapan.
“Semestinya kalian tak datang kemari. Tempat ini seperti neraka,” kata Schuman waktu itu. “ Sumber daya alam yang melimpah bukanlah kekayaan untuk kemakmuran tetapi kutukan. Terutama kutukan dari para kiyai yang memimpin pasukan Sultan Ageng, berperang dengan kompeni.
Henze putuskan pulang ke Eropa. Pulang dengan kalah dan tangan hampa. Tuan van Goens kehilangan harapan mendapatkan sumber daya emas untuk biaya perang menaklukan Sultan Ageng. Dari geladak, lamat-lamat Henze melihat daratan nun jauh di seberang lautan. Ia berharap itu tanah Eropa. Disana sains berkembang ditengah hipokrit budaya. Suami yang selalu membayangkan vagina wanita hindia belanda. Nyonya membayangkan penis hitam budak pribumi yang keras. Dan lucunya itu dibayangkan ketika mereka sedang bersenggama. Dan setelah itu menghina merendahkan kaum jajahan. Ironi memang.
No comments:
Post a Comment