Fajar datang aku sudah berada di pusat lelang ikan di dekat dermaga rakyat. Biasanya aku hanya beli satu keranjang kecil ikan kembung. Sebesar itulah modalku anak usia 12 tahun berusaha mandiri. Keranjang itu aku bawa dengan angkutan umum. Sampai di terminal. Keranjang itu aku gotong ke pasar rakyat untuk di konsinyasikan kepada padagang. Hanya empat lapak saja untuk titipkan ikan itu. Salah satunya Mbak Surati.
“ Ale, utang aku bayar semua ya. “ Katanya menyerahkan uang Rp 2000.
“ Si anti memang sudah sembuh Mbak.” Kataku. Anti itu putrinya usia 5 tahun. Tadinya yang berdagang ibunya Mbak Surati. Tetapi setelah dicerai suaminya, Mbak surati pulang ke rumah ibunya yang janda. Usaha dagang ikan itu diambil alihnya. Ibunya merawat putrinya selagi dia dagang.
Setelah mengantar ikan ke pasar, aku bergegas pulang untuk berangkat sekolah. Pulang sekolah aku akan kembali ke pasar untuk ambil uang kepada pedagang. Begitulah keseharianku sejak masuk SMP.
Suatu waktu aku dapati Mbak Surati tidak ada di pasar. Aku bertanya tanya kepada pedagang yang ada di sebelah lapaknya. “ Dia sudah menikah lagi. Diboyong suaminya ke lampung utara. “ kata pedagang itu. Aku ikhlaskan uangku tersisa ditangannya. Aku berdoa semoga mbak Surati bahagia dengan hidupnya.
Kelas 3 SMP aku bertemu dengan Mbak Surati setelah 2 tahun tidak jumpa. Dia dagang minuman pakai gerobak di ujung jalan pemuda, Tanjung karang. “ Ale, masih dagang ikan?
“ Engga lagi mbak. Aku bantu paman dagang pakaian di pasar Bambu Kuning.”
“ Yalah. Paman kamu kan orang kaya. “
“ Ya pamam saya perlu ajarkan saya berdagang. Katanya untuk bekal saya nanti”
Aku perhatikan wajah mbak Surati nampak lebih tua dibandingkan dua tahun lalu. Badannya kurus. “ Anti tinggal sama adikku di Serang. Ibuku juga tinggal di Serang” katanya. Aku mengangguk. Setiap sore aku bantu mbak Surati melayani pelanggannya. Begitulah sampai pada satu hari, aku tidak menemui mbak Surati dagang. Hilang.
Enam bulan kemudian, aku bertemu mbak Surati di dekat stasiun kereta. Saat itu aku mengantar sedara ke stasiun untuk kereta jurusan Palembang. Dia berdiri dekat rel. Walau remang remang tapi aku cepat mengenalinya. “ Mbak Surati? Tegurku.
“ Eh Ale “ katanya canggung.
“ Ada apa disini mbak ?
Dia terdiam lama. Akhirnya dia bersuara juga “ Aku jadi lonte” katanya. Tetapi pakaiannya biasa saja. Tidak menggoda seperti lonte yang ada di sekitar stasiun itu.
“ Mbak sudah makan ?
Dia terdiam. Aku tahu dia belum makan. “ mbak kita makan di pasar bawah itu. Ayo ikut aku. Aku ada uang “ kataku. Mbak Surati ikut langkahku menjauh dari stasiun itu.
“ Enam bulan lalu mantan suamiku datang. Dia mau aku kembali. Ya aku ikut. Apalagi dia janji akan perlakukan aku dengan baik baik. Tetapi setelah uangku semua habis, dia jual aku. Awalnya aku malu dan marah. Tetapi lambat laun aku menikmati. Hidup seperti ini lebih baik daripada punya suami melumat hati dan ragaku, dan menghinaku. “ kata mbak Surati dengan airmata berlinang. Aku terdiam.
“ Eh kelas berapa kamu sekarang Ale?Kata mbak Surati kemudian dengan wajah cerah.
“ Kelas 3 SMP mbak. “
“ Kamu anak yang pintar Ale. Kamu pasti jadi orang hebat nanti.
“ Doain ya mbak.
“ Tentu. “
Udah makan saya harus pulang mau kerjakan PR. “ Mbak jaga kesehatan ya” kataku.
Selama lebih sebulan. Aku melihat Mbak Surati di pinggir rel. Seperti malam-malam sebelumnya, ia selalu muncul dengan gaun sederhana, kakinya jenjang, berdiri menunggu seseorang datang. Aku melihat garis pedih dan hitam. Aku bisa melihat semua yang hendak disembunyikannya. Masa lalunya yang penuh kesedihan, suaminya yang mengusirnya, setelah menjualnya. Ia seperti dikutuk kecantikannya. Kusampaikan kekawatiranku. Tapi ia hanya tertawa. ”Kenapa mesti takut? Berkali-kali aku kena garuk. Aku tahu bagaimana caranya mengatasi,” katanya. ”Aku cuman perlu memberi sedikit kesenangan pada para petugas itu.”
***
Aku ceritakan semua tentang mbak Surati kepada ibuku. “ Nak, kamu tahu ? Kata Ibuku. Jembatan sorga itu ada pada perempuan. Ia adalah ibumu, istrimu, anak perempuanmu, saudara perempuanmu, keluarga dekat dan jauh perempuanmu. Jembatan itu sangat tipis. Mudah membuatmu tergelincir. Itu membutuhkan kesabaran agar seimbang. Butuh kekuatan. Itu akan jadi bebanmu sepanjang usia. Jadilah pria sesungguhnya. Upayamu mencari rezeki dengan niat melaksanakan tanggung jawab Tuhan itu, setiap tetes keringat itu akan menjadi doa yang sangat Tuhan suka. Membuat hal yang sulit jadi mudah, yang tak mungkin jadi mungkin, keberkahan harta membuat tubuhmu sehat dan rezeki lapang. Itu janji Tuhan.
“ Sayang” Kata ibuku seraya membelai kepalaku dengan cinta tulus. “ Tuhan tidak membebani wanita untuk menjaga pria, tetapi, Tuhan mewajibkan pria untuk menjaga perempuan. Begitu agama mendidik para pria. Tanggung jawab pria itu dihadapan Tuhan sangat berat. Dia harus bertanggung jawab kepada perempuannya. Itu tanggung jawab seumur hidup. Jaga suasana hatinya. Jangan keluhkan kalau berat dirasa ya sayang.”
“ Ya mak..”
“ Kalau tanggung jawab pria di laksanakan dengan ikhlas, Rezeki mereka akan dimudahkan oleh Tuhan. Dan karena itu tidak perlu ada perempuan seperti Surati itu. “ kata ibu seraya memelukku
“ Mak boleh engga aku bujuk Mbak Surati untuk dagang ikan. Ambil di pelelangan. Jual di pasar. Aku ada tabungan untuk modalnya“ Kataku.
“ Kenapa ? Kata ibu tersenyum.
“ Dia temanku. “kataku. Ibuku mengangguk. “ Jangan rendahkan dia, dan jangan buat hatinya terluka hanya karena kamu nasehati dia. Perempuan itu sayang, bisa menerima apa saja , kecuali kata kata yang merendahkannya. Dan kamu rendahkan dia, Itu akan menyusahkanmu. Tuhan akan marah kepadamu. Jaga perasaannya ya” Pesan ibuku.
" Walau kamu sekolah tidak pintar, tetapi hatimu mulia sayang. Amak tidak akan kawatir akan hidupmu kelak. Kamu akan baik baik saja. Tuhan akan jaga kamu" Sambung ibu saya.
Keesokannya aku cerita kepada ibu. Bahwa Mbak Surati menolak rencanaku. “ Tanggung jawabmu sudah selesai. Itu urusan dia dengan Tuhan. Doakan saja, ya sayang “
Tanjung karang 1979
Source : Mydiary.