Sunday, December 14, 2025

Aku dekat lewat doa..

 




Setiap pagi jalan ke sekolah aku tahu Ale ada di belakangku. Sekolah kami beda. Sekolah Ale lebih jauh. Aku tidak perlu menoleh untuk merasakannya. Langkahnya sedikit lebih panjang dari langkahku. Suara sepatunya selalu tiba satu detik setelah kakiku menyentuh tanah. Kami berjalan searah. Bertahun-tahun. Jalan yang sama. Waktu yang sama. Aku pura-pura tak tahu. Bukan karena aku tak peduli. Di Madrasah, kami diajari banyak hal. Tentang adab. Tentang menjaga pandangan. Tentang perempuan yang baik tidak menggoda dunia dengan tatapan. Aku memegang itu erat-erat. Terlalu erat, mungkin.


Aku tahu Ale memerhatikanku. Aku juga tahu aku cantik—orang sering berbisik, tetangga sering menatap. Dan karena itulah aku justru harus lebih menjaga diri. Kecantikan, kata ibuku, bukan anugerah tanpa ujian. Aku menyukai Ale sejak kali pertama mendengar suara azannya di masjid dekat rumahku. Ale tetanggaku. Dia pendiam dan aku takut bila mataku bertemu matanya. Begitu agama mendidik kami.  Aku takut hatiku lebih cepat berlari daripada kakiku.


Pagi itu… aku tak pernah menyangka akan seburuk itu. Aku merasakan sesuatu yang hangat dan salah di tubuhku. Saat menoleh ke bawah, lututku melemas. Darah. Di tengah jalan. Di depan dunia. Aku berhenti. Tanganku refleks menutup bagian belakang rokku. Aku ingin lenyap. Aku ingin bumi menelanku. Lalu aku menoleh. Ale ada di belakangku. Wajahnya kaget, tapi matanya tidak menjajahku. Tidak menertawakan. Tidak memalukan. Hanya… peduli. Dan itu membuatku semakin ingin menangis.


Aku hampir membiarkannya pergi. Aku hampir memilih malu daripada meminta tolong. Tapi aku takut. Dan lebih dari itu—aku percaya padanya.


“Ale…” aku memanggil.


“ Ya Ria. Ada apa ? 


Saat ia menyebut namaku, jantungku berdentum keras. Ia melihat darah itu. Aku ingin mati. Tapi caranya berkata—pelan, tak menghakimi—membuatku merasa masih manusia.


Ketika aku memintanya ke rumah bunda untuk ambil pakaian dalam. Aku menunduk. Bukan karena rendah, tapi karena aku tak sanggup menahan gemetar. “ Ale, Ia tunggu di rumah itu. “ kataku menunjuk rumah tidak jauh. “ Aku akan bersihkan diri di rumah itu.” Sambungku terbata dan lirih.


Ale pergi tanpa bertanya. Tanpa membuatku merasa kecil. Saat ia kembali membawa kantong plastik, aku tersenyum. Aku ingin mengatakan lebih banyak. Ingin mengatakan terima kasih yang lebih dalam dari sekadar kata. Tapi lidahku kelu. “ Ria, aku jalan dulu. Sekolahku masih jauh.” Katanya dan berlalu cepat. Aku melihat punggungnya menjauh. Dan entah kenapa, aku tahu— hari itu akan tinggal lama di hatiku.


Setelah itu, aku sengaja menjaga jarak. Bukan karena aku melupakannya. Justru karena aku takut berharap. Aku tahu hidup Ale berat. Aku melihatnya pulang membawa bau pasar. Aku tahu dia bekerja setelah sekolah. Aku tahu aku bukan prioritas dalam hidupnya—dan mungkin memang tak seharusnya. Aku lebih sering di rumah. Menjahit. Membantu ibu. Menunggu waktu yang tidak pernah datang.


Pada suatu menjelang maghrib. Sepupuku marah besar. Karena aku tidak mau diajak pergi ke bioskop. Dia  berusaha menarik tanganku di gang dekat rumah. Tapi aku menolak. Saat itu Ale sudah ada dekat ku. Aku tahu kebiasaan Ale sholat magrib di masjid yang ada di ujung gang. 


“ Ada apa Ria.” Sapanya. Sepupuku marah dan mengusir Ale. Namun mata Ale tetap kepadaku. “ Ria, kamu engga apa apa kan” 


“ Aku engga mau ikut. Aku engga pernah pergi malam. “ kataku. Ale tanpa komando meminta sepupuku melepaskanku. Namun sepupuku marah. Dia pukul Ale namun Ale dengan cepat mengelak seraya melepaskan serangan ke leher sepupuku.  Cepat sekali kejadiannya. Sepupuku jatuh. Pergi begitu saja sambil menahan sakit di tenggorokannya. Aku tahu Ale dikenal di kampung jago karate namun dia tidak pernah berkelahi. Ale antar aku ke rumah. Dia membungkuk depan bunda dan permisi untuk ke masjid.


Pada satu hari,  Ale lewat dengan ransel besar di punggungnya, aku tak bisa diam. Aku berlari ke teras, tak peduli tetangga melihat.


“Ale!”


Saat kami berhadapan, dua langkah jaraknya, aku melihat wajahnya lebih dewasa. Lebih keras. Tapi matanya tetap sama.


“ Jadi juga kau merantau ke jawa.” Tanyaku. Ale mengangguk dan tersenyum. “Ale… hati-hati ya.”


Itu satu-satunya doa yang berani kuucapkan. Aku ingin mengatakan, “ jangan lupa aku.  Tulis surat. Kalau pulang, cari aku. Tapi perempuan seperti aku tidak mengatakan itu. Kami belajar melepas sebelum memiliki. Aku berdiri lama di teras setelah ia pergi. Menunggu sampai bayangannya hilang.


Setahun berlalu, Ale tidak pernah pulang. Bahkan lebaran pun tidak datang. Lebaran tahun berikutnya. Ale juga tidak datang ke kampung. Dua lebarang lebih berlalu kemudian aku menikah. Menikah atas pilihan orang tua. Suamiku adalah takdirku namun cinta adalah pilihan. Aku memilih Ale. Mencintai bukan dosa. Cinta itu rahmat Allah.


***

Tahun 2008.


Aku melihat Ale saat ia melangkah keluar dari pintu feri Tanjong Pinang. Walau penampilannya sudah berubah. Namun wajahnya tidak pernah aku lupa. Ia lekat dalam batinku. Aku ragu menyapanya. Ale terlalu gagah dengan penampilannya. Aku janda miskin. Kerja sebagai penjaga toko kelontongan. Menerima upah harian. Lalu mata kami bertemu. Waktu seperti berhenti.


“Ale…” ucapku lebih dulu, suaraku nyaris tak terdengar di tengah riuh dermaga.


Ia menoleh  “Ria?” sapanya dan mendekatiku.  Ia tersenyum, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Wajahnya pucat. Bibirnya kering. Keringat dingin terlihat di pelipisnya.


“Kamu kenapa, Ale?” tanyaku spontan.


Ia mencoba berdiri tegak, seperti dulu—selalu menolak terlihat lemah. Tapi langkahnya goyah. Tubuhnya terhuyung ke depan. Tapi tubuhnya terhuyung.


Wajahnya pucat. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Tangannya gemetar saat aku menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Aku dudukkan dia di kursi kayu warung. Tanganku refleks menuangkan air hangat. Seperti seorang ibu. Seperti seorang istri. Seperti… perempuan yang pernah diam-diam mencintainya.


“Ale demam,” kataku.


Dia tersenyum lemah. Senyum yang sama seperti dulu—tak pernah minta dikasihani. Dari pakaian nya aku tahu ? ale bukan orang biasa. Namun ia tetap lelaki yang dulu berjalan di belakangku dengan langkah tertib. Lelaki yang berdagang di pasar setelah pulang sekolah. Yang rajin sholat magrib dan isya di masjid. Yang pendiam.


Saat jemputan hotel datang, ia memegang lenganku. “Jangan tinggalkan aku, Ria.”


Kalimat itu membuat lututku lemas. Bukan karena rayuan. Tapi karena kejujuran yang tak dibuat-buat.


“ Ya Ale..Aku ikut aku temani kau” kataku cepat.


Dalam perjalanan, kepalanya tertidur di pangkuanku. Selama itu aku tidak bergerak. Tidak berani. Aku takut membangunkannya. Aku tahu dia tertidur karena demam. Sepanjang jalan aku berdoa dalam diam.”  Ya Allah, jaga Ale. Setiap hari sepanjang tahun tahun berlalu aku berdoa agar bisa bertemu lagi dengan Ale… Jaga Ale, Tuhan” 


Sampai di hotel, stafnya sudah menanti di lobi. Semua rapi. Semua cepat. Dokter segera dipanggil. Dunia Ale bergerak dengan kecepatan yang tak pernah aku bayangkan. Tapi di kamar itu, ia tetap manusia yang muntah karena sakit, yang menggigil karena demam, yang tetap tersenyum agar aku tidak khawatir.


Aku tidak pulang malam itu. Bukan karena lupa adab. Bukan karena lupa diri. Suamiku sudah lama meninggal. Anak perempuanku sudah besar. Aku sudah terlalu lama sendiri untuk takut pada prasangka, tetapi terlalu beriman untuk melanggar batas. Setelah dokter datang memeriksa Ale. Memberi obat untuk Ale makan. Tak berapa lama Ale tertidur.  Aku duduk di sofa. Aku hanya ingin memastikan Ale baik baik saja.


Menjelang subuh aku terbangun. Ternyata aku tertidur di sofa. Ale tersenyum menatapku. “ Duh Ria, maafkan aku. Gimana kalau sampai suami kamu tahu kamu disini. “ Kata Ale.

“ Suamiku sudah meninggal 10 tahun lalu Ale. Kena TBC.” Kataku.” Tadi aku sudah telp anaku. Dia ngerti. “ sambungku.


Kami sholat subuh berjamaah. Aku tak perlu mukena. Baju kurung dan hijabku sudah cukup. Saat ia mengimami, aku teringat masa remaja. Suara azannya di masjid kampung. Bacaan Qur’annya di bulan puasa. Aku dulu sering berhenti menjahit hanya untuk mendengarnya dari speaker masjid. Kini aku berdiri di belakangnya. Air mataku jatuh tanpa suara.


“Dulu,” kataku pelan setelah sholat, “aku selalu menunggu azan Ale. Sekarang… Allah beri aku kesempatan sholat berjamaah denganmu.”


Ia hanya tersenyum. Setelah itu Ale sibuk dengan dunianya. Telepon menggunakan Bahasa inggris. Aku duduk di sofa, memperhatikannya. Lelaki yang dulu berjalan di belakangku kini jarak dunia kami sangat jauh. Tapi sikapnya tetap sama. Tidak meninggikan suara, tidak merendahkan siapa pun.


Setelah itu Ia menghampiriku. 


“ Ale ke Bintan ngapain?” tanyaku pelan, takut suaraku mengganggunya.


“Undangan,” jawabnya lirih. “Rombongan presiden. Peresmian proyek wisata.”


Aku diam. Bukan karena kagum pada presiden. Tetapi karena lelaki miskin yang  pendiam dan rajin sholat kini ada bersama sama orang orang hebat negeri ini.  Kalau Ale orang biasa, engga mungkin dia dapat undangan. Engga mungkin staff nya yang orang Singapore begitu hormat kepadanya.


“Kamu… kerja di dermaga?” tanyanya pelan.


Aku mengangguk.


“Warung kecil. Upah harian,” jawabku jujur.


Ia menunduk sejenak. 


“Tidak apa-apa, Ale,” kataku cepat. “Hidup memang tidak pernah bertanya dulu sebelum berubah.”


Ia terdiam. Lalu berkata, “Ceritakan hidupmu.”


Aku ragu. Tapi entah mengapa, di hadapannya, aku tidak merasa perlu menutup apa pun.


“Suamiku orang baik,” kataku pelan. “Tapi miskin. Kerja di Kebun Sawit. Satu waktu dia sakit. Batuknya tidak sembuh-sembuh. Dokter bilang TBC. Waktu itu uang kami tidak cukup untuk berobat ke rumah sakit besar.” kataku


Ale menatapku. Tidak memotong.


“Dia meninggal saat anakku masih kecil,” lanjutku. “Sejak itu aku kerja apa saja yang penting halal. Terakhir sedaraku punya took kelontongan di Tanjung Pinang. Dia tawari aku kerja jaga warung. Upah harian. Cukup makan.” 


Aku tersenyum tipis. “Tapi aku tidak marah pada hidup, Ale. Aku cuma belajar bertahan.”


Ia menarik napas panjang. Aku melihat matanya berkaca-kaca.


“Kamu kuat,” katanya.


“Tidak,” aku menggeleng. “Aku hanya tidak punya pilihan. Aku dapat amanah membesarkan anak yatim” 


Ia diam lama. Lalu berdiri, membuka tas selempangnya. Mengeluarkan amplop tebal. Meletakkannya di meja.


“Ria,” katanya pelan tapi tegas, “terima ini.”


Aku langsung berdiri. “Ale, jangan. Aku tidak bisa terima. “ 


Ia mengangkat tangan, menghentikanku.


“Dengarkan aku dulu,” katanya.


Aku terdiam.


“USD 35.000,” katanya tanpa nada pamer. “Aku ingin kamu pakai untuk hidupmu. Untuk anakmu.”


Aku menelan ludah. Lututku melemas.


“Ale… itu terlalu besar.”


Ia menatapku lurus. “Tidak ada yang terlalu besar jika niatnya benar.”


Aku menunduk. Air mataku jatuh. Ale mendekat satu langkah—tetap menjaga jarak. “ Ria, beri kesempatan aku menjaga anak yatim, melaksanakan amanah surat Almaun.”


Aku terisak.


“Ria,” lanjutnya pelan, “kekayaan tidak membuat seseorang tinggi. Yang membuat seseorang tinggi adalah kerendahan hatinya. Dan kamu mengajarkanku itu, bahkan tanpa bicara.”


Aku menerima amplop itu dengan tangan gemetar. Subuh , aku tetap sebagai perempuan yang sama tetapi dengan keyakinan baru, bahwa Allah tidak pernah salah menempatkan kesabaran. Dan bahwa diam yang dulu kami jaga ternyata disimpan-Nya untuk hari yang tepat.


***


Pagi masih muda ketika mobil hotel itu berhenti di depan lobi. Mesinnya menyala pelan. Seolah tahu, ada sesuatu yang belum selesai—meski tak ada lagi yang harus dikatakan. Ale berdiri lebih dulu. Wajahnya sudah jauh lebih segar. Kaus putih celana denim. Rambut tersisir. Lelaki yang siap kembali ke dunianya. Aku berdiri beberapa langkah di belakang, menggenggam tas kecilku. Amplop itu terasa berat—bukan di tangan, tetapi di dada.


“Ria,” katanya sambil membuka pintu mobil, “aku antar sampai dermaga.”


“Tidak usah, Ale,” jawabku cepat. “Aku bisa jalan sendiri.”


Ia menoleh. Menatapku lama. Tatapan yang tidak memerintah, tidak memaksa.


“Aku ingin…” katanya singkat.


Aku mengangguk dan masuk ke dalam kendaraan. Kami duduk berdampingan di kursi belakang. Tidak terlalu dekat. Tidak terlalu jauh. Seperti jarak yang selalu kami jaga sejak dulu.


Mobil bergerak.


Di luar jendela, pepohonan resort berganti dengan jalanan kota. Laut terlihat sebentar, lalu hilang. Dunia terus berjalan, tak peduli dua manusia di dalam mobil sedang mengunci kenangan terakhir.


“Ale,” kataku akhirnya, memecah diam. “ sejak ale merantau. Setiap malam aku berdoa agar Alllah pertemukan aku kembali dengan Ale. Dan setelah aku dijodohkan oleh orang tua untuk menikah. Pindah ke Riau, tetap nama Ale selalu kusebut dalam doa. Dan kini Allah kabulkan doaku” 


Ia menoleh. “ Ria .” Suaranya lembut dan tersenyum. “ Nasip kita sama. Kamu dijodohkan orang tua. Akupun menikah dijodohkan orang tua. “


“Aku menerima dijodohkan karena Allah,” lanjutku, “karena aku percaya niat orang tua baik. .. Dan mencintai  itu pilihan namun menikah adalah takdir. “ 


Ia tersenyum kecil..


Aku menarik napas. “Ale… hidupmu sekarang jauh. Tinggi. Aku hanya orang kecil. Aku malu dengan diriku sendiri karena punya teman sehebat ini.."


Ia menggeleng pelan.


“Kamu salah,” katanya. “Orang kecil adalah mereka yang hidup tanpa prinsip. Kamu tidak.”


Aku menunduk. Kata-kata itu terlalu berat untuk dibalas.


Beberapa detik berlalu.


“Ria,” katanya lagi, lebih pelan, “  Kalau suatu hari kamu butuh apa pun, telp aku. “ Ale menyerahkan kartu Namanya.


Aku cepat memotong. “Ale, aku akan baik baik saja. “ 


Ia terdiam. Ia menarik napas panjang.  “Kamu selalu begitu,” katanya akhirnya. “Selalu tahu kapan harus berhenti.”


Aku tersenyum pahit. “Karena tidak semua yang kita jaga harus kita miliki.”


Mobil melambat. Dermaga sudah terlihat. Suara kapal, bau laut, kehidupan yang akrab bagiku.


Ia meraih tas kecilku. Menyerahkannya.


“Jaga dirimu, Ria.”


Aku menerima tas itu. Menatapnya.


“Ale,” kataku pelan, hampir seperti doa, “jaga hatimu. Jangan biarkan dunia membuatmu lupa siapa dirimu.”


Ia mengangguk. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tersenyum.


Aku membuka pintu. Turun.


Sebelum mobil bergerak, aku menoleh sekali lagi. Ia masih duduk di sana. Menatapku. Aku mengangkat tangan. Melambaikan.


Ia membalas.


Mobil itu bergerak perlahan, lalu menghilang di tikungan. Aku berdiri lama di dermaga. Tidak menangis. Tidak mengejar. Menatap ujung langit dari pangkal akanan. Matahari terasa dekat namun tidak pernah terjangkau kecuali hanya merasakan hangatnya saja. Aku sadar,  beberapa cinta tidak ditakdirkan untuk berjalan bersama. Cukup saling mendoakan dari arah yang berbeda.


Dan pagi itu, aku pulang ke hidupku dengan langkah yang lebih tegak daripada saat aku datang.


***


Usia mengajarkan satu hal yang tidak pernah diajarkan cinta masa muda, bahwa tidak semua pertemuan ditakdirkan untuk dimiliki, sebagian hanya dititipkan—sebentar—agar kita belajar bersyukur.


Aku hidup tenang sekarang. Anakku sudah berkeluarga. Tokoku kecil, tapi cukup. Setiap subuh aku membuka pintu dengan doa yang sama sejak bertahun-tahun lalu, semoga hari ini Allah cukupkan aku, dan semoga aku tidak menjadi beban bagi siapa pun. Semoga Ale dijaga Allah siang dan malam. 


Kadang, saat aku menyapu lantai toko, ingatanku melayang. Bukan pada lelaki yang menjadi suamiku dulu—ia sudah kembali kepada Tuhan dengan baik—tetapi pada seorang laki-laki yang tak pernah menyentuh tanganku, tak pernah menjanjikan apa pun, namun menjaga jarak dengan penuh hormat.


Ale.


Aku tidak pernah menelponnya. Bukan karena tidak rindu. Tetapi karena aku tahu, cinta yang benar tidak perlu dibuktikan dengan kehadiran yang terus-menerus. Ia hadir satu kali di hidupku sebagai perempuan dewasa. Saat aku sudah belajar kehilangan, saat aku sudah tidak meminta untuk dipilih.


Di kamar hotel itu, aku tidak merasa menjadi perempuan kesepian. Aku merasa menjadi manusia yang diberi amanah menjaga manusia lain. Saat aku mendekap kepalanya di pangkuanku agar dia damai, aku tahu aku tidak sedang menolong orang besar, aku sedang menolong lelaki yang dulu menolong kehormatanku tanpa syarat. Ketika aku memilih duduk di sofa semalaman, aku tidak merasa berkorban. Aku merasa sedang melunasi sesuatu yang tak pernah ditagih. Cinta, ternyata, tidak selalu ingin dimiliki. Kadang ia hanya ingin memastikan orang yang kita sayangi baik-baik saja.


Aku tahu dunia Ale besar. Terlalu jauh jarak social kami. Namun dalam doaku Ale tidak pernah jauh dariku. Aku tidak pernah merasa tertinggal. Karena cinta yang patuh pada Tuhan tidak iri pada takdir orang lain. Aku bahagia tanpa harus menjadi bagian dari hidupnya. Dan aku tahu—dia juga bahagia tanpa harus membawaku.


Uang yang Ale titipkan padaku bukanlah ikatan. Itu kepercayaan agar aku menjaga anak yatim. Dan aku menjaganya seperti aku menjaga namanya dalam doa. Benarlah. Uang pemberiannya berkembang. Aku bisa punya toko sendiri. Bisa beli rumah. Bisa membiayai anak kuliah sampai ke Jawa. Membiayai pernikahan putriku. 


Aku tidak menyesal dengan masa lalu. Aku justru bersyukur bahwa aku jatuh cinta kepada pria yang tepat. Walau aku tidak tahu apakah Ale juga mencintaku. Jika kelak di akhirat kami bertemu lagi, aku ingin berkata kepadanya tanpa air mata “Terima kasih telah menjadi cinta yang membuatku berdamai dengan kenyataan. Semua karena Allah dan kembali kepada Allah.”


Tidak ada cerita yang tertunda. Tidak ada janji yang patah. Hanya satu keyakinan yang utuh, bahwa cinta yang paling jujur adalah cinta yang tahu kapan harus diam, dan kapan harus menyerahkan segalanya kembali kepada Tuhan.


Aku dekat lewat doa..

  Setiap pagi jalan ke sekolah aku tahu Ale ada di belakangku. Sekolah kami beda. Sekolah Ale lebih jauh.  Aku tidak perlu menoleh untuk mer...