.
Lim, relasi saya di China menawarkan peluang bisnis. “ Enam cargo crude milik perusahaan minyak venezuela PDVSA dihentikan oleh otoritas AS. Dianggap melanggar sanksi dagang terhadap Iran.” Kata Lim.
“ Memang benar itu cargo ke Iran? tanya saya.
“ Ya benar sih. Tapi yang dilarangkan transfer uang. Pengapalan tidak bisa dilarang. Tapi ya mau gimana lagi. Itu suka sukanya Amerika. Dia punya kuasa dan kekuantan. Kemarahan dan protes dari Hugo Chavez tidak dianggap AS. “
“ So?
“ Saya bingung. Kamu ada solusi?
“ Apa mungkin kita lakukan skema counter trade? Tanya saya.
“ How?
“ Saya akan atur melalui agent di London. Mereka punya cara untuk koneksi ke pelabuhan hub trading oil seperti Singapore atau Hong kong. Saya akan bayar dalam bentuk produk yang diperlukan venezuela seperti alat kesehatan dan obat obatan atau makanan atau apalah.
“ Gimana settlement transaksinya?
“ Trader Iran yang terdaftar di UEA akan teken kontrak dengan seller crude di Venezuela. Trader di UEA itu membayar transaksi pembelian produk dengan perusahaan yang terdaftar di Xinjiang, China. Kemudian produk itu dikapalkan ke Venezuela melalui pelabuhan Hong Kong sebagai pembayaran Crude.” Kata saya. Setelah melakukan perundingan dengan Teheran, Dubai dan Venezuela, transaksi itu bisa terlaksana sempai 12 cargo. Lumayan untungnya bisa 200%. Tahun 2011 terjadi skandal. Bank inggris yang memfasilitasi transaksi itu kena denda USD 1 miliar.
***
Tahun 2014, saya dapat email dari Aliana.
My dear,
Saya berharap kamu baik baik saja. Saya merindukan kebersamaan kita beberapa tahun lalu. Ingatkah kamu ketika kita habiskan malam di Caracas, Las Mercedes. Kota yang tak pernah tidur. Kita pergi ke restoran, nonton film , pergi ke Bar dan berakhir ke night club. Mentertawakan pria China yang gagal menggoda wanita latin berbokong besar. Sepertinya sosialisme tidak applicable dalam hubungan asmara, ya kan.
Kini kehidupan malam di Caracas telah berubah banyak. Kamu tidak akan menemukan keceriaan di semua tempat di Caracas. Pada malam hari, rasa takut merasuk. Setelah jam 8 malam, jalan-jalan sepi, seakan berlaku jam malam. Caracas menjadi kota dengan tingkat pembunuhan tertinggi di dunia. Wajah malam kelam karena listrik di jatah hidupnya. Wajah murung di ujung malam dalam antrian di depan apotik mengharapkan jatah obat yang terbatas, dan di depan swalayan yang malas melayani karena stok tidak tersedia cukup. Harga melambung sampai 7 kali lipat. Kehidupan sehari hari penuh curiga dan awas. Caracas tidak lagi menawarkan kesenangan dengan banyak pilihan. Semua karena pemerintah salah urus perekonomian.
Kamu ingat kan La Quinta Bar tempat kita menghabiskan malam dengan live music salsa, kini hanya buka tiga hari dalam seminggu. Pengunjung sepi kecuali orang China yang masih suka datang karena merindukan wanita berbokong besar. Kami merindukan semua yang hilang itu. Mungkin tadinya kami tidak pernah berpikir akan jadi begini. Tapi sebetulnya sudah dapat di tebak karena mana mungkin kita mempercayakan kemakmuran dengan penguasaan sumber daya di tangan pemerintah.
Saya ingat dulu kamu bilang bahwa kemakmuran itu harus datang dari upaya kemandirian rakyat. Pemerintah tidak boleh mengintervensi pasar hanya untuk mengendalikan harga. Sekali harga dikendalikan maka itu akan menimbulkan paradox, sehingga orang malas berkompetisi. Sekali semangat kompetisi menurun maka kreatifitas hilang dan kekuatan bangsa melemah. Benarlah adanya.
Ingat dulu ketika Hugo Chavez terpilih kembali pada tahun 2006, ia mengambil alih sektor peternakan, supermarket, bank, telekomunikasi, perusahaan listrik, perusahaan minyak dan layanan dan perusahaan manufaktur yang memproduksi botol, baja, semen, kopi, yoghurt, deterjen dan bahkan kaca. Produktivitas menurun tajam di semua sector.
Benar katamu my dear. Venezuela mendapatkan berkah kemelimpahan MIGAS dengan cadangan terbesar di dunia. Ini berkah tapi juga kutukan. Kami hidup dalam euphoria sosialisme. Semua serba mudah mengurus Negara karena Migas selalu ada untuk memanjakan rakyat. Tapi kemanjaan demi kemanjaan yang datang dari migas ini membuat kami menjadi lemah secara budaya dan ekonomi. Sosialisme memberian ruang elite mengambil banyak dan memberi sedikit kepada rakyat. Kami terlena akan semua kepalsuan dari jargon bahwa tidak perlu bayar pajak, dan orang boleh kerja apa adanya dengan UMR perbulan sama dengan 3 bulan UMR Indonesia.
Apa hasilnya kini? Ketika harga minyak jatuh yang tidak dapat lagi menutupi ongkos produksi, kami kelaparan di dalam lumbung padi. Negara yang telah menasionalisasi PMA tidak mampu lagi mencetak laba untuk mengongkosi rakyat yang tak pernah mandiri, dan hutang digali berharap mempercepat kemakmuran tapi nyatanya menjebak kami gagal bayar. Kepercayaan keuangan international runtuh. Kami mulai kembali hidup keabad terbelakang dalam mengurus ekonomi : mencetak uang dan menjual cadangan emas. Apa yang terjadi? Nilai uang terjun bebas hingga 98%. Inflasi meningkat 700% dan masa depan tidak ada harapan lagi.
Setidaknya ada satu hikmah betapa buruknya bergantung pada impor. Memang untuk mencapai tujuan sosial, lebih baik menggunakan pasar daripada menekannya. Maka, mematok harga komoditas pangan, bukan jalan keluar. Lebih penting mengelola harga pasar agar mendorong produktivitas dan daya saing ekonomi rakyat.
Kini dalam kesendirian di apartment kecil , dengan penerangan listrik yang dijatah. Aku merindukan kebersamaan dulu pernah kita alami. Oh ya aku ingat ketika suatu pagi kita berjalan ke pasar di kota kecil di China. Aku melihat seorang ibu bersama bayinya di punggung mendorong kereta dagangannya di tengah cuaca winter. Wanita itu nampak lelah namun wajahnya ada harapan. Kamu bilang “ Wanita itu hidup dalam semangat sosialisme yang di koreksi dengan menggunakan budaya China, semangat kemandirian dan Negara menjaga passion itu lewat kebijakan pasar yang terbuka. Kompetisi terbangun dan Negara menjami keadilan dalam berkompetisi ".
Sosialis komunis China belajar dari kegagalan revolusi kebudayaan, di mana semua orang dijamin dan Negara menguasai sumber daya. Apa hasilnya? puluhan juta orang mati kelaparan di lahan pertanian dan tambang. Pelajaran itu sangat mahal. Tapi di china para elitenya dapat berdamai ketika harus berubah dengan mengkoreksi komunisme.
Tapi My dear, di sini ketika krisis terjadi, mereka bukannya bersatu mencari solusi malah para oposisi sibuk mencari kambing hitam dan memprovokasi terjadinya kakacauan. Penjarahan toko terjadi dengan wajah garang. Kemarahan tidak seharusnya terjadi karena kami cinta damai. Agama kami mengajarkan itu. Rakyat bodoh karena mereka malas. Sangat mudah di provokasi dengan janji para oportunis politik, namun tidak menawarkan sesuatu yang baru. Mereka hanya mengulang retorika sosialisme yang akan menjamin kemakmuran dengan sumber daya alam tanpa harus bayar pajak. Semua akan mudah dan setiap malam tetap bisa pesta dansa dansi diiringi live music. Sayang sekali, banyak orang tidak menyadari bahwa pesta itu sudah usai! Kedepan, tidak akan ada kemakmuran karena MIGAS.
***
" Keadaan Caracas semakin tidak menentu. Gelombang protes terus meluas. Apa yang harus dilakukan dengan lokal staff di sana? Tanya William dikektur holding.
“ Ada berapa lokal staf di sana ?’
“ Tinggal dua orang. 5 staff asing sudah semua diterbangkan keluar”
“ Ok sambungkan saya dengan Ramon di Panama” Kata saya.
Tak berapa sekretaris minta saya menerima sambungan dari Panama.” Ramon, tugas kamu evakuasi semua staff lokal di Caracas ke Panama. Nanti team dari New York akan atur kepindahkan mereke ke negara lain.” Kata saya.
“ Apakah termasuk keluarganya ?
“ Ya.
“ Siap pak. Segera saya lakukan.”
Sebulan kemudian saya dapat kabar dari Panama. Salah satu tidak mau di evakuasi, yaitu Aliana. Dia bertugas sebagai penghubung dengan pemerintah dan perusahaan di Venezuela. Saya putuskan sendiri akan terbang ke Panama dan terus ke Caracas. Membujuk Aliana untuk mau di evakuasi. Selama kunjungan itu saya akan dipampingi Ramon.
Mengunjungi Venezuela saat ini tidaklah mudah karena sebagian besar maskapai telah menghentikan penerbangan mereka ke dan dari Venezuela.Terbang melalui Panama City adalah pilihan tepat. Agar tidak sampai malam hari, kami memilih penerbangan awal. “ Di sana tidak aman” kata Ramon. “ Mereka terjebak dengan budaya petrostat. “ menambahkan
“ Apa itu petrostat?
“ Itu istilah informal yang digunakan untuk menggambarkan suatu negara dengan beberapa atribut yang saling terkait, yaitu pendapatan pemerintah sangat bergantung pada ekspor minyak dan gas alam, kekuatan ekonomi dan politik sangat terkonsentrasi pada minoritas elit, dan institusi politik lemah dan tidak bertanggung jawab, dan korupsi merajalela.” Kata Ramon. Saya mengangguk dan termenung seperti Indonesia mungkin.
“ Sejak ditemukan di negara itu pada tahun 1920-an, minyak telah membawa Venezuela dalam perjalanan boom-and-bust. Ini mungkin jadi bahan pelajaran bagi negara lain yang kaya SDA. Pemerintahan yang buruk selama puluhan tahun telah mendorong negara yang pernah menjadi salah satu negara paling makmur di Amerika Latin menuju kehancuran ekonomi dan politik.
Padahal solusinya sederhana. Pemerintah harus menetapkan mekanisme yang akan mendorong terjadinya transformasi ekonomi dari SDA ke investasi produktif dan kreatif. Dan itu perlu prinsip membangun berbasis riset untuk menguasai IPTEK. Dari pendapatan Migas itu, asalkan tidak terlena seperti sebelumnya dan konsisten untuk melakukan tranformasi ekonomi, Venezuela akan jadi negara besar dan makmur. “ Kata Ramon saat di pesawat menuju Simón Bolívar International Airport.
Sampai di Bandara, Aliana menjemput kami. Dia tersenyum menyalami saya. “ Selamat datang pak di Caracas.” katanya sopan. Aliana mengantar kami ke Hotel dengan kendaraan yang dia setir sendiri. “ Keadaan sekarang tidak menentu. Kejahatan meningkat. Culik dan perkosa terjadi setiap hari. “ Kata Aliana. “ Para demontran memprotes pemerintah yang engga becus mengelola ekonomi. Tetapi dihadapi pemerintah dengan represif Pemerintahan Maduro menjadi semakin otoriter. Tentara menembaki kerumunan dengan peluru tajam, menahan pengunjuk rasa, dan menyerang jurnalis yang meliput protes. Semetara dihadapkan dengan popularitas yang anjlok dan ketidakstabilan yang serius, Maduro melakukan serangkaian upaya yang semakin otoriter untuk mengkonsolidasikan cengkeramannya. “ Lanjut Aliana.
Caracas adalah Megacity dengan sentuhan sosialisme. Pada tahun 70-an-80-an ini adalah kota paling berjaya di Amerika Selatan dan kini masih bisa melihat kejayaannya. Pencakar langit mendominasi cakrawala, tetapi perbukitan di sekitarnya menceritakan kisah lain. Jutaan orang tinggal di apa yang disebut "barrios" atau daerah kumuh perkotaan. Rumah reyot dibangun di atas satu sama lain dan kehidupan di sini tentu saja yang paling sulit. Kelaparan, kejahatan, pemadaman listrik, dan kekerasan adalah norma di sini. Area Petare, terlihat di perbukitan di atas jalan yang kami lewati adalah simbol hipokrit dan terbesar di Caracas.
Kami tiba di hotel dan check in. Kami hanya melihat dua tamu lain yang menginap. Bar dan restoran tutup. Tidak ada gunanya mengeluh. Saya datang memang untuk membujuk Aliana keluar dari Caracas. Seperti yang diharapkan, pariwisata yang pernah berkembang pesat di kota ini sudah mati. Bahkan saya minta secangkir kopi, tidak ada. “ Karena listrik padam. “ Kata Aliana. “ Tapi saya akan ajak anda ke Cafe lain. Di sana ada ada kopi, kue dan Wifi. Kita bisa ngobrol santai.” Lanjutnya. Ya kami pergi saja ikut Aliana.
“ Huh enak kopinya” Kata saya setelah seruput kopi dan menghisap rokok dalam dalam. “ Mengapa tidak dikembangkan pontesi agro di Venezuela. Bukankah kalian hidup dengan iklim bersahabat sepanjang tahun? Tanya saya.
“ Untuk apa bertani? “ Kata Ramon. “ Menurut peringkat yang diterbitkan OPEC, Candangan minyak Venezuela melampaui Arab Saudi. Tetapi kapasitas produksi lebih rendah dari produksi Arab Saudi. Itupun sudah luar biasa bagi Venezuela. Kalau dengan minyak orang bisa makmur, bahkan rakyat Venezuela pernah merasakan pembagian hasil dari minyak dalam bentuk uang tunai. Untuk apa lagi bertani? Penjualan minyak menghasilkan 99 persen dari pendapatan ekspor dan kira-kira seperempat dari produk domestik bruto (PDB).. ” Lanjut Ramon.
“ Itu ulah Amerika yang tidak mau menerima kenyataan kami menerapkan sosialisme dan bermitra dengan Iran” kata Aliana.
“ Maksud kamu, Aliana ?
“ Tahun 2011, Amerika Serikat menghukum perusahaan BUMN minyak Venezuela dengan sanksi melarang penjualan ke Amerika Serikat dan pasar global lainnya, atau aktivitas anak perusahaan CITGO yang berbasis di AS. Bahkan AS melarang bank memberikan kredit ekspor kepada trader di AS dan dimana saja. Padahal 45% produksi minyak Venezuela adalah pasar AS.”
“ AS marah sebenarnya bukan karena Venezuela bermitra dengan Iran tetapi karena Chavez tahun 2007 menasionalisasi perusahaan minyak besar AS ExxonMobil dan ConocoPhillips. Itu fatal mistake” Kata Ramon. Saya menyimak saja”
“ Salahnya dimana ? Itu hak kami menerapkan idiologi sosialisme dalam produksi. Tidak bisa bergantung kepada kekuatan modal saja. Kami hanya perlu pembagian hasil produksi lebih besar dan punya hak sebagai pemegang saham pada perusahaan asing. Itu saja. Salah? Saya rasa itu karena sikap menjajah AS tidak bisa hilang. Mereka gunakan softpower menaklukan kami dan lihatlah korbannya…Apakah ini dibenarkan secara HAM? negara besar dengan kekuatan modal menindas negara kecil?
“ Dan setelah ada sangsi itu, Surat utang Venezuela global bond jatuh ratingnya dan sehingga berpotensi gagal bayar. Ya gimana mau bayar kalau bond tidak bisa di recycle. Jual minyak engga bisa, sementara perluasan sanksi bukan hanya kepada BUMN tetapi juga kepada mitra BUMN, seperti PCCI, Royal Oyster Group dan Speedy Ship dari Uni Emirat Arab, Tanker Pacific dari Singapura, Ofer Brothers Group dari Israel dan Associated Shipbroking of Monaco. Sumber penerimaan lain tidak ada untuk memenuhi APBN. Devisa cepat habis. Kami engga bisa impor lagi. Cetak uang? engga ada bank mau terima LC bermata uang kami. Ya untuk apa cetak uang kalau barang tidak ada di pasar. Justru inflasi semakin menggila. Kurs saat ini adalah USD 1 sama dengan 5.200 bolivar. Uang terdepresiasi begitu cepat sehingga kertas untuk mencetaknya memiliki nilai yang lebih besar daripada yang dapat dibeli dengan uang kertas. “ Kata Aliana.
Kami pergi Plaza Altamira, kemudian makan siang di restoran lokal terdekat. Menu mencantumkan semua item. Kami memesan hidangan lokal yang terdiri dari pisang raja, ayam, nasi, dan kacang-kacangan dengan jus segar. Enak dan porsi besar. Bill sekitar USD 5 atau Bolivar 26,000 atau Rp. 70.000.
Kami kembali ke Hotel. Saya bujuk Aliana untuk keluar dari Venezuela. Dia bisa kembali lagi apabila keadaan sudah normal atau dia bisa menetap di luar negeri. “ Maaf B, saya tidak akan meninggalkan negeri saya. Pemerintah memang salah tapi sosialisme tidak salah. Kami hanya perlu redefinisi kapitalisme ya seperti China. Ini soal perang idiologi dan persepsi tentang ekonomi. Antara kami dan AS. Kalau saya pergi, saya berkhianat kepada bangsa saya. Bagaimanapun saya Sarjana, sumber daya negara. Lebih baik mati di negeri sendiri dengan keyakinan daripada mati di negeri orang dengan keraguan” Kata Aliana.
" Venezuela “ lanjut Aliana” memang berada di tengah keruntuhan sosial dan kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penyebabnya sudah jelas. Yaitu embargo financial resource dari AS. Akibatnya tidak cukup uang untuk belanja negara dan tidak cukup valas untuk impor. Disituasi ini wajar sajalah terjadi kerawanan pangan, kesehatan dan keamanan. Di tambah lagi terjadi konflik politik. Seharusnya PBB berbuat sesuatu dengan melarang AS ikut campur terlalu jauh. Biarkan rakyat Venezuela berdamai sesama mereka." Kata Alina.
" Ya Itu harus didasarkan pada kesepakatan untuk hidup berdampingan antara semua aktor politik dan mliter, termasuk masyarakat sipil. Redefinisi demokratisasi melalui konsolidasi nasional menuju PEMILU yang bebas dan adil. Membangun kembali institusi demokrasi yang kuat dan cerdas. " Kata saya menegaskan. Aliana mengangguk dengan wajah sendu. Saya tidak bisa lagi membujuknya, Karena ini soal prinsip baginya. Semoga dia baik baik saja.
***
Kini setelah 8 tahun. Saya bisa merasakan sikap Alina. Tahukah anda bahwa sejak era Soeharto sampai kini, kita membangun bukan dari surplus pendapatan atas pengeluaran. Pendapatan tidak cukup untuk menutupi ongkos. Tanpa utang, negara ini tidak jalan. Kalaulah AS marah kepada Indonesia, mudah bagi AS menjadikan Indonesia jatuh seperti Venezuela. Apalagi dengan politik terpolarisasi akan mudah membuat chaos sosial disaat kurs terjun bebas dan SBN valas default. Mengapa ?
Pertama. Jumlah penduduk terus bertambah. Sementara ekspansi fiskal dibawah angka pertumbuhan penduduk. Mengapa? fiskal kita hanya tidak lebih 10% dari total APBN. Misal total APBN Rp. 100 triliun. Nah ekspansi kita hanya Rp. 10 T. Yang 90 T habis dimakan bayar gaji , bayar utang, ongkosi tentara dan TNI. Itupun 10% duitnya dari utang. Tanpa utang, kita tidak ada ekspansi. Nah bayangin kalau tidak ada eskpansi, sementara penduduk terus bertambah? mereka akan memakan yang sudah dibangun. Itu yang terjadi di Venezuela.
Kedua, cara kita bayar utang itu dengan skema daur ulang. Alias bayar utang pakai utang. Mengapa ? karena kita tidak punya surplus pendapatan untuk bayar utang. Nah bayangin, andaikan total utang pemerintah dan BI serta swasta/BUMN USD 598,7 miliar atau dengan kurs Rp. 15.600/USD maka total utang luar negeri mencapai Rp. 9340 Triliun. Ini mendekati Rp. 10.000 triliun. Apa jadinya kalau SBN global bond kita dicoret oleh market? Kita pasti collapse. Karena kita tidak bisa lagi lakukan skema daur ulang. Nasip kita akan sama dengan Venezuela.
Ketiga, cash flow kelancaran pembayaran utang luar negeri kita berasal dari skema liability management lewat Switch and Cash Tender Offer. Sumber dananya dari utang melalui Format SEC Shelf Registered itu kan 144 A. Itu money market limited offer dan restriction market yang dikendalikan AS. Apa jadinya kalau kita dicoret dari akses market ini? ya engga bisa bayar utang. Default. Itu dampaknya sistemik. Bahkan kurs rupiah kita ditopang Repo Line the fed. Kalau the fed cabut fasilitas itu, rupiah terjun bebas dan pemerintah jatuh.
No comments:
Post a Comment