Tuesday, October 19, 2021

Tidak mudah menjadi Ibu.

 



Jam 2 pagi aku terbangun oleh suara telp selularku. Aku segera meraih telp yang ada di lampu meja tempat tidur. Nara, Putriku. Tertera di layar telp selularku. “ Ada apa sayang? kataku.


“ Aku depan pagar ayah” Katanya dengan suara menahan tangis. Aku segera berlari ke lantai bawah. Tetapi sebelum aku sampai, Nara sudah ada di ruang tamu. ART sudah lebih dulu membukakan pintu. Nara tidak datang sendiri. Bersamanya ada dua cucuku. Dari wajahnya aku tahu Nara punya masalah dengan suaminya. Aku tak ingin bertanya lebih jauh. Aku sadar, sangat berat baginya untuk bisa keluar rumah tanpa suami.  Nara menangis. Aku peluk dia. “ Bawa cucu ayah ke kamar kamu, Ya sayang. “ Kataku seraya menghapus air matanya. Dia mengangguk. 


Aku termenung di kamar sendiri. Besok ulang tahunku yang ke 65. Itu juga berarti 10 tahun sudah aku ditinggal Mariam, yang meninggal karena kanker. Kami punya 2 putri dan 2 putra. Dua putri kami adopsi sejak mereka usia Balita. Dua putra anak kandung kami sendiri. Namun kami tidak pernah membedakan mereka. Usia mereka tidak terpaut jauh.  Boy, yang sulung sudah selesai kuliah. Dia sudah menikah dan memberiku 1 cucu. Tinggal di Surabaya. Randi, masih jomblo. Dia bekerja di pasar modal setelah tamat kuliah. Putriku Nara, jadi designer dan menikah dengan pengusaha. Punya anak 2. Terakhir Vivi, ibu rumah tangga, suaminya pengusaha.


Aku pergi ke ruang sholat yang ada di taman dekat kolam renang. Sampai di sana , sudah ada Nara bersimpuh sedang berdoa. Dia usai sholat tahajud. Aku sholat sunah fajar. Setelah itu, Nara berdiri ikut jadi ma’,mun sholat subuh. 


“ Ayah maafkan aku. Selalu membuat repot ayah.” Kata Nara usai sholat subuh. 


“ Tidak perlu minta maaf anakku. Mendiang bundamu berpesan kepada ayah walau kalian tidak lagi tinggal di rumah namun kamar kalian harus tetap bersih. Rumah ini akan selalu tempat kalian pulang dan ayah selalu ada untuk kalian.  Tenangkan diri kamu. Jangan terlalu sedih ya sayang” Kataku mengusap kepalanya. Nara berlinang air mata. 


Aku kembali ke kamar kerja untuk membaca dokumen sebelum pergi ke kantor. Telp masuk dari istri Boy. “ Ayah..” kata Weni.


“ Ya sayang,. ada apa ?


“ Mas boy sudah tiga bulan berhenti kerja. Katanya kerja di bank, haram.  Kehidupan kami sedang sulit ayah. Mas Boy tidak mau lagi bicara denganku. Karena aku menolak pakai hijab. Dia juga larang aku bicara kepada ayah. Gimana nasip kami ayah..”


“ Sabar ya sayang. Nanti Ayah bicara dengan Mas mu. Cucu ayah gimana?


“ Semua baik baik saja ayah.” 


Aku terhenyak. Sepagi ini aku dihidangkan masalah yang rumit dari anak anakku. Setelah sarapan aku pergi ke kantor. Dalam perjalanan aku telp Bayu, suami Nara. “ Ananda sehat ? kataku menyapa.

“ Oh ayah. Sehat yah..” 

“ Istri dan anak anak kamu di rumah ayah.” 

“ Ya ayah. Maafkan saya.”

“ Kalau ada waktu, Bayu temanin ayah ya makan siang” Kataku.

“ Ya ayah. Bayu  pasti datang.”


Setelah telp ditutup aku telp teman yang juga ustad. “ Assallamualaikum ustad”

“ Waalaikum salam. Eh Pak Dono apa kabar.”

Aku ceritakan masalah Boy. Dengan seksama ustad itu mendengar. “ Saya akan temui putra bapak sekarang. Insya allah selesai masalahnya. Boy masih pemula kok. Tenang saja pak. Engga usah kawatir.”


“ Terimakasih pak Ustad. “


“ Oh ya pak Dono, terimakasih donasinya untuk ponpes kami. Uang sudah kami terima minggu lalu. Surat tanda terima sudah kami kirim juga  ke  kantor bapak. “


“ Terimakasih juga pak Ustad. Selama ini bapak yang telah menuntun saya dalam beragama dan sabar.” Kataku. Setelah itu aku menghela nafas. 


Sampai di kantor jam 10 pagi. Aku dapat kabar dari Sekretarisku bahwa Randi menantiku di kamar kerjaku. Kudapati dia sedang duduk dengan wajah lesu. “ Ayah ..” katanya dengan canggung. Itu cirinya kalau ada masalah.


“ Ada apa,  sayang..”


“ Maafkan aku ayah..”


“ Ya ada apa ? AKu semakin kawatir.


“ Dewi hamil. “


“ Dewi siapa ?


“ Sekretarisku. “


“ Sama siapa hamilnya?


“ Aku ? Kata Randi dengan menunduk. 


“ Kamu? Dewi pacar kamu.? Kataku terkejut. Randi terdiam lama. Aku kenal sifatnya. Dia sangat pragmatis. Karenanya aku harus hati hati. 


“ Ya ayah..”  Randi terdiam. “ Aku ingin menikahinya. Tapi orang tuanya engga setuju kami menikah. Karena beda agama.” Randi keliatan sekali rapuh. Dia butuh aku ayahnya untuk melindungi dan mengerti dia. Aku tidak mempermasalahkan dia tidak pernah terbuka soal pacarnya. " Ayah aku kangen Bunda.." Kata Randi menangis. Aku tahu perasaan Randi dalam situasi ini. Ibunya tempat dia curhat atas masalah apapun. Ibunya cahayanya melewati hidup yang tidak ramah.


Aku peluk dia. “ Ayah juga kangen Bunda. Kalau Bunda masih ada, dia pasti senang melihat kamu jadi pria yang bertanggung jawab. Hari ini kita akan temui orang tua Dewi. “ kataku. Kurasakan Randi semakin kencang pelukannya. “ Maafkan aku ayah. Selama ini aku terus merepotkan ayah.”


“ Anakku, masa muda masa dimana semua orang bisa saja berbuat salah. Ayah juga pernah muda. Yang penting kamu harus dapat hikmah dari setiap masalah yang datang. “ Kataku. Setelah itu Randi pergi keluar dari ruanganku. 


Aku kembali sibuk dengan akfititasku. Janga 12.30 siang aku pergi ke restoran janji bertemu Bayu. Dia mencium punggung lenganku ketika bertemu. Aku diamkan saja. Tidak bertanya apa masalahnya. Namun lambat laun Bayu salah tingkah. Akhirnya dia berkata” Aku lagi ada masalah ayah”


“ Masalah apa ?


“ Bank akan sita rumah kami. Masalahnya aku gagal membayar hutang yang jatuh tempo. Tahun lalu aku beli stock barang impor , ternyata kurs rupiah semakin menguat. Aku tidak bisa bersaing. Potensial loss. “ 


“ Sabar ya nak.”


“ Nara tuduh aku mata duitan kepada mertua. Padahal aku tidak ada niat minta uang. Aku hanya ingin minta advice ke ayah agar bisa keluar dari masalah. Dia terus cerca aku. Akhirnya aku lepas kendali, bicara kasar. Maafkan aku ayah . “


“ Biasa itu rumah tangga.  Kalian harus saling menguatkan. Jangan karena perbedaan sikap, kalian terpisahkan, paham ya nak.”


“ Ya ayah.


“ Oh ya. Stok kamu di gudang, PPC kan.” 


“ Ya ayah.”


Aku telp teman yang punya pabrik minuman. Setelah selesai telp aku menatap lama kepada Bayu. “ Kamu bawa kartu nama ayah. Temui pak Adreas. Dia sudah janji akan beli stok kamu. Bayarlah utang ke bank.” Kataku. Randi berlinang air mata dan memelukku. 


“ Terimakasih ayah.”


“ Jangan cerita kepada Nara soal ini ya. Jemputlah istri dan anak anak kamu di rumah ayah.”


“ Terimakasih ayah.”


Sore jam 5 aku dapat telp dari istri Boy ” Ayah, Mas Boy sudah minta maaf kepadaku. Dia menyesal karena salah ikut pengajian. Terimakasih ayah sudah kembalikan mas boy kepada aku dan anak anak.  Mas Boy akan ke Jakarta. Dia merasa salah selama ini. Seharusnya dia bantu ayah di perusahaan. Karena dia anak tertua di keluarga” Setelah bicara telp itu, aku menangis.  Aku ingat pesan Mariam, " Mas, kalau aku tidak ada, bagaimanapun hadapi dengan sabar anak anak. Mereka  semua cobaan dari Tuhan untuk kita,  agar kita kembali ke Tuhan dalam husnul khatimah ".  Tuhan kembalikan anakku kepadaku. Dia akan jadi tongkatku dimasa tua.


Ya aku harus ingat pesan Mariam. Aku harus sabar dan ikhlas. Berikutnya aku harus siap siap ke rumah Dewi, Pacar Randi. Jam 6 sore Randi sudah sampai di kantor. Kami sholat maghrib berdua di kamar kerjaku.


Sesampai di rumah keluarga Dewi, kami disambut dengan wajah masam oleh ayah dan Ibunya. “ Kami memang orang tidak sekaya bapak, tapi kami punya rasa hormat. Dari awal kami sudah menolak hubungan mereka karena alasan beda agama. Tetapi anak bapak tidak bisa mengerti. Kini kami ditempatkan disituasi yang sulit. Beginikah cara bapak mendidik anak? Kata Ibu Dewi. Aku tahu dan bisa mengerti suasana hati seorang ibu. Apalagi kepada putrinya. 


Aku berlutut dihadapan kedua orang tua Dewi. “ Maafkan saya pak, bu. Memang saya gagal mendidik anak saya. Maafkan saya. “ Randi terkejut meliat aku berlutut dihadapan kedua orang tua Dewi. “ Dengan segala kerendahan hati, saya mohon izin bapak dan ibu untuk merestui mereka menikah. Saya janji akan menjadikan Dewi seperti anak kandung saya. Sekali lagi mohon maaf. “ lanjutku.


Ayah Dewi dan ibunya terkejut dengan sikapku. Mereka berdua berusaha mengajak aku berdiri. “ Ya sudah pak. Kami juga restui putri kami menikah dengan putra bapak. Kita orang tua yang penting mereka bahagia dengan pilhannya.” kata ayah Dewi. Selanjutnya pembicaraan langsung kepada jadwal pernikahan.


Dalam perjalanan pulang, WA masuk dari Vivi. “ Ayah, Restoran  kami sudah enam bulan tutup karena covid…Tabungan sudah habis. Selama ini suamiku larang aku minta bantuan ayah. Kini kami benar benar sulit,  ayah..”


“ Ayah sudah kirim uang Rp. 70 juta. Gunakan uang itu untuk bertahan sampai pandemi selesai. Nanti kalau kurang uang untuk modal, hubungi ayah ya sayang” Jawaban WA ku setelah kirim uang via Mbanking. Aku menghela nafas panjang. 


Sampai di rumah, kembali sepi. Nara sudah kembali ke rumahnya. Padahal hari ini aku ulang tahun. Tidak ada  anak yang mengucapkan ulang tahun. Tetapi bagaimanapun mereka tetaplah anakku. Tugas ayah memang harus berkorban dan menyimpan sepi dan sedih dihadapan anak anaknya. Boy dan Randi sudah jadi ayah. Tentu dia harus menjalani takdirnya sebagai ayah. Sama denganku. Nara dan Vivi sudah jadi ibu dari anaknya dan istri bagi suaminya. Tentu mereka harus menjalani takdirnya sebagaimana yang dilakukan Mariam. Pada akhir semua akan baik baik saja dan kepada Tuhan semua kembali.


***


Sewaktu Mariam, istriku masih hidup. Aku tidak pernah terlibat menyelesaikan masalah anak anak. Karena memang tidak ada masalah atau Mariam pintar menyelesaikan masalah tanpa aku perlu repot. Sehingga aku bisa focus dengan bisnisku. Siibuk di luar rumah dan pulang dalam keadaan lelah. Di rumahpun pikiranku masih kepada bisnis. Selama 25 tahun menikah, aku tidak pernah mendengar Mariam mengeluh soal anak anak. Andaikan ada waktuku mendengar keluhan Mariam, mungkin itu bisa mengurangi bebannya. Tetapi aku tidak ada waktu untuk itu. Aku merasa baik baik saja karena aku sudah memberi uang lebih dari cukup, rumah yang besar, dan segala fasilitas.


Setahun setelah Mariam wafat, Boy datang minta izin menikah. Padahal kuliah belum tamat. Setelah menikah, Boy dan istrinya tingga di rumahku. Setamat kuliah, Boy bekerja di PMA. Dia menolak berkarir di perusahaanku. Tidak juga mau tinggal bersamaku. Dia lebih memilih Pindah ke rumahnya sendiri. Tahun yang sama, Randy berhenti kuliah karena lebih tertarik main saham. Semakin aku paksa membantuku di perusahaan, semakin keras dia menolak. Bahkan sempat lari dari rumah. Aku terpaksa membujuknya berkali kali agar pulang. Setelah itu dia tetap ingin misah dariku. Tinggal di Apartement.


Lima tahun setelah itu, Vivi putri bungsuku memilih menikah dengan pria dari keluarga miskin. Suaminya tidak mau kerja di perusahaanku. Vivi dan suaminya pindah ke Semarang. Membuka restoran.  Setahun setelah Vivi menikah. Nara, tamat dari sekolah desain di Singapore, dilamar pacarnya. Suaminya pengusaha. Mereka juga tidak mau bekerja di perusahaanku. 


Setiap anak menikah, aku selalu menangis. Aku teringat Mariam. “ Kalau nanti aku tidak ada dan anak anak merepotkan Mas, itu karena salahku. Aku gagal melaksanakan amanah Mas mendidik mereka. Maafkan aku Mas..” Kata Mariam sebelum menghembuskan  napas yang terakhir. Betapa ikhlasnya dia dengan amanahnya sebagai istri. Tidak ada sekalipun dia menyalahkanku. Padahal akulah penanggung jawab keluarga. Kelak di akhirat, sebelum mereka diadili Tuhan, aku lebih dulu diadili. Maafkan aku Mar...maafkan aku..


Setelah Mariam meninggal, selama 10 tahun aku harus menyelesaikan banyak masalah dengan anak anak. Setiap masalah datang, aku semakin merasa bersalah kepada Mariam. Waktu dia masih hidup, aku tidak pernah berterimakasih kepadanya. Ternyata uang dan harta yang aku berikan tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadirannya selalu ada untuk anak anak. Aku baru sadar betapa berat amanah yang selama ini kuberikan kepadanya mendidik dan menjaga anak anak. Tugas ibu memang tidak mudah. Tidak mudah.


No comments:

Ingin jadi sahabatmu saja..

  “ Proses akuisisi unit bisnis logistic punya SIDC oleh Yuan sudah rampung, termasuk Finacial closing. Kini saatnya kita lakukan pergantian...