Mungkin sudah 30 tahun kami berpisah. Tak lepas matanya memandangku. Hanya menatap. Tidak sekalipun berkedip, seperti tidak kenal lelah. Tapi jarak tempat duduk kami cukup jauh. Tapi senyumnya sudah cukup membuat aku lega. Dia masih mengenalku. Ini seminar international kaum muda. Yang diadakan di Shandong, China. Aku tahu dia datang dalam Acara seminar ini sebagai utusan LSM yang di endorsed oleh pemerintah. Sementara aku mewakili China Western Development Program yang berkolaborasi dengan International Charity Fund, Vatican.
Kehadirannya di sponsori Gereja. Padahal dia muslim yang taat. Acara seminar ini ajang diskusi international yang diwakili calon pemimpin muda yang berhasil melakukan perubahan secara mendasar untk kemandirian rakyat pedesaan.
“Hanya si Habil dan si Toni yang acap pulang. Paling tidak dua atau tiga tahun sekali,”Katanya di sela sela rehat seminar, ketika aku bertanya tentang sahabat masa kecil kami.
“ Gimana kabar Asiong” Kataku. Asiong adalah sahabat dekatku.
“ Dia meneruskan usaha keluarga membuka kedai kopi dekat pasar”
“ Oh baguslah.
“ Pernah waktu aku pulang kampung. Tak nampak Asiong di kedainya. Menurut pegawai kedai itu, Asiong sedang mengembangkan toko Alat Olah raga. Kan dia dulu gemar sekali olah raga. Tapi setidaknya aku bisa melepas rindu dengan teman teman masa kecilku di kedai Asiong. Mereka hidup bersehaja. Tak begitu pusing soal politik, dan bisnis yang sedang dirudung krisis global. Dunia mereka adalah dunia pekerja.”
“ Sudah berapa anak Asiong”
“ Satu. Tapi dia sudah bercerai dengan istrinya. Katanya istrinya pindah ke Medan. Tak sabar kali istrinya dengan sikap hidup Asiong yang terlalu play safe. Seharusnya Asiong meniru mertuanya yang pengusaha sawit. Tapi aku senang. Asiong berhasil sekolahkan anak gadisnya sampai di universitas di Jawa.” Lanjutnya.
“Ingat si Marni ?” Tanyaku
“Tentu!” Jawabnya.
“Di mana dia?” tanyaku antusias. Marni sahabat wanita tercatik kami. anak Mak Ijah janda miskin.
“Dia di Jakarta. Jadi dokter,”
“ Wah hebat. “ aku terpesona. Gadis miskin bisa jadi dokter. “ Bagaimana ceritanya bisa jadi dokter?
“ Itu berkat beasiswa gereja di Kampung kita. “
“ Kau pernah bertemu dengan dia.?
“ Pernah sekali datang waktu dia mau ke Padang. Dia mampir ke kampung. Aku ajak bermalam di rumah tapi dia tidak mau. Tapi ku kawani dia melihat bekas rumah orangtuanya. “
“Perhatian sekali kau dengan Marni. Masih berangan angan dapatkan dia?
“ Awak ni orang miskin Jel. Manapula ada gadis suka. “
“ Sudah menikah dia ?
“ Belum.”
“ Nah apalagi. Usia kalian sudah diatas 40. Cobalah bicara dengan Marni”
“ Entahlah. Bagaikan pungguk merindukan bulan.” Diapun tertawa. ” Bagaimana ceritanya kau bisa mewakili China Western Development Program. “ Sambungnya seakan tidak mau terus bicara tentang Marni
“ Ya bumi ini milik Allah. Dimanapun kita bisa berbuat untuk membantu orang banyak. “ kataku sekenanya.
***
Aku ceritakan tentang dia. Karena dia sahabat masa kecilku. Kenanganku melambung jauh kepuluhan tahun lalu. Jalan setapak itu masih terbayang jelas di depan mataku. Padahal sudah berlangsung lebih tiga puluh tahun yang lalu. Semua bayangan indah di Kampung halaman menari nari di pelupuk mata. Itulah yang harus jujur kukatan kepada mu , ketika berjumpa dengan mu. Kamupun, terkejut ketika melihatku. Mungkin bayanganmu adalah aku yang suka merengek minta digendong meniiti titian menyeberangai anak sungai. Atau aku yang selalu bawel memaksamu naik keatas pohon kelapa untuk mengejar beruk yang mengejekku.
Aku senang dalam diam ketika kita berjumpa dalam suasana yang lain. Mungkin kau tidak membayangkan tentang ku bila kita berjumpa disini. Akupun demikian tentang kamu. Siapa sih yang percaya. Kamu yang yatim lagi piatu , yang selalu berkubang Lumpur ketika sore mengantar kerbau pulang kekandang. Aku yang selalu ingusan menenteng ikan mujair sehabis memancing sore hari di sungai. Akhirnya kita berjumpa ditempat berkumpulnya manusia dari pelosok dunia, membahas kemandirian rakyat melawan kemiskinan. Kita semua yang berkumpul bukanlah cerdik pandai yang berhasil menulis banyak buku. Bukan pula orang berbicara selalu dicatat oleh wartawan. Kita adalah kumpulan manusia biasa yang hanya bisa berbuat dalam diam.
Bukankah diam itu adalah emas. Islam mengajarkan tentang tafakkur yang diam dalam keheningan. Bermunajab dan merendahkan diri dihadapan khalik. Tidak ada debat dan marah dengan yang salah. Tidak pula ada umpatan kepada siapa pun. Kita hanya berbuat dengan keyakinan kita.
Sama halnya dulu , aku ingat betul. Kamu yang sebatang kara terasing ditengah pesta pora kampung. Kulihat kamu diam terasing di dapur sambil mencuci piring yang kotor. Akupun dngan tekun membantu sebisaku mengambil air digentong untukmu mencuci piring. Tidak ada yang menyuruh. Tidak ada imbalan yang dijanjikan. Yang ada hanyalah kesadaran kita yang miskin dan terlupakan oleh tawa orang kebanyakan. Makan sepiring nasi dari sebuah pesta adalah berkah tersendiri setelah berlelah mencuci piring. Kamu, sempat sedih bila setiap pesta kamu selalu ada didapur dan akupun setia disampingmu. Mengapa selalu cuci piring dan didapur kotor untuk kita. Tapi kamu diam saja.
Tapi sejauh ku tahu dan kamupun menyadari bahwa kita adalah orang pemberontak. Sayangnya intelektualitas kita terkubur oleh status kita yang miskin. Namun kita terus mengaktualkan diri kita didepan siapapun melalui berbuat dengan cinta.
Pernah aku melihat kamu , ditengah malam gulita dan hujan lebat. Entah kenapa kulihat tubuh kerempengmu melangkah keluar menembus hujan lebat dan angin kencang. Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan. Keesokannya barulah kutahu. Sawah sepetak Mak Ijah yang ada diujung kampong tetap selamat dari terjangan sungai yang meluap. Aku sempat mengejek perbuatanmu itu seperti pungguk merindukan bulan. Si Marni anak Mak Ijah terlalu cantik untuk kamu dekati.
Tapi belakangan barulah kutahu. Itu kamu lakukan karena menolong Mak Ijah yang janda miskin dan menanggung seorang anak dara. Mak Ijah tidak pernah tahu itu. Mungkin sampai kini itu tetap menjadi rahasia kita berdua. Si Marni kini tinggal di kota. Kamu nampak tersenyum kecut ketika hal ini kuceritakan. Tapi bagaimanapun kita tetaplah kita yang selalu diam diantara tawa orang remai.
Ya kita ada disini. Semua kita dengar orang berdiskusi tentang nasip orang lain. Mereka bercerita tentang pengalaman masing masing . Mereka semua berbuat untuk cinta. Berkorban untuk itu. Tanpa mereka pernah menilai perbuatan mereka. Tidak ada piagam kalpataru atau piagam pembela orang miskin. Tidak pula ada kehormatan menjadi orang terhormat di parlemen. Tentang kamu yang bercerita didepan forum. Aku sempat menahan tangis. Kamu berbicara dalam bahasa inggeris yang sempurna. Padahal kamu tidak pernah masuk sekolah. Tidak ada yang tertinggal satupun catatan tentang kata katamu. Bacalah ini kembali …
"Kemiskinan bukanlah hokuman atau azab dari Tuhan. Benar bahwa kemiskinan membawa malu dan fitnah. Namun kemiskinan adalah sisi lain dari kehidupan yang harus diakui keberadaannya. Tidak perlu ada charity untuk kata “ Kemiskinan “. Tidak ada !. Kecuali bagi mereka yang terjerat hutang, janda miskin yang menanggung anak yatim, orang kaya yang bangkrut dan terhina. Para anak anak yatim dan piatu. Merekalah yang patut disumbangi dengan zakat. Selebihnya , cinta kasih dan perhatian serta dukungan keperpihakan lebih utama untuk membuat mereka dihargai dalam setiap upayanya. Itulah harta terindah bagi simiskin dimana dapat tertawa ditempat orang ramai , walau hanya sekedar menumpang.
Saya ada disini dan saya bersyukur karena salah satu sahabat saya juga hadir disini. Kami tidak ingin ada lagi orang miskin yang terlupakan ditengah pesta pora. Sudah saatnya kita melupakan tentang dikotomi sosialis , kapitalis atau komunis. Sudah saatnya kita berbicara hal yang substansi untuk berbuat karena cinta. Itulah harta tak ternilai dan diharapkan menetes kepada mereka yang duapa harta maupun ilmu. Terlalu banyak penderitaan diplanet bumi ini karena perasaan cinta semakin mengabur. “
Terlalu banyak kata katamu untuk kucatat disini. Apalagi ketika kau sudah bicara soal teknis. Kekagumanku semakin menjadi jadi. Aku yakin bahwa proses kehidupan kita memang ditakdirkan untuk berbuat dan akhirnya dilupakan. Sama halnya seperti kita disini. Jauh ribuan mil dari negeri tercinta. Kita datang dengan ongkos sendiri dan berharap bukan kata kata kita dapat didengar oleh orang lain. Tapi sekedar membuktikan bahwa ada juga orang senasip dengan kita dibumi ini, yang senantiasa mau berkorban dan dilupakan.
Seminar berakhir sudah. Kitapun berbenah untuk pulang. Kugenggam hangat tanganmu namun kau merangkul tubuku dengan erat sambil berkata “ Aku sebatang kara dibumi Allah ini. Kau sudah seperti adik kandungku dan akan selalu begitu sampai kapanpun. Alhamdulillah, Allah mendengar doa ku untuk akhirnya kita dipersuakan. Aku tidak perlu malu lagi bila kamu kelak datang kekampung. Aku masih tinggal dirumah peninggalan nenekku, bersama kebau kerbau ku, tentunya. “
Aku terharu ketika berpisah di Hong Kong International Airport. " Lihatlah passport ku. Gagah sekali ya. Ada burung Garuda di sampul nya " Katamu dengan tersenyum sambil memperhatikan dengan seksama passport ditanganmu.. Aku tahu bahwa ini kali pertamamu pergi keluar negeri dan mempunyai passport. Tetapi kamu nampak agak murung. " sayang nampak kecil gambar garudanya , beda sekali dengan sampul passport dari negera lain yang menampakan simbol negara dengan besar sekali seakan gagah dihadapan dunia luar. Tapi bagaimanapun aku dan kamu adalah anak tersayang dari ibu pertiwi. Siapa lagi yang diharapkan oleh ibu kita untuk membelanya kalau bukan kita. Pulanglah dan pikirkan ibu Pertiwi. Aku bangga jadi orang Indonesia. " Katanya.
Kepulanganmu membuatku haru. Kau telah menebarkan cinta dengan tulus dan tak pernah berhenti berharap seperti untaian lirik lagu from a distance, memaksaku membaca kembali profile mu yang kudapat dari penitia. Semua tertulis dengan jelas dan menyebutkan keberhasilanmu mengangkat kemandirian dari komunitas yang muram diwilayah transmigrasi. Kamu berhasil memanfaatkan lahan yang hanya ditumbuhi ilalang menjadi lahan potensi untuk berternak sapi. Kamu juga berhasil memastikan setiap tahun setidaknya 4 orang warga desa pergi ke Baitullah dan pulang ketanah jawa setiap tahun untuk berlebaran dengan pesawat. Tapi hartamu hanyalah rumah peninggalan nenekmu. Tidak lebih…Moga Marni menjadi hadiah ikhlas mu. Doaku selalu untuk mu.
No comments:
Post a Comment