“ B, lama tidak ketemu. “ Telp dari Lyly. “ Apa bisa kita makan malam di Royal Garden Hotel Kowloon. “ Lanjutnya. Tanpa berpikir panjang saya langsung sambut dengan antusias. Betapa tidak. Dia sahabat saya. Kami sudah bersahabat lebih dari 10 tahun. Walau dia pejabat China namun saat bertemu dengan saya, dia bisa menjadi sahabat yang enak diajak bicara. Apalagi diusia mature nya, dia semakin bijak. Saya minta Yuni dampingi saya. Karena Wenny sedang business trip ke Sao Paulo, Brazil.
“ Gimana situasi politik di Indonesia? Tanya Lyly saat mengawali makan malam.
“ Sampai saat ini politik tidak jelas. Walau Capres sudah ada untuk kompetisi 2024 tapi belum jelas arah koalisi. Tentu belum jelas siapa wapres. Keadaan ini membuat situasi seperti api dalam sekam. Semoga diantara elite bisa berdamai.” Kata saya.
“ Amin. “ Kata Lyly tersenyum. “ Ujian terberat bagi Jokowi adalah mengawal Pemilu 2024 dan mendamaikan para elite agar focus kepada pemilu secara demokratis. Saya percaya Jokowi tahu bagaimana harus bersikap. Dia orang baik. Hanya karena dia bukan elite partai, tentu perlu usaha lebih untuk mendamaikan para pimpinan partai.” Lanjut Lyly.
“ Jokowi memang hebat pada periode pertama. Tapi periode kedua, tidak jelas arahnya. Sepertinya terlalu banyak kompromi politik dengan elite partai.” Kata Yuni.
“ Dalam sistem demokrasi. Para pemimpin yang dijuluki sebagai pembaharu sering kali memulai dengan baik namun berakhir dengan buruk. Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed, setahun setelah menjabat dia berhasil berdamai dengan Eritrea. Karenanya dia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2019. Namun membuat ratusan ribu warganya kelaparan. Meskipun pemimpin jarang mengidap psikopat narsistik, yang jelas mereka haus kekuasaan dan sangat pandai menggunakan karisma, manipulasi, dan intimidasi untuk mempertahankan kekuasaan.
Disaat otokrasi menjadi usang. Negara-negara demokrasi sedang sekarat. Sebut saja Narendra Modi, yang memenangkan pemilihan kembali sebagai perdana menteri India pada tahun 2019. Hanya untuk menangkap para politisi di seluruh Kashmir. Dia menekan independensi pengadilan dan bisnis, dan menantang kewarganegaraan yang beragama Islam. Sehingga jatuhlah peringkat negara demokrasi yang sebelumnya dijuluki Freedom House. “ Kata Lyly.
“ Sama halnya dengan Indonesia. Demi terciptanya stabilitas Politik, sebagai pra syarat pembangunan ekonomi, KPK dikebiri. Perang terhadap korupsi yang melibatkan elite partai, harus izin dari Presiden. Walau tidak ada aturannya, namun kepemimpinan disakralkan lebih dari Hukum. “ Kata Yuni. Saya tetap menyimak saja.
“ So mengapa begitu banyak pemimpin yang lemah dan buruk? Padahal mereka lahir dari hasil pemilu demokratis? Tanya saya kepada Lyly..
“ Kekuasaan itu memberikan peluang untuk memperkaya diri. Menjadi magnit para oportunis mendekat dan masuk dalam lingkaran kekuasaan dengan retorika humanis demokratis. Tidak ada alasan rasional membenarkan bila pembangunan yang dibanggakan berasal dari hutang, bukan dari surplus APBN. Mengapa ? bila Demokrasi adalah kekuatan yang bertumpu kepada civil society. Tapi Polisi yang garang bertopeng UU menjadi mesin kekuasaan melibas mereka yang tidak sejalan dengan kekuasaan. Hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Akal sehat pudar sudah. “ Jawab Yuni. Yang sebenarnya saya tidak ingin jawaban dari dia. Saya senyum aja.
“ Yun, “ seru Lyly dengan tersenyum. “ Rakyat juga harus menyalahkan dirinya sendiri. Budaya yang terikat dengan clients-patron memang sulit untuk masuk dalam demokrasi terbuka. Bagaimana demokrasi dengan nilai egaliter harus diterapkan? Sementara kultur feodalisme tidak bisa dihilangkan. Mereka menjadikan Presiden atau PM seperti raja. Penghormatan kepada pemimpin sangat berlebihan, yang oleh sebagian golongan pemilihnya tidak boleh dikritik atau dicurigai. Padahal setiap pemimpin hanyalah administratur yang tidak bekerja suka rela, tetapi dibayar mahal dengan fasiitas melimpah.
“ Ya benar. “ Jawab Yuni cepat. “ Mindset feodalisme itu udah menjadi roadblock. Lebih suka memilih karena faktor emosional, bukan rasional. Lucunya rakyat tidak sadar sedang jadi budak elite politik. Lihatlah, saat mereka bertarung pada Pemilu, mereka saling menyerang. Dan setelah usai bertarung mereka saling melindungi, saling berbagi kue kekuasaan. Rakyat dapat apa ? nothing! “ Lanjut Yuni.
“ B, bagaimana pendapat kamu tentang fenomena demokrasi ini? tanya Lyly.
“ Ya gimana ya.” Kata saya dengan garuk kepala. “ Di Italia, rakyat tidak percaya lagi dengan partai. Rakyat sudah muak dengan partai yang hampir semua korup. Mereka berharap dengan hadirnya , Silvio Berlusconi yang bukan elite partai. Tapi tahu apa yang terjadi ? Selama bertahun-tahun menjabat, ia mengekang perang melawan mafia di negaranya dan mengubah undang-undang untuk menyelamatkan kerajaan bisnisnya teman temannya dari jeratan hukum. Di Brasil juga sama, mengantarkan Jair Bolsonaro ke tampuk kekuasaan. Ternyata dia sendiri sebagai agent pencucian uang bagi teman temannya.
Pada tahun 2016, sekitar 70 persen orang Amerika percaya bahwa kebijakan ekonomi Gedung Putih merugikan dan mengorbankan rakyat kecil dan memberikan peluang bagi elite kaya semakin kaya. Ketika sentimen seperti itu meningkat, para pemilih sering kali mencari kandidat kaya yang mereka anggap tidak perlu memperkaya diri sendiri. Banyak orang Amerika memilih Donald Trump dengan harapan dia akan "mengeringkan rawa". Namun, korupsi tidak ditentukan oleh kebutuhan. Pemerintahan Trump menambahkan lebih banyak air ke dalam rawa tersebut.
Sistem yang dirancang dengan baik, dapat mengendalikan individu yang tidak baik. Para diplomat asing yang punya immunity hukum seenaknya melanggar peraturan parkir di New York City. Namun, begitu New York mulai menegakkan hukum bagi pelanggaran lalu lintas, semuanya menjadi tertip. China bukan negara demokrasi tapi lebih 1 miliar orang bisa dibuat tertip. Itu karena law enforcement tegak.
Tapi bagaimanapun, sistem bukanlah solusi too good to be true. Tapi karakter pribadi yang bertumpu pada akhlak adalah solusi menyeluruh. Puncak akhlak adalah rasa malu. Malu berbuat salah. Malu dihadapan manusia bisa dipoles dengan pencitraan. Tapi malu dihadapan Tuhan, kemana mau sembunyikan kesalahan itu. “ Kata saya.
“ Yang jadi masalah, sudah banyak orang kehilangan rasa malu, itu karena mereka tidak percaya kepada Tuhan. “ Kata Yuni.
“ Ya benar. Kemakmuran tidak datang dari pemimpin dan politisi. Tetapi dari manusia yang punya rasa malu dan tahu memperjuangkan kehormatan diri dan keluarganya. Xijinping dan Putin, kalau mereka tidak punya rasa malu, bisa saja mereka ciptakan kondisi dan alasan agar anaknya jadi elite partai atau walikota. Dengan kekuasaan mereka yang sangat besar, itu mudah sekali. Misal Putin, bisa saja menggerakan mesin partainya untuk memenangkan Pilkada bagi putrinya menjadi walikota. Tapi rasa malu mengalahkan kekuasaan itu sendiri Mengalahkan ego. Rusia dan China besar karena pemimpinnya masih punya rasa malu. “ Kata Lyly.
“ Dan tuh lihat B..” Kata Lyly menatap saya dengan tersenyum. “ Begitu besar kekuasaanya di SIDC dan Yuan holding, tetapi tetap saja dia malu menjadikan putra putrinya boss. Makanya para direksi dan staff lebih malu lagi kalau mereka punya niat korup dan gagal meningkatkan pertumbuhan bisnis “ Lanjut Lyly.
“ Bahkan untuk hidup hedon saja dia malu dihadapan Tuhan. “ Kata Yuni tersenyum. Lyly mengacungkan jempol. Saya mengibaskan tangan. " Ah kenapa lari kesaya diskusinya. Mari lanjutkan makan." Kata saya.