Dalam satu kesempatan saya diminta sebagai salah satu narasumber tentang “ merawat kebangsaan dan ketahanan nasional”. Acara digagas oleh LSM. Acara itu dalam lingkungan terbatas. Karena ketuanya saya kenal baik, ya saya turuti acara itu. Saya datang bersama sahabat marhaen saya, Florence. Awalnya saya bingung. Untuk apa kehadiran saya? Yang datang semua akademisi. Lah saya hanya tamatan SMA. Semoga tidak ada yang tanya kepada saya. Jadi saya cukup datang dan menyimak
Pembicaraan pertama, kedua dan ketiga. Semua membahas penting pemahaman pancasila menjadi standar kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu agama dapat diterapkan. Karena antara Pancasila dan Agama tidak dipertentangkan. Saling melengkapi. Pembahasan pemahaman Pancasila dari sejak sila pertama sampai sila ke lima. Masing masing dengan perspektif yang berbeda. Namun esensinya sama, bahwa Pancasila harga mati. Jadi tidak perlu dipertentangkan dengan golongan apapun, agama apapun. Sejauh itu saya menyimak saja.
Moderator meminta saya memberi tanggapan atas tema acara itu. Awalnya saya tidak berharap bicara, tetapi karena pendapat semua narasumber mengganggu pikiran saya. Kesempatan ini harus saya memanfaatkan. Sebelum bicara saya putar lagu lewat Iphone. Itu lagu dari Youtube. Berjudul Reality dari Richard Sanderson. Para hadirin mendengar lagu itu. Setelah usai lagu diperdengarkan, saya mulai bicara.
Lagu yang baru saja saya perdengarkan, itu tentang kita selama ini. Dreams are my reality. The only kind of reality. Selama ini kita hidup dalam impian. Setiap kita terjaga, kita ingin tidur lagi agar terus berfantasi. Karena kalau kita terjaga kita lapar dan kita bertangkar tentang hak milik yang tak ingin berbagi. Kita terjebak soal hasrat berbalut fantasi. Membuat kita mabuk dalam kerakusan. Pemimpi dalam terjaga, itu orang hidup berakal. Pemimpi dalam tidur, itu orang dungu. Tak berfungsi akalnya.
Mungkin anda semua bertanya tanya kemana arah saya bicara. Karena mungkin semua masih dalam keadaan tidur. Tertidur mendekap dream pada palsafah Pancasila berserta lima silanya.Tak terasa lebih setengah abad merdeka kita masih tetap tidur. Padahal untuk terjaga, kita hanya perlu menggunakan akal kita untuk memisahkan mana impian dan mana fakta. Mari saya analogikan secara sederhana yang sering kita bahas.
Banyak dari kita tidak memahami bahwa jalan toll itu adalah jalan alternatif. Artinya tidak ada obligasi negara membangun jalan tol, kecuali jalan negara. Karenanya jalan toll dibiayai dari modal private dan uang bank yang berbunga tidak kecil. Return nya dari toll fee. Itu bukan prestasi pemerintah. Pemerintah tidak berbisnis. Tapi karena kerangka berpikir kita terjebak dalam impian dan harapan. Kita anggap jalan toll itu prestasi pemerintah. Tanpa disadari hal yang tadinya bisnis berubah jadi Politik. Maka bisnispun jadi obligasi negara lewat PMN kepada BUMN karya yang sakit. Kacau kan. Rente kan. Hanya karena kesalahan kerangka berpikir, tidak sedikit uang negara hilang lewat rente.
Setiap negara berhutang. Tidak ada negara tidak berhutang. Hutang itu bukan liabilities kalau dia menjadi sumber daya sebagai cara me-leverage pembangunan agar lebih cepat tumbuh. Tetapi karangka berpikir kita lain. Bahwa utang itu sebagai solusi mengatasi masalah. Akibatnya Moral hazar tercipta, mark up proyek terjadi begitu saja agar proyek tidak mangkrak. Tanpa disadari rasio utang terus merangkak naik terhadap PDB. Bayangkan. Hanya karena kesalahan berpikir, akhirnya fiskal kita tidak aman tanpa utang. Jadi sifatnya sudah ketergantungan. Sama seperti pemadat candu.
Sumber daya alam berupa tambang dan mineral itu adalah sumber daya terbatas. Artinya itu tidak selamanya ada. Hanya masalah waktu akan habis. Impian kita jadi negara besar karena SDA. Kan konyol. GImana engga konyol. Kok kemakmuran tergantung kepada yang limited resource. Tapi ya karena kerangka berpikir seperti itu, Engga aneh kalau anggaran riset kita terendah di negara ASEAN. Kita terjebak dalam fantasi program hilirisasi tambang bersama pihak asing pemilik tekhnologi. Padahal mana ada asing mau memberikan value kepada pemilik SDA. Bayangkan sejak era orba sampai sekarang berapa banyak SDA kita habis begitu saja. Yang menikmati hanya segelintir orang saja. Negara itu besar bukan karena SDA tapi value. Value itu ada karena tekhnologi. Itu fakta.
Itu semua contoh sederhana kesalahan kerangka berpikir. Mengapa itu sampai terjadi ? Selama ini kita terjebak dalam narasi yang tidak substansial. Dari anak SD sampai S3 selalu membahas itu. Sedikit aja berbeda pendapat, langsung baper dan gaduh. Narasi pancasila dan agama, itu semua omong kosong. Kita harus hidup dalam narasi fakta dan lewat proses berpikir secara akademis untuk menyelesaikan setiap masalah. Apapun yang berkaitan dengan idiologi dan agama, kesampingkan kalau bertentangan dengan logika. Dan setiap logika harus membuka peluang dialektika. Mengapa ? karena semua benda modern dan kemajuan peradaban tidak lahir dari retorika satu arah dan dogmatis, tetapi lahir dari proses logika dan dialektika. “ Kata saya. Saya terdiam sejenak.
“ Nah..” lanjut saya.” Cobalah mulai berpikir dengan benar. Mari mulai dari yang sederhana. Misal soal korupsi. Perhatikan. Para koruptor itu adalah mereka yang hidup dalam fantasi. Korupsi terjadi karena sistem yang memungkinkan terjadinya mind corruption, yang membuat kebijakan tidak logis. Nah cara menyelesaikannya harus logis. Apa itu? ya mengirim para koruptor dan pelaku mind corruption itu ke Tuhan. Biarkan mereka tidur panjang dengan mimpinya. Kita yang waras, melanjutkan hidup yang tidak ramah ini. Tidak ramah? ya karena faktanya hidup tidak akan dimenangkan tanpa menghadang resiko. Tidak akan bisa dilewati tanpa kerja cerdas. Demikian dan terimakasih “Kata saya mengakiri sesi saya bicara.
***
Usai acara diskusi itu, saya pulang bersama Florence. Kami mampir ke cafe di Kawasan SCB.
“ Berapa ongkos untuk nyapres “ Tanya Florence ketika kami di cafe menikmati sore jakarta.
“ Ya. Untuk capres sedikitnya Rp. 10 triliun.” jawab saya.
“ Siapa yang bisa sediakan uang sebanyak itu.?
“ Ya Partai lah dan ada juga pengusaha lah ikut sumbang.”
“ Dari mana duitnya pengusaha bisa bantu segede itu ?
“ Biasanya pengusaha importir garam, gula, jagung, kedele, dan bawang putih. “
“ Gimana pengusaha bisa dapat uang ?
“ Ya dari insentif tarif atau pajak sampai kepada keuntungan dari disparitas harga antara dalam negeri dengan impor. Contoh. Gula aja. Kalau dapat quota impor gula. Itu sedikitnya dapat untung Rp. 1000/Kg. Nah pemerintah keluarkan quota impor setahun 3 juta ton. Setahun dapat untung Rp. 3 triliun. Itu bersih, Sudah termasuk bagi bagi uang kepada pejabat. Hitung aja berapa 5 tahun. Nah itu baru gula belum lagi garam, kedele, lain lain.”’
“ Terus apa lagi..”
“ Ya impor bahan baku impor obat dan alat kesehatan. Selagi dapat izin impor ya, hanya main paper doang. Atur pabrik dan atur seler. Uang masuk” kata saya.
“ Jadi hanya dari dua jenis pengusaha itu saja. Keduanya importir.?
“ Ya. Masih ada. Dari pengusaha tambang batu bara, dari pengusaha sawit. Itu juga mudah dapatkan uang. Ya berkat kebijakan pemerintah. Uang Rp. 10 trilun sih kecil kalau sekedar biaya nyapres“
“ Nah faktanya kan, Pemilu dan Pilpres hanya bisnis. Kan engga ada orang mau sumbang uang sebesar itu tanpa dapat return. Kenapa orang masih percaya dengan narasi program hebat atas nama rakyat ?
“ Karena politisi itu sengaja terus menina bobokan rakyat lewat narasi Pancasila atau Agama. Pancasila dan agama saling takut menakuti. Sehingga hilang logika dan dialektika soal substansi. Mereka bicara tentang mimpi negeri sejahtera dibawah Pancasila. Yang agama bicara tentang negeri makmur dibawah lindungan Tuhan. Padahal faktanya agama dan Pancasila tidak menghasilkan apa apa kecuali pejabat semacam Sambo. Sementara para politisi itu hanya puppet para toke yang berpikir tentang return. Soal cuan! Tidak ada politisi yang mengajak rakyat berpikir logika. Semua hanya omong kosong” Kata saya.
“ Seperti apa logika itu ? tanya Florence dengan kening berkerut
“ Rakyat yang tidak bayar pajak tidak ubahnya dengan sampah. Oknum pejabat yang korup tidak ubahnya dengan tinja. Sampah dan tinja harus di kick out. Trade off nya, negara akan memberikan ruang bagi rakyat untuk mendapat rezeki. Tetapi harus melalui kompetisi iPTEK. Negara akan memberikan ruang bagi siapa saja jadi pemimpin lewat kompetisi dalam hal kompetensi. Nah cobalah omong seperti itu saja. Bisa engga? Itu logika.” Kata saya.
“ Benar kata Hitler, How fortunate for governments that the people they administer don't think. Apes banget jadi rakyat kecil di negeri ini. Diajak mimpi kok mau. Pas bangun teriak minta BLT dan mengeluh kalau engga dapat. Loser !"
“ Kenapa sih kamu kesel sayang? kata saya seraya rangkul pundaknya. “ Kamu adalah contoh rakyat yang benar. Kamu sangat logika sejak muda, dan karenanya kamu deserved dapatkan kemakmuran personal. Punya deposito jutaan dollar AS, apartement mewah dan Maybach. Di usia menua kamu hidup secure walau tidak ada suami. Orang lain engga usah dipikirin. Jangan pula merasa bersalah. Kalau sempat ya bantu aja. Mereka miskin itu pilihan mereka sendiri untuk jadi korban. Hidup memang begitu. Tidak ramah sayang.” Kata saya.
Florence tersenyum. Saat saya semakin erat merangkulnya. Wajahnya bersemu merah. “ Darimana sih lue tahu soal logika berpikir? padahal lue engga pernah kuliah? Kata Florence menyentuh dada saya dengan lima jemarinya.
“ Dari Madilog. Tulisan Tan Malaka, Kelas 2 SMA gua sudah bantai buku itu. “ kata saya cepat.
“ Hah…SMA aja bacaan buku lue udah berat. Gila, pantas lue bisa berbisnis apa saja dan punya mitra global. Sebenarnya aset manusia itu adalah akalnya ya. Baru ngeh gua. Bukan titel”
“ Setiap hari gua belajar untuk mengasah akal. Gua suka duel gagasan sejak muda. Dengan siapapun. Lue kan tahu. Gua belajar darimana saja. Akhirnya gua berhak tanya ijazah mereka yang mau bergabung dengan gua dan mereka tidak berhak tanya ijazah gua. Nah siapa yang predator dan siapa yang loser. Entahlah. Nyatanya gua kemana mana tetap pakai taxy, sementara anak buah gua naik maybach dan Audi.” Kata saya.
“ Kata Hitler, If you win, you need not have to explain...If you lose, you should not be there to explain! Gua tahu diri Ale. “ Kata Florence. Malam menjemput. Kami tutup bill untuk pulang.