Sunday, October 09, 2022

Terjebak dalam fantasi..


 

Dalam satu kesempatan saya diminta sebagai salah satu narasumber tentang “ merawat kebangsaan dan ketahanan nasional”. Acara digagas oleh LSM. Acara itu  dalam lingkungan terbatas. Karena ketuanya saya kenal baik, ya saya turuti acara itu.  Saya datang bersama sahabat marhaen saya, Florence.  Awalnya saya bingung. Untuk apa kehadiran saya? Yang datang semua akademisi. Lah saya hanya tamatan SMA. Semoga tidak ada yang tanya kepada saya. Jadi saya cukup datang dan menyimak


Pembicaraan pertama, kedua dan ketiga. Semua membahas penting pemahaman pancasila menjadi standar kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu agama dapat diterapkan. Karena antara Pancasila dan Agama tidak dipertentangkan. Saling melengkapi. Pembahasan pemahaman Pancasila dari sejak sila pertama sampai sila ke lima. Masing masing dengan perspektif yang berbeda. Namun esensinya sama, bahwa Pancasila harga mati. Jadi tidak perlu dipertentangkan dengan golongan apapun, agama apapun. Sejauh itu saya menyimak saja.


Moderator meminta saya memberi tanggapan atas tema acara itu. Awalnya saya tidak berharap bicara, tetapi karena pendapat semua narasumber mengganggu pikiran saya.  Kesempatan ini harus saya memanfaatkan. Sebelum bicara saya putar lagu lewat Iphone. Itu lagu dari Youtube. Berjudul Reality dari Richard Sanderson. Para hadirin mendengar lagu itu. Setelah usai lagu diperdengarkan, saya mulai bicara.


Lagu yang baru saja saya perdengarkan, itu tentang kita selama ini. Dreams are my reality. The only kind of reality. Selama ini kita hidup dalam impian. Setiap kita terjaga, kita ingin tidur lagi agar terus berfantasi. Karena kalau kita terjaga kita lapar dan kita bertangkar tentang hak milik yang tak ingin berbagi. Kita terjebak soal hasrat berbalut fantasi. Membuat kita mabuk dalam kerakusan. Pemimpi dalam terjaga, itu orang hidup berakal. Pemimpi dalam tidur, itu orang dungu. Tak berfungsi akalnya. 


Mungkin anda semua bertanya tanya kemana arah saya bicara. Karena mungkin semua masih dalam keadaan tidur. Tertidur  mendekap dream pada palsafah Pancasila berserta lima silanya.Tak terasa lebih setengah abad merdeka kita masih tetap tidur. Padahal untuk terjaga, kita hanya perlu menggunakan akal kita untuk memisahkan mana impian dan mana fakta. Mari saya analogikan secara sederhana yang sering kita bahas. 


Banyak dari kita tidak memahami bahwa jalan toll itu adalah jalan alternatif. Artinya tidak ada obligasi negara membangun jalan tol, kecuali jalan negara. Karenanya jalan toll dibiayai dari modal private dan uang bank yang berbunga tidak kecil. Return nya dari  toll fee. Itu bukan prestasi pemerintah. Pemerintah tidak berbisnis. Tapi karena kerangka berpikir kita terjebak dalam impian dan harapan. Kita anggap jalan toll itu prestasi pemerintah. Tanpa disadari hal yang tadinya bisnis berubah jadi Politik. Maka bisnispun jadi obligasi negara lewat PMN kepada BUMN karya yang sakit.  Kacau kan. Rente kan. Hanya karena kesalahan kerangka berpikir, tidak sedikit uang negara hilang lewat rente.


Setiap negara berhutang. Tidak ada negara tidak berhutang. Hutang itu bukan liabilities kalau dia menjadi sumber daya sebagai cara me-leverage pembangunan agar lebih cepat tumbuh. Tetapi karangka berpikir kita lain. Bahwa utang itu sebagai solusi mengatasi masalah. Akibatnya Moral hazar tercipta, mark up proyek terjadi begitu saja agar proyek tidak mangkrak. Tanpa disadari rasio utang terus merangkak naik terhadap PDB. Bayangkan. Hanya karena kesalahan berpikir, akhirnya fiskal kita tidak aman tanpa utang. Jadi sifatnya sudah ketergantungan. Sama seperti pemadat candu.


Sumber daya alam berupa tambang dan mineral itu adalah sumber daya terbatas. Artinya itu tidak selamanya ada. Hanya masalah waktu akan habis. Impian kita jadi negara besar karena SDA. Kan konyol. GImana engga konyol. Kok kemakmuran tergantung kepada yang limited resource. Tapi ya karena kerangka berpikir seperti itu,   Engga aneh kalau anggaran riset kita terendah di negara ASEAN. Kita terjebak dalam fantasi program hilirisasi tambang bersama pihak asing pemilik tekhnologi. Padahal mana ada asing mau memberikan value kepada pemilik SDA. Bayangkan sejak era orba sampai sekarang berapa banyak SDA kita habis begitu saja. Yang menikmati hanya segelintir orang saja. Negara  itu besar bukan karena SDA tapi  value. Value itu ada karena tekhnologi. Itu fakta.


Itu semua contoh sederhana kesalahan kerangka berpikir. Mengapa itu sampai terjadi ? Selama ini kita terjebak dalam narasi yang tidak substansial. Dari anak SD sampai S3 selalu membahas itu. Sedikit aja berbeda pendapat, langsung baper dan gaduh. Narasi pancasila dan agama, itu semua omong kosong. Kita harus hidup dalam narasi fakta dan lewat proses berpikir secara akademis untuk menyelesaikan  setiap masalah. Apapun yang berkaitan dengan idiologi dan agama, kesampingkan kalau bertentangan dengan logika. Dan setiap logika harus membuka peluang dialektika. Mengapa ? karena semua benda modern dan kemajuan peradaban tidak lahir dari retorika satu arah dan dogmatis, tetapi lahir dari proses logika dan dialektika. “ Kata saya.  Saya terdiam sejenak.


“ Nah..” lanjut saya.” Cobalah mulai berpikir dengan benar. Mari mulai dari yang sederhana. Misal soal korupsi. Perhatikan. Para koruptor itu adalah mereka yang hidup dalam fantasi. Korupsi terjadi karena sistem yang memungkinkan terjadinya mind corruption, yang membuat kebijakan tidak logis. Nah cara menyelesaikannya harus logis. Apa itu?  ya mengirim para koruptor dan pelaku mind corruption itu ke Tuhan. Biarkan mereka tidur panjang  dengan mimpinya. Kita yang waras, melanjutkan hidup yang tidak ramah ini. Tidak ramah? ya karena faktanya hidup tidak akan dimenangkan tanpa menghadang resiko. Tidak akan bisa dilewati tanpa kerja cerdas. Demikian dan terimakasih “Kata saya mengakiri sesi saya bicara.


***

Usai acara diskusi itu, saya pulang bersama Florence. Kami mampir  ke cafe di Kawasan SCB.


“ Berapa ongkos untuk nyapres “ Tanya Florence ketika kami di cafe menikmati sore jakarta.


“ Ya. Untuk capres sedikitnya Rp. 10 triliun.” jawab saya.


“ Siapa yang bisa sediakan uang sebanyak itu.?


“ Ya Partai lah dan ada juga pengusaha lah ikut sumbang.”


“ Dari mana duitnya pengusaha bisa bantu segede itu ?


“ Biasanya pengusaha importir garam, gula, jagung, kedele, dan bawang putih. “


“ Gimana pengusaha bisa dapat uang ?


“ Ya dari insentif tarif atau pajak sampai kepada keuntungan dari disparitas harga antara dalam negeri dengan impor. Contoh. Gula aja. Kalau dapat quota impor gula. Itu sedikitnya dapat untung Rp. 1000/Kg. Nah pemerintah keluarkan quota impor setahun 3 juta ton. Setahun dapat untung Rp. 3 triliun. Itu bersih, Sudah termasuk bagi bagi uang kepada pejabat. Hitung aja berapa 5 tahun. Nah itu baru gula belum lagi garam, kedele, lain lain.”’


“ Terus apa lagi..”


“ Ya impor bahan baku impor obat dan alat kesehatan. Selagi dapat izin impor ya, hanya main paper doang. Atur pabrik dan atur seler. Uang masuk” kata saya.


“ Jadi hanya dari dua jenis pengusaha itu saja. Keduanya importir.?


“ Ya. Masih ada. Dari pengusaha tambang batu bara, dari pengusaha sawit. Itu juga  mudah dapatkan uang. Ya berkat kebijakan pemerintah. Uang Rp. 10 trilun sih kecil kalau sekedar biaya nyapres“


“ Nah faktanya kan, Pemilu dan Pilpres hanya bisnis. Kan engga ada orang mau sumbang uang sebesar itu tanpa dapat return. Kenapa orang masih percaya dengan narasi program hebat atas nama rakyat ? 


“ Karena politisi itu sengaja terus menina bobokan rakyat lewat narasi Pancasila atau Agama. Pancasila dan agama saling takut menakuti. Sehingga hilang logika dan dialektika soal substansi. Mereka bicara tentang mimpi negeri sejahtera dibawah Pancasila. Yang agama bicara tentang negeri makmur dibawah lindungan Tuhan. Padahal faktanya agama dan Pancasila tidak menghasilkan apa apa kecuali pejabat semacam Sambo. Sementara para politisi itu hanya puppet para  toke yang berpikir tentang return. Soal cuan! Tidak ada politisi yang mengajak rakyat berpikir logika. Semua hanya omong kosong” Kata saya.


“ Seperti apa  logika itu ? tanya Florence dengan kening berkerut


“ Rakyat yang tidak bayar pajak tidak ubahnya dengan sampah.  Oknum pejabat yang korup tidak ubahnya dengan tinja. Sampah dan tinja harus di kick out. Trade off nya, negara akan memberikan ruang bagi rakyat untuk mendapat rezeki. Tetapi harus melalui kompetisi iPTEK. Negara akan memberikan ruang bagi siapa saja jadi pemimpin lewat kompetisi dalam hal kompetensi. Nah cobalah omong seperti itu saja. Bisa engga? Itu logika.” Kata saya.


“ Benar kata Hitler, How fortunate for governments that the people they administer don't think. Apes banget jadi rakyat kecil di negeri ini. Diajak mimpi kok mau. Pas bangun teriak minta BLT dan mengeluh kalau engga dapat. Loser !"


“ Kenapa sih kamu kesel sayang? kata saya seraya rangkul pundaknya. “  Kamu adalah contoh rakyat  yang benar. Kamu sangat logika sejak muda, dan karenanya kamu deserved dapatkan kemakmuran personal. Punya deposito  jutaan dollar AS, apartement mewah dan Maybach. Di usia menua kamu hidup secure walau tidak ada suami. Orang lain engga usah dipikirin. Jangan pula merasa bersalah. Kalau sempat ya bantu aja. Mereka miskin itu pilihan mereka sendiri untuk jadi korban. Hidup memang begitu. Tidak ramah sayang.” Kata saya.


Florence tersenyum. Saat saya semakin erat merangkulnya. Wajahnya bersemu merah. “ Darimana sih lue tahu soal logika berpikir? padahal lue engga pernah kuliah? Kata Florence menyentuh dada saya dengan lima jemarinya.


“ Dari Madilog. Tulisan Tan Malaka, Kelas 2 SMA gua sudah bantai buku itu. “ kata saya cepat.


“ Hah…SMA aja bacaan buku lue udah berat. Gila, pantas lue bisa berbisnis apa saja dan punya mitra global. Sebenarnya aset manusia itu adalah akalnya ya. Baru ngeh gua. Bukan titel”


“ Setiap hari gua belajar untuk mengasah akal. Gua suka duel gagasan sejak muda. Dengan siapapun. Lue kan tahu. Gua belajar  darimana saja. Akhirnya gua berhak tanya ijazah mereka yang mau bergabung dengan gua dan mereka tidak berhak tanya ijazah gua. Nah siapa yang predator dan siapa yang loser. Entahlah. Nyatanya gua kemana mana tetap pakai taxy,  sementara anak buah gua naik maybach dan Audi.”  Kata saya. 

“ Kata Hitler, If you win, you need not have to explain...If you lose, you should not be there to explain! Gua tahu diri Ale. “ Kata Florence. Malam menjemput. Kami tutup bill untuk pulang.

Saturday, October 08, 2022

Cinta seorang petarung

 




Desember tahun lalu saya pulang Kampung ke Maninjau, Sungai batang, Tanjung Raya. Sehari di kampung, saya sempatkan ke rumah Tan Malaka. Matahari bersinar lembut saat kendaraan menyusuri Jalan Tan Malaka sepanjang 50 kilometer, yang merupakan jalan provinsi terpanjang di Sumatra Barat. Jalan yang lurus itu melintang dari Jalan Lintas Riau Sumbar di Kota Payukumbuh hingga tembus ke rumah masa kecil pahlawan nasional Ibrahim Datuk Tan Malaka di daerah perbukitan terpencil di pelosok Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota. Rumah itu beraksitektur rumah adat Minangkabau, dengan lima buah gonjong terbuat dari seng.



Di rumah itu saya termenung lama. Inilah rumah dimana seorang putra minang di lahirkan. Siapa sangka, dialah penggagas Negara Indonesia dengan konsep yang ditulis secara terpelajar, dalam bukunya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia (1925). Kelak buku inilah yang menginspirasi Soekarno, Hatta, Sjahrir, dkk untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Istri yang mendampingi saya dalam kunjungan itu sempat bingung melihat saya termenung menatap rumah itu. “ Emang hebatnya apa sih  orang ini. Kan katanya dia Komunis” Ya orang Minang sendiri tidak banyak yang tahu siapa itu Tan Malaka


“ Kalau  komunis yang dimaknai anti Tuhan jelas bukan. Tan Malaka dalam usia ABG sudah bisa bahasa Arab. Hafidz Al Quran. Menguasai tafsir Al Quran.” Kata saya.


“ Wah pintar sekali dia. “ Kata istri saya.


“ Bukan hanya pintar. Tepatnya dia jenius. Berkat kecerdasannya, dia dapat berkesempatan sekolah bagi kalangan bangsawan, Kweekschool, Bukittinggi. Di sekolah itu juga awal Tan Malaka  mengenal cinta kepada teman sekelasnya. Syarifah namanya. Namun Cintanya tak bisa bersandingn di pelaminan. Orang tuanya tidak merestui ketika Tan Malaka hendak melamarnya. Tan Malaka memilih patuh kepada orang tuanya. Namun Cinta Tan Malaka kepada Syarifah tak pernah padam sampai usia menua.


Dalam duka karena cinta tak bertaut. Tan Malaka menerima beasiswa melanjutkan pendidikannya ke Belanda. Itu tahun 1912.  Di Belanda, ia masuk Sekolah Guru Haarlem. Ia menonjol dalam ilmu pasti. Dia juga tertarik membaca buku tentang militer, politik, terutama terinspirasi terhadap Revolusi Rusia (1917). Minatnya terhadap buah pikiran Marx dan Engels semakin besar. Ia kerap mengikuti berbagai pembicaraan politik kaum kiri di Amsterdam, juga diskusi terbuka antara Sneevliet dan Suwardi tentang Kecenderungan Nasionalis dan Sosialis dalam Pergerakan Nasional Hindia. “ Kata saya.


“ Tuh kan benar. Dia itu komunis.” Kata istri saya.


“ Engga begitu mah. Tan Malaka tetap islam yang taat. Bagi Tan Malaka, meskipun berbagai angin taufan pengaruh dari derasnya pemikiran dan berbagai kejadian di Eropa mengaduk aduk, menyeret sampai menghilirkannya ke perisitiwa 1917,  orientasinya terhadap Islam terus hidup. Ruh islam tetap abadi dalam pikiran dan hatinya.” 


“ Terus gimana kelanjutannya dengan Syarifah ? tanya istri saya.


“ Walau jarak memisahkan mereka. Tan Malaka terus berhubungan dengan Syarifah via surat. Kerinduannya kepada Syarifah ditumpahkan dalam surat dengan tulisan yang indah. Waktu berlalu. Syarifah tidak bisa terus menanti Tan Malaka. Akhirnya Syarifah menerima pinangan Bupati Cianjur RAA Wiranatakusumah. Tan Malaka sangat memaklumi, Syarifah tidak mungkin terus menanti dia. Siapalah dia? Pria miskin yang terlalu banyak impian.  Mungkin saat itu Tan sadar dia dikalahkan oleh feodalisme. Tapi bagaimanapun dia harus berdamai dengan realita. 


Tan Malaka kembali ke Indonesia pada November 1919. Bekerja di sebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan antara buruh pekerja dan tuan Belanda di tempat itu semakin memantapkan langkah Tan untuk memperjuangkan nasib kaum tertindas. Tan Malaka tidak punya senjata untuk melawan. Tetapi dia punya pena. Dengan tulisan itulah dia melawan ketidak adilan itu. Mulai 1920-an ia menulis banyak artikel politik. Dengan sangat terpelajar dia mengkritisi sistem Soviet dan parlementer pada sistem monarky. Tulisannya dimuat di majalah Soeara Ra’Jat. 


Tokoh PKI, Samaun pergi ke Rusia. Tahun 1921, Tan Malaka terpilih sebagai ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia mengembangkan cabang PKI di daerah dan mengecam pemerintahan kolonial yang menindas para buruh. Ia ditangkap karena terlibat dalam aksi pemogokan para buruh perkebunan (1922).  Tapi dengan cerdik Tan minta diasingkan ke Belanda. Di depan pengadilan Den Haag pada 1928 Tan meyampaikan pledoi yang sangat cemerlang.


Di Belanda Tan Malaka dekat dengan gadis Belanda, Fenny Struijvenberg.  Disaat cinta sedang tumbuh, ia pergi ke Moskwa, Rusia (1922) untuk ikut pertemuan komunis sedunia. Pada pertemuan itu, Tan Malaka diangkat sebagai wakil Komunis Internasional (Komintern) untuk Asia Tenggara. Sejak itulah dia dianggap oleh negara imperialis sebagai musuh berbahaya. Pemikirannya merusak standar politik imperialis.  Tan buron. Ia diburu oleh agen Inggris, Belanda, Amerika, Jepang. 


Dalam Pelarian itu, ia menulis buku mengenai Indonesia, berjudul Indonezija: ejo mesto na proboezjdajoesjtjemsja Vostoke (Indonesia dan empatinya di timur yang sedang bangkit). Sementara hubungannya dengan Fenny Struijvenberg tak ada ujung pangkalnya. Tapi di Manila pada 1927, dia mendapatkan labuhan hati. Seorang putri tokoh universitas. Hubungan mereka kandas karena Tan Malaka ditangkap oleh intel Amerika. Dia dibuang ke Tiongkok. Tan bisa meloloskan diri disaat dalam perjalanan ke Tiongkok. Ia menggunakan nama samaran, Ong Soong Lee.  Saat menetap di Xiamen itulah Tan  Malaka bertemu seorang gadis Amoy berusia 17 tahun berinisial “AP”. Tapi hubungan kandas karena Tan harus terus berlari. Dari Tiongkok dia menuju Malaya. Kemudian menetap di Singapura.



Di Singapore wilayah jajahan Inggris itu, dia  menggunakan nama Hasan Gozali dan bekerja sebagai guru pada sebuah sekolah. Tak jelas apakah dia kembali menjalin hubungan cinta di sana. Karena keburu terjadi invasi Jepang ke negara Asia Tenggara. Pada 1942 
Tan Malaka melihat ada kesempatan untuk pulang.  Dengan sampan dia berlayar sampai di Indonesaia. Dia hidup secara rahasia selama Jepang berkuasa. Sampai tahun 1943 ia tinggal di Cikini Jakarta, menulis buku Madilog -Materialisme, Dialektika, Logika. Buku itu karya besar Tan Malaka. Buku yang lahir dari perenungan panjang selama pelarian di luar negeri dan melihat benturan peradaban Barat dan Timur. Tan sadar bahwa kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan berpikir. Untuk apa kemerdekaan terjadi, kalau pemikiran masih terisolasi oleh pemikiran primodial dan sektoral, eklusif. 


Di tengah pelarian dan bersembunyi itu. Da dapat kabar. Syarifah sudah bercerai. Punya anak lima. Melalui temanya, dia diatur bertemu dengan syarifah. Namun saat bertemu, Syarifah menolak pinangan Tan Malaka. Kandas sudah cintanya ditengah gejolak perjuangan menuju Indonesia merdeka. Tan biarkan semua yang buruk datang padanya. Dia focus menggelorakan pergerakan kemerdekaan dalam badai revolusi. Sahabatnya Ahmad Soebardjo sempat kenalkan dengan ponakanya, Paramita Abdurrachman. 


Paska proklamasi kemerdekaan, Indonesia dalam status quo secara hukum international. Pengakuan kemerdekaan butuh proses pembuktian tekad antara kehendak kaum republikan dan kerajaan yang masih diakui eksistensi hukumnya. Revolusi pun meledak tak  terhindarkan. Saat itu kaum pergerakan terdiri dari tiga. Kaum nasionalis- Sosialis, komunis dan Islam. Kebetulan nasionalis lebih didukung kaum feodal dan tentara pelajar. Sehingga mereka punya legitimasi berdiplomasi dengan Belanda dan sekutu.


Di tengah arus revolusi bau amis darah itu, perundingan legitimasi Indonesia diadakan. Perjanjian Linggarjati ditandatangani pada 25 Maret 1947. Delegasi yang terlibat adalah Soetan Sjahrir, A.K. Gani, Amir Sjarifuddin, Soesanto Tirtoprodjo, Mohammad Roem, dan Ali Boediardjo. Mereka di dominasi oleh kelompok sosialis dan nasionalis. Karena tidak menghasilkan pengakuan utuh NKRI tapi hanya sebagian saja. Tan Malaka meradang. Dia sadar bahwa kemerdekaan hanya akan melahirkan paham foedalisme, penjajahan baru.  Itu sebabnya dia memutuskan menyatakan berseberangan dengan Soekarno dkk.


Pada bulan Januari 1946 di Purwokerto. Tan Malaka bertemu dengan Soedirman.  Pada pertemuan itu yang hadir adalah pimpinan pusat Partai Sosialis, Partai Kominis Indonesia, Serindo, Masjoemi, Partai Boeroeh Indonesia, Partai Revolosioner Indonesia (Parindo), Organisasi-organisasi pemuda dan pejuanh Pasindo, Barisan Pemberontakan Rakjat Indonesia, Badan Kongres Pemoeda Repoeblik Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemoeda Islam Indonesia (GPII). Hadir pula perwakilan Angkatan Moeda Repoeblik Indonesia, Kebaktian Rakjat Indonesia Soelawesi (KRIS), Pemuda Republik Indonesia Soematra, Federasi Perempuan Persatoean Wanita Indonesia (Perwari), tentara dan orang-orang dari semua lapisan rakyat. Tan Malaka menggagasnya untuk melawan kapitalisme dan penjajahan.


Saat itu Soedirman terpukau dengan kecerdasan dan ketulusan Tan Malakan. Kebetulan  Tan Malaka dan Soedirman  memiliki banyak kesamaan. Mereka sama sama memiliki latar belakang sebagai guru, punya prinsip keras anti diplomasi damai dengan Belanda.  Itu sebabnya sejak pertama bertemu di Purwokerto, berlanjut pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Terbentuklah front Tan Malaka- Soedirman. Disisi lain ada front Sjahrir-Sjarifuddin, Soekarno- Hatta. Sejak perundingan Linggarjati, Renville, butir perjanjian tidak pernah settle. Selalu dikacaukan oleh sikap Tan Malaka-Soedirman. Tan membakar semangat rakyat diakar rumput untuk terus kobarkan api revolusi. Soedirman gunakan Tentara rakyat untuk lakukan perang grilya. Sementara Amir Sjarifuddin, Muso terpengaruh dengan Tan Malaka untuk melawan Sjahrir. Pemberontakan PKI meletus di Madiun. 


Sjahrir melihat Tan Malaka adalah duri dalam daging yang membuat perjanjian damai dengan Belanda gagal. Yang memancing Belanda melakukan aksi militernya. Membuat Sjahrir dan Soekarno serta lainnya ditangkap. Karenanya menjelang Konferensi Meja Bundar. Atas perintah Sjahrir, Tan Malaka ditangkap.  Akhirnya dieksekusi 21 Februari 1949. Tuduhan sebagai dalang atas peristiwa kudeta terhadap pemerintah.  Cintanya dengan Paramita Abdurrachman diakhiri oleh ajalnya. “ Kata saya miris.


“ Waduh hebat juga ternyata Tan Malaka. Syarifah, Fenny Struijvenberg, gadis philipino, gadis Tiongkok dan terakhir dengan Paramita. Semua kandas. Mengapa dia tidak perjuangkan cintanya kepada mereka itu. Setidaknya satu jadilah”  Tanya istri.


“ Tan Malaka tidak pernah bisa jatuh cinta dalam arti sesungguhnya dengan wanita lain kecuali kepada Syarifah. Dia paham Syarifah menikah karena kuatnya budaya feodal. Saat Syarifah menjada. Dia pinang juga Syarifah. Tapi Syarifah menolak. Dia tersingkir. Dia berharap Tuhan mempertemukan dia kembali dengan Syarifah di sorga. Tan dikalahkan oleh takdirnya. Sama halnya sebegitu kuat dan besar cintanya kepada Indonesia tetapi justru tentara Indonesia membunuhnya. Kasih Tan Malaka di dunia memang tak sampai, tapi dia sampai kepada Tuhan yang Maha Pengasih lagi Penyayang.” Kata saya.


“ Lantas apa hikmah dari seorang Tan Malaka?


“ Pada tanggal 27 desember 1949  KMB terlaksana. Pengakuan kedaulatan Indonesia yang bersyarat.  Setahun setelah Tan Malaka meninggal, Soedirman menemui ajalnya di tempat tidur. Bukan di medan tempur. Karena sakit TBC. Setelah KMB, Belanda berkurang hegemoninya. AS masuk dalam politik perang dingin berhadapan dengan USSR di Indonesia. Sementara PKI dan Islam tetap tidak menerima isi perjanjian KMB. PKI provokasi Soekarno agar hengkang dari PBB dan membentuk Non Blok. Namun kelompok Islam, anggap PKI pro Beijing dan Rusia. Nasionalis sama saja, pro Barat. Sama sama condong kepada neocolonialism. 


Namun akhirnya elite Islam bersama kelompok sosialis terpaksa memberontak untuk menjatuhkan Soekarno yang dekat dengan PKI. Upaya kelompok Islam dan sosialis dalam PRRI/PERMESTA gagal berhadapan TNI.  Akhirnya tahun 1965, AS menggunakan perwira TNI untuk menghabisi PKI dan sekaligus menjatuhkan Soekarno. G30S PKI meledak sebagai jalan menuntaskan skenario menempatkan Soeharto sebagai presiden. PKI dimutilasi. Gerakan Islam di bonsai. 32 tahun era Orba, AS mengendalikan Indonesia. SDA kita  habis. Daya rusaknya lebih besar dari 350 tahun dijajah oleh Belanda.


Selama Soeharto berkuasa. Buku Pelajaran sekolah tentang Tan Malaka menyebut dia adalah Komunis. Mah, Tan Malaka bukan Komunis seperti ajaran Karl Marx. Dia hanya menggunakan komunis sebagai metodelogi membela kaum tertindas. Dia bukan anti Tuhan. Dia putra Minangkabau. Yang membumikan " Adat basandi sara, sara basandi kitabullah. Dia pejuang kaum tertindas. Menginginkan Indonesia merdeka dalam arti sesungguhnya tanpa campur tangan asing.   


Sampai kini kita tidak bisa lepas dari neocolonialism dalam bentuk hutang dan fasilitas REPO line the Fed. Sementara ketimpangan ekonomi tampak pada penguasaan aset atau kekayaan. 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% kekayaan nasional. Bahkan, 10% orang terkaya menguasai 75,3% kekayaan nasional. Kondisi ini membuat ketimpangan ekonomi Indonesia berada di urutan ketiga terburuk di dunia, sebagaimana dilaporkan dalam survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse pada Oktober 2018.” Kata saya.


Sore setelah sholat lohor kami kembali ke Maninjau, Sungai batang.  “ 10  Tokoh hebat pendiri negeri ini, Hatta, Sjahrir. Tan Malaka, Agus Salim, Muhammad Yamin, Muhammad Natsir, Abdul Rivai, Chaerul Saleh, Samaun Bakri, Rasuna said, adalah putra Minang Kabau. Mereka petarung dengan keyakinannya. Tidak saja di dalam negeri tetapi di luar negeri. Tapi cucunya, Papa malah terpaksa hijarah untuk bertahan hidup, mencari makan di luar negeri. Tragis sekali ya pah buah kemerdekaan yang diperjuangkan mereka.” Kata istri dalam perjalanan. Saya terhenyak. Negeri ini hanya berubah kekuasaan. Sistem kolonialsime tetap berlangsung dalam bentuk Neo, ya penjajahan oleh bangsa sendiri.


***



Petugas business center mengirim guide untuk aku berkunjung  ke Mao monumen. Guide itu seorang wanita dengan tinggi di perkirakan diatas 170 cm. Dia mengenakan Baju putih, kerah berenda dan dipadu dengan rok diatas lutut warna merah. Dia kenalkan namanya, Fang Yin atau panggil dia Lin. Kalau saja matahari musim panas sedang berbaik hati, rok tipisnya tentu menerawang pula. Di Changsa, saya berkunjung ke sekolah dan Asrama dimana Mao Zedong pernah menghabiskan masa remajanya. Saya duduk di bangku dimana Mao pernah duduk dulu menyikmak pelajaran dari gurunya. Pikiran saya sempat melayang jauh kemasa lalu. Bagaimana pria pendiam dan pemalu, drop out universtitas namun punya kharisma memimpin ratusan juta rakyat.  


Tapi yang membuat saya terharu ketika membaca kumpulan kliping tulisan Mao di koran,  dimana Mao menulis tentang semangat kebersamaan dan gotong royong atas senasip sepenanggungan. Mao mengutip nama Ong Soong Le dalam tulisan nya. Belakangan saya tahu  bahwa nama  itu adalah Tan Malaka yang mendidik pemuda China mengenal ajaran Marx, Komunisme dalam konteks budaya. Itu sebanya ajaran komunisme China sangat berbeda dengan ajaran komunis di Rusia. Tan mengarahkan kepada pemuda China bahwa china harus menjadikan Marx sebagai metode perjuangan bukan menjalankan kerangka berpikir Marx atau komunisme. Bagi Mao,Tan Malaka adalah inspirasinya menjadi petarung atas nasip bangsanya di kemudian hari..


Tan Malaka bermimpi tentang masa depan Indonesia. Masyarakt egaliter dan emasipasif.  Dalam buku Madilog-nya tersirat, bahwa Indonesia tak akan pernah benar-benar bebas apabila masih terkungkung pada pemikiran  irasional. Misal, dia mengajak orang untuk tidak perlu memilih pemimpin karena faktor keturunan dan dengan embel embel dia titisan dewa atau primordial. Ada faktor yang substansial dalam memilih seorang jadi pemimpin yaitu seperti sumbangsih pemikiran, kepeduliannya, akhlak, dan intelektualitas. Tan Malaka ingin mengajak orang agar lebih partisipatif dan meninggalkan segala hal berbau pembodohan lewat jargon politik, budaya maupun ekonomi. Mandiri akal adalah kekayaan yang tak ada habisnya.


“ Tan malaka menegaskan bahwa logika tidak dibatalkan oleh dialektika, melainkan tetap berlaku dalam dimensi mikro. Tan Malaka justru menunjukkan bahwa pemikiran logis, dengan paham dasar dialektis, membebaskan ilmu pengetahuan untuk mencapai potensialitas yang sebenarnya. Logika gaib seharusnya dilawan dengan logika yang sebenarnya dan karena itu perubahan terjadi, keberadaan Tuhan di agungkan, iman semakin kukuh. China mampu melakukan transformasi dari politik primodial dan  totaliter,  menjadi politik emansipasi. Revolusi kebudayaan China adalah kado terindah dari bapak Maosedong kepada generasi China masa depan, dan karena itu China bisa menjadi negara besar. Mereka belajar dari pemikiran Tan Malaka. " Kata teman saya. Saya hanya diam saja. Malu kepada diri saya sendiri.


Sebenarnya pemikiran Tan Malaka sangat sederhana. Dia mengajak kita berpikir berdasarkan fakta. Tidak berpikir sektoral atau wilayah. Mengajak kita berpikir futuristik dan bersikap mandiri, konsekwen dan konsisten. Bagaimana keluarga bisa melahirkan putra sehebat itu? tanya teman dari China. 


Dengan tersenyum saya katakan " Tan lahir dari keluarga muslim yang taat. Dalam usia belia sudah hafal Al Quran. Namun dia berkembang dari pemikiran islam moderat, bukan islam puritan pakai baju gamis dan celana cingkrang. Pasih dalam 6 bahasa dan terpelajar jago berdebat namun tetap tidak merendahkan orang lain. Itu budaya Minang Kabau dan begitu agama mendidik kami. “ Kata saya.


" Tapi mengapa Indonesia tidak belajar dari Tan ? Tanya Teman.


Saya terdiam. Tan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir bebas,  bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking” atau bukan dogmatis. Tapi di era kini standar pendidikan Indonesia menjadikan orang terpelajar, tetapi tidak  terdidik. Karena buah standarisasi pendidikan yang menggiring orang seperti kerbau ke kamp kapitalisme sebagai konsumen dan pekerja. Hilang kemandirian, hilang akal sehat dan tentu hilang visioner. Bukan masa depan yang baik. Entahlah. Saya rindu Tan Malaka. 

Friday, October 07, 2022

Cinta Maria..

 



Tahun 2011 saat business trip ke Zurich, saya sempatkan mampir ke Amsterdam. Kebetulan  sahabat  saya, Anneke mau antar saya. Sekalian ke rumah orang tuanya. Kami mengendarai BMW. Anneke yang supir. Saya duduk manis saja di sebelahnya. 


“ Mau ngapain weekend ke Amsterdam? kamu kan bukan tipe pria yang doyan belanja Sex.” Kata Anneke tersenyum.


“ Saya mau ke  kawasan  lange duitse dwarsstraat.” 


“ Di situ ada restoran italia enak. Nanti aku traktir. Mau ya” Kata Anneke. “  Di Amsterdam engga berlaku AMEX centurion Card. “ Lanjut Anneke dengan cepat. Seakan dia ingin menegaskan bahwa saya adalah tamunya. Amsterdam adalah kota kelahirannya.


Jam 4 sore kami sudah sampai di Amsterdam. “ Kita langsung aja ke Lange Duitse Dwarsstraat, ya” kata Saya. 


“ Ada apa sih kamu? pengen banget ke sana. Ada memori yang saya tidak tahu. Kamu punya kenangan dengan nona Holand ya.” 


“ Engga juga. Nanti saya ceritakan.”


“ Ya ok. Saya senang dengar kamu cerita.” Kata Anneke mengarahkan kendaraan ke tujuan kami. Sampai di kawasan itu, saya lama termenung menatap dari jendela kendaraan. “ Dulu ini daerah elite, B. Kini jadi kota tua. Tetapi tetap dijaga kelestariannya. Mari kita parkir kendaraan. Kita ke Restoran


“ Ceritalah say” kata Anneke. Dia sahabat saya dan juga team profesional bidang financial. Dia cerdas dalam usia mature. Single parent.  Saya nikmati kopi yang terhidang seraya menikmati angin bulan november yang lumayan dingin.


“ Dulu era kolonial Belanda di negeri kami.” Kata saya mengawali cerita “  Di kawasan lange duitse dwarsstraat  tepatnya di restoran Bohemian,  itu tempat para pemuda Eropa sosialis berkumpul. Di cafe itu mereka menghabiskan waktu berdiskusi tentang banyak hal. Duel ide dan gagasan secara terpelajar. Diantara pemuda itu ada beberapa mahasiswa Indonesia seperti Hatta, Tan Malaka, Sjahrir dan lain lain. Dari diskusi itu para mahasiswa Indonesia yang beraliran sosialis mendirikan perhimpunan mahasiswa sosial demokrat. Saya ingin cerita tentang seorang anak manusia bernama Sjahrir. Karena dia berasal dari kampung sama dengan saya. Orang minang juga. Ini kisa tentang  cinta dan realita” Kata saya. 


“ Hmm.” Anneke menganguk. “ Menarik, lanjutkan ceritanya” 


“ Sjahrir lahir pada 5 maret 1909, di Padang panjang, Sumatera Barat. Dia terlahir dari keluarga bangsawan kesultanan Deli. Ayahnya jaksa di Medan. Makanya dia punya akses kepada pendidikan, yang dikala kolonial itu hampir tidak mungkin bagi kaum pribumi bisa dapatkan. Setelah lulus dari  Meer Uitgebreid Lager Onderwijs,  dia melanjutkan sekolah ke Algemeene Middelbare School di Bandung. Setelah lulus dari AMS, melanjutkan pendidikannya ke Belanda. Tinggal bersama Kakak perempuanya yang ikut suaminya dalam program belajar di Belanda.


Pada 193 kakak iparnya menyelesaikan tugas belajar. Kembali ke Hindia Belanda. Dia terpaksa tinggal ngekos di apartement sahabat Yahudinya, yang juga aktifis sosialis, Namanya, Salomon Tas. Sebagai sahabat Tas tidak merasa keberatan menerima Sjahrir tinggal bersama walau di rumahnya udah sesak dengan istrinya, Maria Johanna Duchateau, dengan dua anaknya, dan teman istrinya yang bernama Judith van Wamel. 


Tapi kamu kan tahu. Cinta itu tidak mengenal batas. Selalu ada alasan untuk orang jatuh cinta. Itu manusiawi. Ternyata diam diam, Sjahrir jatuh cinta dengan Maria. Namun karena menghormati Tas, dia jaga lakunya dihadapan Tas. Dia berusaha sesopan mungkin. Adat kami orang minang diajarkan soal itu. Tahu diri menumpang di rumah orang. Tas sering tidak pernah pulang karena kesibukannya sebagai aktifis. Maria menjadikan Sjahrir tempat curhat kesepiannya. Kadang mereka nonton   teater di Stadsschouwburg. Kebetulan mereka punya hobi sama.


Akhirnya Tas mengetahui hubungan asmara antara Sjahrir dengan Maria. Tas relakan Maria diambil oleh sahabatnya, Sjahrir. Karena Tas sebenarnya diam diam menjalin cinta dengan teman istrinya, Judith van Wamel. Namun, kedekatan itu hanya berlangsung semusim. Karena pada akhir tahun 1931, Kakak angkatnya Hatta, memintanya agar pulang ke Hindia Belanda untuk memimpin PNI.


Sebenarnya Hatta saat itu diminta untuk memimpin PNI, tapi karena Hatta belum selesai studinya. Hatta meminta Sjahrir untuk pulang sementara ke Hindia Belanda untuk menggantikannya memimpin PNI dan berjanji akan pulang setelah Studinya selesai, dan setelah itu Sjahrir bisa kembali ke Belanda untuk melanjutkan kuliahnya kembali.


Sjahrir mengajak Maria untuk ikutnya ke Hindia Belanda. Tetapi Maria tidak bisa. Dia sedang mengurus perceraiannya. Maria baru ke Hindia Belanda  tahun 1932. Itu setelah empat bulan sejak desember 1931 Sjahrir pulang. Mereka menikah di Medan pada 10 April 1932. Pernikahan secara muslim. Yang tragis adalah pernikahan itu tidak diterima oleh komunitas Belanda yang saat itu berkuasa di Hindia Belanda. Walau Maria sudah mengenakan kebaya dan berkain sarung, tetap saja dianggap tabu menikah dengan pria pribumi yang berkulit coklat.


Berita media massa heboh soal pernikahan itu. Akhirnya memaksa polisi melakukan investigasi. Ternyata Maria belum resmi  bercerai. Pernikahan itu tidak sah. Polisi memulangkan Maria ke Belanda. Padahal saat itu Maria sedang hamil.  Belakangan dia dapat kabar dari Maria bahwa bayi yang dikandungnya meninggal saat proses melahirkan. Sjahrir sangat sedih. Dia mendapatkan pendidikan terbaik bersama sama orang Belanda. Tetapi politik kolonialis membuat dia tak pantas menikah dengan wanita kulit putih. Dia tetap pribumi. Second class.. 


Kerinduan Sjahrir kepada Maria begitu membuncah. Dia bertekad untuk segera menyusul Maria ke Belanda. Apalagi Hatta sudah selesai dengan pendidikannya dan siap memimpin PNI. Namun belum sempat berangkat. Sjahrir ditangkap aparat Polisi. Karena dituduh membuat gerakan melawan pemerintah kolonial Belanda. Sjahrir dibuang ke ke Boven Digul, Banda Neira, Papua. Dalam pengasingan itu Maria berusaha mengulang pernikahan itu secara jarak jauh. Diwakili oleh Salim, sahabat Sjahrir. Dia tidak tahu kapan akan dibebaskan. Masa depan yang dia cita citakan seakan gelap.  Dia mengusulkan agar Maria datang ke Banda Neira tinggal bersamanya. Tetapi Maria tidak cukup uang untuk ongkos. Sjaharir tahu. Saat itu Eropa sedang depresi. Semua orang susah. Sjahrir minta tolong kepada adiknya Sutan Sjahsam untuk kirim uang kepada Maria. 


Kamu tahu, sampai tahun 1940 surat yang dikirim Sjahrir berjumlah 287. Itu surat-surat disimpan oleh Maria, lalu dijadikan buku dengan judul Indonesische Overpeinzingen yang terbit pada tahun 1945 di Amsterdam. Dalam surat itu sjahrir mengungkap kejujurannya tetang dia dan Maria. " Apa yang aku tak temukan di dalam studiku, apa yang tak kutemukan di dalam filsafat, aku temukan pada dirimu". Itu katanya dalam surat.


Setelah 15 tahun tidak bertemu dengan Maria, akhirnya Sjahrir bisa bertemu kembali pada 1947 di New Delhi. Saat itu Sjahrir sudah Perdana Menteri negera Indonesia yang baru lahir. Pertemuan itu diatur oleh Nawaharlal Nehru Perdana Menteri India saat itu yang sangaja mendatangkan Maria dari Belanda.  Di Bandara, Sjahrir bertemu dengan Maria. Sjahril memeluk Maria dengan hanya menempelkan pipinya. Pertemuan yang dingin dan canggung. Tidak ada kehangatan seperti dulu. “


“ Ternyata waktu mengubah perasaan. Apakah ada WIL?


“ Sebenarnya bukan soal WIL. Karena ada perbedaan mendasarkan diluar cinta kasih.”


“ Apa itu? 


“ Maria itu seorang komunis. Jelas berbeda dengan Sjahrir yang sosialis. Ternyata waktu membuat Sjahrir harus bersikap.  Mungkin perbedaan idiologis yang prinsip itu membuat hubungan  perkawinan tidak bisa diteruskan. Akhirnya pada 12 Agustus 1948, keduanya memutuskan untuk bercerai.” Kata saya.


“ Terus..?


“ Walau mereka sudah bercerai. Hubungan mereka tetap terjalin  sebagai sahabat. Maria bisa move on. Tidak menolak ketika atas saran Sjahrir  untuk menerima pinangan adiknya bernama Sutan Sjahsam. Mereka menikah dan hidup tentram di Belanda.. Sjahrir tahun 1951 menikah dengan Poppy, sekretarisnya. Hidup bersama sampai ajal memisahkan.”


“ Happy ending. “ Kata Anneke tersenyum. “ Terus apa orientasi politik kamu ? Sosialisi atau agama? tanyanya. Saya lama menatapnya. Saya tersenyum “ Anneke, Perjalanan hidup saya mengajarkan kepada saya satu hal. Jangan pernah hidup kita dipengaruhi oleh narasi Idiologi dan Agama. Sekali kita hidup dipengaruhi oleh dua hal itu maka kita akan jadi dungu. Korban predator. “


“ Duh kenapa begitu say”


“ Baik saya jelaskan secara sederhana. “ Kata saya seraya seruput kopi. “ Kita percaya kepada Idiologi. Dengan idiologi itu, kita punya impian keadilan sosial bagi semua. Itu tertuang semua dalam konstitusi. Bacalah, visi dan misinya itu sama dengan kitab suci agama apapun. Tapi nyatanya di Indonesia,  50 orang Indonesia menguasai 1/3 sumber daya keuangan. Dimana keadilan sosial? Omong kosong! Itu sama saja dengan era kolonialisme. Sudah lebih setengah Abad kami merdeka. Kami termasuk 10 negara dengan SDA terbesar dunia. SDM nomor 4 dunia. Apa yang kami dapat? Kami masih termasuk 100 negara miskin di dunia. Jarak kaya dan miskin semakin melebar.


Kami itu selalu membahas yang tidak substansi. Di era modern masalah idiologi dan agama itu bukan substansi. Itu semua omong kosong. Finlandia, bukan negara agama, tetapi makmur. Aceh yang berlaku hukum syariah islam, ternyata terkorup di Indonnesia dan masuk daerah miskin. Padahal SDA Aceh besar sekali. China itu komunis. Kurang SDA. Tetapi mereka berhasil angkat 800 juta rakyat dari kubangan kemiskinan.”


“ Jadi yang substansi itu apa ?


“ Mindset personal orang perorang. Nah kalau mindset personal itu menjadi budaya maka itulah yang akan menjadikan kita negara besar dan makmur. “


“ Maksud kamu ?


“ Pertama punya rasa malu. Malu kaya dengan cara tidak jujur, apalagi korup. Malu dengan tangan dibawah. Kedua, Mandiri. Dengan adanya rasa malu itu, membuat kita menjadi masyarakat berbudaya, tahu diri, Kita tidak memelas pekerjaan, tetapi pekerjaan butuh kita karena kita punya kompetesi. Jadi focus mengembangkan kompetensi, bukan mengeluh engga ada lowongan. Punya kreatifitas untuk survival sehingga setiap hari kita adalah kinerja dan harapan. Besar kecil hasil itu relatif, yang pasti engga akan bokek orang kreatif. Jadi focus kepada kreatifitas untuk memenangkan kompetisi. Sjahrir berkata, Hidup yang tak dipertaruhkan tidak akan dimenangkan


Nah dua hal itu saja. Kalau dua hal itu jadi mindset, saya yakin, mana ada waktu lagi kita mikirkan orientasi politik idiologi atau identitas. Karena politik itu seni berbisnis ala modern juga. Cara orang terpelajar menguasai sumber daya untuk hidup senang dan manapula mereka jadikan rakyat sebagai prioritas, Yang percaya politik pro rakyat. Pasti hidupnya halu dan engga punya mindset mandiri. “ Kata saya.


“ Terus kalau bukan idiologi dan agama, siapa yang mempengaruhi hidup kamu ? tanya Anneke


“ Pertama adalah orang tua. Karena mereka mencintai saya dengan tulus. Tak berharap apapun. Hanya ingin saya baik baik saja. Kedua, adalah istri. Karena dia tak berharap apapun kecuali yang terbaik untuk saya. Ketiga, sahabat yang selalu inginkan saya bahagia. “


Malam menjemput, kami menghabiskan malam minggu di Bar HotShots Amsterdam yang ada di jalan Lange Leidsedwarsstraat 64. Anneke kembali ke rumah orang tuanya tetapi dia antar saya ke Hotel. 


“ Pastilah Sjahrir itu pria cerdas. Wanita Belanda suka dengan pria yang cerdas. Apalagi wanita mature seperti Maria. “ 


“ Oh ya..? 


“ Ya buktinya wanita di hadapan kamu ini. “ Kata Anneke. Kiss dried saya. Engga sempat ngeles saya. " Kalau diizinkan, aku nginep aja di hotel kamu"bisiknya.

Harta hanya catatan saja

  Saya amprokan dengan teman di Loby hotel saat mau ke cafe “ Ale, clients gua punya rekening offshore di Singapore. Apa lue bisa monetes re...