Saturday, June 08, 2024

Irama sumbang

 





Terdengar suara tangis setiap hari. Suaranya seperti ratapan yang tertahan sedu sedan. Hujan deras, suara tangisan itu tetap terdengar. Tak lagi indah suara rintik rintik hujan karenanya. Malam yang damai di desa seharusnya memberikan kenyamanan mengantar tidur. Kini suara tangis itu membuat dada sesak dan gelisah. Menyimpulkan melankolis dan dramatis. Suara tangis itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan akibat ketidak adilan diatas harapan janji pemilu yang tak pernah ditunaikan. 


”Siapa sih yang terus-terusan menangis begitu?!” tanya warga desa


”Siapa ? ” jawaban warga yang balik bertanya bingung. 


”Darimana sumber suara tangisan itu ?  tanya warga lainnya.


”Entahlah. Mungkin dari balik bukit kampung sebelah yang sebagian besar penduduknya punya anak stunting. Ataukah dari penduduk desa sebelahnya lagi yang lahannya digusur untuk kebun besar sawit korporat. Penduduknya dikriminalisasi karena bertahan tidak mau digusur. Bahkan ada yang terpaksa mencuri buah sawit untuk bertahan hidup dan terbunuh oleh amok massa buruh kebun. ” ujar seorang peronda yang dianggap tetua desa. ” Mereka pasti masih sedih karena derita yang tak terucapkan lagi.”


Orang-orang terdiam. Mereka saling tatap di antara mereka. Karena mereka juga adalah korban dari dugaan sumber tangisan itu. Hanya saja mereka percaya dengan Pak lurah yang menjanjikan banyak hal. Tapi nyatanya mereka hanya tahu pada akhirnya Pak lurah dan teman temannya semakin kaya berkat dana desa itu. Sementara mereka pura pura bahagia atas pilihan sikapnya. Menumpang tawa ditempat ramai dan menjerit tangis dalam kesendirian.


Tangis itu terus mengambang di udara entah berasal dari mana. Kadang tangis itu terdengar seperti suara tangis bayi yang rewel kelaparan. Kadang seperti suara perempuan terisak setelah ditampar suaminya yang bokek. Kadang terisak panjang seperti mahasiswa yang gagal masuk universitas karena kemiskinan. Kadang seperti keluhan pegawai honorer yang upahnya sebulan setara 6 cangkir kopi starbucks. Kadang seperti orang sekarat, yang putus asa karena bangkrut akibat judi online dan investasi bodong. Kadang seperti sayatan panjang yang mengiris malam seperti PSK kena garuk Petugas.


Berhari-hari tangisan itu terdengar timbul-tenggelam menyiratkan kesedihan yang paling memilukan. Hidup sudah sedemikian penuh kesedihan kenapa pula mesti ditambah-tambahi mendengarkan tangisan yang begitu menyedihkan sepanjang hari seperti itu?  Lalu kompak, warga sepakat mengadu pada Pak RT.


Tak ingin terjadi hal-hal yang makin meresahkan, Pak RT segera menghubungi Ketua RW, karena barangkali yang terus-terusan menangis itu dari kampung sebelah. Seminggu lalu memang ada warga kampung dekat pembuangan sampah yang mati gantung diri setelah membunuh istri dan empat anaknya yang masih kecil. Dimanakah harapan? Siapa yang menggantungkan politik pada harapan akhirnya hanya akan terpekur, karena harapan selalu samar. Lebih baik mati daripada hidup kelaparan adalah putus asa dalam kekalahan, kehilangan harapan. Suara tangis pun semakin membumbung ke langit. 

Pada hari berikutnya, suara tangis itu terdengar makin panjang dan menyedihkan.  Masuk ke ruang politik.  Parlemen, pengadilan, polisi, kejaksaan, dan media nyaris jadi sederet bordello, di mana si kaya bisa membeli apa saja. Suara rakyat yang diberikan kepada sang presiden seakan-akan sia-sia. Kini para mahasiswa tak hendak mencoba mengulang heroisme angkatan sebelumnya. Para tokoh agama juga terhalang oleh nafsunya membela kebenaran. Apalagi dapat jatah IUP. 


Pada hari berikutnya, seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Para Lurah segera melapor Pak Camat. Tapi karena tak juga menemukan gerangan siapakah yang terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang rupanya juga sudah mengganggu kenyamanan kelas Menengah dan Atas pembayar pajak. Tangis itu makin terdengar ganjil ketika menyusup di TikTok dan Twitter. 


”Mungkin itu tangisan buruh yang terpaksa menerima upah dibawah UMR karena lapangan kerja semakin sulit. …”


”Mungkin itu tangisan buruh yang baru terkena PHK.”


”Mungkin itu tangisan si miskin  yang menjerit akan harga harga sembako yang terus naik”


”Barangkali itu tangisan petani yang semakin loyo bertani karena pupuk sulit didapat di pasar, kalaupun ada harganya naik lebih cepat dari kenaikan harga gabah…”


”Barangkali itu tangisan pedagang tradisional yang tergerus pasarnya karena adanya e commerce dan marketplace dari unicorn”


Hingga hari berikutnya,  tangisan itu makin terdengar penuh kesedihan dan membuat Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur sudah tahu. Tangisan itu bagai mengalir sepanjang jalan sepanjang sungai sepanjang hari sepanjang malam, melintasi perbukitan kering, merayap di hamparan sawah yang tergenang banjir dan terdengar gemanya yang panjang hingga ngarai dan lembah yang kelabu sampai ke dusun-dusun paling jauh di pedalaman.

Pada hari berikutnya, para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah terdengar ke seluruh negeri. Tangis itu bahkan terdengar begitu memelas ketika melintasi kampung kumuh di Ibu Kota. Terdengar terisak-isak serak bagai riak yang mengapung di gemerlap cahaya lampu gedung- gedung menjulang hingga setiap orang yang mendengar sekan diiris-iris kesedihan.


”Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang Menteri.


Menteri yang lain hanya diam.


Pada hari hari berikutnya, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri dan megah. Tangis itu menyusup lewat celah jendela, dan membuat Presiden tergeragap dari kantuknya. Ia menyangka itu tangis cucunya yang kelak diharapkan jadi presiden juga. Ternyata bukan. Pastinya bukan dari putranya yang dari walikota akan menjadi wapres. Pastinya bukan dari putranya ketua Partai. Tentu bukan dari menantunya yang akan jadi gubernur.  Lalu siapa yang menangis? Seperti terdengar dari luar sana. Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak hanya bayangan nun jauh di sana istana baru sedang dibangun yang menguras uang APBN hampir Rp. 100 triliun.


Mendadak istrinya sudah di sampingnya. ”Ada apa?”


”Saya seperti mendengar suara tangis…” kata presiden

”Siapa?” Kata istrinya.” Aku hanya mendengar euforia dari 78 % rakyat yang puas akan kepemimpinan mu. 58% yang suka kepada putra kita sebagai wapres.” Sambung istrinya.

”Begitu kata survey..Begitu kata MK dan KPU. Entahlah…” Suara presiden lirih

”Sudah, tidur saja. Besok bagikan sedekah Bansos, agar tangisan itu berhenti atau dilupakan” kata istrinya. Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup jendela.


Sementara tangisan itu terus mengalun sehingga menjadi pelengkap irama kehidupan negeri yang hipokrit, bersanding dengan suara jeritan euforia kaum pemburu rente dan oligarki. Antara tangis dan euforia, bersaut sautan dibalik  kekumuhan dan kemewahan. Di balik angka Ratio GINI yang timpang. Di negeri ini, Negara adalah sebuah paradoks: ia irrasional dan sekaligus rentan dan ceroboh. Negara adalah juga politisi yang punya mind corruption, yang dengan produktif mengeluarkan UU yang transaksional. Kekuasaan sebagai amanat publik telah diperdagangkan sebagai milik pribadi, dan akibatnya ia hanya merepotkan, tapi tanpa kewibawaan.


Haruskah kita terus berjuang dalam politik untuk perubahan, ketika hampir semua hal sudah diucapkan secara terbuka, tapi negeri ini hanya berubah beberapa senti? Kalaupun akal budi tak kunjung menang, seperti dicitakan Hegel, tak berarti manusia takluk. Kalaupun kebebasan  tidak lagi bebas, seperti diperhitungkan Marx, tak berarti ia tak layak diperjuangkan. Apakah kamu juga  dengar tangisan itu? Atau hanya mendengar jeritan euforia? 


10 comments:

  1. Anonymous1:55:00 PM

    Tangisan itu karena kebodohan sendiri, memilih pemimpinn karena terlena dengan bansos dan makan siang gratis. Bangga sebagai pribadi terjajah.

    ReplyDelete
  2. Anonymous3:44:00 PM

    serba salah,...salah memilih pemimpinnya atau salah memilih wakil rakyatnya.

    ReplyDelete
  3. Anonymous5:57:00 PM

    Tangisan itu, air mata itu, setetes demi setetes akan menyusup kedalam tanah, suaranya akan naik keharibaan hakim yg maha adil, dan ujungnya akan berubah jadi air bah, yg akan melulu lantakkan negeri ini

    ReplyDelete
  4. Anonymous6:24:00 PM

    tangisan yang hanya bisa didengar dan dimengerti oleh hati nurani yg bersih, yg juga rindu mengulurkan tangan

    ReplyDelete
  5. Irwan Trikora6:48:00 PM

    Kamilah yg menangis itu Babo karena Mata pedih oleh limbah peradaban...

    ReplyDelete
  6. Anonymous11:54:00 PM

    The power of emak-emak berhasil menenangkan pak lurah dan hanya mendengar euphoria kemenangan lalu bisa tidur dengan lelap

    ReplyDelete
  7. Anonymous8:56:00 AM

    Tangisan yang sengaja di pelihara untuk mendulang suara setiap 5 tahunan

    ReplyDelete
  8. Anonymous8:58:00 AM

    Tangisan yg sengaja di biarkan dan di pelihara untuk mendulang suara saat pesta 5 tahunan

    ReplyDelete
  9. Anonymous8:06:00 PM

    Perlu REVOLUSI pejabat,segera buat UU pembuktian terbalik harta pejabat dan perampasan aset koruptor serta keluarganya.

    ReplyDelete
  10. Anonymous7:14:00 AM

    Itu jeritan kami juga Babo petani desa tapi tak bisa keluar jadi tangisisan lirih karena tak ada lagi masa depan

    ReplyDelete