Di ruang Sauna saya dan teman teman asik ngobrol.
“ Berapa orang anak buah lue nyaleg “‘tanya David ke Asiong.
“ Empat. Dua di DPR dan dua lagi di DPRD di wilayah yang ada proyek gua doang “ kata Asiong. “ Lue berapa “ tanya Asiong ke David.
“ Gua 2 doang. Ya sekedar titip sendal dan pasti dapat kursi DPR“ Kata david.
Yang lain juga menjawab senada dengan kesan tanpa semangat. Sepertinya bukan urusan besar untuk dibahas. “ Eh padang. " seru Akhiat ke saya. " Awi berapa anak buahnya nyaleg ? lanjutnya.
“ Engga tahu gua. “ Jawab saya cuek.
“ Kalau engga salah Awi punya dua anak buah yang nyaleg. “ kata Afin. Saya tidak menanggapi obrolan itu. Saya memilih keluar dari ruang sauna. Menjelang Pemilu memang politisi atau kader partai butuh sponsor pengusaha untuk biaya pendaftaran caleg, kampanye, sosialisasi, dan saksi. Tanpa uang sulit sekali kader partai bisa terpilih. Apalagi bagi pemula yang berniat jadi caleg, tanpa uang praktis hanya omong kosong bisa dapat suara untuk lolos ke parlemen.
“ Hampir semua orang partai yang pernah jadi anggota DPR, pastilah anak atau istrinya atau anggota keluarga akan jadi anggota DPR juga. Tidak sulit dapatkan ticket dari partai. Setelah itu mereka akan mencalonkan diri sebagai Walikota atau Bupati atau Gubernur. Setiap jenjang mereka membangun jaringan dengan pengusaha lewat pemberian akses konsesi bisnis. Dari itu mereka akan dapatkan juga akses dana untuk ke jenjang lebih tinggi. Sampai jadi presiden. “ Kata Anton saat bertemu dengan saya di lounge spa.
“ Apa salahnya Gibran jadi Cawapres? apa salah kalau rakyat memilihnya. Ini kan demokrasi. Beda dengan era Soeharto atau Kerajaan.”
Saya perlu luruskan apa itu politik dinasti. Karena banyak yang beranggapan bahwa politik dinasti itu merujuk kepada sistem kerajaan. Sehingga tidak pantas ditujukan kepada Keluarga Jokowi, dimana sistem kita Demokrasi dan Pemilu Langsung.
Jadi apa itu politik dinasty ? Tanya Anton
Politik dinasti itu bukan tentang sistem monarki. Tetapi merujuk kepada anggota keluarga yang banyak terlibat dalam politik, khususnya politik elektoral. Antar keluarga saling berbagi pengaruh elektoral. Itu bisa karena kekuasaan, dan karena keuasaan membuat harta melimpah sehinggga mudah membeli suara. Jadi istilah politik dinasti itu ada pada sistem demokrasi. Kamu bisa baca buku Dynasties and Democracy oleh Daniel m Smith. Masih banyak lagi buku membahas politik dinasti. Paham ya.
Dinasti politik telah lama hadir di negara-negara demokrasi, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kesenjangan distribusi kekuasaan politik. Mungkin mencerminkan ketidaksempurnaan dalam representasi demokratis atau istilah romantis nya disebut demokrasi cacat ( Flawed Democracy ). Mosca yang, menulis pada tahun 1896, berpendapat bahwa “every class displays the tendency to become hereditary, in fact if not in law” Bahkan dalam sistem politik terbuka bagi semua orang, ikatan kekeluargaan dengan mereka yang sudah berkuasa menentukan keunggulan berkompetisi.
Biasanya politik dinasty itu berkembang dan ujungnya melahirkan oligarki. Michels, yang menulis tentang ““the iron law of oligarchy”, menyatakan, dalam organisasi demokratis, kepemimpinan, setelah terpilih, akan memperoleh kekuasaan, mereka merusak prinsip demokrasi yang setara. Makanya penting sekali demokrasi yang patuh hukum atau equality before the law.. Dalam negara modern apalagi dalam sistem terbuka, hukum tanpa moral, itu akan jadi drama oleh lembaga demokrasi. Sama halnya dengan demokrasi. Ia menammpilkan drama sabun dibalik kemegahan lembaga demokrasi.
So, politik dinasti itu adalah cacat bawaan dalam sistem demokrasi. Mengapa?. Dalam sistem demokrasi setiap warga negara berhak dicalonkan dan mencalonkan. Tidak peduli dia anak tukang penjaga pintu kereta atau dia anak presiden sekalipun. Tidak peduli dia tua atau muda. Bahkan lebih ekstrim lagi, setan pun kalau rakyat memilihnya ya dia bisa menang. Nah untuk menghindari cacat bawaan itu, dibuatlah UU dan aturan tentang pembatasan politik dinasti. Tetapi pembatasan itu, tidak ada arti kalau lembaga Yudikatif dikuasai oleh Oligarki.
Sebelumnya kalaulah para pemimpin kita tidak punya moral, tentu tidak mungkin Jokowi yang bukan siapa siapa dan bukan keluarga politik, bisa jadi walikota sampai presiden dua periode. itulah buah demokrasi yang diperjuangkan oleh Prodem sejak tahun awal 1990 sehingga puncaknya jatuhnya soeharto melahirkan reformasi politlk. Nah kembali kepada moral kepemimpinan presiden terpilih. Apakah dia patuh kepada standar moral atau hanya sekedar mengikuti demokrasi sebatas procedural, dan pura pura bego meliat kenyataan.
“ Jadi kalau benar Gibran jadi Cawapres Prabowo yang sebelumnya Kaesang sudah jadi Ketum Partai, saya rasa ini akan jadi tradisi kuat dalam politik Indonesia. Legacy Jokowi yang fenomenal adalah politik dinasti. Kita tidak bisa lagi berharap kisah berulang seperti pemilu 2014 Si Tukang Kayu jadi RI-1.” Kata Anton. Saya bisa maklum. Ini adalah fenomena yang aneh, hubungan cinta antara pemilih demokratis dan bangsawan politik.
Anton pergi ke table dengan teman teman di lounge Spa. Dia tinggalkan saya sendirian. Amel usai perawatan wajah mendatangi table saya. “ kamu cantik dan tetap awet muda. Bikin nafsu pria memandang” kata saya.
“ Emang Ale horny ? Katanya memegang lengan saya. “ keras dan perkasa” lanjut Amel berimajinasi. Saya kibaskan tangan. Dia sudah saya anggap adik sendiri. “ Sebentar lagi pemilu. Apa yang bisa kamu maknai sebagai pemilih.” kata saya mengalihkan pembicaraan.
“ Hmmm” katanya memicingkan mata. Seakan berpikir sejenak “ Aku hanyalah angka dari 204 juta pemilih pada pemilu, yang bisa aja ditelan oleh kecurangan. Di bilik suara, beberapa menit kutatap lembaran kertas. Sederet gambar. Sejumlah nama. 99% tak kukenal. Kalau ada yang kukenal, ia terasa berjarak dari diriku. Tak ada dorongan seperti aku sedang melakukan transaksi jual beli. Hak dan kewajiban. Itu hanya rutinitas lima tahunan yang membosankan dan hanya cocok bagi pengangguran yang tinggi angan angan.
Tapi aku mencontreng, aku memilih. Dengan demikian aku mengubah diriku jadi satu satuan numerik. Dan dengan demikian pula aku termasuk, ke dalam sesuatu yang tak pernah, dan mungkin sekali tak akan, jadi bagian hidupku. Tak ubahnya seperti buruh pabrik. Kerja kerasnya mengubah besi jadi gunting. Tetapi ia tetap buruh. Komoditas kapitalisme. Hidupnya tidak ada kaitannya dengan buah karyanya. Yang pasti buruh tetap terasing dari mengalirnya laba ke kantong kapitalisme.
Aku pun ke luar dari bilik suara, aku melangkah meninggalkan TPS, dan tak merasa amat peduli mana yang akan menang dan yang akan kalah dalam pertandingan lima tahun sekali ini. Aku sibuk, bukan pengangguran. Tidak numpang makan dari APBN. Ada jarak antara aku dan ritus itu. Saling tak kenal lagi, saling terasing. Mungkin inilah yang aku alami: politik yang telah mati. “ sambung Amel. Saya tersenyum.
“ Ale, “ Seru Amel. “ Politik itu tak ubahnya dengan bisnis yang berusaha menguasai sumber daya. Ya, tak bisa dihindari sifat rakus. Dengan kekuasaan harta dikumpulkan. Dan karena harta itu, tahta bisa diwariskan turun temurun. Mana ada dalam pikiran mereka itu mewariskan kekuasaannya dengan suka rela kepada yang qualified dari segi kompetensi dan leadership. Mereka engga tahu malu dan tidak tahu diri bila harus merekayasa proses pemilu agar menguntungkan mereka.
Dan kita pengusaha juga ambil bagian dari lahirnya politik dinasti. Kita takut karena sebagian besar dari kita telah merusak lingkungan, ilegal ekspor mineral tambang, mencemari laut dan sungai, merampas lahan rakyat, merampas hutan lindung, membayar rendah pekerja, dan menipu pajak dan bea masuk dengan kasus TPPU. Kita perlu Dinasti politik untuk melindungi kita dari kasus dan karenanya kita tidak keberatan jadi penyandang dana pemilu. Ini adalah kanker sosial, Mau gimana lagi. Jalanin aja hidup seperti itu. Toh hidup hanya sekali kok.” kata AMel.
Amel atau pengusaha tidak salah. Politisi juga tidak salah. Bahkan Jokowi dan anak anaknya juga tidak salah. Ini bukan soal moral dan norma tentang bagaimana tata dan demos diterapkan. Tetapi seni untuk survival yang bagi setiap orang ada spirit itu. Ya, seni dalam teater kehidupan. Ada yang berlakon jadi pecundang dan ada juga yang berlakon sebagai penakluk. Kebetulan 0,01% populasi memilih sebagai penakluk. Menggunakan akalnya untuk kecerdasan berkuasa atas lainnya. Sementara yang 99,99% lebih nyaman sebagai pecundang. Hidup dalam euforia mimpi dan haraparan walau dalam kemiskinan dan kekurangan. Hidup memang tidak sempurna.