Friday, October 20, 2023

"Om lupa ya. Aku Nani."





Malam hari di tahun 2012 “ Temanin gua makan bubur ayam di Mangga Besar 1.” kata saya kepada Awi.  Bubur ayam di Mangga besar ini makanan Favorit saya sejak tahun 80an. Kendaraan parkir agak jauh dari restoran. Karena konsumen keliatannya ramai. Saat jalan kaki ke restoran, saya dikejutkan oleh keributan. Seorang pria berusaha menarik wanita remaja ke atas motor. Wanita itu berontak. Wajah wanita itu berlumuran darah. Sepertinya darah dari kening. Tidak ada orang yang melerai

 

Saya terkejut dan replek bergerak melerai. Mungkin karena suara saya lantang meminta pria itu berhenti menyeret wanita itu. Pria itu mundur dan pacu motornya. Berlalu. Membiarkan wanita remaja itu terduduk di trotoar jalan. Wanita itu tidak menangis. Matanya masih menyiratkan rasa takut namun tegar. “ Kamu engga apa apa” tanya saya. “ mari kita ke rumah sakit. “ Lanjut saya. Dia berusaha berdiri tapi sempoyongan. Saya bopong  dia kedalam kendaraan. “ Wi, kita ke rumah sakit terdekat” Kata saya.


“ Ale, udahan dech. “ Kata Awi mengerutkan kening. “ Ini kawasan red light. Udah biasa seperti ini. Ngapain diurus segala. Wanita ini bisa urus dirinya sendiri. Mending kita biarkan saja wanita ini.” Lanjut Awi.


“ Ada apa kamu ? sentak saya. “ Orang lain boleh tidak peduli. Tapi tidak bagi saya.” Lanjut saya. Awi diam saja dan terus arahkan kendaraan ke RS. 


Sampai di UGD RS, lecet di kening wanita itu diobati dan diperban. Dua jam di UGD, wanita itu sudah tegar kembali.  “ Tinggal dimana kamu ? Tanya saya. Wanita itu diam saja. “ Om antar kamu pulang. Mau ya”  Kata saya menawarkan diri.


“ Saya tidak punya rumah. “ Katanya dengan tatapan kosong. “ Tadinya saya ngekos sama pacar saya di Mangga besar. Tapi belakangan dia paksa saya jadi PSK. Saya menolak, dia marah dan pukul saya.  Begitu aja terus. Terakhir seperti tadi. Dia pukul kening saya. “ Katanya. 


“ Kalau gitu kamu tinggal di hotel dulu ya. Besok saya carikan tempat tinggal kamu. “ Kata saya. Saya tahu. Dia tidak ada uang. Tadi waktu ambil KTP nya di dompet nya memang tidak ada uang. Di KTP namanya tertera “ Sumarni.”  Usia 20 tahun.


“ Duh Ale, kenapa begitu amat sih. Jadi repot kita. Kalau soal empati, terlalu banyak ketidak adilan di negeri ini. Engga akan bisa kita jangkau. Udah dech. Cukup sampai RS saja. Selanjutnya biarkan dia dengan hidupnya.Kita doakan saja dia. “ Kata Awi. Tapi karena saya bersikeras. Awi tidak bisa menolak saran saya. Malam itu saya putuskan dia tinggal di Hotel di kawasan Jakarta Timur.


“ Besok akan saya carikan tempat tinggalnya “ kata saya.


“ Ok.  “ Kata Awi. “terus apa rencana kamu untuk dia? Emang gampang mengubah hidup orang yang sudah terlanjur rusak di lingkungan brengsek. “ Lanjut Awi. Saya diam saja. Entah mengapa saya berdoa kepada Tuhan. “ Ya Tuhanku. Beri aku jalan untuk membantu wanita itu keluar dari  kelam” 


Saya book kamar seminggu.” Kamu tinggal di hotel ini ya” Kata saya. Minggu depan saya datang lagi. “ Sambung saya. “ Kalau ada apa apa kamu telp saya” kata saya memberikan kartu nama dan uang untuk dia makan.. 


Tiga hari kemudian saya dan Awi datang ke hotel tempat Sumarni nginap. Saat kami datang. Dia tidak ada di kamar. Petugas Hotel katakan bahwa dia baru saja keluar hotel. Saya segera keluar hotel. Mencari tahu kemana dia. Di pinggir jalan seberang hotel saya melihat dia sedang makan di warteg. Saya hampiri. Dia tersenyum. Saya mengangguk. Usai makan saya ajak lagi ke hotel. 


“ Kamu kan ada uang. Kenapa engga pesan makan lewat room service. “ Kata saya.


“ Mahal makannya, Om” Katanya menunduk.  “Saya harus hemat. Uang dari om lebih dari cukup untuk saya dagang.” katanya. Memang saya beri dia uang satu gepok pecahan Rp. 100.000. Itu senilai Rp 10 juta.


“Apa rencana kamu ? tanya saya. 


“ Kemarin saya telp teman. Sewa warung makan Warteg boss nya sudah habis. Boss nya mau pulang kampung. Aku mau lanjutkan sewa warung itu “ Katanya.


“ Emang kamu bisa masak?


“ Saya tadinya tamatan SMK jasa boga. “ Katanya. Saya terkejut. Ini anak terpelajar. Saya tidak mau dengar cerita kelamnya sehingga sampai masuk ke dunia kelam. Saya ingin dia focus ke masadepan dia saja.“ Kalau begitu suruh teman kamu kemari. Kita bicara soal rencana kamu buka warung.” kata saya. Saya pinjmkan Hape saya untuk dia telp temannya. “ Ya dia mau datang kemari” katanya.


Kurang dari 2 jam. Temannya sudah datang. Dari temannya saya tahu.  Sewa tempat itu Rp. 15 juta setahun. Saya  minta Awi beri dia uang Rp. 25 juta. ‘ Ditangan kamu kan ada uang Rp 10 juta yang kemarin saya beri. Jadi uang kamu ada 35 juta. Gunakan uang itu untuk sewa rumah dan warung. Juga modal kamu buka warung” kata saya. Dia terkejut. Temannya juga terkejut. Tak ada kata kata keluar dari mulutnya. Dia menangis. “ Kamu jaga diri bari baik baik ya. “ Kata saya berlalu.


***


“ Sepertinya kita baru saja dirampok oleh wanita itu.” Kata Awi dalam kendaraan. Saya temenung. Mungkin saya sedang di rampok oleh wanita itu. Sebegitu mudahnya saya terbawa perasaan sehingga uang keluar sebesar Rp. 35 juta begitu saja. Kalau di kurs kan dollar itu sebesar USD 2500. “ Tapi kalau mengingat dan membandingkan biaya bisnis relationship kita. Itu uang hanya sebesar ongkos sekali bawa relasi bisnis ke KTV. “ Kata saya.


“ Memberi uang kepada wanita yang bukan siapa siapa, jelas secara bisnis itu konyol, boss “ kata Awi ketus.


“ Keberadaan Sumarni di hotel itu karena keputusan saya sendiri.  Bukan permintaan dia. Itu bukan karena dia cantik seperti artis korea. Bukan. Itu udah nature saya“ Kata saya.


“ Ya Ale. Itu yang gua tahu tentang lue. Ingat engga. Tahun 92 gua keluar dari penjara karena judl gelap. Mau kerja, sekolah gua hanya SMP. Mau usaha engga ada modal. Engga ada teman dekat yang mau tolong gua.  Tapi lue yang baru gua kenal, begitu saja percaya gua. Dan beri gua modal untuk buka usaha. Setelah gua sukses. Gua tetap nyaman kerja sama lue. Dan lue terima gua kerja sama lue. Sampai sekarang kalau gua ingat, gua yakin lue bukan manusia normal. Lue malaikat yang Tuhan kirim ke dunia untuk membantu orang yang sudah masuk katagori sampah  bagi orang lain.” Kata Awi.


Alam bawa sadar cepat sekali meresponse kalau ada ketidak adilan di depan saya. Itu bukan karena saya orang baik dan sholeh.  Memori masalalu saya yang keras dalam kemiskinan dan terabaikan, membentuk empati yang kuat. Tanpa saya bisa kendalikan. Andaikan saya terlahir dari keluarga bangsawan atau konglomerat, belum tentu saya punya empati yang begitu kuat. Ini takdir saya. Akhirnya saya bisa berdamai dengan kebodohan saya yang mudah percaya kepada wanita yang baru saya kenal. 


***


Tahun 2014 saya sangat militan mendukung Jokowi sebagai capres dari PDIP, partai wong cilik. Saya tidak kenal Jokowi secara personal. Dia bukan pengusaha sekelas saya. Bisnis saya jauh lebih besar dari dia punya. Dia bukan ulama. Bukan jenderal. Bukan elite politik. Tetapi saya saksikan sendiri saat dia jadi Gubernu DKI. Saat kunjungan ke rumah rakyat miskin. Dia tanpa ragu minum kopi dari cangkir yang bau sabun. Itu artinya rakyat miskin tidak cukup dapat air bersih untuk mencuci.


Saya percaya kepada Jokowi karena mindset empati itu bukan pencitraan ala drama sabun. Bukan konsep politik populis yang dipelajari di fakultas Sospol, tentang sosialisme. Bukan. Tanpa empati yang terbentuk karena lahir dari keluarga miskin yang pernah tinggal di bantaran kali, engga mungkin Jokowi bisa begitu saja minum kopi dari cangkir bau sabun. Itu tidak mungkin ada pada Prabowo. Kalau Prabowo punya konsep kemakmuran bagi rakyat miskin, itu bukan karena empati yang terpatri lewat alam bawa sadar. Itu pasti bukan karena  dia lahir dari keluarga bangsawan. Tapi dia pelajari dari buku Ayahnya yang sosialis.  Sesuatu yang dipelajari biasanya sangat pragmatis. Tidak akan bisa tulus.


Tahun 2017


Saya mendampingi direksi BUMN dan mitra saya dari China. Kami bertemu dengan Gubernur Jateng dalam rangka lelang Jalan Toll Trans Java. Saat bertemu, Ganjar sangat santun dan humbel. Dia tidak sungkan tuangkan teh untuk saya dan mitra saya. Kalau dia terlahir dari keluarga kaya raya mana mungkin dia mau merendahkan diri depan tamu. Apalagi dia Gubernur.


“ Saya hanya peduli soal pembebasan lahan. Jangan minta kompensasi soal harga tanah. Karena saya pasti bela rakyat saya. Itu aset mereka untuk kini dan masa depan, Jadi harga tanah sangat tergantung kepada keinginan rakyat. Saya pastikan tidak akan ada mafia tanah. Dan pastikan rakyat mendapatkan harga yang pantas.”  katanya. Dia menghormati pemodal tapi dia menyayangi rakyatnya yang harus melepas tanahnya untuk Proyek Strategis nasional. Dia bisa menjaga keseimbangan itu. Itu karena dia lahir dari keluarga miskin dan pernah harus cuti kuliah karena kurang biaya. Dia tidak punya kemewahan seperti Anies yang dapat beasiswa. Kalau dia berniat membela wong cilik, itu bukan karena pencitraan. Itu udah nature dia sebagai anak yang lahir dari  kolong langit.


“Kalau China punya Mao dan Dengxioping. Indonesia punya Jokowi dan Ganjar. Keduanya walau berbeda style, namun orientasinya sama. Sama sama untuk rakyat, terutama rakyat miskin yang butuh keadilan sosial. Karena itu saya yakin Indonesia akan jadi negara besar. Itu karena pemimpin yang lahir dari keluarga  miskin dan bukan siapa siapa. “ Kata teman dari China.


Usai makan malam dengan Gubernur saya, sempatkan jalan jalan di kota Semarang. Mampir di cafe untuk minum kopi. Saat saya masuk. Belum duduk. Ada wanita menyapa saya. Saya terkejut. 


“ Kamu siapa ? kata saya mengerutkan kening. Wanita cantik.Putih lebih mirip wanita korea.


“Om lupa ya. Aku Nani. “ Katanya. Saya tetap bengong. “ Ingat engga kejadian tahun 2012. Om bantu aku di Mangga besar. Dan kemudiian beri aku uang untuk modal buka warung” lanjutnya mengingatkan saya. 


“Oh ya ya..” kata saya terpesona melihat keadaannya. 


“ Ini cafe Nani Om. “ Katanya dengan semangat. Dia semakin cantik dan penuh passion.


“ Kamu udah menikah? pertanyaan bodoh saya.


“ Belum. Tapi di rumah Nani rame anak anak om”


“ Anak siapa ?


“ Anak yatim. “ katanya. “Boleh Nani peluk om.” Katanya dengan wajah merona.  Saya langsung peluk dia.  “ sejak terakhir bertemu dengan Om, nani terus doakan om siang dan malam. Berharap om tetap sehat dan bisa bertemu lagi dengan Nani.”katanya dengan air mata berlinang.


Keesokan paginya Nani datang ke hotel saya bersama tiga anak. Dua perempuan dan satu pria. Mereka berusia dibawah 10 tahun. " Ayo salam dengan Opa" kata Nani. Mereka bertiga menyalami saya dan saya cium mereka satu persatu. Tak lupa saya genggamkan uang masing masing Rp. 50.000. Saya tatap Nani, dia berlinang air mata. 


Madam Teresia pernah berkata. “ Kamu tidak akan bisa menghabiskan air laut tapi segayung kamu ambil, air lautpun berkurang. “ Kita tidak akan  bisa menegakkan sepenuhnya keadilan sosial di negeri ini tapi secuil empati kita beri, ketidak adilanpun berkurang.


Sunday, October 15, 2023

Pulanglah..

 




Tak sengaja aku membuka laci meja kantorku. Tadinya mau mencari pulpen. Yang kudapat malah surat darimu. Surat pamit bahwa kau harus hijrah ke Malaysia. Sepertinya kau tidak siap menatap wajahku ketika harus mengucapkan say goodbye. Pasti akan membuatku kecewa.  Sampai bertahun-tahun kemudian. Hingga aku paham. Ingat, kenapa beberapa hari sebelum pergi, kau selalu memandangku  dengan raut wajah muram. Sebuah keterpaksaan dan kekalahan. Hijrah sepertinya keniscayaan.

“ Ale, aku akan datang ke Jakarta. Apa bisa kita basobok” Demikian WA yang kuterima. Kau tahu nomor WA ku dari Blog. Ternyata kau pembaca setia blog ku. Konon waktu akan mampu mengurai segalanya, membuat air keruh menjadi kembali bening. Tapi, rasanya terlalu berat bagiku menafikan kesempatan melihat wajahmu kembali setelah 30 tahun disconnect. 

Ingatanku seolah segar kembali menoleh ke puluhan tahun lalu, sewaktu Rezim Soeharto berkuasa. Kita pernah sama-sama dilempar ke dalam truk polisi karena dianggap menolak dan berkata tidak pada kekuasaan. Setelah peristiwa itu aku memilih menjauh dari aktifis pergerakan Islam. Namun kau masih kuperhatikan tetap rajin dalam aksi-aksi selanjutnya. Masih kokoh merapat dalam barisan. Masih berteriak sambil mengepalkan tinju. Dan tetap lantang menyanyikan mars ketidakadilan para penguasa; kita pasti menang!

Kadang aku menerka-nerka, betulkah kau waktu itu bicara atas dasar amar ma'ruf nahi munkar, bukan karena gelisah mencari jati diri. Bila saja sempat kutanyakan hal ini padamu, pasti matamu seolah keluar dari kelopaknya, lalu dengan ganas menyerangku sambil mengutip hadith  sampai firman Allah. Sumpah, kadang aku suka pada bagian dirimu itu. Berapi-api dan gagah. Pantas saja kau sering mendapat tugas sebagai koorlap sewaktu aksi. 

Kau seperti Leila Khaled pejuang wanita Palestina. Apa yang kau perjuangkan selalu dianggap sinis oleh sebagian orang. Seperti di mata banyak orang di Barat, “ada dua stereotip yang tertanam kuat mengenai perempuan Palestina: dia adalah Leila Khaled yang sarat granat atau dia adalah seorang pengungsi buta huruf yang rela melahirkan anak laki-laki untuk revolusi. Generalisasi ini mungkin menjelaskan lebih banyak tentang persepsi Barat daripada realitas Palestina. Begitu juga perjuanganmu di sini.

“  Aku bukan Leila Khaled. Tapi ada hal yang luar biasa harus diteladani. Apa itu? keikhlasan. Khaled menjadi sosok yang dikagumi, mempesona, dan menjadi inspirasi. Tapi dia mampu mengalahkan nafsu dipuja. Dia menjauh dari dunia selebritis  ala politisi popullis. Dia menjadikan dirinya hanya hamba Allah. Dan di dunia yang penuh kemunafikan dan demoralisasi politik, dimana korban terbesar adalah rakyat miskin, ujian terberat adalah keikhlasan berjuang. Aku hanya perempuan biasa yang mencoba membuktikan bahwa perjuangan menegakkan kalamullah tida boleh berhenti, tapi kadang terbersit juga ingin dipuja seperti ustad tenar.,” katamu dengan nada getir.

Lalu aku pasti akan terburu mengiyakan, khawatir kalimatmu kepanjangan. Bila tidak, kau pasti dengan sukacita siap berperang kata denganku. Bisa hancur berantakan pertemanan kita bila kuladeni segala keberangasanmu itu. Padahal paling tidak, perlu waktu satu bulan berjauhan sebelum kita saling menyapa lagi.

Kau memang tipe perempuan pemberani. Aku paham itu. Tak mungkin rasanya kau bisa terlibat dalam organisasi kampus, LSM, dan organisasi lain di masyarakat bila hanya mengandalkan bicara dan bentuk fisikmu yang cantik. 

Tak ada suatu hasil terbaik tanpa konkret diperjuangkan, no pain no gain! ujarmu.  Hingga saat ini, sejak tahun 1967 sudah ada 10.000 perempuan Palestina yang ditangkap. Mayoritas dari mereka mengalami penyiksaan psikologis dan perlakuan buruk selama penangkapan dan penahanan mereka, seperti pemukulan, pelecehan verbal, penggeledahan telanjang, pelecehan seksual dan kekerasan. Selain hidup dalam kondisi yang berbahaya dan sering kali dilarang untuk dikunjungi, perempuan juga mengalami tekanan dan degradasi akibat penggunaan teknik patriarki yang dilakukan oleh interogator untuk mendapatkan pengakuan. Interogator dan penjaga seringkali adalah laki-laki, hal ini bertentangan dengan hukum internasional yang menetapkan bahwa tahanan perempuan hanya boleh dijaga dan diperiksa oleh penjaga perempuan.

Mungkin kegelisahan semacam itu yang membuatmu tabah. Beberapa pengalaman mu sering kali kau bagi padaku saat kita punya kesempatan menghabiskan waktu di cafe berdua. Tentang seorang anak perempuan belasan tahun yang dijual ibunya, atau bagaimana cara perempuan  negeri ini yang sukses menghabiskan uang tamunya, para lelaki tua yang sebetulnya sangat pelit pada anak-istrinya. Kita lalu tertawa bila pada episode lucu, dan meringis pada episode yang tragis.

“Mereka, bagaimanapun adalah guruku. Orang-orang yang gagah berani hidup sekaligus berani mati. Kau pasti masih ingat Chairil pernah terpesona pada orang macam mereka,” katamu memukauku di sela suara alunan lembut musik

“Ya benar, penyair pemberontak itu pernah memang mengungkapkannya, ‘Aku suka pada mereka yang berani hidup!’ itu kan maksudmu?” ujarku menimpali.

Bila bicaramu sudah seperti ini, maka pasti kutanggapi dengan serius karena saat seperti inilah kau terlihat begitu indah. Puisi juga kadang bisa membuatmu bertingkah gila. Seperti waktu kau ajak beberapa kawan melakukan aksi dadakan di depan sebuah gedung pertunjukan. Waktu itu almarhum Rendra tampil membaca karya-karyanya.

Aku heran kenapa masih bisa mengingat begitu banyak hal konyol dalam dirimu. Mungkin kau memang kawan perempuan paling aneh yang pernah kutemui. Yang selalu ingin mengemudikan motor bila kita pergi berdua. Yang mengajariku berpuisi tentang Tuhan, sementara bulir arak terserak di seputar bibirku. Mungkin kau membayangkan saat itu, aku bagai seorang Abunawas, hedonis yang berputar arah menjadi seorang sufi lalu membuat syair menggetarkan dalam Al I’tiraf. Atau seperti Sutardji Calzoum Bahri yang bersyair tentang Tuhan dengan mulut penuh busa bir.

“Aku mungkin brengsek, namun bukan seorang ateis,” ujarku sambil menghabiskan bir di botol.

Sekarang, setelah  puluhan tahun berlalu. Kekuasaan negeri ini pun sudah beberapa kali berganti. Kurasa segala kebadungan, kebrengsekan, dan kenekatanmu pasti sudah banyak berkurang. Berubah seperti juga banyak kawan seperjuangan kita dulu pun berubah. Sebagian ada di partai, sebagian memakan mentah-mentah apa yang dulu mereka maki-maki, dan sisanya tak punya cukup alasan lagi untuk tetap berjuang.

Tapi, kuyakin kau dalam hal ini masih tetap seorang pemberontak. Seperti kuduga sebelumnya, sikapmu memilih tinggal di Malaysia  sebenarnya bukan sekedar mencari suasana baru. Bagimu dimanapun bumi Allah adalah ladang ibadah untuk tegaknya kalamullah. Ketidak adilan harus diperangi. Dengan ikhlas.

“Setelah dari Malaysia, selama bertahun-tahun aku hidup seperti hippies. Berkeliling ke beberapa negara di Eropa sana. Bergabung dengan Amnesti Internasional, ikut program Greenpeace. Berteriak sebebasnya, melakukan semua yang kuingin, sampai kemudian aku rindu pulang dan menyadari bahwa tempatku memanglah bukan di sana. Alangkah bodohnya aku jika meninggalkan negeri yang sering membuat iri bangsa-bangsa lain ini,” dengan datar kau bercerita. 

Agak lama kita kemudian terdiam tanpa kata-kata. Masing-masing terdiam dalam pikiran masing masing. “Lalu sebenarnya apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku agak kaku. Sebenarnya kalimat itu terdengar terlalu kaku untuk kedekatan kita, terutama setelah lama tidak bertemu. Walau kau tidak lagi sesegar dulu, namun sorot mata tajam dan cemerlang itu sepertinya tak pernah padam.

“Aku ada acara di Jakarta. Kawan-kawan mengundangku menjadi pembicara mengenai eksploitasi alam di Borneo. Pengosongan Pulau Rempang untuk kepentingan investasi asing. Perjuangan membela kehormatan adat dan suku melayu. Kupikir, aku harus bertemu denganmu. Setelah tahu kau ada di Jakarta, kusempatkan mampir menemuimu sebelum terus ke Malaysia,” perlahan sekali kau bertutur.

Kita terdiam lagi beberapa waktu. “Seperti yang kubilang, aku memang bukanlah orang taat. Hanya saja pernah seorang kyai berkata padaku bahwa satu hikmah yang terdapat dalam beberapa ritual keagamaan kita adalah silaturahmi. Orang yang berkali-kali pergi haji, dan selalu bersujud serta membaca kitab suci, belum tentu baik di mata-Nya bila hubungan dengan sesamanya buruk. Itulah yang membuatku rindu bertemu dengan mu. Tapi aku tak punya keberanian mencarimu. Jadi, maukan kau memaafkanku?”

“ Ya ampun. Alangkah hebatnya dikau Ale. Untuk kesekian kalinya kau mengajariku tentang memaafkan dan kelapangan hati. “ katamu. Tanpa mengindahkan tamu cafe itu, kugenggam tanganmu dan kau berbisik dekat sekali ke telingaku, “ seharusnya aku yang pertama meminta maaf, bukan menunggumu untuk mengatakannya. Kau sudah menjelma jadi kapitalis, tetapi humanitarian kapitalis. Kesalehan sosial lewat korporat itu lebih bernilai daripada ibadah ritual. Perjuangan kaum sufi di ranah kapitalisme. Pilihan yang tepat dan seharusnya dari dulu aku tidak merendahkan pilihanmu, Ale. 

“ Pulanglah ke Indonesia. Bukankah tempat kelahiranmu Surabaya. Bertarunglah di medan legislasi bersama kaum nahdliyin. Aku akan biayai kalau kau mau nyaleg. Aku punya teman elite partai. Di partai apa kau maunya. Pilih saja.. “ kataku. Kau tidak merespon kata kataku. Kemudian hening. Aku tetap menanti response mu. Akhirnya kau hanya menghela napas  panjang seraya berkata. “ Ale, aku udah 62 tahun. Aku tidak muda lagi. Biarlah aku damai di tanah Jiran. Namun cintaku tetap kepada ibu pertiwi, kepadamu, tentunya."


Saturday, October 14, 2023

Politik Dinasti

 




Di ruang Sauna saya dan teman teman asik ngobrol.


“ Berapa orang anak buah lue nyaleg “‘tanya David ke Asiong.


“ Empat. Dua di DPR dan dua lagi di DPRD di wilayah yang ada proyek gua doang “ kata Asiong. “ Lue berapa “ tanya Asiong ke David.


“ Gua 2 doang. Ya sekedar titip sendal dan pasti dapat kursi DPR“ Kata david.


Yang lain juga menjawab senada dengan kesan tanpa semangat. Sepertinya bukan urusan besar untuk dibahas. “ Eh padang. " seru Akhiat ke saya. " Awi berapa anak buahnya nyaleg ? lanjutnya.


“ Engga tahu gua. “ Jawab saya cuek. 


“ Kalau engga salah Awi punya dua anak buah yang nyaleg. “ kata Afin.  Saya tidak menanggapi obrolan itu. Saya memilih keluar dari ruang sauna.  Menjelang Pemilu memang politisi atau kader partai butuh sponsor pengusaha untuk biaya pendaftaran caleg, kampanye, sosialisasi, dan saksi. Tanpa uang sulit sekali kader partai bisa terpilih. Apalagi bagi pemula yang berniat jadi caleg, tanpa uang praktis hanya omong kosong bisa dapat suara untuk lolos ke parlemen. 


“ Hampir semua orang partai yang pernah jadi anggota DPR, pastilah anak atau istrinya atau anggota keluarga akan jadi anggota DPR juga. Tidak sulit dapatkan ticket dari partai. Setelah itu mereka akan mencalonkan diri sebagai Walikota atau Bupati atau Gubernur. Setiap jenjang mereka membangun jaringan dengan pengusaha lewat pemberian akses konsesi bisnis. Dari itu mereka akan dapatkan juga akses dana untuk ke jenjang lebih tinggi. Sampai jadi presiden. “ Kata  Anton saat bertemu dengan saya di lounge spa. 


“ Apa salahnya Gibran jadi Cawapres? apa salah kalau rakyat memilihnya. Ini kan demokrasi. Beda dengan era Soeharto atau Kerajaan.”


Saya perlu luruskan apa itu politik dinasti. Karena banyak yang beranggapan bahwa politik dinasti itu merujuk kepada sistem kerajaan. Sehingga tidak pantas ditujukan kepada Keluarga Jokowi, dimana sistem kita Demokrasi dan Pemilu Langsung.


Jadi apa itu politik dinasty ?  Tanya Anton


Politik dinasti itu bukan tentang sistem monarki. Tetapi merujuk kepada anggota keluarga yang banyak terlibat dalam politik, khususnya politik elektoral. Antar keluarga saling berbagi pengaruh elektoral. Itu bisa karena kekuasaan, dan karena keuasaan membuat harta melimpah sehinggga mudah membeli suara. Jadi istilah politik dinasti itu ada pada sistem demokrasi. Kamu bisa baca buku Dynasties and Democracy oleh Daniel m Smith. Masih banyak lagi buku membahas politik dinasti. Paham ya.


Dinasti politik telah lama hadir di negara-negara demokrasi, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kesenjangan distribusi kekuasaan politik. Mungkin mencerminkan ketidaksempurnaan dalam representasi demokratis atau istilah romantis nya disebut demokrasi cacat ( Flawed Democracy ). Mosca yang, menulis pada tahun 1896, berpendapat bahwa “every class displays the tendency to become hereditary, in fact if not in law” Bahkan dalam sistem politik terbuka bagi semua orang, ikatan kekeluargaan dengan mereka yang sudah berkuasa menentukan keunggulan berkompetisi.


Biasanya politik dinasty itu berkembang dan ujungnya melahirkan oligarki. Michels, yang menulis tentang ““the iron law of oligarchy”, menyatakan, dalam organisasi demokratis, kepemimpinan, setelah terpilih, akan memperoleh kekuasaan, mereka merusak prinsip demokrasi yang setara. Makanya penting sekali demokrasi yang patuh hukum atau equality before the law.. Dalam negara modern apalagi dalam sistem terbuka, hukum tanpa moral, itu akan jadi drama oleh lembaga demokrasi. Sama halnya dengan demokrasi. Ia menammpilkan drama sabun dibalik kemegahan lembaga demokrasi.


So, politik dinasti itu adalah cacat bawaan dalam sistem demokrasi. Mengapa?. Dalam sistem demokrasi setiap warga negara berhak dicalonkan dan mencalonkan. Tidak peduli dia anak tukang penjaga pintu kereta atau dia anak presiden sekalipun. Tidak peduli dia tua atau muda. Bahkan lebih ekstrim lagi, setan pun kalau rakyat memilihnya ya dia bisa menang. Nah untuk menghindari cacat bawaan itu, dibuatlah UU dan aturan tentang pembatasan politik dinasti. Tetapi pembatasan itu, tidak ada  arti kalau lembaga Yudikatif dikuasai oleh Oligarki.


Sebelumnya  kalaulah para pemimpin kita tidak punya moral, tentu tidak mungkin Jokowi yang bukan siapa siapa dan bukan keluarga  politik, bisa  jadi walikota sampai presiden dua periode. itulah buah demokrasi yang diperjuangkan oleh Prodem sejak tahun awal 1990 sehingga puncaknya jatuhnya soeharto melahirkan reformasi politlk.  Nah kembali kepada moral kepemimpinan presiden terpilih. Apakah dia patuh kepada standar moral atau hanya sekedar mengikuti demokrasi sebatas procedural, dan pura pura bego meliat kenyataan.


“ Jadi kalau benar Gibran jadi Cawapres Prabowo yang sebelumnya Kaesang sudah jadi Ketum Partai,  saya rasa ini akan jadi tradisi kuat dalam politik Indonesia. Legacy Jokowi yang fenomenal adalah politik dinasti. Kita tidak bisa lagi berharap kisah berulang seperti pemilu 2014 Si Tukang Kayu jadi RI-1.” Kata Anton. Saya bisa maklum. Ini adalah fenomena yang aneh, hubungan cinta antara pemilih demokratis dan bangsawan politik.

Anton pergi ke table dengan teman teman di lounge Spa. Dia tinggalkan saya sendirian. Amel usai perawatan wajah mendatangi table saya. “ kamu cantik dan tetap awet muda. Bikin nafsu pria memandang” kata saya. 


“ Emang Ale horny ?  Katanya memegang lengan saya. “ keras dan perkasa” lanjut Amel berimajinasi. Saya kibaskan tangan. Dia sudah saya anggap adik sendiri. “ Sebentar lagi pemilu. Apa yang bisa kamu maknai sebagai pemilih.” kata saya mengalihkan pembicaraan. 


“ Hmmm” katanya memicingkan mata. Seakan berpikir sejenak “ Aku hanyalah angka dari 204 juta pemilih pada pemilu, yang bisa aja ditelan oleh kecurangan. Di bilik suara, beberapa menit kutatap lembaran kertas. Sederet gambar. Sejumlah nama. 99% tak kukenal. Kalau ada yang kukenal, ia terasa berjarak dari diriku. Tak ada dorongan seperti aku sedang melakukan transaksi jual beli. Hak dan kewajiban. Itu hanya rutinitas lima tahunan yang membosankan dan hanya cocok bagi pengangguran yang tinggi angan angan.


Tapi aku mencontreng, aku memilih. Dengan demikian aku mengubah diriku jadi satu satuan numerik. Dan dengan demikian pula aku termasuk, ke dalam sesuatu yang tak pernah, dan mungkin sekali tak akan, jadi bagian hidupku. Tak ubahnya seperti buruh pabrik. Kerja kerasnya mengubah besi jadi gunting. Tetapi ia tetap buruh.  Komoditas kapitalisme. Hidupnya tidak ada kaitannya dengan buah karyanya. Yang pasti buruh tetap terasing dari mengalirnya laba ke kantong kapitalisme.


Aku pun ke luar dari bilik suara, aku melangkah meninggalkan TPS, dan tak merasa amat peduli mana yang akan menang dan yang akan kalah dalam pertandingan lima tahun sekali ini. Aku sibuk, bukan pengangguran. Tidak numpang makan dari APBN. Ada jarak antara aku dan ritus itu. Saling tak kenal lagi, saling terasing. Mungkin inilah yang aku alami: politik yang telah mati. “ sambung Amel. Saya tersenyum.


“ Ale, “ Seru Amel. “  Politik itu tak ubahnya dengan bisnis yang berusaha menguasai sumber daya. Ya,  tak bisa dihindari sifat rakus. Dengan kekuasaan harta dikumpulkan. Dan karena harta itu, tahta bisa diwariskan turun temurun. Mana ada dalam pikiran mereka itu mewariskan kekuasaannya dengan suka rela kepada yang qualified dari segi kompetensi dan leadership. Mereka engga tahu malu dan tidak tahu diri bila harus merekayasa proses pemilu  agar menguntungkan mereka.

Dan kita pengusaha juga ambil bagian dari lahirnya politik dinasti. Kita takut karena sebagian besar dari kita telah merusak lingkungan, ilegal ekspor mineral tambang, mencemari laut dan sungai, merampas lahan rakyat, merampas hutan lindung, membayar rendah pekerja, dan menipu pajak dan bea masuk dengan kasus TPPU. Kita perlu Dinasti politik untuk  melindungi kita dari kasus dan karenanya kita tidak keberatan jadi  penyandang dana pemilu. Ini adalah kanker sosial, Mau gimana lagi. Jalanin aja hidup seperti itu. Toh hidup hanya sekali kok.” kata AMel.


Amel atau pengusaha tidak salah. Politisi juga tidak salah. Bahkan Jokowi dan anak anaknya juga tidak salah. Ini bukan soal moral dan norma tentang bagaimana tata dan demos diterapkan. Tetapi seni untuk survival yang bagi setiap orang ada spirit itu. Ya, seni dalam teater kehidupan. Ada yang berlakon jadi pecundang dan ada juga yang berlakon sebagai penakluk. Kebetulan 0,01% populasi memilih sebagai penakluk. Menggunakan akalnya untuk kecerdasan berkuasa atas lainnya. Sementara yang 99,99% lebih nyaman sebagai pecundang. Hidup dalam euforia mimpi dan haraparan walau dalam kemiskinan dan kekurangan. Hidup memang tidak sempurna.


Friday, October 13, 2023

Hamas, bukan soal agama tapi kemanusiaan


 


Setahun sebelum blokade atau tahun 2006 saya berkunjung ke Gaza bersama Anna sahabat saya di ICF. Letak Gaza di sepanjang Laut Mediterania, di timur laut Semenanjung Sinai. “ Kamu tahu ” Kata Anna “ Tadinya Gaza itu bagian dari koloni Turki Usmani sampai berakhirnya perang dunia pertama tahun 1918. Setelah itu, wilayah Gaza menjadi bagian dari mandat Liga Bangsa-Bangsa. Sementara Palestina di bawah kekuasaan Inggris. Sebelum mandat ini berakhir, Majelis Umum PBB pada bulan November 1947 menerima rencana pembagian Palestina-Arab-Yahudi di mana kota Gaza dan wilayah sekitarnya akan dibagikan kepada orang-orang Arab. 


Mandat Inggris berakhir pada tanggal 15 Mei 1948, dan pada hari yang sama Perang Arab-Israel dimulai. Pasukan Mesir segera memasuki kota Gaza. Akibat pertempuran sengit pada musim gugur tahun 1948, sebagian besar wilayah Palestina yang dikuasai Arab berhasil direbut Israel. Menyisakan sebidang wilayah sepanjang 25 mil dan lebar 4–5 mil. Daerah ini kemudian dikenal sebagai Jalur Gaza. Dalam Perang Enam Hari bulan Juni 1967, Jalur Gaza kembali direbut oleh Israel, yang menduduki wilayah tersebut selama seperempat abad berikutnya “ Kata Anna. “ Namun pendudukan Gaza oleh israel bukan tanpa perlawanan dari Rakyat Palestina, seperti contoh gerakan intifāah. Dan karena itu atas dasar perjanjain Oslo tahun 1994, Israel memulai pengalihan kekuasaan pemerintahan secara bertahap di Jalur Gaza ke Otoritas Palestina (PA) yang diwakili oleh PLO.” Kata Anna.


Yang saya rasakan pertama kali menginjak kaki di Gaza adalah udara yang sejuk. Walau Jalur Gaza ini terletak di pesisr pantai yang relatif datar. Namun suhu wilayah berkisar sekitar 13 derajat celcius dan 20 derajat celcius. Sejak awal, masalah ekonomi dan sosial utama di wilayah Gaza adalah kehadiran sejumlah besar warga Arab Palestina. Pengungsi yang hidup dalam kemiskinan ekstrem di kamp-kamp kumuh. Pemerintah Mesir tidak menganggap wilayah tersebut sebagai bagian dari Mesir dan tidak mengizinkan para pengungsi menjadi warga negara Mesir atau bermigrasi ke Mesir atau ke negara-negara Arab lainnya di mana mereka dapat diintegrasikan ke dalam masyarakat. Israel tidak mengizinkan mereka kembali ke rumah mereka sebelumnya atau menerima kompensasi atas kehilangan harta benda mereka. 


Sebelum tahun 1996, sepersepuluh penduduk Gaza bekerja kasar di Israel. Pertanian adalah tulang punggung perekonomian penduduk, dan hampir tiga perempat wilayahnya ditanami tanaman di lahan irigasi. Agro industri juga tumbuh. Mereka bisa ekspor  ke Eropa dan pasar lain atas dasar izin dari Israel. Ketegangan politik dan pecahnya kekerasan sering kali menyebabkan pemerintah Israel menutup perbatasan untuk waktu yang lama, sehingga banyak warga Gaza kehilangan pekerjaan. Akibatnya, muncullah industri penyelundupan yang berkembang pesat, berdasarkan jaringan terowongan bawah tanah yang menghubungkan sebagian Jalur Gaza dengan negara tetangga Mesir. Terowongan tersebut memberi warga Gaza akses terhadap barang-barang seperti makanan, bahan bakar, obat-obatan, elektronik, dan senjata.


Paska kesepakatan Oslo, dari tahun 1996 sampai 2006, Fatah mendominasi politik Palestina (PA). Fatah memang eksis sejak tahun 1950an. Selama rantang waktu itu politik tidak sepenuhnya stabill.  Fatah harus berhadapan dengan Hamas dan kelompok lainnya yang kecewa karena PA dinilai korup dan lemah terhadap israel. Tapi roda ekonomi menggeliat. Walau produksi pertanian menurun 19%, namun pada tahun 2006 sektor ini mempekerjakan 80% lebih banyak orang dibandingkan tahun 1996. Demikian pula, nilai tambah manufaktur menurun 7% selama 10 tahun, namun lapangan kerja di sektor ini meningkat sebesar 3%.  Pemerintahan koalisi  paska pemilu 2006 yang berumur pendek berakhir pada bulan Juni 2007 setelah Hamas mengambil alih Jalur Gaza. Kemudian, kabinet darurat yang dipimpin Fatah mengambil alih Tepi Barat. 


Sejak pengambilalihan Gaza oleh Hamas pada pertengahan Juni 2007, Israel blokade Gaza.  Tahun awal blokade 2007 saja , lebih dari 3.190 bisnis di Gaza telah ditutup. Sekitar 65.800 pekerja juga diberhentikan. Hingga 54% lapangan kerja di Gaza dihasilkan oleh sektor swasta, mewakili lebih dari 100.000 lapangan kerja. Sepertiga lapangan kerja hilang. Meskipun ada seruan dari Presiden PA agar Hamas melepaskan posisinya di Jalur Gaza, wilayah tersebut tetap berada di bawah kendali Hamas dan semakin lama semakin memburuk keadaan ekonomi dan sosialnya.


Sangat mengerikan kehidupan setelah di blokade Israel.  Kemanusiaa terhentak begitu saja akibat konflik senjata. Pengangguran hingga mencapai tingkat 50% yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan menggunakan data pendapatan rumah tangga, Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) melaporkan bahwa 84,6% rumah tangga hidup di bawah garis kemiskinan. Selain itu, 53% rumah tangga Gaza mengalami penurunan pendapatan lebih dari setengahnya karena ketidakmampuan Otoritas Palestina untuk membayar sebagian besar gaji pegawai negeri. 


Bank Dunia memperkirakan bahwa 71% pegawai PA berada di bawah garis kemiskinan, dan 46% tidak memiliki cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sejak pengambilalihan Gaza oleh Hamas, dukungan donor telah dikurangi atau dihentikan, namun pembayaran gaji bagi sebagian besar pegawai PA telah dilanjutkan.  Tahun tahun selanjutnya sampai kini, kehidupan sebagian besar masyarakat di Gaza sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan.


***

Israel marah besar atas serangan mendadak HAMAS pada 7 oktober 2023. Dalam serangan itu, pasukan Hamas menyandera tentara Israel. Israel membalas. Pesawat udara membomdir Gaza. Listrik dipadamkan. Ini membuat Jalur Gaza menjadi gelap dan memperburuk bencana kemanusiaan yang sedang berlangsung. Pemadaman listrik akan berdampak parah pada layanan penting, akses terhadap air bersih. Peralatan medis RS tidak bisa berfungsi. Padahal RS sangat diperlukan untuk korban pemboman. Hamas memang salah. Tetapi rakyat Gaza tidak salah. Seharusnya tentara Israel gunakan pasukan para komando untuk memburu HAMAS dan membebaskan sandera. Berdasarkan hukum internasional, tidak boleh membuat mereka menderita atas tindakan yang tidak berperan dan tidak dapat mereka kendalikan.  


“ Banyak anak anak lahir dari kamp pengungsi. Mereka menjadi fedayeen, gerilyawan Arab yang beroperasi melawan Israel. Hidup dalam keadaan terzolimi memang bibit unggul melahirkan pejuang gagah berani tanpa takut mati. Timbul dendam terhadap israel. Sehingga tidak pernah kekurangan gerilyawan. Mati satu tumbuh seribu. Dan mereka inilah yang dimanfaatkan oleh Hamas secara politik untuk memperjuangkan hak hak bangsa Palestina. Ini bukan soal perang agama atau anti semit terhadap Yahudi. Melainkan perlawanan untuk keadilan dan kemanusiaan. Itu udah berlangsung sejak tahun 1950an. Kunci penyelesaian menyeluruh adalah penuhi Hak Asasi Bangsa Palestina. That was all ” Demikian kata Anna 17 tahun lalu. 


***


Saya ngobrol dengan Ira. Dia bawa temannya. “ Bagaimanapun saya menyesalkan serangan Hamas terhadap kota kota di Israel. Itu sudah seperti teroris “ Kata Teman Ira. Dia profesor. Tentu terpelajar. Saya diam saja. “ Bagaimanapun cara cara kekerasan itu indentik dengan teroris dan kaum radikalis” Lanjutnya. Dia juga menjelaskan hasil pantauanya lewat Youtube dan berita media massa akan kekejaman aksi serangan Hamas kepada penduduk sipil Israel.


Saya tatap dia lama. Akhirnya saya tersenyum pahit. Betapa tidak. Bagaimana mungkin orang terpelajar yang profesor bisa punya persepsi yang tidak holistik atas masalah Palestina yang sudah berlangasung setengah abad lebih. Saya geleng geleng kepala. Dia malah tersenyum puas dan percaya diri akan sikapnya. Rasanya saya ingin segera pergi dari hadapan Ira dan temannya. " Anda pernah ke Gaza" tanya saya. Dia menggelengkan kepala. " Saya sudah" kata saya. 


" Gimana pendapat anda" tanyanya.


“ Coba andaikan kita. “ Kata saya beranalogi. “ Kamu tinggal di Pulau Galang. Kamu tidak berhak punya KTP sehingga kamu tidak punya legitimasi apapun sebagai warga negara. Kemana mana engga bisa pergi. Karena sekeliling pulau di tembok. Punya rumah tapi tidak ada legitimasi dan tiada jaminan fasum. Kalaupun ada listrik dan air, kapanpun bisa dicabut fasilitas itu tanpa ada hak protes. Tidak punya pekerjaan. Kalaupun ada kerjaan, itupun tidak ada hak menerima upah dan tidak ada pilihan. Nah bayangkalah bagaimana kehidupan kamu di pulau itu? Kata saya.


Teman Ira terdiam.


Di Gaza, dari 10 orang 9 orang hidup dengan makan roti basi berkutu dan air tercemar. Dari 2,2 juta rakyat Gaza, 80% hidup dari bantuan kemanusiaan. Itu berlangsung 15 tahun lamanya sejak Gaza di blokade israel. Saya rasa kalau rakyat tidak melawan dan berontak, mereka lebih bego dari monyet. Padahal Gaza itu bagian dari tanah Palestina dimana mereka dan buyut mereka dilahirkan. Kalau ada orang luar menyalahkan rakyat Gaza melawan, itu artinya empatinya sudah mati. Lebih jahat dari monster. “ Sambung saya. Teman Ira terkejut dengan kata kata saya.


“ Ini kan masalah agama” kata teman Ira. “ Orang jadikan konflik palestina untuk cari donasi dan memperkaya diri sendiri” lanjutnya.


“Ini bukan soal agama. Orang Yahudi saja tidak setuju dengan kebijakan israel atas Gaza. Ini soal kemanusiaan” Kata saya tegas.


“ Tapi kan tidak harus dengan kekerasan, apalagi menyerang“


“ Duh orang tertindas itu apapun dia lakukan. Namanya orang lemah. Semut ajan menggigit kalau diinjak gajah. Seharusnya orang kuat dan terpelajar yang tahu diri. Pikirkan orang lemah dan jaga mereka agar mereka punya hak hak dasarnya. Nah yakinlah tidak akan ada konflik. Ya seperti Belanda yang legowo keluar dari Indonesia dan memberikan hak kepada rakyat Indonesia untuk merdeka. Toh kita bisa berdamai dengan Belanda. Bahkan sampai kini, sabun, detergen, sikat gigi kita masih bergantung dari unilever perusahaan Belanda” Kata saya berusaha bijak.


“ Tapi cara Hamas itu cara barbar” Kata teman Ira.


“ Lantas israel yang memblokade Gaza, kota dengan penduduk diatas 2 juta selama lebih 15 tahun itu  bukan barbar? Kemana sikap objektif kamu?  Kata saya ketus. 


Dia tersenyum sinis.


Sehebat apa sih kamu ? sekaya apa sih kamu. Sepintar apa sih kamu? Sampai sebegitu teganya merendah semangat orang berjuang untuk hak yang paling esensi sebagai manusia. Dan sampai segitunya paranoid dengan niat orang ingin membantu. Jangan terlalu sombong jadi orang. Tirulah Jokowi yang langsung bersikap agar Israel menghentikan serangan ke Hamas. Kalau tidak paham masalah dan tidak bisa bantu, lebih baik diam! “ Kata saya menutup pembicaraan dan berlalu.


Ingin jadi sahabatmu saja..

  “ Proses akuisisi unit bisnis logistic punya SIDC oleh Yuan sudah rampung, termasuk Finacial closing. Kini saatnya kita lakukan pergantian...