“ Lue harus bisa menghayati kesedihan seorang Ibu. Apa susahnya , lue kan cewek. “ kataku kesal ketika melihat Wina membacakan monolog. Udah berulang rulang kali namun tetap tidak seperti yang aku mau sebagai penulis monolog itu.
“ Gua memang cewek tetapi gua bukan emak emak, bego luh. “ katanya ngambek.
“ Ya setidaknya dalam diri elo ada cinta ibu, yang bisa memahami perasaan seorang ibu.” Kataku balik kesel.
“ Capek gua, dari kemarin lue salahin gua terus”
“ Ya memang salah. Mau dipuji? Lu yang bego”
Wina menangis. Masuk ke kamarnya. Ibunya dengan tersenyum mengatakan agar aku pulang aja. “Wina sedang ngambek. Nak Ale pulang aja. Maafin Wina ya Nak. “ Kata ibunya. Aku pulang.
Keesokannya di sekolah, Guru pembimbing bertanya “ Win gimana latihan baca cerpennya? Tulisan Ale bagus sekali. Ibu yakin kamu cocok sekali membacakan cerpen itu. Pasti kelas kita juara nanti.”
Wina menatapku dengan cemberut.
“ Memang kenapa ? Ada apa Ale? “ kata Guru pembimbing
“ Engga ada apa apa bu.” Kataku melirik ke Wina sambil tersenyum. Guru pembimbing berlalu dari hadapan kami.
“ Gua tunggu lue di rumah gua. “ kata Wina, itu artinya dia tidak lagi ngambek.
“ Cerpen gua itu sebetulnya hanya pendek aja. Ini soal Tejo si anak semata wayang pergi merantau. Terus engga pulang pulang. Ibunya kangen banget. Tejo engga pernah pulang. Karena Tejo meninggal di rantau. Akhirnya ibunya meninggal dalan kerinduan kepada anaknya. Gitu aja.” Kataku ketika mulai latihan membaca.
“ Gua tahu itu. Engga usah ulang ulang terus. Tapi yang panjang itu narasi elo menggambarkan perasaan ibunya Tejo. Itu yang sulit gua pahami. Gimana gua bisa paham soal perasaan seorang ibu? Kita kan masih anak SMP. Gimana sih lue tahu segala soal perasaan seorang ibu?
“ Ya susah kalau elo tanya ke gua. Itu hak gua sebagai penulis. Tugas lue ya ikuti mau gua aja dech. Berkali kali gua ajarin lue cara membacanya, setiap paragrap dengan mimik dan intonasi. Tetapi gimanapun itu tidak menyatu dengan tulisan gua. Karena gua cowok. Lue kan cewek , pasti tahu memaknai cerita itu dan tahu gimana mengungkapkan perasaan pada setiap paragraf.” kataku berusaha mencerahkan. Namun tetap gagal. Aku berusaha sabar. Pada suatu hari entah mengapa aku mencium Wina. Cepat sekali. Wina lari masuk ke dalam rumah. Masuk kamar. Tidak keluar lagi. Tinggalah aku di teras. Merasa bersalah. Sejak iitu aku takut bertemu Wina. Moga Wina bisa menghayati tulisan cerpenku. Akupun tak mau lagi paksa dia seperi aku mau.
Namun ketika saatnya lomba baca cerpen, aku sempat merinding. Terutama disaat paragraf perpisahan Tejo dengan ibunya di stasiun kereta, Wina menangis. Benar benar menangis. Apalagi ketika Tejo tidak pulang pulang, sementara sahabatnya sudah pulang. Wina mengis terisak isak membaca setiap narasi yang menggambarkan suasana hati ibu Tejo. Sudah bisa ditebak. Para hadirin yang menonton lomba itu, termasuk juri ikut berlinang air mata. Wina juara 1.
Tamat SMP kami berpisah. Karena SMA kami berbeda. Kalau ada waktu senggang Wina pergi ke pasar bersama orang tuanya, dia sempatkan mampir ke tempat aku jualan kaki lima di pojok pasar. Dia menyapaku. Memang pulang sekolah aku dagang untuk biaya sekolah. Tamat SMA, aku pergi merantau. Kami tidak lagi berkomunikasi.
***
Tanpa disadari kadang kita terjebak dengan emosi bukan karena kita melihat, tetapi bisa juga yang tidak terlihat. Namun ia selalu hadir dalam pikiran kita lewat tulisan dan pesan. Itulah dunia maya, yang tahun 2000a era yahoo messenger dan MSN, membuat dunia menjadi sangat dekat tanpa batas. Sebagaimana perkenalanku lewat yahoo messenger dengan seorang wanita. Belakangan aku tahu dia bekerja sebagai TKW di Hong Kong. Kalaulah dia hanya PM untuk omong kosong pasti aku reject. Yang membuat aku tertarik, wawasannya luas. Terbukti dalam diskusi dia bisa memahami hal yang rumit dan mengimbangi ku sebagai trader pasar uang. Namanyapun di Yahoo messenger bukan nama alias. Tetapi nama asli. Rere Astuti. Itu tahun 2006.
Setiap malam dia PM saya terlebih dahulu, dan selalu diawali dengan ucapan Assalamualaikum, dan tak lupa, “ Bapak sibuk? Kalau aku tidak jawab, dia sabar menanti. Dia akan signed out bila aku juga signed out. Tetapi dia tahu, yahoo messenger ku tetap nyala sampai dini hari. Usai rehat bursa, aku sempatkan chating santai. Kadang menarik, dan tulisanku sangat cepat. Dia membalas dengan kesan yang memang dia memahami apa yang aku bicarakan. Begitulah perkenalan lewat dunia maya itu berlangsung setengah tahun. Kami tidak pernah tertarik untuk saling bertemu.
Suatu saat yang tak pernah aku lupa dia mengatakan dalam chat " saya ingin merubah nasip saya. Tadinya saya berpikir dengan bekerja di luar negeri bisa mengubah nasip saya. Tapi kini saya yakin sekembali dari hong kong , nasib saya tidak akan berubah. Saya ingin dekat denga ibu dan anak saya"
“ Hidup ini soal pilihan dan setiap pilihan tidak ada yang sempurna. Masalahnya bisakah kita berdamai dengan ketidak sempurnaan itu.”
“ Benar pak. Kuncinya adalah sabar dan sholat”
“ Kamu masih muda, masih banyak pilihan, teruslah berimprovisasi untuk yang terbaik bagi hidup kamu, passion kamu”
“Saya punya obsesi , mau buka usaha kuliner lewat produksi. Saya pintar masak kue. Dan saya ingin buat kue yang laris di hong kong dengan kreasi tersendiri, dan mungkin lebih enak. Tapi gaya menagement nya akan saya tiru Hong Kong. Cake itu akan jadi penganan bukan sekedar makan tetapi gaya, dan ciri khas kotaku. Tapi saya engga ada modal untuk memulai. Gaji sebagai TKW habis untuk biaya anak dan orang tuaku di kampung. Mungkinkah bapak bisa kasih saya pinjaman modal.” Katanya lewat Chat.
Kesimpulannya dia butuh bantuan permodalan untuk membuka usaha yang dia yakini bisa mengubah nasipnya. Karena dia sangat yakin akan keahliannya,yang selama ini tidak dimanfaatkan. Dia tidak mau membuang umurnya hanya sebagai ART. Bila pulang ke tanah air tidak ingin kembali ke Hong Kong. Aku tidak menanggapi dengan memberikan solusi tapi berharap dia bersabar untuk menjalani hidup ini. Setelah dialogh itu, setiap hari dia PM aku. Namun aku jawab sehari setelahnya atau kadang aku jawab rapel di hari minggu dengan jawaban singkat. Keadaan ini terus berlangsung sampai akhirnya dia pulang ke indonesia.
Suatu saat aku makan malam dengan relasi dari korea dan China. Malam itu aku membayar bill HKD 35,000. Entah mengapa aku teringat dengan dia. Dia hanya butuh uang sebanyak bill yang aku bayar itu, dan itu bisa mengubah impian jadi realita. Sementara bagiku uang sebanyak itu hanya habis tiga jam dalam kebersamaan dengan relasi. Hidup memang tidak adil, tetapi aku tidak ingin menjadi bagian dari ketidak adilan. Setidaknya aku harus mulai peduli, walau itu tidak rasional dalam kacamata bisnis.
" walau bapak tidak pernah bertemu dengan saya..saya doakan bapak agar sehat selalu dan dimudahkan rezekinya sehingga saya punya harapan walau harapan itu tipis sekali namun saya tetap berprasangka baik bahwa Allah akan mudahkan saya..” Saya membayangkan. Kalaulah dia berniat ingin memperdayaku, tidak mungkin dia bisa bertahan hampir setahun dalam pengharapan. Obsesinya menembuh batas rasional untuk tak henti berharap satu langkah pasti yang akan memberinya kesempatan lebih baik, menjadi lebih baik.
Sesampai di kamar, di depan komputer nampak tanda kedap kedip. Ternyata PM dari dia. Selalu dia awali dengan assalamualaikum. Apakah bapak sehat ? Langsung aku tanya nomor rekeningnya bahwa aku akan bantu proposal dia. Aku tidak perlu penjelasan lagi karena sudah cukup hampir setahun aku mendengar alasan dari dia. Keesokan paginya saya kirim uang ke rekeningnya.
Sempat aku berkata kepada diri sendiri " mungkin saya bodoh memberi uang kepada orang yang saya kenal hanya di dunia maya. Tapi saya tetap berprasangka baik bahwa dia memang membutuhkan bantuan dari saya dan Tuhan menggiringnya kepada saya karena doanya siang dan malam..”
Malamnya dia PM dengan ucapan terimakasih dan berjanji akan mengembalikan uang itu secepatnya. Dia dan anaknya akan berdoa untuk kebaikanku. Setelah itu PM nya sudah tidak pernah lagi muncul di sudut komputerku. Walau terbersit rasa curiga namun aku tetap yakin aku berbuat baik karena Tuhan, cukuplah Tuhan tempat kembali semua perbuatan..
***
Tahun 2009 aku dapat email dari dia bahwa dia ingin bertemu langsung denganku. Dia datang ke Hongkong khusus untuk bertemu dengan ku. Aku balas emailnya. “ Saya undang kamu makan malam. Saya pesan tempat di restoran kawasan East Tsim Sha Sui, Kowloon karena tidak jauh dari apartment saya. Mungkin saya datang agak telat, tapi kamu tunggu saja. Cukup menyebutkan nama saya, petugas kafe akan menyediakan table untuk kamu. Karena saya sudah booking. “ jawabku dalam email.
Ketika mau masuk restoran, di lobi aku melihat wanita sedang bermain dengan Balita. Aku tidak bisa lupa wajah wanita itu.
“ Wina…” Seruku.
Wanita itu menoleh ke arahku. “Ale..” teriak dalam keterkejutan.
“ Benarkah elo le ? Ale…ale..” katanya seraya memelukku.
“ Ya gua, Win. Lu sehat ya “
“ Gua sehat. Lu engga berubah, Ale…” Katanya seraya menyentuh kedua pipiku.
“ Ada apa kamu ke Hong Kong ? tanyaku.
“ Aku temanin anakku, sekalian jaga cucuku. Katanya dia mau meeting dengan relasinya.”
“ Oh ya..Jadi kamu udah punya cucu ?
“ Ya. “ katanya tersenyum cerah.
“ Kamu ?
“ Belum” kataku.
“ Udah berapa anak ?
“ Dua. Suami lu gimana ?
“ Kami sudah bercerai sudah lama sekali. Gua single parent. Sekarang gua jadi momong cucu aja” Kata Wina.
“ Ya udah. Nanti kita sambung lagi ya bicaranya. Gua ketemu dengan tamu gua dulu. Hanya 15 menit. Jangan kemana mana.” kataku. Wina mengangguk.
Ketika aku masuk kafe, aku menyebut table atas namaku. Pelayan mengantarku ke table, yang sudah ada wanita duduk. Cantik dan sangat ramah.
“ Pak Ale ya ?
“ Ya. “
Lama dia menatapku, dan akhirnya airmatanya berlinang.
“ Ternyata inilah malaikatku. Terimakasih pak. Terimakasih. “ Katanya. Dengan airmata berinang dia bercerita bahwa nasipnya berubah berkat modal yang aku beri. Kini dia punya karyawan 8 orang. Dia juga meminta maaf karena lama tidak lagi berkomunikasi denganku namun doanya selalu ada untuk-ku. Ketika dia mengembalikan uang yang pernah dia pinjam, aku menolak halus. Aku berharap dia bisa mengembangkan usahanya. Sejenak kemudian, aku meliat matanya tertuju ke arah pintu masuk. Nampak dia melambaikan tangannya. “ Pak saya ingin kenalkan ibu dan anak saya.” katanya.
Ketika aku menoleh kebelakang, nampak Wina melangkah ke arah kami bersama Balita.
“ Itu ibu dan anak kamu?
“ Ya. “ Katanya.
“ Loh, Re, ini loh relasi kamu ? Kata Wina ketika sudab sampai di table
“ Ya Ma.” Wina dan putrinya saling pandang beberapa detik.
“ Berkat pak Ale yang bantu ma, sehingga aku tidak perlu lagi kembali ke Hong Kong jadi TKW, dan waktuku lebih banyak bersama mama dan anak ku.” Kata putrinya.
“ Ale…?? ” Wina menatapku lama. Aku menanti suasana hatinya dalam keterkejutan mereda “ Lue ingat aja ya soal cerpen keriduan ibu Tejo ya. “katanya memukul lembut dadaku. Wina menangis. Aku memeluknya seraya tersenyum kepada putrinya. “ Ya dan kamu membacakannya dengan sangat luar biasa, ya kan Win.”
“ Terimakasih Ale, udah mengembalikan ReRe kepadaku, dan aku tidak perlu mengkawatirkan lagi ReRe karena sekarang kami selalu bersama. Berkat kamu, aku tidak sampai bernasip sama dengan ibu Tejo, kan.” katanya tersenyum.
“ Siapa Tejo Ma. “ Tanya putrinya bingung.
Aku dan Wina hanya tersenyum” Engga perlu kamu tahu. Itu kisah lama, kisa waktu masih SMP. Masih jadi monyet" Kata Wina ***