Saturday, November 02, 2024

Bisnis itu Ibadah...

 



“ Bangunkan saya kalau sudah sampai di Plaza Senayan ”kata saya kepada Lina saat kendaraan masuk toll Pluit. “ Ya pak” Jawab Lina. Masuk kawasan Roxy saya minta berhenti. Karena mau beli rokok. “ Bapak mau beli apa? saya aja yang turun” Kata Lina siap siap mau turun dari kendaraan.


“ Kamu tunggu aja di mobil. Perusahaan bayar kamu bukan untuk urusan pribadi saya” Kata saya langsung ke luar.


Umumnya di teras indomerat ada kursi dan table untuk orang merokok. Saya terima telp dan duduk di kursi itu sambil merokok. Saya melirik kesamping. Ada pria dan wanita sedang bicara. Wanita itu bersama Balita. Usai telp saya habiskan waktu untuk sebatang rokok.


“ Gua belum kerja. Lu sabar aja di ruman orang tua lu.” kata pria itu. Mungkin dia suami wanita itu. Wanita itu istrinya. Keliatan berusaha maklum tapi wajahnya terkesan sedih. Sambil menggedong balitanya. Keluarga kecil yang harus menghadapi hidup tidak ramah. Mereka masih muda dan masih Panjang masa depannya.


“ Gua kerja serabutan di kota. Hanya dapat uang bayar kost dan makan doang. “ kata sang suami. Wanita itu mengangguk dengan raut wajah sedih. “ Malu minta sama ayah untuk beli susu. Ayah juga sedang sulit” kata sang istri. Suaminya tertunduk entah apa yang dipikirkannya. Sepertinya dia tidak sanggup menatap wajah istrinya. Malu dan tak berdaya.


“ Dik, maaf “ kata saya dengan tersenyum ramah. Terdorong begitu saja menegur mereka. “ Siapa nama anaknya? kata saya membelai  kepala anak itu yang sedang digendong.


“ Ipul pak” Kata Pria itu. Saya keluarkan uang dari tas selempang saya 15 lembar pecahan Rp. 100.000. Saya berikan uang itu kepada anak itu. Mereka terkejut. “ Engga usah pak. Kebanyakan uangnya.” Kata sang istri. Saya senyum aja dan berlalu.


Saat masuk ke dalam kendaraan. Saya tanya ke lina” Kamu ada lowongan engga?


“ Kebetulan kita lagi tambah karyawan untuk pabrik footware.” kata Lina.


“ Dik, “ saya panggil pria itu dari dalam kendaraan. Dia dan istrinya mendekat. “ Tadi kerja dimana? tanya saya kepada pria itu. “Di Bekasi pak. Pabrik.” Jawabnya. "  Kami tadi tinggal di Bekasi tapi sekarang saya dan anak saya ngungsi ke rumah orang tua di Roxy" istrinya menambahkan.


“ Bagian apa ? tanya saya.


“ Supir kanvas” kata pria itu.


Saya minta kartu nama Lina. “ Kamu datang aja ke alamat pabrik yang ada dibalik kartu nama ini. Semoga diterima ya” Kata saya menyerahkan kartu nama Lina ke pria itu.


“ Terimakasih pak. “ Kata istrinya dengan airmata berlinang.


Dalam kendaraan saya termenung. Begitu banyak korban PHK. Anehnya antar kementrian dan Pemda saling sanggah data PHK. Bukannya sibuk atasi. Tapi mungkin mereka sibuk yang lain. Moga aja keadaan ekonomi kembali pulih.


“ Pak “ seru Lina. “ Mengapa PHK terus terjadi. Apa ada yang salah. Padahal mereka para perkerja itu kan kelas menengah dalam hitungan statistic. Sumber daya penting bagi kita untuk menjadi negara maju.“ tanya Lina.


“ Ya benar. Kelas menangah di Indonesia itu adalah mereka yang punya pendapatan 1,6 juta-6 juta rupiah. Kualitas SDM seperti itu tidak jauh beda dengan kualitas dunia usaha di Indonesia. Maklum hampir lebih 2/3 dunia usaha Indonesia terkait dengan rente. Misal pabrik Mie. Kalau tidak ada insentif impor Gandum dari pemerintah tidak mungkin pabrik itu bisa menguntungkan. Contoh lagi, CPO, kalau tidak ada fasilitas securitisasi HGU sebagai collateral kredit investasi dan LC untuk kredit ekspor mana mungkin bisnis CPO bisa tumbuh. “ Kata saya.


“ Oh I see. “ Kata lina.


“ Nah ciri khas bisnis rente itu ada dua. Pertama. Tidak menghargai SDM. Para owner tidak menjadikan karyawan sebagai asset. Mengapa? Karena para boss tahu, bisnis nya bisa cuan karena pemerintah dan itu berkat lobi dia. Karyawan hanya pelengkap aja. Kalau engga puas, keluar aja. Banyak yang antri di luar sana. Situasi ini menempatkan pekerja tidak punya bargain dan tentu sulit berharap kinerja mereka punya value added income. Kalau ada PHK, mereka cepat sekali jatuh kelas ke  level miskin.


Kedua. Pengusaha tidak peduli dengan R&D. Walau mereka punya IUP luas. Punya HGU luas. Punya fasilitas impor pangan. Punya fasilitas kredit. Mereka tidak peduli pentingnya alokasi dana riset untuk inovasi. Sementara secara personal mereka menumpuk laba yang diperoleh untuk konsumsi asset keras, yang tingkat depreciation nya tinggi.


Mindset seperti itu memang tidak ada niat untuk membangun usaha yang sustain. Sedikit aja ada masalah, mereka cepat sekali kontraksi. Dan tak lama  kemudian terlilit beban cash flow negative. Dan ujungnya insolvent. PHK terjadi. Namun secara personal mereka tetap kaya. Yang korban pekerja...“ Kata saya. 


" Pak, apakah system ekonomi sekarang berkeadilan? Tanya Lina


“ Menurut teori ekonomi. Uang mengalir dari negara, ke rumah tangga ( Korporat, penduduk, pemerintah) dan kembali lagi ke negara. Muternya begitu. Itu teori demand and supply namanya. Nah negara punya alat melaksanaan system ini, yaitu Bank Indonesia. Sementara BI menugaskan perbankan melaksanakannya putaran uang itu secara teknis. Maka bank disebut dengan intermediasi.


Contoh uang mengalir dari Bank central ke perbankan. Kemudian disalurkan ke sector usaha dan konsumsi RT lewat hutang. Ekonomi jalan. Setiap hari anda bekerja, dan berbisnis, setor uang ke bank. Dan oleh bank uang itu dikelola dalam pos Dana Pihak Ketiga ( DPK). Karena DPK itu berbunga. Maka agar bank tidak tekor, ya sebelum disalurkan, bank beli surat uang negara atau SBRI. Kan balik lagi ke pemerintah.


Dari putaran ini, diharapkan ketika awal uang di create oleh negara katakanlah value nya Rp 100.000. Dan Ketika kembali ke negara nilainya ( outcome) jadi Rp. 120.000. Itu artinya efisien. Ekonomi ilusi berubah jadi real. Tidak ada distorsi. Yang jadi masalah adalah kalau negara mengalirkan uang Rp. 100.000. tetapi outcome nya jadi Rp. 50.000. Itu under value. Teori dan prinsip ekonomi engga jalan. Mengapa ? ya karena uang dikorup dan disimpan begitu saja. Engga masuk ke sector produksi. Engga menampung angkatan kerja luas.


Pemerintah menyadari uang itu dikorup. Tetapi kan sulit membuktikan sacara hukum. Maklum proses peradilan kita sangat korup. Tuh liat aja. makelar kasus MA aja punya uang di rumah hampir Rp. 1 trilun. Nah uang korupsi itu di-struktur lewat Bursa (pasar uang dan modal). Dari putaran bursa itu, Pemerintah serap uang itu lewat surat utang negara dengan bunga 6%. Apa jadinya? Orang kaya semakin kaya dan korupsi dilanggengkan. 


Sekarang kita bicara soal keadilan ekonomi. Pemerintah sangat peduli kepada orang kaya. Tidak mau orang kaya rugi. Makanya bunga SBN dan SBRI diatas pertumbuhan ekonomi dan diatas bunga surat utang negara lain. Gimana orang miskin? Kenaikan upah rata rata selama 10 tahun ini hanya 5%. Bandingkan dengan bunga SBN 6% lebih. Apa artinya? , orang miskin ongkosi orang kaya. Yang kaya semakin kaya, yang miskin betambah miskin. Nilai sendiri aja. Adilkah ?” Kata saya.


" Menurut BPK utang negara itu membebani rakyat. Kalau dianalogikan dari total utang Rp. 8000 trilliun dibagi dengan jumlah penduduk setiap orang berhutang Rp. 30 juta.  Bagaimana bapak jelaskan ini secara sederhana ? tanya LIna lagi.


“ Negara berhutang karena APBN defisit. Artinya pendapatan tidak cukup ongkosi belanja. Maka defisit itu ditutupi dari utang.  Yang tidak bisa dbantah bahwa  Utang itu berdampak kepada terdepresiasinya mata uang."


“ Mengapa? 


“ Utang itu sejatinya adalah cetak uang. Hanya mekanisme nya tidak lewat mesin printing. Tetapi lewat penerbitan surat utang (SUN) dan pinjaman sovereign. Nah perhatikan contoh berikut : anda punya penghasilan tahun 2013 Rp. 1000.000. Kurs Rp. 9.700/1USD. Dalam USD penghasilan anda adalah USD 103. Nah tahun 2024, Kurs rupiah Rp. 15.700/1USD. Penghasilan kamu jadi USD 64. Bayangkan. Kamu tidak bersalah. Tidak pernah merasa berhutang. Tapi tanpa disadari value uang kamu pada 2013 USD 103 , di tahun 2024 tinggal USD 64. Nilai berkurangnya itulah disebut dengan pembayaran utang. "  Kata saya.


" Tapi terbukti sampai sekarang pemerintah tetap jalan. Baik baik saja." Kata Lina.


" Ya karena kita tidak keberatan skema utang itu dan kita membayarnya dengan berkurang nya value pendapatan kita. " Kata saya tersenyum.


" Makanya wajar ya bila kita sering dengar keluhan dari emak emak. Duh, sekarang bawa uang Rp. 100 ribu belanja ke pasar engga seperti dulu dulu. Dulu Rp 100.000 bawa duit, dapat banyak. Sekarang sepertinya uang itu tidak bernilai“. Kata Lina. " Makanya daya beli drop dan kelas menengah jadi kelas miskin. Daya beli drop. Dan angka PHK terus bertambah. " Sambung Lina.


" Emak emak engga salah dengan keluhannya. Pria sebagai suami juga tidak salah. Dia telah kerja keras menghasilkan uang namun ketika dibelanjakan tidak bernilai. Yang salah ya keadaan akibat kebijakan negara berhutang. " kata saya.


“ Apakah salah berhutang? Dalam literatur ekonomi, utang itu sebagai alat leverage meningkatkan value. “ Kata Lina.


“ Tentu asalkan utang itu bisa menghasilkan income di masa mendatang atau menekan cost. Kalau engga, utang itu akan jadi jeratan leher. Nah dalam kasus Indonesia. Dari 100 % pendapatan pajak untuk bayar bunga utang dan cicilan 40%. Sisanya 60%. Dan karena itu terpaksa utang lagi untuk tutupi defisit. Artinya hutang tidak meningkatkan pendapatan. Menjerat leher.


Dari 100% pendapatan ekspor kita, 17% bayar bunga dan cicilan utang luar negeri. Ya gimana kurs Rp bisa menguat. Itu karena Eksport to PDB kita hanya 21%. Bandingkan Vietnam 108% dari PDB. Malaysia 86%. Singapore 150%. Makanya walau mereka juga berhutang namun tidak sampai memenggal value uang rakyat berlebihan. Paham ya.” Kata saya. Lina terdiam. Saya diamkan juga.


“ Lina kerja di GI sudah 15 tahun. Engga pernah ada PHK. Gaji terus naik. Bahkan GI memberikan upah buruh dua kali dari UMR. GI juga punya kebijakan 5% laba ditahan dicadangkan untuk jaring pengaman. Akumulasi dana itu sangat besar. Makanya waktu pandemic kemarin walau GI dapat fasilitas dana PEN dari pemerintah,  tetapi GI tidak manfaatkan. Akumulasi 5% itu lebih dari cukup mengcover menurunnya income salama pandemic. “ Kata Lina. 


“ Bisnis GI memang keliatan receh. Tidak berhubungan dengan rente. Pure market. Ya pabrik pengolahan agro, tableware, alas kaki dan minuman ringan, ikan beku, Alga. Namun sustain. Karena GI membangun bisnis lewat riset kuat dan dukungan kuat dari stakeholder di luar negeri. 90% produksi di ekspor dengan nilai tambah tinggi. Sehingga GI bisa meningkatkan value SDM lewat training dan upah yang sama dengan luar negeri, setidaknya sama dengan Malaysia dan Singapore.” Kata Lina. Saya senyum aja.


“ Walau lina sebagai Dirut GI, namun ada  pertanyaan personal soal GI “ saya menoleh ke lina yang sedang drive kendaraan. “ Apa yang mendasari pemegang saham GI bisa bersikap humanitarian capitalism? 


“ Pendiri GI kan Yuni dan Awi. Mereka berdua itu dari keluarga miskin. Awi hanya tamatan SMP. Pernah dipenjara karena jual kupon judi gelap. Itu dia lakukan karena kemiskinan. Yuni dibuang oleh suaminya karena kemiskinam juga. Tadinya mereka berdua bisnis underground. Setelah dapat modal cukup. Mereka mendirikan GI. Saya memberi mereka network market international dan network pembiayaan. 


Setelah COVID, mereka tidak keberatan melepas Sahamnya kepada Yuan Holding. Itupun agar value perusahaan meningkat dan tantangan masa depan lebih mudah antisipasi. Nah, karena saya dianggap mentor, mereka patuhi saran saya agar berbisnis dengan tujuan ibadah. Ya visinya ibadah.” Kata saya.


“ Paham lina sekarang. “ kata Lina.” Karena visinya ibadah maka memang bukan untuk kepentingan pribadi. Tetapi bermanfaat untuk negara dengan patuh bayar pajak. Bermanfaat untuk rekanan. Mengajak mereka ikut berkembang. Bermanfaat untuk karyawan, menjadikan mereka sebagai asset dan sumber daya yang harus dibina kembangkan. “ Sambung lina menyimpulkan. Saya senyum aja.

4 comments:

  1. Anonymous7:11:00 PM

    Moral yang dapat diambil adalah bisnis bertujuan Ibadah...

    ReplyDelete
  2. Anonymous2:31:00 PM

    terimakasih babo

    ReplyDelete
  3. Anonymous4:26:00 PM

    Seandainya iklim bisnis di negri ini memiliki standard pemikiran seperti ini, alangkah indahnya

    ReplyDelete
  4. Anonymous6:57:00 AM

    Inspiring enough... Thank so much Uda Babo

    ReplyDelete