Aku bersahabat dengan Mey yang aku kenal kali pertama tahun 85 saat kursus Management di LPPM. Walau dia terkesan charming tetapi tidak pernah aku anggap serius. Kepada siapapun dia memang charming. Makanya dia dekat dengan banyak orang kaya. Dia punya kecantikan dan kecerdasan untuk dapat uang. Bisnisnya memang lebih sebagai broker. Tahun 1990, aku punya idea membuat produk Modul mesin tenun. Dengan copy buatan Jepang dan dimodifikasi, aku bisa menghasilkan produk hanya 20% dari harga buatan Jepang. Aku ajak Mey bermitra. Dia setuju.
Produk ini udah lulus test Lab LEN dan sudah pula diuji coba pada Pabrik tenun. Kualitas lebih baik dari buatan jepang. Daya tahannya lebih lama. Kami berencana mendirikan pabrik Modul itu. Investasi sangat besar. Aku dan Mey tidak punya uang. Sementara bank tidak bisa berikan kredit. Itu teknologi baru dan tentu dianggap oleh bank beresiko. Apalagi kami tidak punya mitra strategis yang sudah pengalaman bidang Industri elektronika. Kami harus cari investor private.
Mey kenalkan dengan Andi, direktur salah satu perusahaan dari keluarga penguasa. Aku tawarkan kerjasama. Terlalu mudah deal terjadi. Itu berkat reputasi Mei tentunya. Hanya seminggu, Andi setuju tanda tangani MOU. Namun sejak itu dia tidak bisa lagi dihubungi. Tiiga bulan kemudian, dia dirikan sendiri pabrik atas nama perusahaannya. Dan Mey nyeberang ke Andi. Tinggalkan aku. Ya setelah semua data dan informasi mengenai idea bisnisku dia kuasai, dia jalan sendiri tanpa aku.
Aku berusaha minta tolong ketemu Mey untuk bicara. Aku masih berharap Mey punya alasan kuat untuk tinggalkan aku dalam kemitraan. Dia sanggupi setelah lebih sebulan aku tunggu“ Kamu engga pantas jadi pengusaha pabrikan berkelas international. Modal engga ada. Mimpi doang yang ada” Kata Mey saat aku pertanyakan komitmen Andi sebagai mitra “ Mau lawan? lawan aja.” Katanya seakan membaca kemarahanku. “ Kamu itu idealis namun tidak punya urat kaya” Lanjut Mei.
“ Mey, dari awal kita berteman. Aku percaya kamu. Tetapi kamu telah kecewakan aku.” Kataku dengan lirih. Aku tak ingin menampak wajah kecewa atau sedih. Aku harus tegar walau dalam kondisi sangat menyakitkan. Apalagi aku baru saja akan bangkit dan berharap bisnis ini bisa jadi pijakan ku untuk melompat jauh.
“ Apa peduli aku ? Suara Mey meninggi. Dia nampakan sikap aslinya. " kamu kecewa atau engga, engga ada untungnya bagiku” kata Mey tanpa perasaan bersalah atas kandas nya idea ku menjadi kenyataan. Aku kalah tetapi aku tidak menyerah. Mey juga tidak salah.Tentu dia bela Andi yang kaya daripada bela aku yang miskin. Dia perlu masa depan yang jelas. Wajar kalau dia lebih mencintai dirinya sendiri.
***
2018
Restaurant menyediakan table untukku sebagai tamu penthouse Hotel Peninsula Beijing. Restaurant itu menyediakan menu Perancis namun dengan sentuhan Asia. Aku suka. Perpaduan barat dan timur begitu kompak dalam suasana kosmopolitan. Tamu yang datang, umumnya adalah pengusaha papan atas atau profesional
.
Setelah duduk, pandangan kuarahkan ke seluruh ruangan. Mataku tertuju kepada seorang wanita yang duduk sendirian. Wajah yang tak bisa hilang dalam ingatanku. Mengapa dia ada disini? Apakah dia turis. Kalau iya, pasti dia sudah masuk kalangan the have dengan status sebagai sosialita. Dari kacamatanya aku tahu itu harga diatas UDS 2000. Pasti yang lain seperti tas dan jam tangan diatas itu harganya. Walau posisinya menyamping, sebenarnya tidak sulit bagi dia untuk menoleh kekanan untuk bertatap denganku. Entah mengapa dia seperti patung.
Aku melangkah menghampiri tablenya “ Mey..” Kataku lembut.
“ Kaukah itu Ale? Dia terkejut dan segera berdiri. Wajahnya sangat dekat denganku.
“ Ya Mey. “ Kataku mengangguk. Dia merebahkan tubuhnya dalam pelukanku. “ So long..my dear…” katanya seakan dia sangat merindukanku.
“ Tidak terlalu lama, May. Hanya 30 tahun atau 6 windu kurang ya tidak jumpa” Dia memukul dadaku dengan lambat. “Aku kangen, Ale “ Katanya. Mey menangis. Mengapa Mey berubah. Bukankah dia wanita yang tegar. Tak mudah menangis. Bahkan merasa tidak bersalah meninggalkanku.
“ Ceritakan kepadaku tentang 30 tahun yang tidak aku ketahui.? kataku. Mey lama memandangku. “ perlukah?
Aku mengangguk.
Aku akhirnya menikah dengan Andi. Andi memang gagah. Dia pintar. Waktu menikah, dia menghadiahiku satu set berlian. Kalung, gelang dan anting serta jam. Waktu itu harganya USD 200.000. Aku tahu harganya. Karena dia perlihatkan bonnya. Dia hadiahi aku rumah mewah di Cinere. Rumah besar lengkap dengan kolam renang. Kendaraan mewah lengkap dengan supir yang selalu siap mengantarku kemana saja. Dia larang aku kerja di kantor. Aku disuruh di rumah aja.
Tapi Ale, 10 tahun berumah tangga serasa kering. Dia benar memanjakanku dengan hartanya. Tetapi itu sama saja dia memanjakan anjing peliharaannya. Tak ada sentuhan yang menghangatkan jiwa. Kamu bisa bayangkan Ale, malam pertama setelah dia nikmati tubuhku dengan fast track, dia langsung memunggungiku. Saat itu aku merasa sampah. Seonggok daging BBQ. Tapi ada dayaku. Selanjutnya, begitu.
Siapapun tamu dari keluargaku datang dia bermuka masam. “ Tidak perlu kamu terlalu dekat dengan mereka. Orang orang miskin selalu ada alasan merongrong kita. Dan lagi apa untungnya dekat dengan mereka. “ Katanya. Dia marah kalau aku ke salon yang tidak dia kenal. Bukan cemburu. Tetapi lebih soal harga diri. Dia tidak mau aku sebagai aksesori jatuh kelas dihadapan orang lain karena salah tempat.
Suatu saat aku jatuh sakit. Sakit Ginjal. Saat sakit itu dia ceraikan aku. Alasannya dia butuh anak. Sebetulnya dia anggap tubuhku tidak lagi sesuai dengan kesukaannya. Dia beri aku uang dan aku keluar dari rumahnya. Apa yang bisa kulakukan. Aku masuk ke dalam hidupnya, dia sudah punya segala galanya. Sementara aku datang dalam kemiskinan. Tapi bagaimanapun pemberian uangnya lebih dari cukup untuk aku memulai hidup baru. 10 tahun rumah tangga berjalan tampa makna.
***
Perceraian pertama tidak menyakitkan. Sesuatu yang sudah kuduga itu pasti terjadi. Pernikahan kapitalis. Mudah bertaut mudah juga berpisah. Setelah bercerai aku bertemu dengan pria. Dia tidak kaya tapi baik da cerdas. Kehidupan sex kami baik walau tidak sempurna. Dia bekerja di kampus. Aku jadi istri dosen. Dengan uang yang ada aku beli rumah mungil di luar kota. Sisa uang, aku biayai sekolahnya sampai S3 di Eropa. Aku sabar menanti dia pulang dengan mengelola bisnis impor boneka. Tapi apa daya. Usahaku bangkrut. Rumahku disita bank. Dia kembali dari Eropa tidak pernah pulang untukku. Dia memutuskan bercerai dengan kepulangannya. Ternyata dia kembali ke mantan pacarnya. 5 tahun waktu berlalu tampa makna. Yang ada aku menertawakan kebodohanku. Tidak tahu diri. Terlalu berharap lebih dari apa yang kuberi.
***
Perceraian kedua aku masih yakin aku akan baik baik saja. Usiaku masih muda.Tepatnya 32 tahun. Aku bekerja sebagai pengajar tari. Dua tahun setelah itu, aku berkenalan dengan pria yang lebih muda 1 tahun dariku. Dia manager pada perusahaan Asuransi. Dia cerdas dan banyak impian. Ternyata dia hanya punya ambisi dengan memanfaatkan kelemahan orang lain. Dia jadikan aku umpan dengan calon customernya. Memang sukses. Karirnya cepat melesat dan penghasilan meningkat. Tapi setelah itu dia tidak mau lagi menyentuhku. Setelah itu dia selingkuh dengan teman satu kantornya. Aku memilih bercerai. 10 tahun perkawinan sia sia. Usiaku sudah 42 tahun. Saat itulah kau tersadarkan. Aku telah menganiaya diriku selama ini. Aku ingat kamu Ale, Ingat aku menghinamu. Ingat semua ketulusan mu sebagai sahabat. Aku pantas menjadi pecundang.
***
Setelah bercerai yang ketiga kalinya, aku bekerja pada sebuah rumah tangga sebagai perawat manula. Tugasku merawat dan menemani pria manula kesepian yang kaya raya. Kemanapun dia pergi aku mendampinginya. Tugasku mengingatkan obat yang harus dimakannya dan memandikannya. Tak lupa memastikan dia tidur dengan nyaman. Ya itulah hidupku kini. Sekarang ada disini di hotel super mewah. Ya hanya sekedar bertahan hidup.
Tapi Ale…antara aku dan pria manula itu dua sosok yang sama walau nasip berbeda. Sama sama mengejar photomorgana. Dia kumpulkan harta, dimasa tuanya dia harus menghindari makan enak. Dia punya istri dan selusin selir, tapi di masa tuanya dia sendirian dan kesepian. Dia besarkan anak dan manjakan tetapi masa tuanya hidup dijaga perawat. Tidak ada beda dengan aku. Aku selalu mencari suami yang sempurna tapi yang kudapati adalah kesendirian juga. Dia bukan pria suamiku tapi aku berbakti kepadanya karena dibayar. Aku bukan istrinya, tapi hidupnya butuh aku orang bayarannya.
***
Mey terdiam setelah bercerita panjang tentang hidupnya. Ada air menggenang di tubir matanya. “ Sebetulnya siapa yang pecundang Ale? Apakah aku atau orang orang yang pergi meninggalkanku. Apakah si manula itu atau keluarganya? “ Katanya.
“ Mey, masalah kamu dan mereka adalah tidak pernah saling mencintai. Diantara kalian masing masing mencintai diri sendiri. Karenanya semua kalah. Tidak ada yang menang. Pemenang sejati adalah mereka yang bisa mencintai orang lain namun tak pernah merasa memiliki “ Kataku. Dia tersenyum tipis seperti tersadarkan. Mey adalah sahabatku, tentu akulah yang pantas mengingatkannya.
“ Apa yang dapat kau maknai dari semua jalan yang kau tempuh.” Tanya Mey. Aku tersenyum. Kamu dan aku nampak menua.
“ Hidupku biasa saja. Awal phase sebagai pengusaha yang tak henti terjerembab, bangkit dan kembali terjerembab. Kadang membuatku masuk dalam lobang gelap tak bersinar. Terkurung dalam sepi dan teracuhkan orang banyak. Kalaulah tanpa kesabaran yang dibekali oleh Tuhan dalam jiwaku, rasanya sudah lama aku ingin akhiri hidupku. Kesabaran itu lahir dari kekuatan. Kekuatan itu sendiri tercipta karena memang tidak ada jalan lain. Jalan sebagai pengusaha bukanlah jalan yang aku rencanakan sejak kecil. Dari kecil aku hanya bercita cita jadi marbot. Kalau akhirnya jadi pengusaha, itu hanya sebagai usaha survival saja. Maklum aku tidak sarjana. Hanya tamatan SMA."
" Survival ? Wajah Mey nampak sedih. " Rendah hati sekali kamu menyikapi hidup ini.."
" Ya. Dunia bagiku adalah proses survival. Dari tiada menjadi ada dan kemudian tiada lagi untuk sampai kepada sebaik baiknya kesudahan." Kataku tersenyum " Makanya, semenjak beberapa tahun lampau. Aku mengundurkan diri dari hiruk pikuk kerakusan pasar uang. Aku menjauh dari setelan jas mahal, parfum mahal, jam tangan mewah atau lingkar cincin precious stone di pergelangan jari manis dan isi dompet, black card unlimited." Kataku. Mey memperhatikan setiap kata kataku. Tidak surprise. Dia maklum apa yang aku katakan. Dia mengenal sifatku.
“ Aku hanya tahu sepak terjang mu dalam bisnis dari teman. Mereka cerita kamu punya investment holding international. “ Kata Mey lirih dengan mata sendu menatapku. “ Bagaimana dengan istrimu? Tanya Mey seperti berharap ada cahaya untuknya, mungkin
“ Kamu kan tahu aku menikah dengan wanita biasa. Kalau sampai sekarang kami tetap bersama, karena kami tidak merasa saling memiliki, tapi kami saling menjaga. Karenanya berlalunya waktu kami semakin tak berjarak. Selalu saling mengkhawatirkan dan tentu saling mendoakan.” Kataku. Mey terpengkur dan air matanya jatuh. Seperti sesal yang tak berujung. Memikir kesalahan masa lalunya dalam menentukan pilihan.”
”Istrimu wanita yang beruntung karena memilih tempat bersandar yang tepat dan teduh. Dari awal andaikan aku tahu dan cerdas memilih tentu cerita nasibku akan lain" Kata Mey berlinang air mata. Aku diam saja. Itu sudah sifat Mey memang pintar berdrama.
”Kau semakin menua dan semakin bijak. Apakah kau masih ada obsesi? Tanya Mey kembali tersenyum.
” Tentu ada obsesi. " Kataku cepat
“ Apa itu ?
“Aku ingin agar setelah aku tidak ada. Cucuku bisa menikmati seni karena mencari rezeki mudah dan beribadah lapang. Dan itu hanya bila mereka yang punya visi sains, dan bertaqwa kepada Tuhan. ” Jawabku sambil melempar senyum dan akhirnya temenung.
Terima kasih penjelasannya pak...kemarin bingung mencari apa itu CDS, RER, REER dan DR...baru nemu REER saja...itupun masih kulit ari...
ReplyDeleteCerpen yg penuh makna Babo, thnx
ReplyDeletethanks Babo
ReplyDeleteTidak saling memiliki tp saling menjaga...sy suka kalimat itu..itu jg yg membuat kami bertahan hgga 35 th..usia perkawinan
ReplyDeleteKey Note : kesabaran
ReplyDeleteSangat bagus untuk direnungkan. Trims Babo
ReplyDelete