Saturday, April 27, 2024

Obsesi...

 



Aku bersahabat dengan Mey yang aku kenal kali pertama tahun 85 saat kursus Management di LPPM. Walau dia terkesan charming tetapi tidak pernah aku anggap serius. Kepada siapapun dia memang charming. Makanya dia dekat dengan banyak orang kaya. Dia punya kecantikan dan kecerdasan untuk dapat uang. Bisnisnya memang lebih sebagai broker. Tahun 1990, aku punya idea membuat produk Modul mesin tenun. Dengan copy buatan Jepang dan dimodifikasi, aku bisa menghasilkan produk hanya 20% dari harga buatan Jepang. Aku ajak Mey bermitra. Dia setuju.


Produk ini udah lulus test Lab LEN dan sudah pula diuji coba pada Pabrik tenun. Kualitas lebih baik dari buatan jepang. Daya tahannya lebih lama. Kami berencana mendirikan pabrik Modul itu. Investasi sangat besar. Aku dan Mey tidak punya uang.  Sementara bank tidak bisa berikan kredit. Itu teknologi baru dan tentu dianggap  oleh bank beresiko.  Apalagi kami tidak punya mitra strategis yang sudah pengalaman bidang Industri elektronika. Kami harus cari investor private.


Mey kenalkan dengan Andi, direktur salah satu perusahaan dari keluarga penguasa. Aku tawarkan kerjasama. Terlalu mudah deal terjadi. Itu berkat reputasi Mei tentunya. Hanya seminggu, Andi setuju tanda tangani MOU. Namun sejak itu dia tidak bisa lagi dihubungi. Tiiga bulan kemudian, dia dirikan sendiri pabrik atas nama perusahaannya. Dan Mey nyeberang ke Andi. Tinggalkan aku. Ya setelah semua data dan informasi mengenai idea bisnisku dia kuasai, dia jalan sendiri tanpa aku.


Aku berusaha minta tolong ketemu Mey untuk bicara. Aku masih berharap Mey punya alasan kuat untuk tinggalkan aku dalam kemitraan. Dia sanggupi setelah lebih sebulan aku tunggu“ Kamu engga pantas jadi pengusaha pabrikan berkelas international. Modal engga ada. Mimpi doang yang ada” Kata Mey saat aku pertanyakan komitmen Andi sebagai mitra  “ Mau lawan? lawan aja.” Katanya seakan membaca kemarahanku. “ Kamu itu idealis namun tidak punya urat kaya” Lanjut Mei.


“ Mey, dari awal kita berteman. Aku percaya kamu. Tetapi kamu telah kecewakan  aku.” Kataku dengan lirih. Aku tak ingin menampak wajah kecewa atau sedih. Aku harus tegar walau dalam kondisi sangat menyakitkan. Apalagi aku baru saja akan bangkit dan berharap bisnis ini bisa jadi pijakan ku untuk melompat jauh.


“ Apa peduli aku ? Suara Mey meninggi. Dia nampakan sikap aslinya. " kamu kecewa atau engga, engga ada untungnya bagiku” kata Mey tanpa perasaan bersalah atas kandas nya idea ku menjadi kenyataan. Aku kalah tetapi aku tidak menyerah.  Mey juga tidak salah.Tentu dia bela Andi yang kaya daripada bela aku yang miskin. Dia perlu masa depan yang jelas. Wajar kalau dia lebih mencintai dirinya sendiri.


***

2018

Restaurant menyediakan table untukku sebagai tamu penthouse Hotel Peninsula Beijing. Restaurant itu menyediakan menu Perancis namun dengan sentuhan Asia. Aku suka. Perpaduan barat dan timur begitu kompak dalam suasana kosmopolitan. Tamu yang datang, umumnya adalah pengusaha papan atas atau profesional

.

Setelah duduk, pandangan kuarahkan ke seluruh ruangan. Mataku tertuju kepada seorang wanita yang duduk sendirian. Wajah yang tak bisa hilang dalam ingatanku. Mengapa dia ada disini? Apakah dia turis. Kalau iya, pasti dia sudah masuk kalangan the have dengan status sebagai sosialita. Dari kacamatanya aku tahu itu harga diatas UDS 2000. Pasti yang lain  seperti tas dan jam tangan diatas itu harganya. Walau posisinya menyamping, sebenarnya tidak sulit  bagi dia untuk menoleh kekanan untuk bertatap denganku. Entah mengapa dia seperti patung.

Aku melangkah menghampiri tablenya “ Mey..” Kataku lembut. 


“ Kaukah itu Ale? Dia terkejut dan segera berdiri. Wajahnya sangat dekat denganku.


“ Ya Mey. “ Kataku mengangguk. Dia merebahkan tubuhnya dalam pelukanku. “ So long..my dear…” katanya seakan dia sangat merindukanku.


“ Tidak terlalu lama, May. Hanya 30 tahun atau 6 windu kurang ya tidak jumpa” Dia memukul dadaku dengan lambat. “Aku kangen, Ale “ Katanya. Mey menangis. Mengapa Mey berubah. Bukankah dia wanita yang tegar. Tak mudah menangis. Bahkan merasa tidak bersalah meninggalkanku.


“ Ceritakan kepadaku tentang 30  tahun yang tidak aku ketahui.? kataku. Mey lama memandangku. “ perlukah? 


Aku mengangguk.


Aku akhirnya menikah dengan Andi. Andi memang gagah. Dia pintar. Waktu menikah, dia menghadiahiku satu set berlian. Kalung, gelang dan anting serta jam. Waktu itu harganya USD 200.000. Aku tahu harganya. Karena dia perlihatkan bonnya. Dia hadiahi aku rumah mewah di Cinere. Rumah besar lengkap dengan kolam renang. Kendaraan mewah lengkap dengan supir yang selalu siap mengantarku kemana saja. Dia larang aku kerja di kantor. Aku disuruh di rumah aja.


Tapi Ale, 10 tahun berumah tangga serasa kering. Dia benar memanjakanku dengan hartanya. Tetapi itu sama saja dia memanjakan anjing peliharaannya. Tak ada sentuhan yang menghangatkan jiwa. Kamu bisa bayangkan Ale, malam pertama setelah dia nikmati tubuhku dengan fast track, dia langsung memunggungiku. Saat itu aku merasa sampah. Seonggok daging BBQ. Tapi ada dayaku. Selanjutnya, begitu. 


Siapapun tamu dari keluargaku datang dia bermuka masam. “ Tidak perlu kamu terlalu dekat dengan mereka.  Orang orang miskin selalu ada alasan merongrong kita. Dan lagi apa untungnya dekat dengan mereka. “ Katanya. Dia marah kalau aku ke salon yang tidak dia kenal. Bukan cemburu. Tetapi lebih soal harga diri. Dia tidak mau aku sebagai aksesori jatuh kelas dihadapan orang lain karena salah tempat. 


Suatu saat aku jatuh sakit. Sakit Ginjal. Saat sakit itu dia ceraikan aku. Alasannya dia butuh anak. Sebetulnya dia anggap tubuhku tidak lagi sesuai dengan kesukaannya. Dia beri aku uang dan aku keluar dari rumahnya. Apa yang bisa kulakukan. Aku masuk ke dalam hidupnya, dia sudah punya segala galanya. Sementara aku datang dalam kemiskinan. Tapi bagaimanapun pemberian uangnya lebih dari cukup untuk aku memulai hidup baru. 10 tahun rumah tangga berjalan tampa makna.


***


Perceraian pertama tidak menyakitkan. Sesuatu yang sudah kuduga itu pasti terjadi. Pernikahan kapitalis. Mudah bertaut mudah juga berpisah. Setelah bercerai aku bertemu dengan pria. Dia tidak kaya tapi baik da cerdas. Kehidupan sex kami baik walau tidak sempurna. Dia bekerja di kampus. Aku jadi istri dosen. Dengan uang yang ada aku beli rumah mungil di luar kota. Sisa uang, aku biayai sekolahnya sampai S3 di Eropa. Aku sabar menanti dia pulang dengan mengelola bisnis  impor boneka.  Tapi apa daya. Usahaku bangkrut. Rumahku disita bank. Dia kembali dari Eropa tidak pernah pulang untukku. Dia memutuskan bercerai dengan kepulangannya. Ternyata dia kembali ke mantan pacarnya. 5 tahun waktu berlalu tampa makna. Yang ada aku menertawakan kebodohanku. Tidak tahu diri. Terlalu berharap lebih dari apa yang kuberi.


***

Perceraian kedua aku masih yakin aku akan baik baik saja. Usiaku masih muda.Tepatnya 32 tahun. Aku bekerja sebagai pengajar tari. Dua tahun setelah itu, aku berkenalan dengan pria yang lebih muda  1 tahun dariku. Dia manager pada perusahaan Asuransi.  Dia cerdas dan banyak impian. Ternyata dia hanya punya ambisi dengan memanfaatkan kelemahan orang lain. Dia jadikan aku umpan dengan calon customernya. Memang sukses. Karirnya cepat melesat dan penghasilan meningkat. Tapi setelah itu dia tidak mau lagi menyentuhku. Setelah itu dia selingkuh dengan teman satu kantornya. Aku memilih bercerai. 10 tahun perkawinan sia sia. Usiaku sudah 42 tahun. Saat itulah kau tersadarkan. Aku telah menganiaya diriku selama ini. Aku ingat kamu Ale, Ingat aku menghinamu. Ingat semua ketulusan mu sebagai sahabat. Aku pantas menjadi pecundang.


***


Setelah bercerai yang ketiga kalinya, aku bekerja pada sebuah rumah tangga sebagai perawat manula.  Tugasku merawat dan menemani pria manula kesepian yang kaya raya. Kemanapun dia pergi aku mendampinginya. Tugasku mengingatkan obat yang harus dimakannya dan memandikannya. Tak lupa memastikan dia tidur dengan nyaman. Ya itulah hidupku kini. Sekarang ada disini di hotel super mewah. Ya hanya sekedar bertahan hidup. 


Tapi Ale…antara aku dan pria manula itu dua sosok yang sama walau nasip berbeda. Sama sama mengejar photomorgana. Dia kumpulkan harta, dimasa tuanya dia harus menghindari makan enak. Dia punya istri dan selusin selir, tapi di masa tuanya dia sendirian dan kesepian. Dia besarkan anak dan manjakan tetapi masa tuanya hidup dijaga perawat. Tidak ada beda dengan aku. Aku selalu mencari suami yang sempurna tapi yang kudapati adalah kesendirian juga. Dia bukan pria suamiku tapi aku berbakti kepadanya karena dibayar. Aku bukan istrinya, tapi hidupnya butuh aku orang bayarannya. 


***

Mey terdiam setelah bercerita panjang tentang hidupnya. Ada air menggenang di tubir matanya. “ Sebetulnya siapa yang pecundang Ale? Apakah aku atau orang orang yang pergi meninggalkanku. Apakah si manula itu atau keluarganya? “ Katanya.


“ Mey, masalah kamu dan mereka adalah tidak pernah saling mencintai. Diantara kalian masing masing mencintai diri sendiri. Karenanya semua kalah. Tidak ada yang menang. Pemenang sejati adalah mereka yang bisa mencintai orang lain namun tak pernah merasa memiliki “ Kataku. Dia tersenyum tipis seperti tersadarkan. Mey adalah sahabatku, tentu akulah yang pantas mengingatkannya.


“ Apa yang dapat kau maknai dari semua jalan yang kau tempuh.” Tanya Mey.  Aku tersenyum. Kamu dan aku nampak menua. 


“ Hidupku biasa saja. Awal phase sebagai pengusaha yang tak henti terjerembab, bangkit dan kembali terjerembab. Kadang membuatku masuk dalam lobang gelap tak bersinar. Terkurung dalam sepi dan teracuhkan orang banyak. Kalaulah tanpa kesabaran yang dibekali oleh Tuhan dalam jiwaku, rasanya sudah lama aku ingin akhiri hidupku. Kesabaran itu lahir dari kekuatan. Kekuatan itu sendiri tercipta karena memang tidak ada jalan lain. Jalan sebagai pengusaha bukanlah jalan yang aku rencanakan sejak kecil. Dari kecil aku hanya bercita cita jadi marbot. Kalau akhirnya jadi pengusaha, itu hanya sebagai usaha survival saja. Maklum aku tidak sarjana. Hanya tamatan SMA." 


" Survival ? Wajah Mey nampak sedih. " Rendah hati sekali kamu menyikapi hidup ini.." 


" Ya. Dunia bagiku adalah proses survival. Dari tiada menjadi ada dan kemudian tiada lagi untuk sampai kepada sebaik baiknya kesudahan." Kataku tersenyum " Makanya, semenjak beberapa tahun lampau. Aku mengundurkan diri dari hiruk pikuk kerakusan pasar uang. Aku menjauh dari setelan jas mahal, parfum mahal, jam tangan mewah atau lingkar cincin precious stone di pergelangan jari manis dan isi dompet, black card unlimited." Kataku. Mey memperhatikan setiap kata kataku. Tidak surprise. Dia maklum apa yang aku katakan. Dia mengenal sifatku.


“ Aku hanya tahu sepak terjang mu dalam bisnis dari teman. Mereka cerita kamu punya investment holding international. “ Kata Mey lirih dengan mata sendu menatapku. “ Bagaimana dengan istrimu? Tanya Mey seperti berharap ada cahaya untuknya, mungkin


“ Kamu kan tahu aku menikah dengan wanita biasa. Kalau sampai sekarang kami tetap bersama,  karena kami tidak merasa saling memiliki,  tapi kami saling menjaga. Karenanya berlalunya waktu kami semakin tak berjarak. Selalu saling mengkhawatirkan dan  tentu saling mendoakan.” Kataku. Mey terpengkur dan air matanya jatuh. Seperti sesal yang tak berujung. Memikir kesalahan masa lalunya dalam menentukan pilihan.”


”Istrimu wanita yang beruntung karena memilih tempat bersandar yang tepat dan teduh. Dari awal andaikan aku tahu dan cerdas memilih tentu cerita nasibku akan lain" Kata Mey berlinang air mata. Aku diam saja. Itu sudah sifat Mey memang pintar berdrama.

”Kau semakin menua dan semakin bijak.  Apakah kau masih ada  obsesi? Tanya Mey kembali tersenyum.

” Tentu ada obsesi. " Kataku cepat

“ Apa itu ?

“Aku ingin agar setelah aku tidak ada. Cucuku bisa menikmati seni karena mencari rezeki mudah dan beribadah lapang. Dan itu hanya bila mereka  yang punya visi sains, dan bertaqwa kepada Tuhan.  ” Jawabku sambil melempar senyum dan akhirnya temenung. 



Monday, April 22, 2024

Hijrah dari atmosfir kemiskinan

 





” Udah tembus 16 ribu rupiah harga beras sekilo. Gula juga udah tembus 17 ribu rupiah. Cepat sekali berubah harga. Sebentar lagi listrik juga naik. BBM akan naik juga. Gas pasti akan naik.  Beda dengan pendapatan yang lelet  naik.  Ada apa negeri ini, Mas  ” kata Marni kepada lakinya, Ucok

”Tak paham aku?” Kata Ucok sekenanya.

” Mas memang tidak paham. " Kata Marni mencibir. " Tahunya kerja dan setor uang ke saya setiap akhir bulan. Udah selesai.?  Mas engga tahu kalau kerja keras Mas itu tidak berarti Mas pantas masabodoh dengan kenaikan harga. Karena kerja keras Mas semakin lama semakin tidak berharga. Dan akhirnya aku yang sesak, Harus mikir apa yang harus dihemat. Apa lagi? semua uang dihasilkan selama ini hanya soal kebutuhan, bukan keinginan. Saya hanya ingin cukup, engga ingin kaya raya. Soal keinginan sudah lama saya kubur saat menikah dengan Mas. “ Kata Marni. 

Ucok mulai pening dan berusaha duduk di teras rumah dengan wajah masam. Pening kepalanya kalau Marni sudah mengeluh soal harga harga naik. “ Anehnya Rokok tetap berasap dari mulut dan hidung Mas. Apa engga bisa berhenti merokok dan alihkan untuk kebutuhan yang lebih penting untuk kita dan anak anak yang masih Balita” Marni terus merepet.  

“ Aku kerja, hanya rokok ini yang kunikmati dari penghasilan kerja kerasku selama sebulan. Itupun kau mau ambil pula” Kata Ucok lemah. 

“ Udah dibilang kerja keras Mas tidak ada artinya ketika harga terus naik.  Itupun tidak dipahami oleh Mas.  Masih aja perhitungan dengan kerja kerasnya. Dasar tak tahu diri kalau sudah menikah dan punya keluarga.” teriak Marni.

”Ngerokok lagi,” tiba-tiba Marni sedikit membentak saat ucok mengambil  rokok” apa  enggak bisa uangnya sedikit disimpan untuk beli Roti Tart ulang tahun anak sulung kita.”

”Beli roti bagaimana?” Ucok memelas. ”Kau ini aneh  ya. Nyediain nasi aja susah, kok beli roti mewah kayak gitu. Itu makanan menteri, bupati, dan wali kota serta para koruptor. Tahu?! Kita makan nasi aja sama sambal…. Kamu itu mimpi….” 

Tiba-tiba sepi. Di langit ada mendung yang memberi sasmita akan hujan. Kilat sesekali menggebyar. ”Rumah kita masih bocor,” kata Ucok lagi sambil mendongak. ”Belum bisa beli plastik tebal penahan tiris. Kok kamu mikirin roti tart yang, bagi kita, harganya seperti triliunan rupiah. Anehnya kau itu!”

Marni diam. Dia sadar pernikahan beda budaya kadang bagus. Marni yang jawa memang suka ngomel tetapi suaranya tetap lembut. Retorika dan logikannya nyambung. Ucok bisa maklumi itu.  Mana ada orang Sumatera tersinggung dengan kata kata istri. Bayangan Marni,  di depan matanya sangat jelas: tart dengan bunga-bunga mawar, dengan tulisan Happy Birthday. Betapa bahagianya anak yang diberi hadiah itu. Marni sendiri belum pernah mendapat hadiah seperti itu, apalagi mencicipi. Tapi, alangkah lebih bahagia ia jika bisa memberikan sesuatu yang dinilainya luar biasa, betapa pun belum pernah menikmatinya.

”Kurang beberapa hari lagi, Mas ,” kata Marni memecah kesunyian.

”Apanya yang kurang beberapa hari lagi?” Ucok memelas. ”Kiamatnya apa gimana? Kita memang mau kiamat. Hakim, jaksa, polisi, pengacara, menteri, anggota DPR… nyolong semua. Dan kau malah mau beli tart. Duitnya sapa? Nyolong? Tak ada yang bisa kita colong. Ngerampok? Kau punya pistol atau bedil? Enggak! Kau cuma punya pisau dapur dan silet untuk mengerok bulu ketiakmu….”

Marni tak menyahut. Pikirannya masih melanglang ke toko roti. ”Kita bisa naik bus Mas, aman. Enggak ada copet.. Kita harus hati-hati bawa tart sangat istimewa itu, Mas. Ah, si bocah itu pasti seneng banget.… Kalau dia bisa seneng, alangkah bahagia diriku.”

Kedua tangannya dilekatkan pada dada dan membentuk sembah, menunduk. Tuhan, bisik Marni, perkenankan saya membeli tart untuk ulang tahun anakku. Ia lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Saking kepinginnya beli tart, seakan ia hendak menangis. Matanya terasa basah.

Kemudian hujan pun rintik-rintik. ”Naaah, mau hujan,” kata lakinya. ”Pindah-pindahin bantal-bantal. Jangan biarkan di situ, tempat tiris deras….” Uncok memberi komando. Marni tenang saja.

”Biarkan tiris membasahi rumah,” kata Marni. ”Itu rezeki kita: air,” sahut marni

Ucok tak tahan. ”Kau ini semakin aneh,” Malam merambat larut. Ternyata hujan hanya sebentar. Sepertinya alam menaruh hiba kepada keluaga kecil ini.  Marni merebahkan kepalanya ke pundak suaminya yang sedang duduk di bale bale sambil udut dan minum kopi. “ Mas kan, sarjana Ekonomi. Mengapa harga terus naik dan gaji mas kalah cepat dengan kenaikan harga harga. Cerahkan saya. agar saya tidak punya prasangka buruk kepada suami saya yang sudah kerja keras demi keluarga. “ Kata Marni. Dia tatap wajah suaminya. Dulu wajah itu bersih dan penuh semangat. Tetapi setelah menikah. Dia semakin menua.

“ Kau tahu, “Kata ucok berusaha menjawab pertanyaan istrinya. “ Uang yang aku terima setiap bulannya itu adalah surat utang pemerintah kepada kita. Jadi kalau aku kerja keras menghasilkan produktifitas, pemerintah bayarnya pakai surat utang bernama Rupiah. Dengan nominal yang kita terima,  surat utang itu bisa ditukar dengan barang dan jasa senilai nominal itu. Tugas negara membayar dengan tersedianya sistem produksi barang dan jasa agar surat utang itu bisa dipertukarkan. “ Kata Ucok. Marni mengangguk.

“ Nah apa jadinya jika produksi barang dan jasa lebih sedikit daripada uang yang beredar? Terpaksa impor untuk dapatkannya. Tentu harga akan naik. Itu namanya efek inflasi. Bahasa vulgarnya, pemerintah default membayar utang sesuai nominal. Mereka tipu kita dengan janji. “

“ Mengapa tidak menghasilkan barang dan jasa yang melimpah ?  jadi harga harga bisa murah. “ Kata Marni. “ Ya itulah nama lain dari korupsi. “ Kata Ucok.

“ Contohnya Mas ? Kata Marni penasaran. 

“ Contoh, pemerintah lewat kebijakan stimulus mensuplai uang ke bank. Agar bank salurkan ke dunia usaha sehingga produksi barang dan jasa terjadi. Begitu sistemnya. Tapi tidak semua uang yang disuplai ke bank itu menghasilkan barang dan jasa yang efisien. Distribusi uang tidak menghasilkan dampak berganda secara luas disektor produksi. Karena lebih banyak masuk ke sektor non tradable, konsumsi dan lebih parah lagi, distribusi itu tidak adil. Hanya segelintir saja yang menikmati“ kata Ucok. 

“ Terus ..” Mata Marni sudah redup.

“ Contoh lagi, pemerintah mensuplai uang lewat APBN agar produksi barang dan jasa terjadi meluas. Tetapi 30% dana itu tidak masuk ke sektor produksi tetapi dikorup. Dari 70% belanja itu, proses sampai kepada tujuan hanya 50%. Karena belanja subsidi sangat mudah dikorup apalagi istilahnya sekarang perlinsos.  Padahal saat uang itu tercipta, sebenarnya adalah utang negara kepada rakyat. Nah, kalau pemerintah tidak bisa delivery barang dan jasa sesuai nominal, ya kita rakyat yang harus bayar lewat naiknya harga dan upah yang terdepreciasi akibat kurs melemah “

“ Terus kemana uang yang dikorup itu ?

“ Uang itu menumpuk di bank, di rekening segelintir orang yang menikmati fasiltas sumber daya. Menumpuk dalam bentuk rumah mewah, apartemetn mewah, dan segala yang mewah yang tidak produktif. Akibat dari skema uang itu, yang kaya semakin kaya karena menikmati bunga tinggi. Yang miskin semakin miskin karena harga naik akibat inflasi. Tapi karena dilakukan lewat kebijakan fiskal atau APBN dan moneter. Maka modus korupsinya jadi legal. Walau karena itu APBN defisit, utang semakin  membumbung  dan kurs melemah. “ Kata Suaminya. Namun Marni sudah terlelap dengan kepalanya bersandar di bahu suaminya.

Ucok membopong istrinya ke dalam kamar.  Dicium kening istrinya.  Banyak orang tidak tahu bahwa kemiskinan itu karena sistem yang culas oleh pemerintah yang brengsek. Namun bagi penguasa itu disebut politik. Hal yang dianggap biasa saja dalam politik kekuasaan dan demokrasi  Makanya buta politik itu sangat buruk sama seperti saat tikus gigit kepala Ayam yang sedang terkantuk,  dia tiup dengan lembut setiap usai menggigit kepala ayam. Sampai akhinya kepala ayam itu bolong dan otaknya diisap oleh Tikus. Ayampun mati dalam keadaan tertidur. Begitulah nasip rakyat yang buta politik dan mudah terbuai dengan janji populis.

***

Keesokan paginya, dengan lembut Ucok berkata kepada Marni. “ Izinkan aku hijrah ke negeri Jiran. Lamaran kerjaku diterima disana” Kata Ucok menyerahkan surat dari perusahaan PMA Singapore. “ Nanti setelah aku dapat Apartemen , aku akan jemput kamu dan anak anak. Boleh Ya Marni..” Sambung Ucok. Marni terkejut. Dia membayangkan suaminya selalu diam saat dia mengeluh dan ngomel karena penghasilan semakin  berkurang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ternyata selama ini suaminya melamun sambil merokok di teras, bukan pasrah tetapi berpikir untuk menyelamatkan masa depan mereka. 

“ Ya pergilah Mas. Pergilah. Tanggung jawab utamamu kepada kami,  bukan kepada negara dan bangsa. Walau kita masih harus bersukur negara sudah beri pekerjaan untuk hidup kita selama ini. Karena masih banyak sarjana di negeri ini yang nganggur. Saya ikhlas kamu hijrah. Saya dan anak anak akan selalu menanti Mas jemput ” Kata Marni. Dia persiapkan semua pakaian terbaik milik suaminya dan tak lupa dia siapkan bekal nasi bungkus untuk suaminya sarapan pagi di bandara. Ucok menangis saat taksi membawanya ke bandara. Mungkin dia selamat dari sistem yang korup yang memiskinkannya tetapi masih banyak yang tak berdaya dan pasrah menerima kenyataan yang tak ramah di negeri ini.