Friday, January 05, 2024

Tidak sampai ke muara

 



Dan rumah besar yang dulu kebanggaan akan jadi kurungan yang menyayat sepi. Para sahabat yang semakin berkurang karena sudah banyak yang pergi tak kembali lagi. Lantas untuk apa semua yang kita perjuangkan semasa muda? Harta ada tetapi tiada dirasa lagi. Kekuasaan sudah lama pergi seiring perginya kehormatan. Yang tersisa hanyalah sesal menghitung hari sampai kesudahan. Pada akhirnya kita akan pulang sendirian. 


Begitu yang aku sampaikan kepada Burhan. Dia tidak merasa bersalah atas kegagalan mengemban amanah melaksanakan program ketahanan pangan nasional. Tidak merasa bersalah rusaknya lingkungan dan berkurangnya hutan karena estate food. Tidak merasa bersalah dana APBN habis untuk yang sia sia. Yang jadi masalah dampak kegagalan itu memang tidak dipikirkan konsekuensinya. Kekuasaan telah membuat dia bebas berbuat dan memaksa orang harus memakluminya. Dan dia tetap diam seribu bahasa dengan jari mengepit cigar.


“ Semua negara pernah mengalami kegagalan bertani dalam skala besar dan tidak ada kerja besar tanpa kegagalan lebih dulu. “ kata Burhan dengan senyum srigala. 


“ Untuk kamu tahu. Estate food itu wahana investasi yang lahir dari laboratorium riset rekayasa tanaman. Perlu berkali kali gagal pilot proyek dalam skala kecil untuk sampai pada estate food berskala besar diatas ribuan hekar. Setelah itu estate food akan menjadi solusi melengkapi produksi pertanian secara tradisional. “ Kataku.


“ Maksud kamu?


“ Sebelum estate food digelar secara bersar besaran, harus ditentukan apa yang cocok untuk ditanam. Sebelumnya harus tahu kualitas dan kandungan hara tanah. Harus diketahui penyakit tanaman akibat monoculture dalam skala besar, dan harus tahu bagaimana mengantisipasinya. Antisipasinyapun harus tidak berdampak kepada kerusakan hara tanah dalam jangka panjang. Karena bumi ini tidak diwariskan kepada kita saja tetapi juga kepada generasi setelah kita. 


Trade off dari estate food yang monoculture adalah peningkatan produksi pangan. Itu memang menggoda sebagai crash program. Tetapi masih ada rangkaian proses yang harus dilalui. Harus ada tekhnologi tanam dan panen. Harus ada tekhnologi perawatan. Harus ada industri pengolahan dan tekhnologi penyimpanannya. Salah satu proses tidak dipenuhi, itu akan berujung gagal, Karena estate food adalah bertani dengan mindset industri. Setiap industri harus melewati proses well prepared. “ Kataku berusaha mencerahkan Burhan. Tapi dia hanya diam


Usia Burhan sudah tujuh puluhan. Meski wajahnya masih mencerminkan ketegaran, tapi semua itu tidak mampu menghadang tubuhnya yang ringkih. Kadang jalan harus pakai tongkat atau dituntun.


”Apa yang dapat dimaknai dari rumah besar. Tanah beratus ribu hektar. Sementara sekeping jiwa larut dalam lengang…,” Kataku kepada diri sendiri. Berharap dia mengerti.


“ Ya sering aku keluhkan itu. Mengapa tiga kali aku memohon mandat kepada Rakyat tetapi tidak juga kudapat. Sering perasaan itu mendatangi dan mengganggu ketenangan malam-malam mengantar tidur” Sekarang Burhan bicara. 


“ Mungkin itu yang kita lupa. Ya kita lupa. Bahwa suatu saat semua pasti pergi dan ditinggalkan. Dan kita kembali sendiri kepada Tuhan!.” gumam ku kembali tersenyum sendiri.


Kembali sunyi. Aku termenung sambil menatap ke jendela cafe berkaca lebar. Jendela cafe itu seakan sebuah bingkai tempat menatap hari dan waktu. Keramaian dan kesunyian. Keindahan dan kepahitan. Kebenaran dan kemunafikan. Segala yang bernama masa lampau, hari ini, maupun jelang esok, akan tergambar sebagai sebuah potret. Refleksi dari sebuah perjalanan yang dititahkan oleh Tuhan. Dan setiap pergulirannya akan menjelma menjadi gambar kehidupan.


Di luar Cafe, aku lihat hujan turun rintik rintik. Dulu ya dulu saat republik baru di proklamirkan. Bukan hujan air tetapi hujan peluru dari Belanda yang ingin return. Hujan air mata karena ayah, anak, istri mati diterjang peluru. Hujan prahara  kelaparan dan penyakit menular.  Tak terbilang para suhada mati. Tak terbilang batu nisan pahlawan tanpa nama. Semua karena hope keadilan sosial bagi semua. 


Berlalunya waktu, hope akan keadilan sosial terlupakan saat sulit dapatkan pekerjaan, bahkan sebagai kuli kotrak sekalipun. Tepaksa jadi jongos di negeri orang. Petani menjerit karena pupuk langka. Gas sebagai bahan baku pupuk juga langka dan mahal. Kata Presiden. Sementara SDA Gas dijual semua ke luar negeri untuk bayar hutang luar negeri. Hope di negeri sendiri sudah lama absurd sejak kedaulatan APBN tergantung SBN. Kedaulatan pangan menjadi bias saat pemerintah sibuk memenuhi stok beras lewat impor. Program pembangunan memakmurkan menjadi paradox.


“Kita harus memperbaiki gizi makanan anak anak agar mereka menjadi generasi hebat nantinya. Tahun 2045 usia republik ini akan masuk usia emas, 1 abad.  Kita akan jadi negara kaya. Indonesia emas. Itu berkat apa yang dikerjakan pemerintah sekarang sudah benar“ Kata Burhan.  Aku kadang bingung. Kadang ucapan-ucapan Burhan dan presiden sudah seperti orang meracau. Tapi sebagai rakyat kecil aku miris betapa malangnya mereka. Bukan saja tidak paham apa yang mereka katakan tapi juga tidak paham apa yang telah mereka lakukan. Mereka tetap merasa benar. Segala sesuatu terhadap tingkah dan lakunya terlihat berlebihan, kadang terkesan kekanak kanakan. 


Burhan berambisi jadi penghuni istana. Tak ada program yang jenial kecuali ingin memberikan makan semua siswa di negeri ini agar mereka cukup nutrisi dan pintar.  Tetapi dia tidak paham bila manusia bukan hewan, yang bisa dipabrikasi makan siangnya dengan rasa sama. Esensinya setiap orang harus punya kebebasan memilih konsumsi jenis makanan. Pintar? Kepintaran bukanlah kercerdasan yang bisa dipabrikasi lewat proses belajar dogma dan hapalan terstandarisasi. Tanpa kercerdasan, orang pintar hanya jadi domba belaka. Kecerdasan itu lahir dari literasi. Literasi itu nutrisi jiwa dan otak untuk manusia berakal. Apa gunanya anak pintar dan sehat kalau tidak berakal. Itu sama dengan beruk di hutan.


” Dunia akan terkejut saat tahun 2045 negeri ini sudah menjadi sedikit dibawah China dan India.!” ucapnya seakan-akan baru saja memenangkan sebuah pertarungan panjang. Itu terlihat dari wajah jenakanya yang menjelma berseri-seri penuh kesenangan. Wajah megalomania. Tapi Burhan mungkin lupa. Setiap kegagalan akan mewariskan bencana. Ketika nanti waktunya tiba tahun 2045, mungkin ia sama sekali tidak melihat bencana itu. Tidak menyaksikan lengang dan derita seperti rakyat Venezuela. Tak ada yang mengalir ke muara.


Kami berdua tersenyum saat mendengar biduanita di panggung melantunkan lagu “ Panggung sandiwara”


” Ketuaan adalah keniscayaan. Serupa usia. Atau mungkin waktu yang juga sudah tua. Pada akhirnya kita memang tak akan dapat mengelak dari kesalahan. Kehormatan di hadapan manusia  hanyalah sebatas keinginan. Apa pun selebihnya adalah Tuhan yang Maha Adil. Keadilan Tuhan itu seperti orang menatap matahari terbenam di kaki langit dari pangkal akanan. Dia tidak akan mencapai kaki langit namun dia bisa merasakan sinarnya “  ucapku.


Aku termenung. Usia republik sudah senja. Ibarat ibu tua yang hanya bisa berdoa berharap keajaiban tiba saat melihat sebagian besar anak anak yang antusias menanti almanak Pilpres. Saat semua janji manis didengungkan setiap hari dan teramat manis karena money politic tentunya. Setelah pemilu usai, ibu tua menatap photo pasangan Pilpres yang menjadi penghuni istana. Entah mengapa, mereka sama-sama tersenyum saat berfoto. Ibu tua menghela nafas panjang. 


Kulihat ibu pertiwi.

Sedang bersusah hati.

Air matanya berlinang.

Mas intannya terkenang.

Hutan gunung sawah lautan.

Simpanan kekayaan.

Kini ibu sedang lara.

Merintih dan berdoa



2 comments:

  1. Anonymous5:47:00 PM

    Menyayat hati bacanya bang

    ReplyDelete
  2. Anonymous11:17:00 PM

    Percakapan imaginer tapi apakah ini merupakan gambaran masa depan kita?

    ReplyDelete