“ Tidak mungkin dia akan bersedia bertemu kamu. Apalagi dia sekarang dalam genggaman pesaing kamu. Pemain hedge fund juga. “ Kata Tom kepada saya saat dalam kendaraan dari John F. Kennedy International Airport ke Conrad hotel di Manhattan NY. Tom sedang membahas target saya bernama Michael Sun. Dia warga Hong Kong. Memang bisnis ecommerce and logistic yang dia kembangkan sangat bagus value nya. Dia berniat akan IPO. Kedatangannya ke New York untuk menjajaki kemungkinan dua listing di Hangseng dan Wall Street.
Saya tidak begitu peduli dengan kata kata Tom. Orang AS memang mudah kalah dengan logikanya. Tida bagi saya. “ Temukan wanita ini. “ kata saya memberikan nama dan photo wanita itu. Tom memperhatikan dengan seksama. “ Saya kenal dia.” Kata Tom. Saya mengerutkan kening. Secepat itu.
“ Dia photograper. “ kata Tom cepat. “ Ada apa dengan wanita itu ?
“ Dimana saya bisa temui wanita itu ?
“ Kebetulan dia adakan pameran selama seminggu di sini”
“ Bagaimana saya bisa ketemu dia ?
“ Nanti akan saya cari tahu. Beri waktu sampai besok pagi” kata Tom. Saya mengangguk. Keesokan paginya Tom datang ke hotel saat breakfast “ Namanya Diana. Dia seniman. Kamu punya alasan bertemu dengan dia. Karena kritikus, Ricky seharusnya datang mengunjungi pameran tetapi mewakilkan nya kepada kamu. “Kata Tom menyerahkan buku profil tentang pameran. Saya tidak perlu tanya bagaimana Tom mengatur itu. Dia memang punya team yang jago soal itu.
***
Layar kecil yang menggantung di langit-langit kereta yang saya naiki menunjukkan tujuan stasiun berikutnya. Union Square Garden. Saya sedikit bergegas keluar dari kereta. Udara tak tertahankan dinginnya. Saya naikkan syal di leher. Pipi saya terasa mengeras membeku. Keluar dari stasiun subway, saya segera melintasi taman Union Square dan menuju ke arah 12th Street. Diana menunggu saya di toko buku Strand. Kami berjanji bertemu di section fotografi.
Saya segera naik ke lantai dua. Belum terlihat sesosok manusia pun di sana. Saya memutuskan untuk tetap menunggu. Di sana tampak sejumlah besar foto mayat korban peperangan. Bertumpuk seolah sisa jagalan.
“Indah bukan?” terdengar suara yang berdesis di telinga saya. Saya berbalik dan mendapati seorang wanita cantik. Rambutnya yang setengah ikal. Syal bercorak garis-garis abu-abu dan hitam tampak melingkar di lehernya. “Kamu Ricky ?” tanyanya.
“No… Saya Bandaro, Panggil saja B. Ricky tak bisa datang. Ia harus pergi ke LA siang ini.”
“Oh. Segala rencana saya langsung terburai. “ Katanya dengan sedikit kecewa.
“Saya krtikus dan juga kolektor photo. “Kata saya sambil lalu dan memastikan dia tidak perlu kawatir.
.
“ Apa pendapat kamu tentang photo ini ?
“ Terlalu cepat saya menilainya. Beri saya ruang dan waktu untuk menilai. “Kata saya. Dia menganguk. Tetapi dia tidak pernah jauh dari saya. Tak henti matanya memperhatikan saya mengamati setiap photo itu. Saya sendiri bingung. Mau nilai apa? Saya tidak paham photo. Bagi saya photo hanya rekaman peristiwa bisu. Setiap orang punya alasan berbeda menilai sebuah photo.
“ Ini photo saya ambil di Rwanda saat perang saudara. “ katanya.
“ Ya sayang sekali tekhnik angle foto nya terlalu focus kepada wajah kosong anak anak. Terlalu mendramatisir keadaan. Seharusnya, angel photo jangan close up. Agak menjauh dari wajah duka anak anak itu. Sehingga ada ruang tersisa yang bisa bercerita banyak hal” kata saya sekenanya. Dia melotot. Hampir tidak percaya akan kritik saya terhadap karya hebatnya. “ Ternyata anda lebih tajam dibandingkan Ricky. Saya harus belajar banyak dari anda” Katanya. Tapi saya tandai dalam brosur photo itu. Terbeli!
“Kamu membuatku tersanjung. Jarang kritikus berani membayar mahal setelah mengkritik habis”
“Saya hanya berusaha bersikap adil. Setidaknya saya menghargai niat dan tujuan kamu mengambil photo pada moment yang menyentuh rasa kemanusiaan.”
“Hmm… aku menghargai kejujuranmu untuk sebuah pertemuan pertama.”
“Yeah… itu aku,” ujar saya sambil tersenyum. Saya menjadi merasa sedikit menguasai keadaan.
Kami pindah ke sebuah kedai kopi di dekat situ. Sambil melihat orang-orang yang berjalan melintas bergegas melawan angin dingin, kami terlibat pembicaraan tentang pekerjaannya. Pentato dan pelukis tubuh. Sebuah pekerjaan yang menurutnya paling banyak berhubungan dengan kaum perempuan.
Perbincangan kami sangat menyenangkan. Terutama karena saya tak perlu mengisahkan tentang saya atau tentang dia. Kami mengomentari orang-orang yang lewat di depan kami, hingga mengapa orang-orang New York rata-rata menyebut pekerjaan mereka sebagai seniman. “Sebenarnya itu alasan bahwa mereka itu pengangguran. Tapi tentunya itu tak berlaku untukmu. Aku pernah melihat koreografimu tahun lalu. Karena itulah aku sangat ingin terlibat dalam effort mu,” kataku sambil menyeruput kopi latte.
Waktu serasa menguap saat bersamanya. Saya lirik jam tangan, dan ternyata sudah pukul 11 malam. Harus saya akhiri pertemuan dengannya sangat mengasyikkan. Ia segera menyadari keinginan saya untuk beranjak. Sebelum pergi, ia berjanji besok pagi photo yang sudah saya beli akan diantarnya ke Hotel.
“Ok akan sangat senang kalau kamu sendiri yang antar.” kata saya.
“Ok kalau begitu. Kita masih akan bertemu lagi?”
“Yup,” kata saya sambil memberikan senyum tipis.
“We’ll see,” bisiknya di telinga saya.
Keesokan paginya dia tidak datang mengantar photo yang saya beli. Sorenya ada orang yang mengantar photo itu ke kamar saya.. Saya pergi cafe malam hari. Benarlah, Saya lihat Diana sedang bersama Michael Sun. Dia agak terkejut ketika melihat saya dari kejauhan. Tapi dia tidak berani tersenyum ke arah saya. Dia tidak perlu bertanya mengapa saya ada di tempat semewah ini. Toh saya bukan hanya kritikus tetapi juga kolektor photo dan lukisan. Saya sudah pelajari karakter Michael Sun. Michael suka pacar yang cantik dan cerdas. Namun tidak mungkin membuat Diana nyaman. Michael bukan teman yang enak diajak bicara. Dia intropet namun jenius soal IT.
Kami bertemu lagi sepekan kemudian. Diana tampak berbeda. Tidak secara fisik. Lebih sebagai ekspresi. Meski ia tersenyum saat melihat saya, arah matanya seperti menembus tubuh saya. Saya biarkan ia terdiam cukup lama sambil memandangi burung-burung merpati yang berkumpul di dekat kakinya saat kami duduk di sebuah bangku di Central Park.
“Kamu pasti heran kenapa aku seperti ini,” cetusnya pelan seolah ia masih berada dalam dimensi waktu yang berbeda dengan tubuhnya yang saat ini duduk di sebelah saya. Saya hanya mengangkat bahu. Karena bagi saya, ia toh tak akan peduli dengan reaksi saya.
“Aku ingin bisa bermimpi lagi. Ada yang mencuri mimpiku. Aku baru menyadarinya setelah pertemuan kita. Sampai di rumah, aku ingin mengingatmu dalam mimpiku. Tapi aku tahu, aku tidak memiliki mimpi. Terakhir kali aku memilikinya saat aku berusia sepuluh tahun. Setelah itu aku tak pernah bisa bermimpi.” Katanya. Saya terkejut. Secepat itukah reaksinya. Terlalu melankolis dia. “ Sejujurnya tidak pernah ada orang tertarik membeli photo karyaku dengan harga yang aku tetapkan. Hanya kamu yang berani beli. Walau kamu kritikus tetapi kamu telah menjadikanku sempurna dengan mimpiku.” lanjutnya.
“Oh ya …?”
“Aku tak tahu. Mungkin penting. Untuk saat ini. Karena menurutku, hanya itu satu-satunya cara untuk menyimpan dirimu.” Dia akhirnya mengangkat kepalanya yang dari tadi tertunduk memandang ujung sepatunya yang menyaruk-nyaruk tanah. Kini ia memandang saya. Kami saling berpandang. Lama. Saya sendiri tak menghitungnya dalam hitungan detik, menit, atau jam.
Melihat matanya saya merasakan sunyi yang berkabut. Membutakan namun tak menyesakkan. Terasa dingin, namun tak sampai menggigil. Kami mengalihkan pandang saat setitik salju jatuh di pipi saya. Tangannya yang tak berkaus, terasa hangat saat mengambil sebutir salju itu. Kami melewatkan hari itu dengan memandang salju yang berjatuhan. Semua putih.
Kemudian Diana bercerita banyak hal secara detail tentang obsesi Miachael Sun yang ingin menikmati kemelimpahan wallstreet. Dia juga memberi tahu nama beberapa orang penting yang sering dijamu oleh Michael Sun di Restoran berkelas. Semua informasi mengalir begitu saja. Saya tak perlu rekam pembicaraannya. Saya sudah kuasai dengan cepat informasi itu.
“ Dari semua itu, Sun tidak peduli dengan obsesiku. Dia hanya pikirkan obsesia dia saja. Aku dipaksa mendengar semua keluhannya dan mimpinya. Lama lama aku bosan. Tetapi aku tidak siap untuk mandiri tanpa Sun. Dengan kamu beli photo buah karyaku, aku punya keyakinan aku akan sukses. Aku siap untuk meninggalkannya. “ Kata Diana.
***
“ Pastikan Solomon keluar sebagai standby buyer untuk listing Sun di Wallstreet. Kalau dualisting gagal. IPO nya di Hangseng akan sulit dapatkan harga terbaik. Kemungkinan kalau dipaksakan akan jatuh cepat harga sahamnya. Kamu bisa hit dia di Hanseng. Atau giring dia kesudut untuk no another alternative to objection” Kata saya.
“ Siap B “ kata Tom.
Saya kembali ke Hong Kong setelah 10 hari business trip di New York.
Tiga bulan kemudian. Michael Sun datang ke Tom. Setelah gagal dualisting dia berusaha meng- enrichment neracanya lewat peningkatan Aset. Dia perlu Hutang konversi dengan exit starategi lewat IPO. Dia tidak punya banyak pilihan saat Tom ajukan debt trap agreement. Karena itu pada saat IPO, kami dapat kuasai sahamnya dengan pengembalian 10 kali lipat dari jumlah utang konversi.
***
Setahun kemudian atau tahun 2011, saya bertemu lagi dengan Diana di pameran Photo international di Swiss. Dia peluk saya. “ I miss you” katanya. Malamnya kami bertemu di cafe untuk dinner. Di panggung terdengar lagu dilantunkan biduanita. Its just like i dreamed it would be. Maybe we are frozen in time. You are the only one i can see. I have looked all my live for you. Now you are here" Otomatis saya menyambut lagu itu pada penggalan "Now you are here" Dia merona wajahnya.
Kembali ke hotel. Sambil tetap menyusupkan kepalanya di dada saya, dia berbisik. “Seumur hidupku, aku ingin terlihat indah. Begitu indah untuk bermimpi tentangmu.” Malam itu saya akan menjadi mimpi Diana untuk selamanya. Karena setelah itu saya tutup file tentang dia. Setidaknya saya tahu dia sudah mandiri dengan passion dia. Dia akan baik baik saja.
Luarbiasa, bisnis jalan silaturahmi jalan 😁
ReplyDeleteSetiap wanita cantik selalu takluk dengan Mr. B😀
ReplyDelete