Tak sengaja aku membuka laci meja kantorku. Tadinya mau mencari pulpen. Yang kudapat malah surat darimu. Surat pamit bahwa kau harus hijrah ke Malaysia. Sepertinya kau tidak siap menatap wajahku ketika harus mengucapkan say goodbye. Pasti akan membuatku kecewa. Sampai bertahun-tahun kemudian. Hingga aku paham. Ingat, kenapa beberapa hari sebelum pergi, kau selalu memandangku dengan raut wajah muram. Sebuah keterpaksaan dan kekalahan. Hijrah sepertinya keniscayaan.
“ Ale, aku akan datang ke Jakarta. Apa bisa kita basobok” Demikian WA yang kuterima. Kau tahu nomor WA ku dari Blog. Ternyata kau pembaca setia blog ku. Konon waktu akan mampu mengurai segalanya, membuat air keruh menjadi kembali bening. Tapi, rasanya terlalu berat bagiku menafikan kesempatan melihat wajahmu kembali setelah 30 tahun disconnect.
Ingatanku seolah segar kembali menoleh ke puluhan tahun lalu, sewaktu Rezim Soeharto berkuasa. Kita pernah sama-sama dilempar ke dalam truk polisi karena dianggap menolak dan berkata tidak pada kekuasaan. Setelah peristiwa itu aku memilih menjauh dari aktifis pergerakan Islam. Namun kau masih kuperhatikan tetap rajin dalam aksi-aksi selanjutnya. Masih kokoh merapat dalam barisan. Masih berteriak sambil mengepalkan tinju. Dan tetap lantang menyanyikan mars ketidakadilan para penguasa; kita pasti menang!
Kadang aku menerka-nerka, betulkah kau waktu itu bicara atas dasar amar ma'ruf nahi munkar, bukan karena gelisah mencari jati diri. Bila saja sempat kutanyakan hal ini padamu, pasti matamu seolah keluar dari kelopaknya, lalu dengan ganas menyerangku sambil mengutip hadith sampai firman Allah. Sumpah, kadang aku suka pada bagian dirimu itu. Berapi-api dan gagah. Pantas saja kau sering mendapat tugas sebagai koorlap sewaktu aksi.
Kau seperti Leila Khaled pejuang wanita Palestina. Apa yang kau perjuangkan selalu dianggap sinis oleh sebagian orang. Seperti di mata banyak orang di Barat, “ada dua stereotip yang tertanam kuat mengenai perempuan Palestina: dia adalah Leila Khaled yang sarat granat atau dia adalah seorang pengungsi buta huruf yang rela melahirkan anak laki-laki untuk revolusi. Generalisasi ini mungkin menjelaskan lebih banyak tentang persepsi Barat daripada realitas Palestina. Begitu juga perjuanganmu di sini.
“ Aku bukan Leila Khaled. Tapi ada hal yang luar biasa harus diteladani. Apa itu? keikhlasan. Khaled menjadi sosok yang dikagumi, mempesona, dan menjadi inspirasi. Tapi dia mampu mengalahkan nafsu dipuja. Dia menjauh dari dunia selebritis ala politisi popullis. Dia menjadikan dirinya hanya hamba Allah. Dan di dunia yang penuh kemunafikan dan demoralisasi politik, dimana korban terbesar adalah rakyat miskin, ujian terberat adalah keikhlasan berjuang. Aku hanya perempuan biasa yang mencoba membuktikan bahwa perjuangan menegakkan kalamullah tida boleh berhenti, tapi kadang terbersit juga ingin dipuja seperti ustad tenar.,” katamu dengan nada getir.
Lalu aku pasti akan terburu mengiyakan, khawatir kalimatmu kepanjangan. Bila tidak, kau pasti dengan sukacita siap berperang kata denganku. Bisa hancur berantakan pertemanan kita bila kuladeni segala keberangasanmu itu. Padahal paling tidak, perlu waktu satu bulan berjauhan sebelum kita saling menyapa lagi.
Kau memang tipe perempuan pemberani. Aku paham itu. Tak mungkin rasanya kau bisa terlibat dalam organisasi kampus, LSM, dan organisasi lain di masyarakat bila hanya mengandalkan bicara dan bentuk fisikmu yang cantik.
Tak ada suatu hasil terbaik tanpa konkret diperjuangkan, no pain no gain! ujarmu. Hingga saat ini, sejak tahun 1967 sudah ada 10.000 perempuan Palestina yang ditangkap. Mayoritas dari mereka mengalami penyiksaan psikologis dan perlakuan buruk selama penangkapan dan penahanan mereka, seperti pemukulan, pelecehan verbal, penggeledahan telanjang, pelecehan seksual dan kekerasan. Selain hidup dalam kondisi yang berbahaya dan sering kali dilarang untuk dikunjungi, perempuan juga mengalami tekanan dan degradasi akibat penggunaan teknik patriarki yang dilakukan oleh interogator untuk mendapatkan pengakuan. Interogator dan penjaga seringkali adalah laki-laki, hal ini bertentangan dengan hukum internasional yang menetapkan bahwa tahanan perempuan hanya boleh dijaga dan diperiksa oleh penjaga perempuan.
Mungkin kegelisahan semacam itu yang membuatmu tabah. Beberapa pengalaman mu sering kali kau bagi padaku saat kita punya kesempatan menghabiskan waktu di cafe berdua. Tentang seorang anak perempuan belasan tahun yang dijual ibunya, atau bagaimana cara perempuan negeri ini yang sukses menghabiskan uang tamunya, para lelaki tua yang sebetulnya sangat pelit pada anak-istrinya. Kita lalu tertawa bila pada episode lucu, dan meringis pada episode yang tragis.
“Mereka, bagaimanapun adalah guruku. Orang-orang yang gagah berani hidup sekaligus berani mati. Kau pasti masih ingat Chairil pernah terpesona pada orang macam mereka,” katamu memukauku di sela suara alunan lembut musik
“Ya benar, penyair pemberontak itu pernah memang mengungkapkannya, ‘Aku suka pada mereka yang berani hidup!’ itu kan maksudmu?” ujarku menimpali.
Bila bicaramu sudah seperti ini, maka pasti kutanggapi dengan serius karena saat seperti inilah kau terlihat begitu indah. Puisi juga kadang bisa membuatmu bertingkah gila. Seperti waktu kau ajak beberapa kawan melakukan aksi dadakan di depan sebuah gedung pertunjukan. Waktu itu almarhum Rendra tampil membaca karya-karyanya.
Aku heran kenapa masih bisa mengingat begitu banyak hal konyol dalam dirimu. Mungkin kau memang kawan perempuan paling aneh yang pernah kutemui. Yang selalu ingin mengemudikan motor bila kita pergi berdua. Yang mengajariku berpuisi tentang Tuhan, sementara bulir arak terserak di seputar bibirku. Mungkin kau membayangkan saat itu, aku bagai seorang Abunawas, hedonis yang berputar arah menjadi seorang sufi lalu membuat syair menggetarkan dalam Al I’tiraf. Atau seperti Sutardji Calzoum Bahri yang bersyair tentang Tuhan dengan mulut penuh busa bir.
“Aku mungkin brengsek, namun bukan seorang ateis,” ujarku sambil menghabiskan bir di botol.
Sekarang, setelah puluhan tahun berlalu. Kekuasaan negeri ini pun sudah beberapa kali berganti. Kurasa segala kebadungan, kebrengsekan, dan kenekatanmu pasti sudah banyak berkurang. Berubah seperti juga banyak kawan seperjuangan kita dulu pun berubah. Sebagian ada di partai, sebagian memakan mentah-mentah apa yang dulu mereka maki-maki, dan sisanya tak punya cukup alasan lagi untuk tetap berjuang.
Tapi, kuyakin kau dalam hal ini masih tetap seorang pemberontak. Seperti kuduga sebelumnya, sikapmu memilih tinggal di Malaysia sebenarnya bukan sekedar mencari suasana baru. Bagimu dimanapun bumi Allah adalah ladang ibadah untuk tegaknya kalamullah. Ketidak adilan harus diperangi. Dengan ikhlas.
“Setelah dari Malaysia, selama bertahun-tahun aku hidup seperti hippies. Berkeliling ke beberapa negara di Eropa sana. Bergabung dengan Amnesti Internasional, ikut program Greenpeace. Berteriak sebebasnya, melakukan semua yang kuingin, sampai kemudian aku rindu pulang dan menyadari bahwa tempatku memanglah bukan di sana. Alangkah bodohnya aku jika meninggalkan negeri yang sering membuat iri bangsa-bangsa lain ini,” dengan datar kau bercerita.
Agak lama kita kemudian terdiam tanpa kata-kata. Masing-masing terdiam dalam pikiran masing masing. “Lalu sebenarnya apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku agak kaku. Sebenarnya kalimat itu terdengar terlalu kaku untuk kedekatan kita, terutama setelah lama tidak bertemu. Walau kau tidak lagi sesegar dulu, namun sorot mata tajam dan cemerlang itu sepertinya tak pernah padam.
“Aku ada acara di Jakarta. Kawan-kawan mengundangku menjadi pembicara mengenai eksploitasi alam di Borneo. Pengosongan Pulau Rempang untuk kepentingan investasi asing. Perjuangan membela kehormatan adat dan suku melayu. Kupikir, aku harus bertemu denganmu. Setelah tahu kau ada di Jakarta, kusempatkan mampir menemuimu sebelum terus ke Malaysia,” perlahan sekali kau bertutur.
Kita terdiam lagi beberapa waktu. “Seperti yang kubilang, aku memang bukanlah orang taat. Hanya saja pernah seorang kyai berkata padaku bahwa satu hikmah yang terdapat dalam beberapa ritual keagamaan kita adalah silaturahmi. Orang yang berkali-kali pergi haji, dan selalu bersujud serta membaca kitab suci, belum tentu baik di mata-Nya bila hubungan dengan sesamanya buruk. Itulah yang membuatku rindu bertemu dengan mu. Tapi aku tak punya keberanian mencarimu. Jadi, maukan kau memaafkanku?”
“ Ya ampun. Alangkah hebatnya dikau Ale. Untuk kesekian kalinya kau mengajariku tentang memaafkan dan kelapangan hati. “ katamu. Tanpa mengindahkan tamu cafe itu, kugenggam tanganmu dan kau berbisik dekat sekali ke telingaku, “ seharusnya aku yang pertama meminta maaf, bukan menunggumu untuk mengatakannya. Kau sudah menjelma jadi kapitalis, tetapi humanitarian kapitalis. Kesalehan sosial lewat korporat itu lebih bernilai daripada ibadah ritual. Perjuangan kaum sufi di ranah kapitalisme. Pilihan yang tepat dan seharusnya dari dulu aku tidak merendahkan pilihanmu, Ale. “
“ Pulanglah ke Indonesia. Bukankah tempat kelahiranmu Surabaya. Bertarunglah di medan legislasi bersama kaum nahdliyin. Aku akan biayai kalau kau mau nyaleg. Aku punya teman elite partai. Di partai apa kau maunya. Pilih saja.. “ kataku. Kau tidak merespon kata kataku. Kemudian hening. Aku tetap menanti response mu. Akhirnya kau hanya menghela napas panjang seraya berkata. “ Ale, aku udah 62 tahun. Aku tidak muda lagi. Biarlah aku damai di tanah Jiran. Namun cintaku tetap kepada ibu pertiwi, kepadamu, tentunya."
Dia dibesarkan dilingkungan Nahdliyyin to Babo ?
ReplyDeleteSalut dgn perjuangan perempuan. Sehat selalu ya walau di negri jiran. Terus berdoa dan berjuang dgn cara apapun demi NKRI
ReplyDelete