Setahun sebelum blokade atau tahun 2006 saya berkunjung ke Gaza bersama Anna sahabat saya di ICF. Letak Gaza di sepanjang Laut Mediterania, di timur laut Semenanjung Sinai. “ Kamu tahu ” Kata Anna “ Tadinya Gaza itu bagian dari koloni Turki Usmani sampai berakhirnya perang dunia pertama tahun 1918. Setelah itu, wilayah Gaza menjadi bagian dari mandat Liga Bangsa-Bangsa. Sementara Palestina di bawah kekuasaan Inggris. Sebelum mandat ini berakhir, Majelis Umum PBB pada bulan November 1947 menerima rencana pembagian Palestina-Arab-Yahudi di mana kota Gaza dan wilayah sekitarnya akan dibagikan kepada orang-orang Arab.
Mandat Inggris berakhir pada tanggal 15 Mei 1948, dan pada hari yang sama Perang Arab-Israel dimulai. Pasukan Mesir segera memasuki kota Gaza. Akibat pertempuran sengit pada musim gugur tahun 1948, sebagian besar wilayah Palestina yang dikuasai Arab berhasil direbut Israel. Menyisakan sebidang wilayah sepanjang 25 mil dan lebar 4–5 mil. Daerah ini kemudian dikenal sebagai Jalur Gaza. Dalam Perang Enam Hari bulan Juni 1967, Jalur Gaza kembali direbut oleh Israel, yang menduduki wilayah tersebut selama seperempat abad berikutnya “ Kata Anna. “ Namun pendudukan Gaza oleh israel bukan tanpa perlawanan dari Rakyat Palestina, seperti contoh gerakan intifāḍah. Dan karena itu atas dasar perjanjain Oslo tahun 1994, Israel memulai pengalihan kekuasaan pemerintahan secara bertahap di Jalur Gaza ke Otoritas Palestina (PA) yang diwakili oleh PLO.” Kata Anna.
Yang saya rasakan pertama kali menginjak kaki di Gaza adalah udara yang sejuk. Walau Jalur Gaza ini terletak di pesisr pantai yang relatif datar. Namun suhu wilayah berkisar sekitar 13 derajat celcius dan 20 derajat celcius. Sejak awal, masalah ekonomi dan sosial utama di wilayah Gaza adalah kehadiran sejumlah besar warga Arab Palestina. Pengungsi yang hidup dalam kemiskinan ekstrem di kamp-kamp kumuh. Pemerintah Mesir tidak menganggap wilayah tersebut sebagai bagian dari Mesir dan tidak mengizinkan para pengungsi menjadi warga negara Mesir atau bermigrasi ke Mesir atau ke negara-negara Arab lainnya di mana mereka dapat diintegrasikan ke dalam masyarakat. Israel tidak mengizinkan mereka kembali ke rumah mereka sebelumnya atau menerima kompensasi atas kehilangan harta benda mereka.
Sebelum tahun 1996, sepersepuluh penduduk Gaza bekerja kasar di Israel. Pertanian adalah tulang punggung perekonomian penduduk, dan hampir tiga perempat wilayahnya ditanami tanaman di lahan irigasi. Agro industri juga tumbuh. Mereka bisa ekspor ke Eropa dan pasar lain atas dasar izin dari Israel. Ketegangan politik dan pecahnya kekerasan sering kali menyebabkan pemerintah Israel menutup perbatasan untuk waktu yang lama, sehingga banyak warga Gaza kehilangan pekerjaan. Akibatnya, muncullah industri penyelundupan yang berkembang pesat, berdasarkan jaringan terowongan bawah tanah yang menghubungkan sebagian Jalur Gaza dengan negara tetangga Mesir. Terowongan tersebut memberi warga Gaza akses terhadap barang-barang seperti makanan, bahan bakar, obat-obatan, elektronik, dan senjata.
Paska kesepakatan Oslo, dari tahun 1996 sampai 2006, Fatah mendominasi politik Palestina (PA). Fatah memang eksis sejak tahun 1950an. Selama rantang waktu itu politik tidak sepenuhnya stabill. Fatah harus berhadapan dengan Hamas dan kelompok lainnya yang kecewa karena PA dinilai korup dan lemah terhadap israel. Tapi roda ekonomi menggeliat. Walau produksi pertanian menurun 19%, namun pada tahun 2006 sektor ini mempekerjakan 80% lebih banyak orang dibandingkan tahun 1996. Demikian pula, nilai tambah manufaktur menurun 7% selama 10 tahun, namun lapangan kerja di sektor ini meningkat sebesar 3%. Pemerintahan koalisi paska pemilu 2006 yang berumur pendek berakhir pada bulan Juni 2007 setelah Hamas mengambil alih Jalur Gaza. Kemudian, kabinet darurat yang dipimpin Fatah mengambil alih Tepi Barat.
Sejak pengambilalihan Gaza oleh Hamas pada pertengahan Juni 2007, Israel blokade Gaza. Tahun awal blokade 2007 saja , lebih dari 3.190 bisnis di Gaza telah ditutup. Sekitar 65.800 pekerja juga diberhentikan. Hingga 54% lapangan kerja di Gaza dihasilkan oleh sektor swasta, mewakili lebih dari 100.000 lapangan kerja. Sepertiga lapangan kerja hilang. Meskipun ada seruan dari Presiden PA agar Hamas melepaskan posisinya di Jalur Gaza, wilayah tersebut tetap berada di bawah kendali Hamas dan semakin lama semakin memburuk keadaan ekonomi dan sosialnya.
Sangat mengerikan kehidupan setelah di blokade Israel. Kemanusiaa terhentak begitu saja akibat konflik senjata. Pengangguran hingga mencapai tingkat 50% yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan menggunakan data pendapatan rumah tangga, Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) melaporkan bahwa 84,6% rumah tangga hidup di bawah garis kemiskinan. Selain itu, 53% rumah tangga Gaza mengalami penurunan pendapatan lebih dari setengahnya karena ketidakmampuan Otoritas Palestina untuk membayar sebagian besar gaji pegawai negeri.
Bank Dunia memperkirakan bahwa 71% pegawai PA berada di bawah garis kemiskinan, dan 46% tidak memiliki cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sejak pengambilalihan Gaza oleh Hamas, dukungan donor telah dikurangi atau dihentikan, namun pembayaran gaji bagi sebagian besar pegawai PA telah dilanjutkan. Tahun tahun selanjutnya sampai kini, kehidupan sebagian besar masyarakat di Gaza sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan.
***
Israel marah besar atas serangan mendadak HAMAS pada 7 oktober 2023. Dalam serangan itu, pasukan Hamas menyandera tentara Israel. Israel membalas. Pesawat udara membomdir Gaza. Listrik dipadamkan. Ini membuat Jalur Gaza menjadi gelap dan memperburuk bencana kemanusiaan yang sedang berlangsung. Pemadaman listrik akan berdampak parah pada layanan penting, akses terhadap air bersih. Peralatan medis RS tidak bisa berfungsi. Padahal RS sangat diperlukan untuk korban pemboman. Hamas memang salah. Tetapi rakyat Gaza tidak salah. Seharusnya tentara Israel gunakan pasukan para komando untuk memburu HAMAS dan membebaskan sandera. Berdasarkan hukum internasional, tidak boleh membuat mereka menderita atas tindakan yang tidak berperan dan tidak dapat mereka kendalikan.
“ Banyak anak anak lahir dari kamp pengungsi. Mereka menjadi fedayeen, gerilyawan Arab yang beroperasi melawan Israel. Hidup dalam keadaan terzolimi memang bibit unggul melahirkan pejuang gagah berani tanpa takut mati. Timbul dendam terhadap israel. Sehingga tidak pernah kekurangan gerilyawan. Mati satu tumbuh seribu. Dan mereka inilah yang dimanfaatkan oleh Hamas secara politik untuk memperjuangkan hak hak bangsa Palestina. Ini bukan soal perang agama atau anti semit terhadap Yahudi. Melainkan perlawanan untuk keadilan dan kemanusiaan. Itu udah berlangsung sejak tahun 1950an. Kunci penyelesaian menyeluruh adalah penuhi Hak Asasi Bangsa Palestina. That was all ” Demikian kata Anna 17 tahun lalu.
***
Saya ngobrol dengan Ira. Dia bawa temannya. “ Bagaimanapun saya menyesalkan serangan Hamas terhadap kota kota di Israel. Itu sudah seperti teroris “ Kata Teman Ira. Dia profesor. Tentu terpelajar. Saya diam saja. “ Bagaimanapun cara cara kekerasan itu indentik dengan teroris dan kaum radikalis” Lanjutnya. Dia juga menjelaskan hasil pantauanya lewat Youtube dan berita media massa akan kekejaman aksi serangan Hamas kepada penduduk sipil Israel.
Saya tatap dia lama. Akhirnya saya tersenyum pahit. Betapa tidak. Bagaimana mungkin orang terpelajar yang profesor bisa punya persepsi yang tidak holistik atas masalah Palestina yang sudah berlangasung setengah abad lebih. Saya geleng geleng kepala. Dia malah tersenyum puas dan percaya diri akan sikapnya. Rasanya saya ingin segera pergi dari hadapan Ira dan temannya. " Anda pernah ke Gaza" tanya saya. Dia menggelengkan kepala. " Saya sudah" kata saya.
" Gimana pendapat anda" tanyanya.
“ Coba andaikan kita. “ Kata saya beranalogi. “ Kamu tinggal di Pulau Galang. Kamu tidak berhak punya KTP sehingga kamu tidak punya legitimasi apapun sebagai warga negara. Kemana mana engga bisa pergi. Karena sekeliling pulau di tembok. Punya rumah tapi tidak ada legitimasi dan tiada jaminan fasum. Kalaupun ada listrik dan air, kapanpun bisa dicabut fasilitas itu tanpa ada hak protes. Tidak punya pekerjaan. Kalaupun ada kerjaan, itupun tidak ada hak menerima upah dan tidak ada pilihan. Nah bayangkalah bagaimana kehidupan kamu di pulau itu? Kata saya.
Teman Ira terdiam.
Di Gaza, dari 10 orang 9 orang hidup dengan makan roti basi berkutu dan air tercemar. Dari 2,2 juta rakyat Gaza, 80% hidup dari bantuan kemanusiaan. Itu berlangsung 15 tahun lamanya sejak Gaza di blokade israel. Saya rasa kalau rakyat tidak melawan dan berontak, mereka lebih bego dari monyet. Padahal Gaza itu bagian dari tanah Palestina dimana mereka dan buyut mereka dilahirkan. Kalau ada orang luar menyalahkan rakyat Gaza melawan, itu artinya empatinya sudah mati. Lebih jahat dari monster. “ Sambung saya. Teman Ira terkejut dengan kata kata saya.
“ Ini kan masalah agama” kata teman Ira. “ Orang jadikan konflik palestina untuk cari donasi dan memperkaya diri sendiri” lanjutnya.
“Ini bukan soal agama. Orang Yahudi saja tidak setuju dengan kebijakan israel atas Gaza. Ini soal kemanusiaan” Kata saya tegas.
“ Tapi kan tidak harus dengan kekerasan, apalagi menyerang“
“ Duh orang tertindas itu apapun dia lakukan. Namanya orang lemah. Semut ajan menggigit kalau diinjak gajah. Seharusnya orang kuat dan terpelajar yang tahu diri. Pikirkan orang lemah dan jaga mereka agar mereka punya hak hak dasarnya. Nah yakinlah tidak akan ada konflik. Ya seperti Belanda yang legowo keluar dari Indonesia dan memberikan hak kepada rakyat Indonesia untuk merdeka. Toh kita bisa berdamai dengan Belanda. Bahkan sampai kini, sabun, detergen, sikat gigi kita masih bergantung dari unilever perusahaan Belanda” Kata saya berusaha bijak.
“ Tapi cara Hamas itu cara barbar” Kata teman Ira.
“ Lantas israel yang memblokade Gaza, kota dengan penduduk diatas 2 juta selama lebih 15 tahun itu bukan barbar? Kemana sikap objektif kamu? Kata saya ketus.
Dia tersenyum sinis.
Sehebat apa sih kamu ? sekaya apa sih kamu. Sepintar apa sih kamu? Sampai sebegitu teganya merendah semangat orang berjuang untuk hak yang paling esensi sebagai manusia. Dan sampai segitunya paranoid dengan niat orang ingin membantu. Jangan terlalu sombong jadi orang. Tirulah Jokowi yang langsung bersikap agar Israel menghentikan serangan ke Hamas. Kalau tidak paham masalah dan tidak bisa bantu, lebih baik diam! “ Kata saya menutup pembicaraan dan berlalu.
????!!!
ReplyDelete