Friday, September 29, 2023

SDA itu kutukan...

 




Banten harus dikalahkan. Tapi bagaimana? kas sudah hampir habis karena perang delapan tahun. Selat Sunda tidak pernah bisa dikuasai Kompeni. Pasukan Banten begitu kuat. Kesultanan Banten mencoba membikin kapal-kapal besar yang dilengkapi baterijj, barisan meriam, untuk menandingi kapal-kapal VOC. Prajurit yang dipimpin para kiyai yang gagah berani. Ternyata tidak semudah menaklukan Mataram. Trunajaya. Lelaki itu telah tewas di tangan para pembesar Mataram. Kini ancaman satu-satunya tinggal Banten. Darimana uang untuk terus berperang. ini sudah berlangsung 8 tahun. Belum juga ada tanda tanda Banten takluk. Meski kompeni memonopoli perdagangan opium namun itu tidak cukup kas terkumpul untuk biaya perang. 


Demikian Tuan van Goens berpikir keras di meja kerjanya.  Dia berusaha menemukan siasat yang jitu untuk memenangkan perang. Seorang opsir tiba-tiba mengetuk pintu. “Tuan Gubernur, para penambang telah tiba di pelabuhan,” kata opsir bernama Heinrich Schumann dengan sikpa hormat sempurna. Mata Tuan van Goens sekonyong berbinar. Aha..ini solusi. Ya emas. Solusi untuk dapatkan uang untuk biaya perang menjatuhkan Sultan Ageng. Dia memang meminta para penambang dari Sachsen untuk mencari emas di Hindia.


***


Dari geladak, Henze bisa melihat kapal melepas sauh di pelabuhan Batavia. Ia ingin lekas-lekas menjejakkan kaki di pantai, minum bir dan mengisi perutnya dengan makanan lezat. Sudah sejak berbulan-bulan lalu ia kehilangan selera dengan masakan juru masak kapal. Delapan bulan lalu seorang utusan VOC dari kantor pusat Amsterdam datang ke Sachsen dan meminta para penambang bekerja untuk VOC di Sumatera. Henze bersama ketujuh belas awaknya dan 5 ahli tambang diminta mencari emas di sana. 


Malamnya Henze dan kelima kawannya makan dengan lahap di cafe dan restoran itu. Dia bertemu dengan Heinrich Schumann. Yang bercerita panjang lebar, membangga-banggakan keberaniannya bertualang di Hindia selama belasan tahun. Kepada Henze dan kawan-kawan, ia mengaku berasal dari Duesseldorf. Kehidupan yang sulit memaksanya mengadu nasib di Hindia, bertempur di banyak medan bersama Mayor Isaac de Saint-Martin, lelaki Perancis penggemar lukisan yang tersohor piawai menyusun siasat. Tapi sebuah sabetan parang saat pertempuran di Ternate membikin kaki kirinya invalid seumur hidup. Kompeni tak mau lagi memakainya. Setahun lalu, dengan meminjam uang dari rentenir ia membikin restoran Rhine. 


Henze hanya mendengar tanpa reaksi apapun. Apalagi diceritakan  oleh Heinrich Schumann dalam keadaan setengah mabuk. Dia hanya senang melihat piring 5 ahli penambang itu licin. Menu restoran ini tak terlampau mewah, tapi masakannya cocok di lidah mereka. Meski emas adalah penyebab dirinya terlibat dalam petualangan, tapi itu bukan satu-satunya alasan kenapa dirinya mau pergi ke Hindia. Tujuan utamanya adalah menikmati tubuh wanita. Noni Hindia Belanda. Blasteran Belanda pribumi. Kecantikannya dikabarkan pula oleh para pelaut dan orang-orang di Tanjung Harapan, Ceylon, dan bandar-bandar lain sewaktu mereka singgah, “Het paradijs op aarde.” Secuil firdaus yang jatuh ke dunia.


“Adakah perempuan Eropa di kapal kalian?” tanya Schumann dengan bahasa Jermannya yang sudah kaku.


“Istri atasan kami, Nyonya Olitzsch,” sahut Henze


“ Sudah lama saya mendambakan seorang istri Eropa. Perempuan Eropa yang tinggal di Batavia terlampau sedikit. Setiap kali mereka turun dari kapal, para lelaki Eropa yang kesepian selalu berebut menyunting mereka. “ kata Schumann.


“Dari semua lelaki di Hindia, Tuan Gubernurlah yang paling beruntung,” kata Schumann kemudian. “Meski ada istri, ia bisa dengan mudah mendapatkan perempuan lain, dan entah mengapa dia suka sekali wanita pribumi dan lebih bernafsu dengan wanita jawa blasteran Belanda.”


***

Henze tengah celingukan di depan sebuah rumah saat seorang lelaki bersuara berat menegurnya dari balik pagar. Ia rada menyesal karena tadi memilih jalan-jalan sendiri, meninggalkan kawan-kawannya di klinik. “Kau orang baru?” tegur lelaki itu. Henze tak lantas menjawab. Ia menoleh kanan-kiri, takut-takut teguran itu bukan buat dirinya. Tahu tak ada orang lain di dekatnya, ia lalu menunjuk ke arah dadanya sendiri. “Aku?”


“Iya. Betul kau,” kata orang di balik pagar. “Kau orang baru? Kulihat kau seperti kebingungan.”


“Betul, Tuan. Baru seminggu aku tinggal di kota ini. Aku sedang mencari jalan pulang.” Henze mendekat ke arah pagar.


“Ah kau bukan orang Belanda. Logat Belandamu buruk sekali.”


“Aku orang Sachsen. Baru sebentar belajar bahasa Belanda.”


“Sachsen?”


Kemudian keduanya mengenalkan diri. Pieter Mossel, nama lelaki itu, pedagang budak yang cukup makmur di Batavia. Ia mengajak Henze untuk mampir. Tak biasanya ia mengajak orang asing mampir ke rumahnya. Kali ini tiba-tiba saja ia ingin mendengar kabar Eropa yang telah ditinggalkannya lebih dari dua puluh tahun silam.


“Jadi apa pendapatmu tentang kota ini? Tak terlampau buruk, bukan?” Mossel berkata setelah Henze menceritakan Eropa yang dilihatnya terakhir kali.


“Entahlah…. Sudah dua minggu kapal ke Sumatera belum datang. Belum ada kabar kapan kami berangkat.” Ia menundukkan wajah. Sejurus kemudian ia meneruskan, “Beberapa kawanku meringkuk di klinik. Di sini, cuaca tropis malah memperburuk sakit mereka.”


“Hanya yang kuat yang bertahan,” Mossel menyela.


“Kudengar di sini juga sulit mencari perempuan. Kebetulan saya perlu sedikitnya 15 budak untuk kerja di penambangan Sumatera. “ Kata Henze kepada Tuan Mossel.


Mossel tak menjawab. Air muka lelaki itu berubah murung.


***


Seorang opsir datang terengah-engah masuk ke cafe dan Bar. Ia membuka topinya dan lekas memesan minuman. Pelayan restoran segera menghampirinya dengan membawa bir dalam gelas besar. Seperti orang kehausan, opsir berwajah pucat itu lantas menandaskan bir di gelasnya dalam dua tegukan. Ia lekas meminta minuman yang sama kepada si pelayan. Sang pemilik restoran yang mengintip dari sejarak segera menghampirinya.


“Opsir,” sapa Schumann, “siang-siang sudah minum. Gadis yang kau incar pasti jatuh ke pelukan lelaki lain.” 


Opsir itu mendongak. Ia tertawa pelan sebelum menanggapi omongan Schumann. “Bukan perempuanku, tapi istrinya Tuan Mossel.”


“Mossel? Pengusaha budak?”


“Ya,” jawab opsir itu. “Dan yang lebih memalukan, istrinya jatuh ke pelukan budak laki-lakinya.”


Schuman terbahak. Ia menarik kursi di hadapan opsir itu, lantas duduk di situ. “Sudah lama aku tak mendengar cerita menggelikan. Lantas bagaimana nasib Mossel?”


“Ia mati gantung diri.”


“Semoga Tuhan menerimanya di surga,” kata Schumann seraya membikin tanda salib.


“Perempuan adalah sumber bencana.” Kata opsir itu. Schumann tak menyahut. Ia tak begitu setuju dengan kata-kata opsir di hadapannya.


“Kisah menggelikan ini menyeretku ke dalam masalah,” ujar opsir itu lagi. “Aku harus mencari di mana budak itu bersembunyi.”


“Bersembunyi?”


“Ia kabur dari pelukan janda Tuan Mossel dengan menggondol perhiasan dan uang tak sedikit. “ Kata opsir dengan geram. “ Kau tahu uang itu untuk apa? Lanjutnya. Schumann  menggelengkan kepala. 

“ Untuk membebaskan para budak.” kata opsir dengan mata marah.


“Lalu apa masalahnya?”


Opsir itu tak langsung menjawab. Ia meneguk bir yang baru saja diantarkan ke mejanya. Schumann mengernyitkan dahi.


“Nah dengan uang dan perhiasan itu, dia gunakan menyuap tangsi militer Belanda untuk dapatkan senjata dan amunisi,  membantu pasukan Sultan Ageng berperang melawan kompeni,” kata opsir itu meneruskan.


Henze mendengar pembicaraan itu. Dia membayangkan Nyonya Matje, istri pemilik kapal yang ikut berpetualang ke HIndia Belanda.  Dia kangkangi berkali di kapal itu dan akhirnya dia lupakan.  Mati saat melahirkan bayi haramnya. Setelah itu Tuan Olitzsch  merasa bersalah atas kematian istrinya. Karena dia tak bisa lepas dari pagutan vagina juru masak budak wanita asal Tiongkok. Akhirnya bunuh diri juga.


***


Di tengah samudra, sebuah kapal berbendera Belanda terapung-apung menuju Sumatera Barat. Berdiri di geladak seraya menatap hamparan air yang biru, Henze membiarkan angin laut menampar-nampar wajahnya. Seseorang akan melihat kepedihan pada matanya yang remang-remang. 


Masih terngiang Schumann mengucapkan belasungkawanya delapan hari lalu. Henze datang ke Cafe mengabarkan kematian semua ahli penambang di klinik. Tanpa sempat memelototi bongkahan-bongkahan emas di Sumatera. Kini tersisa sembilan penambang bukan ahli, termasuk dirinya, yang akan mencari emas tanpa semangat dan harapan.


“Semestinya kalian tak datang kemari. Tempat ini seperti neraka,” kata Schuman waktu itu. “ Sumber daya alam yang melimpah bukanlah kekayaan untuk kemakmuran tetapi kutukan. Terutama kutukan dari para kiyai yang memimpin pasukan Sultan Ageng, berperang dengan kompeni.


Henze putuskan pulang ke Eropa. Pulang dengan kalah dan tangan hampa. Tuan van Goens kehilangan harapan mendapatkan sumber daya emas untuk biaya perang menaklukan Sultan Ageng. Dari geladak, lamat-lamat Henze melihat daratan nun jauh di seberang lautan. Ia berharap itu tanah Eropa. Disana sains berkembang ditengah hipokrit budaya. Suami yang selalu membayangkan vagina wanita hindia belanda. Nyonya membayangkan penis hitam budak pribumi yang keras. Dan lucunya itu dibayangkan ketika mereka sedang bersenggama. Dan setelah itu menghina merendahkan kaum jajahan. Ironi memang.

Saturday, September 23, 2023

Masa depan yang lebih baik...

 



Tahun 2008,  di Rotterdam saya bertemu dengan mentor saya dalam bisnis keuangan. Tadinya dia berkarir di wall street sebagai investment banker. Dia mengundang saya minum teh di apartement nya di Utrecht. “ Saya kangen indonesia. Kangen sukabumi. Di situ leluhur saya pernah tinggal. "Katanya sambil memperlihatkan album tempo doeloe. “ betapa kami pernah berbuat kesalahan dimasa lalu dengan bangsa kamu. Tapi kalian selalu penuh senyum kepada kami. Seakan telah melupakan masa lalu. Kalian tidak pernah dendam kepada Bangsa lain walau pernah menjajah. Karena yang kalian perangi sebenarnya adalah ketidak adilan.“ katanya berlinang air mata. 


“ Bangsa Indonesia itu bangsa hebat. Bangsa pemberani. Tapi juga bangsa yang punya nilai nilai budaya yang halus, yang menghormati orang terpelajar nan bijak sebagai sumber inspirasi untuk cinta dan kasih sayang. “ Kata Daniel. “ Sejauh itu sejarah kehidupan nusantara yang dikuasai kerajaan berkembang berdasarkan nilai budaya itu. Tentu semua bersumber kepada agama.  Seperti kerajaan Hindu, Kutai , Tarumanegara, Sriwidjaya, Mataram Kuno. 


Namun sejak abad ke 9 munculah paham feodalisme. Kerajaan Majapahit sudah menerapkan sistem feodalisme itu untuk mengembangkan wilayah kekuasaannya. Feodalisme berasal dari bahasa Inggris feudalism. Kata feudal berasal dari bahasa Latin feudum yang sama artinya dengan fief, yakni sebidang tanah yang diberikan untuk sementara, bukan hak milik permanen, maksudnya hanya selama dia menjabat, kepada seorang vasal. Vasal adalah penguasa bawahan atau pemimpin militer, sebagai imbalan atas pelayanan yang diberikan kepada lord sebagai pemilik tanah tersebut. Inti dari feodalisme adalah tanah sebagai sumber kekuasaan, orang yang berkuasa adalah orang yang punya tanah.


Namun kekuasaan Majapahit berlahan lahan runtuh karena masuknya pengaruh Islam ke Nusantara. Islam menawarkan ajaran egaliterian. Jelas saja sangat cepat diminati oleh  rakyat yang merasa diperlakukan tidak adil oleh kekuasaan. Dengan cepat islam  diterima secara luas termasuk oleh keluarga kerajaan Majapahit terutama para vasal yang ada di beberapa wilayah taklukan majapahit. Setelah wafatnya Hayam Wuruk terjadilah perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan. Antara anak kandung dengan  anak selir. Perang saudara melemahkan Majapahit. 


Sejak itu beberapa wilayah kekuasaan Majapahit memisahkan diri, akhirnya pada abad ke 14 runtuhlah kerjaaan Majapahit. Kemunculan Kerajaan Demak sebagai contoh bangkitnya para vasal. Itu terjadi pada masa kemunduran Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1478 Demak menjadi Kerajaan Islam pertama dan terbesar di pesisir Pulau Jawa. Kerajaan Demak merupakan pelopor penyebaran agama Islam di Nusantara lantaran dukungan para Wali Songo.


Pada abad ke 17 Belanda melalui VOC konsorisum dagang Belanda masuk ke Indonesia. Mereka datang untuk berbisnis yang tentu direstui oleh kerajaan. Kebetulan saat itu sering terjadi konflik internal antara keluarga kerajaan. Konflik ini membutuhkan dana untuk menang. Dan VOC menawarkan senjata dan meriam kepada kerajaan untuk menumpas kaum oposisi kerajaan. Perang saudara yang tak berkesudahan ini membuat kerajaan itu bangkrut dan tidak bisa membayar utang kepada VOC. Karena itu pada abad ke 18 VOC juga bangkrut. Kebangkrutan VOC di bailout oleh kerajaan Belanda. Sejak itulah hubungan Belanda dengan Kerajaan bukan lagi bisnis tapi sudah masuk kolonialism.


Sistem kolonialisme itu tidak secara langsung tapi lewat kolaborasi dengan sistem feodalisme kerajaan. Itu berlangsung lebih dari 2 abad. Ketidak adilan terjadi meluas. Seperti sistem tanam paksa pada abad ke 18 dan kewajiban bayar pajak, yang tidak mampu bayar ya kerja paksa atau kerja Rodi. Lewat sistem inilah Belanda membangun unit business tambang, perkebunan. Dari proses ini membuat elite bangsawan kerajaan semakin kaya, pedagang etnis China yang dekat  dengan bangsawan menikmati rente. Suap dan upeti menjadi jadi. Sementara rakyat semakin miskin. Wabah kelaparan melanda Jawa.


Karena itulah muncul lagi gerakan islam untuk keadilan, yang dimotori oleh kaum pedagang. Pada tahun 1906 Serikat Islam mengadakan kongres yang pertama kali. Gerakan untuk keadilan melawan kolonialisme Belanda ini bersifat universal dan dari gerakan ini, dua tahun kemudian munculah gerakan kebangsaan yang dikenal Boedi utomo. Kamu tahu, Gerakan Boediutomo ini dimotori kaum terpelajar yang sebagian besar dibina oleh gerakan kaum fremason, gerakan international elite Yahudi. Sepertinya karena prinsipnya sama yaitu soal keadilan, maka gerakan ini langsung diterima oleh Sarikat Islam. Yang dalam proses berikutnya munculah komunis international untuk memperjuangkan nasip buruh. Itu juga didukung oleh sarikat islam. “ Lanjut Daniel.


“ Jadi sumber penyebab terjadinya perubahan karena gerakan islam itu sendiri dan itu dipicu oleh mengakarnya feodalisme. “ Kata saya menyimpulkan.


“ Benar. “ kata Daniel seraya mengangguk. Dia terdiam. Saya juga menanti selanjutnya dia berbicara. “Kita tahu. “ Lanjut Daniel. “ Sejarah mencatat, sebelum teks proklamasi dibacakan pada 17 agustus 1945 silam, yaitu ketika teks itu dirumuskan. Terdapat salah satu perubahan signifikan pada naskah, dimana awalnya ditulis Wakil-Wakil Bangsa Indonesia dengan ditandatangani oleh 50 (lima puluh) orang yang hadir, kemudian atas usul Sukarni, dirubah menjadi “Atas Nama Bangsa Indonesia” dan ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta. 


Perubahan tersebut, lanjut Daniel, secara simbolik menjadi pertanda tertutupnya pintu feodalisme di Indonesia. Inilah pertama kalinya dalam sejarah Bangsa Indonesia, kata bangsa atau rakyat mempunyai arti yang sangat penting. Peristiwa tersebut secara simbolik merupakan pertanda kemenangan Rakyat Indonesia, bukan hanya wakil-wakil Bangsa Indonesia”, tukasnya. Kemerdekaan Indonesia sesungguhnya merupakan pertarungan antara “atas nama rakyat” dan “wakil-wakil bangsa Indonesia”, yaitu pertarungan antara demokrasi dan feodalisme. Dari teks proklamasi tersebut, kita bisa melihat bahwa sudah tertutup pintu untuk feodalisme. Ini menjadi semangat apocalipso rakyat mempertahankan kemerdekaan demi tegaknya keadilan bagi semua”, terangnya.  


“ Kamu tahu engga. “ Lanjut Daniel kemudian “ Perang dunia kedua memang sadis. Apalagi perang pacific. Tetapi perang yang paling brutal dan heroik adalah perang Ambarawa. Tidak sedikit pasukan sekutu yang mati. Dan memaksa mereka keluar dari Ambarawa dengan malu. Mengapa malu? karena walau serangan tentara rakyat itu terkesan bunuh diri namun mereka lakukan dengan sangat terorganisir. Mereka sudah menerapkan strategi perang modern.


Sebelum serangan kolosal dilakukan. Sistem komunikasi pasukan sekutu sudah mereka lumpuhkan lebih dulu lewat serangan khusus pasukan komando. Itu fatal sekali bagi sekutu. Dengan putusnya komunikasi, praktis pasukan sekutu terisolasi dari pasukan induknya. Mereka juga lumpuhkan jalan darat . Jadi benar benar di kepung. Tidak  memungkinkan pasukan sekutu bisa keluar dari kepungan.


Ya bagaimanapun harus diakui. Walau mereka sangat cerdik namun juga konyol. Mengapa konyol? karena mereka sengaja mengepung pasukan sekutu sampai peluru habis. Setelah itu mereka giring perang terbuka. Perang kuno. Senjata tajam tanpa bedil. Golok beradu dengan sangkur, bayonet. Itu seperti ladang pembantaian bagi pasukan sekutu. Para pejuang Indonesia sangat mahir menggunakan senjata tajam dan bambu runcing dan mereka sangat tenang menjemput maut. “ katanya dan hening. Saya tetap setia menyimak.


“ Bagaimana mungkin para prajurit usia belasan tahun. Bahkan Sudirman, Komandan tempurnya berusia 29 tahun. Bisa mengalahkan pasukan sekutu. “ Katanya dengan tatapan kosong. Itu dia dapat cerita dari ayahnya yang pernah bertugas di Indonesia sebagai tentara sekutu. Lantas apa yang menyebabkan mereka begitu militan dan nekat. Tanyanya kepada saya. Saya diam saja. Saya siap menyimak.


Menurut saya, lanjut Daniel. “ itu karena ada fatwa ulama sejawa tentang perang Jihad. Fatwa itu bukan tentang perang agama. Tetapi perang jihad untuk keadilan. Jadi nilai jihadnya sangat universal. Tidak sekterian. Makanya diikuti oleh seluruh golongan. Hampir semua pondok pesantren mengirim santrinya untuk berjihad. Bahkan Kolonel Soedirman sebagai Panglima Divisi V Purwokerto menjadi komandan lapangan, adalah komandan Hizbul Wathan, kepanduan di bawah Muhammadyah. Kebetulan dia juga guru Muhammadyah. Pada setiap moment perjalan sejarah bangsa indonesia,  semangat egeliter islam sebagai pemersatu perang melawan ketidak adilan. Kekuatan indonesia itu ada pada Muhammadiah dan NU“ Daniel terdiam lagi. Saya setia menyimak.


Kini feodalimse tetap exist. Ya feodalisme gaya baru. Rasio GINI lahan sangat timpang. 1% rakyat menguasai 60% lahan dan ruang. Pada setiap konflik agraria dimana  hak equality rakyat dihadapan hukum tidak ada. Tidak ada bargain rakyat dihadapan pemodal. Selalu penguasa atas nama kepentingan pemodal memaksakan aturan soal ganti rugi dan ganti untung.  Ya pemodal itu sama seperti kolonialisme yang memberikan bantuan dana kepada kaum vadal lewat Pilpres dan Pilkada agar berkuasa, dan selanjutnya bekerja untuk kepentingan pemodal. 


Ini PR bagi bangsa indonesai terutama generasi muda untuk terus memperjuangkan keadilan, dengan cara menghancurkan feodalisme. Saya merangkul Daniel dengan tersenyum.  Dia paham akan sikap saya. Satu satunya cara meraih masadepan yang lebih baik adalah dengan cara mengubah masa lalu. Ya hari ini berbuat , belajar pada masa lalu untuk hari esok yang lebih baik.

Saturday, September 16, 2023

Uang kotor batinpun kotor

 




Setiap sore aku melihat Mbak Diah duduk depan teras rumahnya. “ Ale. Jangan lupa doain Mbak ya.” Tegurnya saat aku hendak pergi ke Masjid. Aku diam saja. Kulitnya putih bersih. Dia pandai bersolek. Keliatan cantik memang. Ayahnya sudah meninggal. Dia yatim. Ibunya dagang sayur di pasar. Waktu aku kelas 1 SMA, Mbak Diah menikah dan diboyong suaminya ke Jakarta. Sejak itu aku tidak pernah lagi bertemu Mbak Diah di terasnya. Teman temanku cerita kalau Mbak Diah sudah jadi orang kaya di Jakarta. Mungkin doaku dikabulkan Tuhan. Entahlah.


Setahun kemudian, aku dapati Mbak Diah duduk di teras rumahnya. Seperti biasa dia tersenyum menegurku. AKu hanya menunduk.  Dari temanku aku tahu Mbak Diah sudah bercerai dengan suaminya. Dia pulang ke Tanjung karang sebagai janda tanpa anak. Aku tidak tahu dimana Mbak Diah kerja. Hanya yang kutahu, setelah aku pulang sholat maghrib di Masjid, aku pasti berpapasan dengan Mbak Diah di jalan. Dia senyum menatapku. Aku cepat menunduk.  


Seusai dagang kaki lima di pasar, aku pulang. Dekat gang rumahku, dari jauh aku melihat Mbak Diah turun dari Motor. Dia digonceng pria. Oh itu mungkin pacarnya” pikirku. Aku pura pura tidak tahu. Dia berdiri depan gang. Namun saat aku mau masuk gang, Mbak Diah mendekatiku. “ Ale, bareng mbak ya.” katanya. Aku mengangguk aja. Tetapi aku terkejut melihat wajahnya ada lebam di bibir dan keningnya. “ Ada apa mbak. Kenapa muka mbak.” tanyaku.


“ Pacarku mau jual aku ke boss. Tapi aku engga mau. Dia pukul aku.  Besok aku engga berani kerja lagi.Takut dipukul lagi “ Kata Mbak Diah dengan airmata berlinang


“ Emang mbak kerja dimana ?


“ Aku kerja di cafe dan Bar di Panjang.”


“ Oh.. “ 


“ Ale, aku tempo hari menikah. Suamiku bawa ke Jakarta. Ternyata hanya sebulan bulan madu. Setelah itu aku dijual ke boss. Setelah itu aku jadi pelacur. Aku engga tahan. Dan berhasil lari pulang ke rumah orang tua, di sini ” katanya. Aku engga paham arti kehidupan. Yang kutahu jadi wanita cantik seperti Mbak Diah memang beresiko. Apalagi miskin. Saat itu aku kelas 3 SMA.


Seminggu kemudian, malam hari Mbak Diah lewat tempat aku dagang kaki lima di Pojok Jalan Pemuda. Dia berhenti  dan tersenyum. “ Ale, rame dagangnya.” 


“Lumayan mbak. Kan malam minggu ini” Kataku.


“Mbak udah dapat kerjaan di Biskop Merdeka. Jual  karcis di loket.” Katanya.


“ Ya Alhamdulilah Mbak. “ 


“ Ale doain mbak terus ya. Ale kan anak sholeh.” 


“ Ya mbak saya doain terus.” Kataku. Tetap menunduk. AKu tidak pernah menatapnya secara langsung.


Tak berapa lama datang motor tepat berhenti depan aku dagang. Dua pria datang. sala satunya  menarik lengan Mbak Diah. Dia berusaha bertahan dari hentakan pria itu. Tidak mau pergi. Mbak Diah teriak. Entah kenapa aku replek mendorong pria itu. Diah terkejut.” Jangan ikut campur lue” teriaknya. Temannya datang menyerangku. Namun belum sempat dia naik ke trotoar, kakiku sudah sampai dadanya. Dia terjatuh. Pria yang sedang berusaha menarik Mbak Diah balik menyerangku, namun cepat aku tangkis dan sapu kakinya. Dia terhempas di trotoar. Aku tatap mereka berdua. Entah kenapa mereka pergi begitu saja.


Aku lihat lengan Mbak Dia merah bekas dipagut keras oleh Pria itu.” Itu tadi pacarku. Dia preman. “ kata mbak Diah dengan wajah geram.” Tapi Ale, Seru mbak Diah dengan wajah kawatir. “  gimana kalau dia bawa teman temanya. Kamu dagang di sini lagi? kata Mbak Diah. Dia justru mengkawatirkan aku daripada dirinya. “ Engga apa apa mbak. Saya akan tetap dagang di sini. “kataku tersenyum. “ Sebaiknya Mbak pulang aja.” sambungku.


“ Tapi aku harus kerja Ale.”


Aku hanya diam. Itu hidupnya. Itu resiko yang harus dilaluinya. Aku tidak bisa berbuat banyak. 


Setelah Mbak Diah pergi.  Sebelum aku tutup lapak, datang rombongan pria dengan empat motor. Mereka berhenti tepat depan aku dagang. Aku tenang aja. Mereka turun serentak. Mendatangiku. Salah satu dari mereka mengancamku dengan pisau. Yang lain aku liirk. Ada yang bawa celurit. “ Lu jagoan ya. Ayo lawan gua. Mati lue sekarang sama gua.” teriaknya. Orang sekitar tempatku dagang menjauh. Ada rasa takut akan terjadi pembantaian sebentar lagi. AKu diam aja tapi tetap waspada.


Salah satu mereka mengayunkan celurit kearah kepalaku. Dengan cepat aku gunakan kursi tempatku duduk sebagai senjata dan perisai. Aku memang tidak menangkis celuritnya tetapi menghindar seraya mengayunkan kursi ke rahangnya. Dia terjatuh. Pada waktu bersamaan ayunan kursi itu juga nyasar ke orang yang mengancamku dengan pisau. Tepat mengenai rusuk sebelah kiri bagian bawah.Keduanya terjatuh. Cepat sekali kejadianya. 


Aku diam saja melihat mereka terjatuh. Aku tahu itu sakit sekali. Karena aku belajar arah pukulan yang membuat orang semaput. Apalagi kursi itu aku buat sendiri tanpa senderan. Jadi efektif untuk senjata. Ada orang melerai “ Lue orang mending pergi aja. Ini anak kaliawi. Kalau dia lapor ke temannya. Lue orang pasti diburu teman temanya. Kampung lue orang bisa diserbu mereka”  katanya. Mereka keliatan takut saat mendengar aku anak kaliawi. Akhirnya mereka pergi.


Seminggu setelah kejadian itu aku dapat kabar Mbak Diah pergi merantau ke Jakarta. Setahun setelah itu aku juga pergi merantau ke Jakarta.


***


Tahun 85 aku bertemu  lagi dengan Mbak Diah di Hotel HI, Barito cafe and Bar.  Sebagai pebisnis muda, memaksa aku harus sering menjamu relasi di hotel berbintang. Aku tidak pernah lupa Mbak Diah. Dia juga tidak lupa. Dia hanya tersenyum melihatku. Tidak mau tegur aku. Karena dia sedang bersama pria baya. Aku kenal pria baya itu pejabat. Aku maklum. Dan lagi aku memang tidak merindukannya.


Lalu, suatu saat aku ingat. Mbak Diah datang ke Barito Room HI. Dia datang sendirian. Aku bersegera mendekatinya. Mengajaknya gabung di tableku. Aura wajahnya tidak seperti sebelumnya. Aku mengantarnya pulang. Tetapi dia menolak. Setelah aku paksa, diapun menyerah.  “Ale, ku sudah tidak lagi tinggal di Kalibata. “ 


“ Ya sabar aja Mbak. “


“ Aku tadinya jadi umpan rekanan pemerintah untuk menghibur pejabat. Mungkin karena aku putih dan sedikit sipit, mereka suka aku, ale. Eh salah satu pejabat jadikan aku piaran. Tapi hanya tiga bulan dia udah bosan. Ajudannya minta aku keluar dari rumahnya.“ Kata Mbak Diah.


Aku duduk di kursi belakang kendaraan bersama Mbak Diah. Aku sempat melirik ke samping.  Entah mengapa mataku mengarah ke buah dadanya. Pakaiannya Tanktop. Sepertinya dia merasa. “ Ale, kamu mau lihat tubuh Mbak? Katanya menatapku. Dekat sekali wajah kami. " Kita Check in aja di Hotel. Aku memang engga dapat tamu hari ini” katanya dengan nada datar. 


“ Engga mbak. Saya tidak pernah beli untuk sex. “ kataku menunduk malu. Aku keluarkan uang pecahan Rp 10.000  dari balik  tas tanganku. Aku serahkan ke tangan Mbak Diah dua puluh lembar. Aku tahu mbak Diah sedang tidak punya uang. Dia terkejut. “ Ale kenapa baik sekali dengan Mbak? katanya menatap kosong ke arahku.”  Uang sebanyak ini. Ale bisa beli wanita cantik lebih dari Mbak. Ini bisa hidupku sebulan. “ lanjutnya. 


Aku diam saja.


“ Dulu waktu di tanjung karang. Ale lindungi mbak dengan resiko terbunuh. Sampai kini sikap Ale engga berubah terhadap Mbak. Mengapa?


Aku diam saja. Mau jawab apa ? Itu udah nature ku. “ Engga apa apa kan mbak.?” kataku cepat. Kawatir Mbak Diah tidak nyaman aku berbuat baik dengan dia.


“ Kalau gitu Ale cepatlah menikah. Kan udah kaya dan punya uang. Kenapa belum menikah?


“ Ya mbak, Ada pacar tapi tidak mau dinikahi. Entah mengapa dia menolak diajak nikah.”


" Ale orang baik. Pasti akan dapat jodoh yang baik pula. " Kata Mbak Diah. 


Aku diam saja. 


" Aku tahu dari Papisan. Kamu sering order anak asuhannya untuk jadi umpan ke pejabat.” Kata Mbak Diah. Aku terkejut. Ternyata dia asuhah agent modeling khusus prostitusi. Mbak Diah tersenyum. Aku tersentak malu. " Ale tidak pantas bisnis seperti itu. Hidup Mbak udah melewati batas. Tidak mudah untuk kembali normal. Tapi Ale masih punya kekuatan dan kesempatan untuk terus jadi orang baik. Jangan larut bergaul dengan pejabat, Mereka jahat dan tidak bisa jujur, apalagi setia kepada keluarga dan negara. Hidup mereka lebih rendah dari Mbak, pelacur." 


Aku termenung akan kata kata terakhir Mbak Diah.  Memang aku sering mengumpan pejabat dengan wanita cantik, bahkan aku sempat gunakan wanita asing dari Philipina untuk mendapatkan kontrak dengan BUMN. Ya, apa bedanya aku dengan Mbak  Diah? Memang aku bukan pelacur tetapi aku menjadi sumber penyebab pejabat melacurkan jabatannya. Sama sama tidak bermoral dan mendapatkan uang dari cara cara dilaknat oleh Tuhan. 


Kutatap dari samping. Mbak Diah nampak tidak baik baik saja. Tepat lampu merah Sarinah, sebelum aku bicara Mbak Diah sudah membuka pintu kendaraan. “ Aku berhenti di sini saja, Ale.” Dia keluar dari kendaraan dan melambaikan tangannya dengan sedikit senyum. Keesokannya aku bertekad untuk meninggalkan bisnis haram. Akhirnya pada moment yang tertentu aku bisa keluar dari bisnis suap menyuap. Setahun setelah itu aku menikah. Bukan pilihanku tapi pilihan orang tuaku. Setelah itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan Mbak Diah. Sepertinya dia ditelan bumi. Tapi doaku selalu untuk dia.


***

Tahun 2023

Aku sedang sama Awi di Burgundy Grand Hyatt. Kami santai ngopi. “ Ale, ini ada surat dari karyawan. Dia kirim surat ke Lina, Tetapi Lina disposisi ke gua. “ Kata Awi perlihatkan surat itu. Itu tulisan tangan. Aku baca cepat. Setelah itu aku termenung. Terakhir saya bertemu Mbak Diah tahun 1985. Kini ada orang mengaku anaknya dan berharap aku bisa bertemu dengan ibunya.


“ Jangan jangan anak lue, Ale.” kata Awi tersenyum. Aku melotot ke Awi.” Gua engga pernah lari dari tanggung jawab. Apalagi soal darah daging gua sendiri. “


‘“Anak ini kerja dimana sekarang?


“ Di kantor Aling di Jalan kartini. Dia bagian trading LNG dan komoditi. “ 


“ Gimana dia bisa kerja sama Aling?


“ Ya ikut test di Singapore. Kan kantor Aling itu langsung dibawah Yuan Singapore.” Kata Awi.


“ Telp Aling dan suruh anak itu kemari sekarang” Kataku. Awi telp Aling. “ ya dia segera kemari” kata Awii. Aku tunggu sekitar 35 menit. Dia datang. Pria usia sekitar 30an. Dia menyalami Awi, “ kenal kan, ini Pak Ale “ Kata Awi kenalkan ku. “ Dia yang kamu maksud dalam surat ini” kata Awi perlihatkan surat dia. Dia menatapku. Dan segera menyalamiku seraya membungkuk mencium punggung tanganku. “ Maaf, apa boleh saya telp Mama” Katanya. Aku mengangguk.  


“ Tadinya saya tidak yakin bapak teman mama saya. Karena nama depan bapak sama dengan nama teman mama saya, tetapi nama belakang beda. Tetapi setelah saya perlihatkan photo bapak ke mama, Dia yakin sekali bapak temannya. “Kata pria itu. Namanya Andi.


“ Mama hanya ingin ketemu bapak. Belakangan ini dia selalu sebut nama bapak. Mungkin halusinasi usia menula. Tetapi mama sehat sehat saja. Dia tinggal sama saya.” Kata Andi.


“Ya mama kamu sahabat saya.” Kataku


Tak berapa lama, ada wanita muda menuntun wanita tua masuk ke dalam cafe. Aku cepat tahu pasti yang tua itu Mbak Diah. “ itu Mama dan istri saya pak. “ Kata Andi.


Diah lama menatapku tanpa melepas jabatan tanganku. Akhirnya dia peluk aku “ Kok lue engga berubah Ale..” kata Mbak Diah dengan airmata berlinang. Usia ku dan dia bertaut 8 tahun. 


“ Nah mah. Kan udah ketemu dengan sahabat Mama, Ternyata dia boss dari anak mama sendiri. “ Kata Mantu perempuannya tersenyum menatapku


“ Tahun 85 Ale kasih mama uang Rp. 200.000. Dengan uang itu, mama gunakan dagang gado gado depan rumah. Terus berkembang jadi restoran. Dan berkat restoran itu mama bertemu dengan ayah Andi. Kami berdua kembangkan restoran itu. Dari hasil restoran itu mama bisa biayai andi sampai sarjana. Dan kini ternyata Andi kerja sama Ale. Begitu cara Tuhan mentunaikan rasa terimaksih mama kepada Ale..”Kata Mbak Diah kepada mantunya. Aku  senyum aja dengar Mbak Diah cerita. Duh segitunya rasa terimakasihnya…padahal memberi itu memang udah nature-ku