Tuesday, August 08, 2023

Cerita lama yang berulang

 


Tidak mungkin sebuah  republik dipimpin oleh orang yang sama selama lebih dari 25 tahun. Kita inginkan kemerdekaan sebenarnya. Kita tidak ingin perubahan dari dinasti ke republik tidak mengubah secara subtansi tentang kekuasaan itu sendiri. Ya walau republik tetapi kembali ke pada sistem dinasti yang mudah dikendalikan oleh kolonial asing. Setelah chaos terjadi di Medan, jakarta dan kota lainnya, tuntutan reformasi berdengung keras. Mendesak, agar Soeharto segera mengundurkan diri. Ketika suhu udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan mahasiswa menerobos pagar gedung DPR, dan berteriak-teriak dengan nada celaan, Soeharto jatuh.


Tahun 98 itu saya tidak punya bisnis. Karena jauh sebelum reformasi atau tepatnya tahun 96 saya sudah bangkrut. Saya bekerja sebagai konsultan secara independent. Tidak ada kantor. Tapi beberapa teman  pengusaha yang punya masalah keuangan akibat kurs yang terus melemah meminta saya untuk mencarikan alternatif sumber pembiayaan mengatasi cash flow mereka. Namun tidak ada yang bisa dilakukan. Kecuali memberikan pencerahan saja kepada mereka.


“ Mengapa kurs melemah. Padahal sebelumnya ekonomi kita sangat kuat dan pertumbuhan ekonomi kita dicap sebagai macan Asia. Bank Dunia dan IMF bahkan selalu memuji kehebatan Soeharto. Tapi hanya hitungan tahun, semua kehebatan itu runtuh. Mengapa ? Tanya Ira teman saya yang juga kader partai.


“ Biang persoalan karena inflasi. Kamu tahu, mengapa inflasi terjadi ? karena uang yang beredar tidak semua masuk ke sektor real. Contoh, uang dipompa negara dari bank central melalui perbankan Rp. 100 juta. Terus masuk ke rumah tangga perusahaan Rp. 50 juta. Masuk ke rumah tangga publik Rp. 10 juta. Kembali ke bank central Rp. 2 juta. Kemana yang 98 juta? masuk ke sektor financial. Apa yang terjadi ? Antara sektor produksi dan financial tidak balance. Atau disebut imbalance economy. Sampai disini paham ya. Ira mengangguk.


“ Lama lama, uang beredar semakin banyak dan produksi stuck. Ketimpangan antara produksi dan keuangan semakin lebar. Maka hukum demand and supply berlaku. Kalau engga, ya akan terjadi adjustment secara paksa. Uang akan terjun bebas nilainya. Siapa yang korban? ya orang kaya yang punya aset financial. Nah agar orang kaya tidak korban. Maka negara naikan suku bunga. Dengan suku bunga tinggi, orang kaya akan pindahkan uangnya ke bank dan akhirnya bank central kuasai lewat SBI. Orang kaya semakin kaya dapat bunga tinggi.  Berharap dari itu inflasi bisa ditekan. 


Tapi karena sebagian besar uang yang beredar masuk ke sektor non tradable alias rente. 40% APBN dikorupsi dan jelas uangnya masuk ke bank. Yang terjadi bukannya inflasi turun, malah sektor real melambat. Harga kebutuhan pokok dan BBM terus naik, sementara pasar domestik lesu akibat kebijakan suku bunga tinggi. Ya otomatis banyak kredit macet. Cash flow bank terganggu karena arus kas masuk dari debitur macet. Sementara bunga deposan tetap harus dibayar. Terpaksa pemerintah melalui BI keluarkan kredit likuiditas kepada perbankan yang kesulitan cash flow. Itu untuk menjaga dampak sistemik.  


Namun yang jadi persoalan adalah kredit macet itu bukan hanya kredit program rupiah tapi juga kredit non program yang non rupiah. Maklum banyak debitur bank menarik pinjaman luar negeri lewat penjaminan bank dalam negeri. BI harus talangi hutang yang jatuh tempo itu dalam bentuk  bantuan likuiditas atau BLBI, dan ini cepat sekali menguras devisa. Situasi ini dibaca oleh pemain hedge fund luar negeri seperti George Soros. Mereka take advantage menyerang rupiah. BI tidak mampu menahan serangan itu. Ya rupiah terjun bebas. Maka resmilah kita masuk ke jurang krisis moneter dan krisis struktural sekaligus.. kata saya.


***

Pada Era Gus, Ira ajak saya menghadiri seminar ekonomi di salah satu hotel Bintang V. Seminar dengan tema mencari solusi penyelesaian BLBI. Ketika  ajang diskusi terhadap materi seminar. Saya perhatikan mereka membahas tentang referensi materi seminar. Terkesan mengkritisi referensi. Bukan mencari solusi. Saya acungkan tangan. Saya duduk di belakang. Moderator persilahkan saya bicara.


“ Masalah BLBI itu adalah rescue perbankan. Itu tidak perlu dibahas lagi. Karena sudah ada literatur ekonomi. Soal caranya salah atau benar. Itu kita harus maklumi. Ya namanya krisis. Kadang crass program memang tidak sempurna pelaksanaannya. Yang ingin saya sampaikan adalah apakah skema BPPN lewat lelang aset adalah satu satunya solusi ? Itu referensi kuno. Itu dipelajari tahun 1960an. Tahun 70an sudah ada bidang studi baru tentang Velue Engineering, termasuk financial engineering.


Mengapa tidak terapkan skema MBO atau management by out. Yang kita lelang bukan asset tetapi managementnya. Pihak pemenang tender dapat hak mengelola asset sesuai waktu yang kita tentukan. Kalau mereka untung mereka bayar pajak. Kalau rugi, itu resiko mereka. Yang penting tidak ada PHK. Aset tidak lepas ke private. Tetap milik negara. Nanti value nya kita bisa lepas di bursa. Value pasti tinggi. Apalagi yang menang tender pastilah perusahaan yang punya sumber daya untuk kelola. Kalau engga mana mau mereka ikut lelang MBO.” Kata saya.


“ Dari mana kita dapatkan uang untuk APBN? tanya anggota panel.


“ Kita bisa sekuritisasi kontrak MBO itu dengan menjual obligasi di market. Pasti laku. Apalagi pihak MBO nya perusahaan punya reputasi. Exit obligasi  nanti lewat bursa. "


“ Emang ada referensinya ? Tanya moderator. “ sebutkan referensinya. Itu teori ngayal ala wallstreet. “


“ Saya tidak hapal. Tetapi cara MBO itu lebih sederhana dan tidak merugikan negara. Tidak menjual asset yang diserahkan obligor. Jauh lebih baik daripada lelang skema BPPN. Harga bisa jatuh sampai 30% “ Kata saya. Tetapi moderator langsung hentikan saya bicara.


***


Tahun 2010 , Ira berkata kepada saya“ Kalau ide kamu dijalankan. BCA itu masih milik negara. Valuenya milik negara. Sekarang yang nikmati swasta. Mungkin negara masih pemilik kebun sawit terbesar di dunia. Kini dikuasai swata. Yang miris, yang beli aset dalam proses lelang adalah obligor itu sendiri lewat proxy. Harga diskon 70%. Itu sama saja bayar utang hanya 30%. Tetapi semua sudah terlambat. Hanya karena kurang pengetahuan kita salah membuat kebijakan. Mahal sekali harga yang harus dibayar rakyat”


“ Sebenarnya kalau disaat krisis itu kita bersatu dan tidak berusaha menciptakan chaos politik, situasi akan lebih mudah diatasi. Karena saat itu harga komoditas ekspor pertanian sedang tinggi dan kurs rupiah melemah. Petani cengkeh, coklat, kopi, lada, karet, sawit diuntungkan akibat kurs rupiah yang melemah. Kenaikan harga kebutuhan jauh lebih rendah dibandingkan keuntungan dari kenaikan harga komoditas pertanian. Banyak petani di daerah yang kaya mendadak akibat rupiah terjun bebas. Pasar tradisional bergairah. Daya beli  rakyat tetap tinggi. Jadi yang krisis itu sebenarnya adalah pemerintah, bukan rakyat. Rakyat baik baik saja. “ Kata saya.


“ Dan sebenarnya kaum reformis digerakan oleh mesin politik dari orang kaya dan asing untuk merebut sumber daya dari tangan  Soeharto dan kroninya. Dan terbukti setelah Soeharto jatuh, kita amandemen UUD 45. Pasal 33 UUD 45 yang merupakan fondasi kokoh ekonomi kerakyatan dibonsai lewat UU PMA/PMDN dan UU Migas. Trade off nya dibuatlah UU Sistem Jaminan sosial Nasional. Itu sudah memisahkan tanggung jawab negara ke pasar. Ya kita total masuk ke sistem neoliberal. “ kata saya.


“ Ale..” kata ira dengan air mata berlinang. “ Saya merasa berdosa, Karena sebelum soeharto jatuh saya anggota DPR dan saya juga ikut menjatuhkan Soeharto. Ternyata tanpa disadari saya korban dari kebodohan yang diciptakan oleh komprador yang mengaku tokoh reformis. “ 


***


Tahun 2023, Kemarin saya undang ira makan malam. Usia kami tidak lagi muda. Usia saya 60 tahun dan Ira 63 tahun. Kami telah bersahabat 33 tahun. 


“ Ale, kamu kan tahu selama seminggu ini rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat setelah lembaga pemeringkatan menurunkan rating obligasi Amerika Serikat. Dan kemudian semakin terpuruk  pasca rilis data ekspor-impor China yang memburuk. Data BPS  menyebutkan Ekspor Indonesia alami kontraksi pada kuartal II-2023. Apakah devisa kita cukup kuat menghadapi situasi eksternal itu. ? Aku kawatir ini seperti fenomena tahun 1998”  Tanya Ira.


“ Devisa negara kita memang besar. Itu menjadi acuan setiap pengamat bahwa Indonesia akan daya tahan terhadap goncangan eksternal. Tapi orang lupa tentang teori dalam dunia keuangan. N = Px/Pm. N, merupakan TOT ( term of trade ), indeks harga ekspor (Px) berbanding terbalik dengan indeks harga impor (Pm). Dengan rumus itu artinya kenaikan N, karena perubahan harga ekspor yang lebih besar relatif terhadap harga impor. Indonesia, ekspor kita didominasi SDA, memiliki volatilitas TOT yang 3 kali lebih volatil dibandingkan negara-negara yang mengekspor barang manufaktur. Selain besaran pergerakan TOT, volatilitas ini juga mempengaruhi nilai tukar riil suatu negara.


Apa artinya?, kalau ekspor turun maka devisa kita cepat sekali tergerus. Karena 60% ekspor kita dari komoditas tradisional berbasis SDA, itu cepat sekali mempengaruhi nilai tukar riil.  Rupiah bisa terjun bebas. Pengalaman tahun 1998, itu contoh sederhana dan faktual. Kita bisa saja bangga dengan kemajuan kita sekarang dan anggota G20. Bisa saja merasa aman karena kata IMF kecil sekali kita kena resesi. Namun fakta,  struktur bangun ekonomi kita tidak berubah sejak era Soeharto. Makan dari komoditas pemberian Tuhan. Sama dengan monyet. Engga pakai otak untuk kembangkan value tetapi otot dan ngoceh.


Apa yang terjadi kalau resesi dunia tahun depan meluas ? Tahun ini tidak akan ada lagi Windfall profit yang berasal dari komoditas. Permintaan dunia turun, slowdown sebagai dampak dari resesi.  Nah kalau permintaan turun, harga juga pasti akan turun. Efek rambatan turunnya ekspor ini sangat kuat saat Eropa, terutama Jerman, mengalami resesi. Ketika Eropa resesi, ekspor China akan terdampak. Produksi China akan drop. Tentu demand china terhadap komoditas juga turun. Padahal partner dagang terbesar Indonesia adalah China.


Tidak banyak pihak yang sadar, AS sudah menjadi net exporter komoditas energi saat ini. Jika harga komoditas energi naik, otomatis dolar akan terkerek naik. Nah, kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve akan menarik dolar di pasar global kembali ke AS. Dollar akan semakin kuat. Dampaknya sangat significant terhadap balance sheet effect. SBN dalam dollar AS akan semakin tinggi bunga dan angsurannya dalam rupiah. Pagu utang yang diatur UU harus direvisi agar pemerintah tidak default. Begitu juga hutang  valas korporat seperti PLN dan Pertamina dan lain lain harus dibailout, kalau engga ya default.  Pasar modal terancam pastinya.


Dampak lebih luas terhadap dunia usaha ? Perhatikan, semua korporat yang berbisnis komoditas SDA seperti tambang, CPO, dan lain lain itu semua berkembang karena hutang bank. Baik hutang langsung maupun instrument credit antar bank berupa Non Cash loan. Kalau cash flow mereka macet akibat permintaan ekspor  turun dan harga juga turun, pastilah mereka akan mengalami kesulitan bayar bunga dan cicilan. Nah kredit korporat akan banyak masuk program recovery perbankan, mengharapkan fasilitas pemerintah agar selamat.  Kalau lambat mengantisipasi maka itu akan menjadi pasien NPL. Dampaknya juga kepada transaksi antar bank. Satu NPL akan diikuti oleh yang lainnya dengan cepat. Maklum moral hazar dari adanya crisis. Sistemik. Akan merambat ke sektor jasa seperti logistik, perdagangan dan pariwista.


Bagi pengusaha besar, keadaan tersebut sudah diantisipasi. Mereka belajar dari krisis tahun 1998. Hampir semua kepemilikan saham perusahaan sudah terdaftar di luar negeri. Engga mudah dibeslah. Laba mengalir ke luar negeri lewat skema yang rumit. Setiap ekspansi  bisnis, 70% dari bank dalam negeri. Hanya 30% dari laba. Kalau ada apa apa, mereka tinggal angkat koper dan terbang keluar negeri. Tunggu keadaan normal. Sambil menanti itu mereka menikmati kemewahah hidup,  sementara rakyat suffering akibat kurs rupiah yang terjun bebas, harga pada naik semua, inflasi merangkak naik, gelombang PHK terjadi meluas. Chaos terjadi. Dan kita akan mengulang cerita lama. Ganti rezim namun kita tidak berubah lebih baik..” Kata saya. Ira terhenyak. Kesalahan kami sejak era Soeharto adalah selalu anggap Indonesia akan baik baik saja dan anggap rezim hebat. Daya kritis terhalau karena hope yang berlebihan. Nyatanya hopeless.

2 comments:

  1. Anonymous8:48:00 AM

    Makasih babo

    ReplyDelete
  2. Anonymous10:00:00 PM

    Jadi kita short neh babo?
    Tahun depan resesi.

    ReplyDelete