Tahun 90a saya pernah dapat tawaran dari relasi di Singapore. Bahwa dia minta saya membangun kebun sawit dan kemudian dia akan beli kebun itu dengan harga di tentukan didepan. Bagaimana modal? Engga usah kawatir. Dia akan kasih pinjam. Nanti akan di perhitungkan ketika lahan siap ditanam. Katakanlah perhektar dia buka harga Rp. 25 juta. Sementara ongkos real untuk buka lahan hanya Rp. 20 juta. Jadi saya untung Rp. 5 juta. Nah kalau 5000 hektar , hitung sendiri berapa saya untung? Tapi bisnis mudah itu saya tolak. Karena secara moral tidak bisa saya terima. Saya tahu persis dia hanya ingin memanfaatkan kelemahan saya saja untuk dapat untung besar. Mengapa ? Mari saya ceritakan…
Contoh ada teman broker. Ia dapat order jual kebun sawit kepada pengusaha singapore. Dia buat PT untuk dapat izin Perkebunan Besar Sawit. Dia tidak ada modal. Namun pengusaha singapore kasih dia modal untuk membuka kebun itu. Bila lahan masih hutan, dia tebang. Kayunya dia jual. Hasil jual itu masuk kekantongnya. Kalau lahan rakyat , dipaksa jual oleh aparat dengan harga murah. Lahan dibersihkan dengan menyerahkan kepada kontraktor land clearing agar bisa di tanam sawit. Setelah proses land clearing selesai, tuganya selesai. Selanjutnya transaksi jual beli saham antara dia dan pengusaha Singapore di lakukan. Pengusaha singapore menunjuk proxy lokal sebagai pemegang saham. Dia menerima uang penjualan saham itu setelah di potong modal awal yang dia terima. Kesimpulannya dia tidak keluar modal. Hanya andalkan kedekatan dengan penguasa, dia bisa kaya raya tanpa resiko apapun.
Tapi apa yang terjadi dari proses bisnis tersebut diatas? Banyak pihak yang tanpa alasan rasional menerima uang. Saya katakan tidak rasional karena memang tidak ada alasan yuridis atau moral mereka terima uang. Siapa itu ? Lurah, camat, Bupati sampai Gubernur kebagian uang. Belum lagi pejabat yang berkaitan dengan perizinan konsesi itu semua terima uang. Kemudian para kotraktor land clearing mendapatkan uang tidak wajar karena dia hanya membakar lahan dan engga peduli dampak lingkungan. Konsultan lingkungan dapat uang tidak wajar karena dia buat studi hanya copy paste dari studi yang pernah di buat tanpa melalui studi menyeluruh secara objective. Konsultan projek membuat perencanaan juga dapat uang tidak wajar karena dia juga hanya copy paste. Seharusnya mereka dibayar karena skill nya tapi mereka kerja ala kadarnya. Karena tahu pekerjaannya hanya pelengkap formal syarat di keluarkannya izin. Dan tahu bahwa pejabat juga tidak peduli kalau syarat itu benar valid atau tidak.
Kemudian setelah transaksi pelepasan saham di lakukan, pengusaha singapore menyediakan equity 30% dari nilai proyek kebun sawit + PKS, dan 70% dari bank lokal untuk melakukan proses penanaman dan produksi. Ketika produksi, CPO di beli oleh pengusaha singapore dengan harga murah. Maklum itu memang kebun dia sendiri. Pemegang saham hanya proxy saja. Jadi kesimpulannya pengusaha singapore dapat resource dan dapat juga modal dari bank lokal. Dan mereka mendapatkan laba dengan pengorbanan kecil.
Dari skema bisnis inilah membuat para pejabat kaya raya, anggota DPR kaya, Konsultan kaya, kontraktor kaya, LSM dan Ormas kaya, semua kecipratan uang dari menjarah sumber daya lahan nasional. Mengapa ? karena merekalah gerombolan bandit kelas menengah yang saling melindungi agar hidup makmur. Mereka membuat singapore makmur. Bergaya hidup hedonisme di kota kota mahal di luar negeri. Memanjakan diri ditempat berkelas. Punya selir di semua apartemen mewah yang di belinya, anak anak sekolah di luar negeri.
Bagaimana dengan Rakyat kecil ? mereka hanya jadi buruh kasar. Kadang tanahnya di rampas paksa. Kalau harga CPO jatuh , pengusaha sawit surrender. Yang korban ya bank dan rakyat. Untunglah, setelah melalui perjuangan keras di tataran elite politik akhirnya sejak tahun 2016 Jokowi berhasil menghentikan skema ini yang telah berlangsung puluhan tahun.
***
Satu waktu Ira mengajak saya ikut tour bersama Peneliti Pembangunan Manusia yang berafiliasi dengan lembagan penelitian dari Luar negeri. Ira mengenakan celana denim dan kaus lengan panjang. Tak lupa topi warna putih. Saya tidak suka acara ini. Usia saya tidak muda lagi. Dulu ketika usia masih 40 tahun. Saya pernah ikut dalam program volanteer kemanusiaan di China wilayah Barat. Kami tidak melakukan survey dengan tanya jawab seperti petugas sensus. Itu pasti menyesatkan. Jadi kami tinggal bersama rakyat di desa yang serba bersahaja. Walau hanya 10 hari kebersamaan dengan mereka. Kami punya bahan lebih cukup untuk membuat laporan. Pasti valid.
Team ira ada 5 orang. Wanita hanya Ira seorang. “ Tujuan survey kami adalah petani sawit program transmigrasi di Jambi” Kata Ira saat di pesawat. Ira tahu bahwa saya punya mitra yang mengelola kebun Sawit lebih dari 10.000 hektar di Sumatera. “Kalau dihitung dengan luasnya lahan dan besarnya sumber daya alam untuk menjadikan indonesia sebagai pengahasil sawit nomor 1 dunia, rasanya tidak seimbang dengan rusaknya ekologis dan hancurnya modal sosial yang ditimbulkan. Nyatanya kita tidak bisa membangun tampa hutang. Debt trap terjadi. Tanpa hutang APBN tidak bisa ekspansi“ Kata Ira.
Saya tidak mau berdebat. Bagaimanapun ira benar tapi pemerintah juga benar. Hutang itu soal dilema. Jepang dan Singapore berhutang karena rakyatnya kaya. Agar kelebihan pendapatan rakyat dapat disalurkan Pemerintah lewat surat utang negara. Denngan begitu tidak ada sumber daya uang rakyat yang nganggur. Rakyat dapat side income dari sleeping income lewat surat utang negara. Tapi seperti Indonesia, dan negara Afrika, Amerika Latin, lainnya, mereka berhutang kepada pasar uang. Sebagian besar rakyat tetap miskin. Surat utang itu semakin membuat segelintir orang kaya semakin kaya dan menikmati financial secure. Yang miskin tetap miskin. Ya faktor rasio GINI yang timpang.
Sampai di Bandara Sultan Thaha Saifuddin, Jambi tidak ada yang menyambut. Kami terus ke Hotel. Malamnya kami diskusi di cafe. Saya lebih banyak mendengar. Mereka semua S3 dari luar negeri. Tentu mereka lebih terpelajar dan paham. “ Besok pagi kami akan anjangsana ke Kantor Polda Jambi dan kantor dinas pertanian Pemda untuk kulonuwon. Surat sudah kami kirim dan izin sudah didapat sebelumnya. Katanya TNI akan siapkan petugas pengawal. “ kata Ira. Saya mengangguk saja.
Tujuan lokasi survey adalah Desa yang ada di Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari. Desa itu memang hidup dari betani Sawit. Mereka tadinya adalah transmigran yang didatangkan dari Jawa untuk mengurani beban jawa yang semakin padat. Mereka sudah punya sertifikat lahan yang memang dibagikan untuk mereka bisa sejahteran di tempat yang baru. “ Di daerah ini banyak terjadi konflik agraria. Jadi hati hati. Karena mata mata pengusaha kebun ada dimana mana. Mereka berlaku seperti preman“ Kata petugas TNI yang mendampingi kami.
Kendaraan berhenti di depan rumah yang berukuran tidak lebih 40 meter. Pemilknya orang jawa. Namanya Pak Maman. Dia bagian dari rombongan transmigrasi program PIR. Tidak perlu tanya lebih jauh. Dari keadaan rumah dengan perabotan yang cukup bernilai dan motor hondar metik terpangkir depan rumah. Menurut saya untuk ukuran orang desa, dia termasuk makmur.
“ Tahun lalu kebun sawit saya digusur untuk bangun parit besar. Saya protes tetapi pengawas proyek dari perusahaan Kebun Besar Sawit mengatakan itu bukan tanah saya. Tapi milik orang lain. Dan mereka sudah bayar. “ Kata pak maman dengan raut wajah sedih. “ Padahal tanah itu saya terima dari pemerintah secara resmi. Itu tanah program tranmigrasi. Sertifikatnya keluar sejak 2010” Lanjutnya. Kami semua menyimak.
“ Saya tidak berdaya. Mereka berjanji akan membayar ganti rugi. Nyatanya sampai sekarang tidak ada ganti rugi. Sekarang saya tidak ada uang untuk biayai anak anak sekolah. Untuk menyambung hidup, saya terpaksa kerja sebagai buruh tebas di perusahaan sawit. Sehari kerja upahnya Rp. 100.00. Tapi, tidak setiap hari kerja. “ Kata pak maman dengan tatapan kosong. Maman tidak sendirian. Bersamanya ada 200 KK yang total lahan mereka ada 308 hektar. Lahan usaha 108 hektar dan 200 hektar lahan milik. Sudah banyak aktifis berjuang membela mereka tapi akhirnya kandas begitu saja.
Keadaan Pak Maman juga terjadi pada petani sawit di kecamatan lainnya. Penyerobotan tanah kebun sawit petani terus terjadi. Tak sedikit keluarga yang jatuh bangkrut dan kehilangan sumber pendapatan.Sebenarnya luas lahan usaha mereka tidak cukup untuk makmur apalagi harga tandan murah. “Bila mengandalkan sawit di rumah hanya ada 335 batang, paling hanya 200 kilogram. Tidak cukup untuk kebutuhan,” kata salah satu penduduk desa. “ kami terpaksa juga jadi buruh kebun sawit “ lanjutnya. Kunjungan itu tidak lama. Team ira lebih memilih kembali ke Hotel menjelang malam hari.
Di hotel mereka sibuk diskusi tentang keadaan lapangan yang baru saja mereka tinjau. Itu bukan hanya terjadi di Jambi, tetapi hampir diseluruh wilayah perkebunan sawit. Termasuk di Kalimantan dan Papua. Saya menyimak saja. Mengapa ini terus terjadi? Tentu kalau ditanya pemerintah alasannya sangat rumit. Tidak mudah diselesaikan. Tapi sebenarnya kalau hukum tegak atau law enforcement jalan. tidak ada yang rumit. Keadaan menjadi rumit karena mental korup dari tingkat daerah maupun pesat. Semua bermain termassk aparat hukum. Selalu yang menang adalah Pengusaha besar.
Bagaimana bisa rakyat melakukan perlawanan? tanya Ira.
“ Rakyat tidak punya apa apa untuk melawan. Semua sumber daya dikuasai negara. Seharusnya pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat membela mereka. Bukankah sistem demokrasi, rakyat mengamahkan nasipnya kepada legislatif, gubernur, bupati dan presiden yang mereka pilih langsung. Kalau amanah rakyat itu tidak dilaksanakan. Maka itu salah mereka sendiri mengapa pilih orang brengsek. Begitu logikanya.
Sebenarnya biang persoalan adalah partai yang diharapkan ternyata gagal mencetak pemimpin yang punya hati. Itu karena kepentingan pemodal ikut terlibat dalam setiap Pilkada, Pilgub dan Pilpres. Faktanya dari 53 juta hektare pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah, hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukan bagi rakyat, tapi 94,8 persen bagi korporasi“ Kata saya.
“ Aktor politik sebenarnya adalah pengusaha. Di hadapan pengusaha, apapun bisa dibeli. Dari aparat level terendah sampai atas, dari LSM kelas nyamuk sampai nasional. Dari tokoh kelas capung sampai tokoh nasional. Dari pedagang sampai makerlar, menikmati uang dengan cara mengorbankan hak rakyat. Pengusaha itu menghamba kepada cukong asing dan menindas kepada rakyat miskin” Kata Ira. Saya mengangguk.
“ Mental pengusaha itu bukan hanya culas kepada rakyat, mereka juga culas kepada negara. Penyeludupan CPO itu sudah berlangsung sejak 15 tahun lalu. Penyebabnya karena disparitas harga lokal dengan harga ekspor jauh sekali. Pengusaha menghindari DMO dan bayar pajak ekspor. Tidak peduli karena itu kebutuhan dalam negeri kurang untuk bahan baku minyak goreng. Tidak peduli negara suffering karena devisa hasil ekpor parkir di luar negeri.
Belum lagi dana iuran perusahaan sawit dibawah Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit. Dari tahun 2015 sampia 2019, terkumpul Rp 43 triliun. Dari dana terkumpul itu sebesar Rp. 38,7 triliun digunakan untuk memenuhi insentif mandatori biodiesel. Petani hanya dapat tak lebih 2% dari dana terkumpul itu. Padahal petani juga ikut menyumbang sekitar Rp. 150/kg buah tandan” Kata salah satu team Ira.
“ Semakin lama semakin tersibak. Bahwa kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada rakyat. Tapi berpihak kepada korporat. Pemutihan atau pengampunan 3,3 juta hektar lahan sawit yang berada di kawasan hutan, hanya dengan denda dan pajak mereka mendapatkan pengampunan. Lahan sawit ilegal menjadi legal. Kalau dihitung secara ekonomi dan sosial, itu tidak sebanding dengan kerugian yang didapat. Ya kerugian akibat praktik kejahatan tersebut seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran, harus ditanggung oleh rakyat kecil“ Kata salah satu team Ira.
“ Itu bisa terjadi karena melalui mekanisme Pasal 110A dan 110B Undang-undang (UU) Cipta Kerja. Dengan beleid ini, perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan. “ Kata Ira. saya dari tadi hanya menyimak.
Saya bisa menerima fakta itu. Karena Laporan World Resources Institute dan Global Forest Review tahun 2002 hingga 2020 menyebutkan, Indonesia masuk ke dalam jajaran empat negara dengan angka pembabatan hutan tropis terbesar di dunia. Indonesia menduduki urutan kedua, setelah Brasil dengan angka pembabatan hutan tropis 9,7 juta hektar. Khusus untuk Sawit mencapai 3,4 juta hektar. Itu sudah diakui pemerintah dengan melegalkannya.
Semoga kedepan pembangunan Indonesia lebih peduli kepada nasip bumi dan manusia. Sudah cukup memanjakan korporat yang hanya segelintir saja namun rakus itu. Caranya ? melindungi kepentingan rakyat petani yang selama ini berkonflik dengan korporat. Menghentikan perizinan baru untuk perkebunan, pertambangan dan sektor pertambangan di seluruh wilayah yurisdiksi Indonesia. Meningkatkan value chain CPO lewat sistem logistik terpadu dengan pusat pengolahan donstream secara luas. Membangun ekosistem downstream CPO yang yang bukan hanya untuk usaha besar tetapi juga bisa diakses oleh UKM.
***
“ ALe, kita korbankan sumber daya alam yang begitu penting untuk anak cucu kita. Itu karena kita kepepet untuk bayar utang luar negeri yang perlu devisa. Walau neraca perdagangan kita surplus dengan ekspor SDA meningkat, namun devisa hasil ekspor lebih banyak parkir di luar negeri. Dan negara terpasa berhutang lagi untuk bayar utang luar negeri. Kan bisa disebut mereka itu pengkhianat. Mengapa Devisa Hasil ekspor di banyak parkir di luar negeri ? Tanya ira saat di pesawat menuju jakarta.
" Investor lokal yang kita banggakan dan timang timang seperti bayi itu tak lebih makelar kodok. Bukan entrepreneur yang punya visi kebangsaan. Hampir semua pengusaha yang punya konsesi SDA itu menerapkan skema counter trade atau ijon. Mereka menarik pinjaman luar negeri untuk eksploitasi SDA, yang pembayarannya lewat hasil produksi. Jadi wajar saja, setiap ekspor hanya dicatat dalam pembukuan tapi tidak masuk ke dalam negeri. Itu devisa dikuasai oleh lender.
Mereka kadang menggunakan SPC dengan menunjuk lembaga keuangan sebagai S/A ( special assignee) di luar negeri sebagai lender dengan skema non arbitrase. Artinya jaminannya hasil SDA itu sendiri. Jadi wajar kalau semua hasil ekspor masuk ke rekening SPC. Pengusaha hanya catat dalam pembukuan. Bayar pajak. Sejatinya mereka tidak percaya kepada pemerintah, terutama tidak yakin terhadap stabilitas politik. Kalau chaos terjadi, ya mereka tinggal angkat koper terbang ke luar negeri. Di luar negeri mereka sudah sangat kaya dan menikmati hidup dengan damai." Kata saya.
" Di China, kalau terindikasi perusahaan punya rekening di luar negeri tanpa terafiliasi dengan dalam negeri, maka dianggap korupsi dan hukumannya MATI! Hukum kita yang begini engga ada. Orang hanya diikat dengan semangat pancasila. Percaya sajalah. Terima sajalah. SDA ludes, DHE milik orang asing. " Kata Ira. " Eh kalau engga salah kamu juga punya kebun sawit? Tanya Ira.
“ Kita beli saham yang dimiliki perusahaan terdaftar di Singapore. Saham lokal kami pertahankan sebagai proxy. Namun kami sebagai offtaker dari produksi CPO untuk bisnis supply chain ke China. Kalau indonesia membangun pusat logistik dan stockis terpadu dengan kawasan industri downstream, tentu kami bisa undang mitra kami di China, Eropa untuk relokasi pabrik mereka ke Indonesia. Kan secara bisnis lebih efisien mendekati bahan baku” Kata saya. Ira tersenyum dan mengangguk.
“ Rakyat tidak paham bagaimana sumber daya Alam dirampas dan dikuras tanpa ada manfaatkan besar bagi negara. Mereka hanya sibuk bicara politik polarisasi dan seperti kerbau ditusuk hidung mereka mau saja digiring ke bilik suara. Padahal faktanya 7 presiden berkuasa, hanya jualan citra humanis. Tetapi kekuasaannya dirantai oleh kepentingan oligarhi bisnis kebun, tambang dan mineral. “ Kata Ira. Selang beberapa waktu, Ira terdiam dan akhirnya tertidur. Rakyat indonesia sebagian besar memang tidur. Mereka doyan berfantasi tentang kemakmuran atas hadirnya presiden baru, tapi mereka tidak sadar proses neokolonialisme sedang berlangsung.
Rumit juga..... 😂
ReplyDeleteWow...
ReplyDeleteDari tulisan Babo kali ini saya dapat berkesimpulan bahwa Negara yang memilki Idiologi itu hanya China dan Iran... Mereka berprinsip bahwa Kepentingan Negara di atas kepentingan yang lain...
ReplyDelete