Sunday, April 30, 2023

Hamka yang saya tahu




Hari minggu saya membawa istri dan dua cucu saya nonton film " Buya Hamka. " Bagi saya. Sosok Hamka adalah inspirasi saya. Nenek saya (Nurbaya Gani Amrullah) dari garis ibu, satu kakek lain nenek dengan HAMKA. Kakek mereka bernama Syeikh Muhammad Amrullah Tuanku Abdullah Saleh. Keturunan dari Arab. Ayah Nenek saya bernama Gani Amrullah. Ayah Hamka bernama Abdul Karim Amrullah, dikenal sebagai ulama besar di era itu. Di makkah dia satu tempat mondok dengan Kh Ahmad Dahlan ( Darwis) dan Hasim Ashari.  Jadi baik Abdul Karim Amrullah, Hasim Ashari maupun Darwis  belajar pada tokoh  pembaharu  islam, Syekh Ahmad Khatib al-minangkabawi. Saat itu Syekh Ahmad juga imam besar Masjidil Haram. Sepulang dari Makkah, tahun 1912 Darwis mendirikan Muhammadiah. Karim Amrulah hadir pada pembukaannya. Tahun 1926 Hasim Ashari mendirikan NU. Amrullah dan Darwis memberi dukungan dengan hadir pada acara pembukaan.


Tahun 1950 papa dikirim ayahnya ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah. Maklum saat itu Kakek saya termasuk orang kaya. Yang antar sepupunya. Oleh sepupunya, papa dititipkan di rumah Hamka di kawasan Sawah besar Jakarta. Saat itu HAMKA baru setahun pindah dari Medan. Namun tidak lama tinggal sama Hamka. Kakek saya beli rumah di Kawasan Tanah Sereal ( Belakang Gajah Mada ). Oleh kakek saya iparnya yang supir angkot beristri orang sunda tinggal di Jakarta, diminta untuk menemani papa saya tinggal di rumah itu. Walau hanya beberapa bulan tinggal sama Hamka. Papa sangat mengagumi HAMKA secara personal. Dari Papa saya sering dapat cerita tetang disiplin HAMKA terutama soal sholat. Kesetiaan kepada istri dan bertanggung jawab kepada anak. Hidup tanpa prasangka buruk kepada siapapun.


*** 


Masa kecil dan remaja.

Masa kecil HAMKA bernama Malik. Dia tidak terdidik baik oleh Ayahnya. Karena sebagai ulama, Ayahnya sering berpergian untuk berdakwah dan juga berniaga. Usia 12 tahun. Ayah Hamka bercerai dengan Ibunya. Anak dan harta dikuasai Istri. Begitu adat Minang. Hamka dibesarkan dan dididik oleh kakak dan adik ibunya. Ya paman pamannya. Makanya masa kecil ABG Malik tidak belajar Agama. Tapi belajar Silat. Malik memang pandekar Silat yang disegani di Kampungnya. Dia memang nakal namun tidak jahat. Dia jago berkuda. Makanya dia sering jadi joki balap kuda.


Setelah ibu Malik menikah lagi dan pindah ke Medan. Malik tidak mau tinggal dengan ayah tirinya. Dia memilih tinggal dengan ayahnya di Padang Panjang. Namun tak lama kemudian, Ayah Malik menikah lagi. Tamat sekolah Sumatera Thawalib Padang Panjang. Malik memutuskan pergi merantau ke Jawa. Ia menumpang di rumah Marah Intan sesama perantau Minang dan bertemu adik ayahnya, Jafar Amrullah di Yogyakarta. Pamannya itu membawanya ke tempat Ki Bagus Hadikusumo untuk belajar tafsir Al-Qur'an. 


Dari Ki Bagus, Malik mengenal Sarekat Islam dan bergabung menjadi anggota. Melalui kursus-kursus yang diadakan Sarekat Islam, ia menerima ide-ide tentang gerakan sosial dan politik. Gurunya waktu itu adalah Tjokroaminoto dan Suryopranoto. Malik mengikuti kelas dengan tekun, sering bertanya dan menyalin pelajaran yang didapatnya. Karenanya Tjokro mengagumi kecerdasannya, Hanya setahun tinggal di Jawa.  Pada tahun 1925 ia kembali ke Padang Panjang dan mulai mencoba menjadi seorang pengarang. Karya pertamanya berjudul Si Sabariah (1926). Tahun 1927 Malik pergi Ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji. Tapi termasuk nekat. Tanpa uang cukup. Dia perlu setengah tahun di Makkah sebagai koresponden harian Pelita Andalas dan sekaligus memperlancar bahasa Arabnya. 


Sepulang dari Makkah tahun 1929  atau usia 21 tahun, dia menikah dengan anak pamannya, Siti Raham. Dia tidak punya skill lain untuk hidup kecuali menulis sastra dan jurnalistik. Saat itu hidup sebagai penulis sekaligus sebagai jurnalis tidak mudah.  Memang dukungan istri dari anak pamannya itu luar biasa membuat Malik tetap tangguh sebagai penulis dan juga pejuang nasionalisme.


Menjadi Ulama, sastrawan dan pejuang.

Setelah menikah, tahun 1932 Malik pindah ke Makasar. Dia dipercayai sebagai mubalig oleh Pimpinan Muhammdiah. Maklum orang percaya Malik putra dari ulama besar, tentu ilmunya juga pasti luas seperti ayahnya. Padahal tidak demikian. Nah saat itulah Malik terpacu untuk belajar otodidak agama islam secara luas. Tentu tidak sulit.  Disamping penguasaan bahasa Arab nya bagus dan belajar selama di Jawa, juga didukung latar belakang sekolah agama selama 7 tahun di Diniyah dan Tawalif Padang Panjang. Sekolah yang didirikan oleh ayahnya itu menerapkan metode belajar-mengajar  seperti metode yang digunakan di sekolah-sekolah agama di Mesir. Bahkan, buku-buku dan kurikulumnya pun disesuaikan dengan buku-buku dan kurikulum yang digunakan di sekolah Al-Azhar, Mesir. Gelar doktor ayahnya memang berasal dari sekolah Al-Azhar, Mesir. Kebiasaan membaca dan belajar otodidak itu terus dipupuknya tiada henti sampai ajal menjemput tahun 1981.


Tahun 1934 Malik kembali ke Medan. Bersama dengan M. Yunan Nasution di Medan, ia memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Pada majalah itu dimuat cerita bersambung di bawah Lindungan Ka’bah dan Tengelamnya Kapal Kapal Van der Wijck.  Jadi populer. Saat itu juga nama panggilan Malik digantinya dengan HAMKA.  Tapi karena tulisan HAMKA di Pedoman Masyakarat sering mengkritik Belanda, akhirnya majalah itu dibredel.  HAMKA tetap aktif di pergerakan Muhammadiah. 


Berkenalan dengan Soekarno.

Tahun 1941 dalam muktamar Muhamamdiah, HAMKA berkenalan dengan Soekarno di Yogyakarta. Soekarno terkesan sekali dengan  wawasan Hamka. Sebaliknya HAMKA juga mengagumi Soekarno sebagai tokoh besar pergerakan kemerdekaan Indonesia. Makanya pada saat Soekarno diasingkan ke Bengkulu. Soekarno  minta kepada Oei Tjing Hin, Konsul Muhammadiyah Bengkulu, agar membawa Hamka bertemu dengannya di Bengkulu. Itu bisa dimengerti. Mereka sama sama satu chemistry. Keduanya terinspirasi dengan politik pegerakan Islam HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim.


Saat Jepang masuk dan Belanda terusir dari Indonesia. Jepang beri dia jabatan pada 1944 sebagai anggota Sangi Kai Syu, semacam Dewan Perwakilan. Tentu ada alasan mengapa dia setuju. Dia percaya pada janji Jepang untuk memberikan kemerdakaan kepada Indonesia. Dan tentu berharap Jepang tidak membubarkan Muhammadiyah. Namun, karena sikap akomodatif untuk bekerjasama dengan penjajah Jepang, Hamka, seperti halnya Soekarno dan Mohammad Hatta akhirnya dituduh sebagai kolaborator oleh kelompok revolusioner, salah satunya adalah Sutan Syahrir.


Setelah Jepang jatuh dan Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan  Soekarno dan Hatta pada 17 agustus 1945. Setelah itu Tentara sekutu pemenang perang dunia kedua, ingin mengembalikan Indonesia kepada Belanda. HAMKA memilih masuk hutan bergrilya melawan agresi Belanda itu. Padahal tahun 1946 Soekarno sebagai presiden minta Hamka pindah ke Jakarta. Tetapi, Agresi Pertama pada 1947 membuat ajakan Sukarno tertunda. Satu tahun kemudian, Sukarno mengunjungi Hamka di Buktitinggi, Sumatra Barat. Dalam lawatannya itu, Hamka menghadiahkan Bung Karno sebuah puisi berjudul "Sansai juga aku kesudahannya”. Hamka benar-benar hijrah ke Jakarta pada 1949, setelah penyerahan kedaulatan. Ia memboyong keluarganya ke Ibu Kota.


Di Jakarta HAMKA bekerja sebagai pegawai pemerintah di Departemen Agama, pada saat yang sama dia terjun dalam kancah politik. Ia bergabung dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menginginkan perjuangan Islam melalui mekanisme konstitusional. Namun,  Soekarno meminta para pegawai untuk memilih tetap menjadi pegawai atau anggota partai. Dia memilih jadi anggota Partai. Pada pemilihan umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante mewakili Jawa Tengah. Dalam sidang-sidang Konstituante, ia menyampaikan pidato tentang bahasa, hak-hak azasi manusia, dan dasar negara. Hamka tampil sebagai salah seorang penanggap pidato Presiden Soekarno berjudul "Republika" (yang mengajak kembali ke UUD 1945 dan ide "kabinet kaki empat"). Ia menolak gagasan Presiden Soekarno yang akan menerapkan Demokrasi Terpimpin. Karir politik berakhir sejak konstituante dibubarkan Soekano.


Di tangkap tanpa diadili.

Bung Karno itu cerdas dalam berjuang menegakan persatuan dan kesatuan Indoneasia. Namun sebagai manusia tentu dia tidak sempurna, misal melodrama revolusi. Terutama selama periode Demokrasi Terpimpin. Kadang langkah Bung Karno memimpin tak jarang memancing kritik. Sebenarnya bukan Soekarno anti kritik. Tapi maklum pembisik utama adalah PKI yang saat itu ada di ring 1 kekuasaan Presiden. Semua tahu hubungan PKI dan Masyumi tidak harmonis dan saling ceriga. Disinilah fitnah dan adu domba antara Soekarno dan rekan seperjuangannya terus ditiupkan. Akhirnya rekan Bung Karno semasa perjuangan: Natsir dan Sutan Sjahrir dan lainnya dipenjara karena kritik. “Salah satu cara rezim Soekarno untuk melumpuhkan lawan-lawan politiknya ialah memenjarakan mereka, baik yang turut dalam pemberontakan daerah maupun yang bukan selama beberapa tahun tanpa proses pengadilan,” ujar Ahmad Syafii Maarif dalam buku Percaturan Islam dan Politik (2021).


Majalah besutan Buya Hamka, Panji Masyarakat, misalnya. Majalah dwi mingguan itu diberedel pemerintah Orde Lama pada 1960. Dianggap keras mengkritik Soekarno. Kemudian, Buya Hamka selaku petinggi majalah ikut ditahan beberapa tahun setelahnya, atau pada 27 Januari 1964. Hamka di penjara  atas tuduhan kejahatan subversif. Ia dianggap memiliki rencana jahat membunuh Soekarno. Kan aneh tuduhannya. Engga rasional. Mana mungkin ulama tega membunuh pemimpinnya, apalagi sahabatnya sendiri. Itulah Politik.  Nama Hamka dihancurkan, perekonomiannya dimiskinkan, kariernya dimatikan dan buku-bukunya dilarang beredar sejak itu. Kali ini hanya Ummi Siti Raham sangat luar biasa setia dan tanggunnya mendampingi HAMKA.


Setelah Hamka dibebaskan dari Penjara. Apakah HAMKA dendam dengan Soekarno.? Apalagi dia bebas saat Soekarno jatuh dan PKI digulung. Hamka tidak dendam sama sekali. Dia terlalu cerdas membedakan antara politik dan personal. Bagaimanapun politik tetaplah politik. Perbedaan itu biasa saja. Tetapi persahabatan dan silihturahim tidak boleh putus. Buktinya, saat Sekjen Departemen Agama dan Mayjen Soeryo, ajudan Presiden Soeharto, datang ke rumah Hamka membawa pesan dari keluarga Soekarno pada 16 Juni 1970. Pesannya, Buya Hamka dengan sangat hormat diminta mengimami shalat jenazah Soekarno.


Tanpa pikir panjang, HAMKA kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai wasiat Soekarno, Buya Hamka pun memimpin shalat jenazah mantan presiden yang pernah menjebloskannya ke penjara itu. Hamka bahkan memuji Soekarno yang membangun Masjid Baitul Rahim di Istana Negara dan Masjid Istiqlal.


''Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…,'' kata Buya Hamka.


Bagaimana dengan Pramoedia Anatoer  pimpinan Lekra PKI yang sering memfitnah Buya HAMKA. Tetap saja HAMKA tidak dendam. Bahkan saat orde baru melarang semua tulisan Pramoedia, justru HAMKA tidak sependapat. Karena filsafat hidup Buya Hamka adalah cinta. ''Kalau tidak suka pada isi sebuah buku, jangan buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis buku pula, kata beliau,'' tulis Taufiq Ismail menceritakan sosok Buya Hamka dalam pengantar buku Ayah. HAMKA tutup usia tahun 1981, pada usia 73 tahun. Meninggalkan 10 anak, Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Ia ulama yang rendah hati dan pejuang tanpa berharap jabatan dan tanpa mengejar kekayaan.

2 comments:

  1. Anonymous6:43:00 AM

    Alfatihah buat Buya Hamka 🙏🇮🇩

    ReplyDelete