Sunday, November 27, 2022

Ketidak adilan memangsa mereka..

 




Aku turun di Kawasan Pantai Indah kapuk. Berjalan kaki kearah Jantung CBD. Di tempat ini pasti tidak ada cerita soal ketidak adilan sosial. Mereka yang tinggal di kawasan ini sanggup menghadapi krisis lebih 3 tahun. Setidaknya mereka menikmati passive income dari suku bunga yang tinggi. Tabungan mereka lebih dari cukup untuk terus konsumsi. Ketika orang bingung jadi korban PHK, dan harga melambung. Di kawasan ini penghuninya tidak terpengaruh apapun dengan beragam keluhan di luar sana. 


Sebelumnya aku mampir ke outlet beli rokok. Depan toko itu aku melihat wanita kurus dengan wajah ketakutan. Mungkin juga lapar. Aku tidak begitu perhatikan. Terus masuk ke toko untuk dapatkan rokok sebungkus. Wanita usia belum 20 tahun itu masih ada depan toko tapi pinggir jalan. Dia kebingungan. Aku dekati. “ Nak, kamu mau kemana ?


Dia menangis dengan wajah takut. “ Aku diturunkan disini. Aku tidak tahu bagaimana pulang. “ 


“ Kemana pulangnya ?


“ Ke Mangga Besar.”


“ Kamu udah lama di Jakarta?


“ Baru tiga bulan. “


“ Terus ngapain ke kawasan ini?


“ Tadi datang diantar mami ke apartemen. Mami janji akan jemput keesokan  paginya. Tapi tamuku marah marah. Dia suruh supir keluarkan aku. “ Katanya menangis.


“ Siapa nama kamu ?


“ Nama saya Marni. Aku berasal di daerah Pantura Jawa. “ 


“ Ya udah, aku pesankan ojol. Nanti kamu naik ke mangga besar. Kamu engga usah bayar. Aku bayar” kataku. Dia menggil dengan menggeleng gelengkan kepala. “ Aku tidak mau ke tempat mami. Bisa mati aku.”


Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan? 


“ Jadi apa rencana kamu. Pulang kampung ya? saya ongkosi”


Dia menggelengkan kepala. “ Aku tidak mau pulang” 


“ Kenapa ? Tanyaku. Dia terdiam. Tatapannya kosong. Akhirnya air mata menganak di tubir matanya. Dia menggeleng gelengkan kepala.  “ Usia 11 tahun aku diperkosa. Sejak itu aku dianggap tidak ada harga lagi. Tidak ada yang bisa dijual dari ku.  Kami miskin. Harta keluarga miskin adalah perawan anak gadisnya” Terdengar suaranya lirih. Aku terhenyak. Di hadapanku ada korban human trafficking. Aparat tidak akan penduli tanpa ada keberanian dia melaporkan. Aku berpikir keras. Apa yang harus aku lakukan. Di hadapanku ada anak manusia yang lemah dan tak tahu akan kemana melangkah.  “ Kamu mau kerja jadi pembantu rumah tangga di Apartemen? Tanyaku dalam keadaan tak berdaya juga.


Dia tatap aku seraya menghapus airmatanya. “ Mau. Aku bisa masak dan cuci pakaian” Katanya. Sepertinya dia punya keberanian untuk keluar dari masalah.


“ Ya udah ikut aku ke apartement itu” Kataku menunjuk ke apartement Florence. 


***

Florence bisa menerima Marni sebagai ART. Setidaknya menemani dia di rumah. Mungkin karena sikap Florence yang keibuan dan penyayang. Membuat Marni jadi relax. Diapun cerita…


Waktu SLP orang tuaku menjualku kepada lik Par. Usia 11 aku sudah kehilangan perawan. Aku tak mengerti apa yang menarik dari tubuh kurus keringku. Sejak itu aku tak mau lagi pergi bermain, keluar rumah hanya untuk sekolah atau disuruh simbok ke warung. Aku ingat selalu mandi berlama-lama karena merasa tak pernah bisa bersih lagi. Tidur bagai kepompong, berbalut seprai putih sambil berharap tak bangun lagi esok pagi. Godaan untuk bunuh diri bukan tak ada, sayang uang jajanku tak pernah cukup untuk beli obat serangga. Gantung diri jelas tak menarik minat. Pasti sakit sekali mati dengan cara seperti itu.


Setamat SLTP aku tidak bisa terus ke SMU. Kerja di pabrik secara informal dan dibayar apa adanya. Tak cukup untuk hidup dua minggu. Ketika tawaran Yu Sri datang, aku seperti kejatuhan bintang. Ia mengajak ke kota untuk sekadar bantu-bantu di rumahnya. Aku tahu simbok berat hati melepasku. Apa daya bayangan uang kirimanku kelak begitu menggodanya. Apalagi bapak sudah lama lari dengan perempuan nakal. Penghasilan simbok sebagai buruh tani tentu jauh untuk dikatakan layak. 


Mungkin saja simbok lega dengan kepergianku, tak ada lagi aib yang ditutupi.  Aku tahu, ia sering menangis diam-diam ketika mengelus-elus kepalaku di tengah malam. Tentu ia paham penderitaanku, bukankah selama sembilan bulan kami pernah berada pada raga yang sama? Ternyata bayangan kota di benakku selama ini amat jauh dengan kenyataannya. Meski rumah-rumah di sana lebih bagus daripada di desa, tapi tak ada gedung bertingkat dan Monas seperti di buku pelajaran. ”Ini bukan Jakarta, bodoh! Ini Subang, negeri seribu impian ” sergah Yu Sri.


Ternyata yang dimaksud bantu-bantu itu mengurusi Yu Sri. Menyiapkan air mandi, masak, termasuk menyediakan minuman hangat sepulang kerja. Yu Sri pulang kerja menjelang pagi. Berangkatnya waktu Isya dijemput ojek langganan. Aku tak berani tanya-tanya lagi karena matanya melotot waktu kutanya kantornya di mana. 


Lama-lama aku mulai menduga-duga Yu Sri kerja apa. Pantas saja ia harus bergincu begitu rupa dengan bahu terbuka. Aku tak mau ambil pusing selama ia rajin mengirimi uang kepada simbok sebagai bayaran tenagaku. Untuk diriku, cukuplah uang jajan ala kadarnya. Toh aku selalu makan kenyang di rumahnya. Dua tahun berlalu, Yu Sri mengeluh tak sekuat dulu lagi. Ia mulai sering masuk angin. Aku sudah hafal saat ia mulai sibuk mencari duit benggol untuk kerokan. Kudengar ia berkata kepada temannya kalau pelanggannya tak sebanyak dulu.


Akhirnya aku terbawa masuk lingkungan warung remang-remang itu. Jadi ini memang kantornya Yu Sri. Untung saja Mami di situ masih punya nurani, ataukah memang usiaku yang masih belum cukup? Mungkin saja memang seperti itu jenjang yang harus ditempuh untuk menjadi Lonte. Jadi aku cuma bantu-bantu cuci piring dan bersih-bersih. Kadang-kadang juga bantu keperluan perempuan-perempuan di situ.


Di siang hari aku bisa bernapas lebih lega, sebab malam hari telingaku tersiksa mendengar tawa mereka yang berubah seperti ringkik kuda. Makin malam makin ramai pesanan makanan dan minuman. Musik dangdut berdentum keras. Truk besar banyak diparkir di luar. Sopir-sopir dengan wajah berkilat oleh keringat sejenak melepas lelah, dikelilingi gelak dan bisik undangan syahwat. Beberapa dari mereka kemudian menghilang ke kamar-kamar di belakang. Tak tahu pasti aku, mereka sekadar melepas lelah ataukah sejenak melupakan beban hidup?


Kupikir jadi lonte di sini bukan hanya karena terimpit kemiskinan, tapi sudah jadi gengsi. Ada yang menganggap sebutan jablay sebagai kebanggaan. Nelayan di Subang hingga Indramayu kehilangan penghasilan akibat anomali cuaca dan banjir rob. Dalam keputusasaan, keluarga mereka memilih prostitusi sebagai jalan keluar ekstrem. Kakak beradik bisa bekerja di satu warung bahkan kabarnya ada yang seizin orangtua. Kelihatannya hanya Yu Sri yang satu-satunya pendatang. Pasti ada seseorang yang membawanya ke sini dulu.


Marni menghela napas barang sejenak. Kami menyimak.


Yu Sri jarang kerja lagi karena sakit-sakitan sampai suatu hari berhenti sama sekali. Aku tak tahu ia sakit apa sebab banyak sekali keluhannya. Ia rutin pergi berobat entah ke mana. Tempatnya pasti jauh karena pergi pagi dan pulang malam hari, malah kadang-kadang tak pulang dua hari. Pulangnya selalu dengan obat satu tas keresek. Suatu hari Mami memberiku baju baru dan mengajari dandan. ”Besok malam, mulailah belajar menemani tamu di meja.” Ia diam sejenak sambil menggerak-gerakkan kuas kecil di pipiku. ”Jangan mau diajak ke kamar dulu ya!” suaranya tetap rendah tapi tegas.


Malam berikutnya, seperti kerbau dicocok hidung aku didorong Mami bergabung dengan kelompok kecil di sudut ruangan. Ada dua orang lelaki di sana yang menyambut dengan senyum penuh arti. Beberapa perempuan di sana ikut juga tersenyum, ada yang tulus ada juga yang dengan bibir setengah terangkat. Biasa itu, anak baru diterima sebagai teman juga sebagai pesaing.


Jarum jam seperti lambat bergerak menunggu malam usai. Satu tamu pergi datang tamu lainnya. Tubuhku sudah lelah dan betisku pegal-pegal karena sepatu berhak tinggi. Mulutku juga pegal tersenyum dari tadi, meski aku lebih banyak berdiam diri. Selama seminggu itu aku cuma menemani tamu minum-minum.


Marni terdiam. Seakan berpikir atau menahan sedih.. Florence terus menyimak.


Dua orang tamu datang ke rumah. Katanya mereka dari tempat Yu Sri biasa berobat. Tanpa basa-basi ajarkan bagaimana mencegah penularan penyakitnya. Kemudian semua anjuran dua orang tamu itu kujalani sungguh-sungguh. Kalaupun aku harus tertular, itu pasti takdir atau kebodohan. Yu Sri kelihatan lega aku tak tanya-tanya soal penyakitnya. Sama leganya waktu ia tahu aku mulai menemani tamu minum di warung Mami.


Keesokannya Mami menjualku kepada agent yang akan memperkerjakan aku sebagai Lonte di Jakarta. Ternyata mami menipu agent itu. Katanya aku masih perawan. Sebenarnya aku ragu aku tidak perawan. Karena ingat dulu, kali pertema disentuh pria tidak ada darah berlebih. Tapi ternyata ketika agent itu menjual aku, pembeli kecewa besar. Terbukti aku tidak perawan lagi. Pembeli itu usir aku dan akhirnya aku bertemu dengan bapak ini.” demikian cerita Marni menoleh kepadaku. Florence berlinang air mata. 


" Ya kamu kerja di sini saja. Gaji kamu sebulan Rp. 3,5 juta. Di apartement ini hanya ada ibu dan asisten. Sebenarnya Ibu tidak selalu makan di rumah. Tapi kalau kamu bisa masak, ibu akan makan di rumah. Nanti kamu akan ibu sekolahkan sampai tamat SMU. Mau ya." kata Florence. Marni menganguk dan menangis.


***


Di jalan pulang. Aku bicara dengan driver Ojol. Dia korban PHK. 


" Awalnya Ojol memberikan income cukup. Tapi lambat laun, driver terus bertambah. Pelanggan semakin sulit didapat. Fee aplikasi semakin besar. Biaya hidup terus naik." Kata Driver. Aku berempati dan menyimak. “ Pak, kalau orang bingung harga naik sementara pengahasilan tidak naik. Itu. Artinya ketidak adila sistem sedang bekerja mengorbankan rakyat kecil. “ Kata Driver Ojol.


Aku terhenyak. 


“ Sistem ekonomi lah yang membuat proses produksi jadi naik. Diawali dari suku bunga bank naik, ongkos jasa naik, ongkos pasokan juga naik. Seharusnya upah juga naik. Tetapi para buruh tidak punya posisi tawar dihadapan pemberi kerja. Ada lautan manusia di luar sana yang tidak bekerja. Yang kapan saja bisa menggantikan pekerja yang mogok. Mereka  bisa diusir kapan saja. “ Demikian supir Ojol berkata kepadaku.


Aku tidak akan berdebat dengan kamu tentang mengapa orang miskin dan gagal menjadi kaya. Kamu bisa saja mengatakan simiskin itu karena mereka malas dan bodoh. Tidak bermoral. Lemah iman.  Itu hak kamu. Sejak usia muda aku akrab dengan ketidak adilan.  Setiap hari aku lihat dan saksikan. Bahkan aku sendiri merasakan. Jadi jangan salahkan aku bila berempati kepada mereka.


Aku tidak marah kepada pemerintah. Itu hak mereka bila terlalu sering berjanji tentang kemakmuran.  Nyatanya hanya untuk segelintir saja. Akupun tidak akan menagih janji itu. Siapalah aku? hanya jelata. Namun aku percaya bahwa Tuhan sayang kepada simiskin. Bahkan saat orang berbuih lidah bicara agama merendahkan pelacur. Aku percaya, Tuhanku tetap sayang pada pelacur. 


Setidaknya saat ketidak adilan itu terjadi dihadapanku, Tuhan gerakan hatiku untuk berbuat.  Sedikit Tuhanku beri, sedikit itulah aku tegakan keadilan. Andaikan tidak terjangkau tanganku untuk meraih mereka semua. Empati kuberikan. Lewat tulisan aku bersuara. 

1 comment:

  1. Anonymous8:02:00 AM

    Keberulangan fakta hidup di segala waktu dan tempat

    ReplyDelete