Saya sengaja naik kereta Subway ke arah financial center Hong kong. Di sebelah saya duduk, ada wanita muda. Dia berhias dengan cermin Hape nya. Sepertinya dia tidak pedulikan saya. Setelah usai berhias. Dia tanpa sungkan membuka roknya. Dia masukan dengan rapi rok itu ke dalam tasnya. Dia mengeluarkan seragam SPG dari dalam tas dan mengenakan seragam SPG itu. Dia sempat tersenyum ke arah saya. Itu sudah cukup sebagai tanda ucapan maaf. “ Anda kerja di Wanchai, di daerah Lockard Road ? Tanya saya menebak. Karena di kawasan itu memang banyak bar dan cafe.
“ Ya. “ jawabnya singkat.
Dia asyik dengan gadget nya. Saya pehatikan dari samping dia sedang belajar bahasa inggris secara online. Efektif sekali dia gunakan waktu. Bibirnya terliat turun naik. Itu tandanya dia sedang melafalkan kata kata dalam bahasa inggris sesuai tutorial. “ Anda dari mana ? tanyanya dalam bahasa inggris.
“ Indonesia.”
“ Saya suka Indonesia dan berharap suatu saat saya bisa piknik ke Bali.” katanya dalam bahasa inggris yang hampir sempurna. “ Saya kerja tiga kali sehari di tempat berbeda. Saya perlu uang untuk kuliah tahun depan dan berharap saya bisa jadi sarjana agar qualified masuk bursa kerja atau berbisnis. “
“ Kerja keras yang luar biasa “ kata saya berempati.
“ Ya. Sejak tamat SMU, saya tidak ada waktu bertemu dengan teman teman. Saya focus kerja aja. Kalau mereka bisa langsung ke universitas, bukan berarti nasip saya buruk. Tepatnya kurang beruntung saja. Ini hidup saya, dan tentu mereka dengan hidup mereka. Setiap orang punya jalan hidup masing masing.” katanya. Saya tersenyum dan sebagai sikap memberikan dukungan kepada semangat survivalnya
***
Di financial club saya asik menyimak pembicaraan antara teman teman. Ada yang menarik dari ungkapan yang keluar dari diskusi itu “ Kalau anda ingin menguasai sumber daya negara. Kalau anda ingin mematikan demokrasi sebagai hak kontrol. Kalau anda ingin mematikan akal sehat publik. Maka yang perlu anda lakukan adalah ciptakan musuh diantara mereka.” Saya sempat termenung lama. Pikiran saya berontak. Ingin marah. Tapi marah kepada siapa ? Sejahat itukah cara berpikir mereka dan sesederhana itukah cara mereka menguasai sumber daya.
Saya tak ingin terus terlibat dalam diskusi. Saya memilih keluar dari lingkaran diskusi. Saya cari tempat duduk lain dan memesan Wine. Connors mendekati table saya. Dia duduk dengan menyilangkan kakinya. “ Tidak nyaman ikut diskusi ? “ Kata Connors. Saya tersenyum masam.
“ B, kelemahan demokrasi adalah terbukanya kebebasan narasi kritik. Narasi yang kadang membangun satu persepsi kecemburuan sosial dan kebencian kepada kekuasaan. Kecemburuan beranak pinak jadi kebencian atas nama etnis atau agama. Nah terciptalah musuh. Dari sana juga kanal demokrasi membuka ruang bertikai sesama rakyat. Di tambah lagi dengan adanya sosial media. Setiap orang masuk dalam perangkap narasi kebencian satu sama lain. Sehingga mereka lupa para oligarki yang ada di puncak piramida menonton mereka yang tidak ada waktu lagi berpikir kritis tentang wabah korupsi dan hukum yang diperdagangkan. Demokrasi telah menghabisi spirit persatuan dan kebersamaan rakyat menghadapi oligarki.
Sementara para oligarki terjebak megalomania. Mereka sangat yakin bahwa dalam diri mereka ada kebesaran, keagungan. Mereka elite. Itu karena mereka merasa punya kekuasaan atau kekayaan atau terpelajar. Banyak kebijakan yang dipaksakan tanpa perencanaan yang baik. Ketidak efisienan anggaran yang terus ditutupi dengan kebohongan statistik dan retorika. Berita media massa yang by design dikuasi oligarki selalu memproduksi berita yang bias dan absurd.
Faktanya yang dirasakan adalah kebijakan yang tidak boleh disalahkan dan harus dipuja habis. Mereka membayar influencer, pengamat, lembaga survey. Atas nama demokrasi pula, mereka memproduksi UU dan aturan berdasarkan stigma tentang radikalis dan anti keberagaman. Sehingga punya legitimasi untuk mengkrimnalkan mereka yang menggenggam benci dan sinis kepada kekuasaan. Sebenarnya mereka tidak membangun untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk memuaskan diri mereka sendiri. Itulah penyakit megalomania.
Nah semua hal tentang demokrasi tak bisa dilepaskan dari paham liberalisme dan kapitalisme. Paham yang memberikan ruang akan kebebasan namun juga racun bagi peradaban. Ia memang memisahkan ruang agama dan budaya dengan negara, namun membelenggu jiwa akan kerakusan di satu sisi dan kebencian disi lain. Bukan masa depan yang baik untuk membangun negara kesejahteraan. “ Kata Connors panjang lebar. Saya menyimak saja dari tadi.
***
Jam 10 malam saya keluar dari gedung financal club. Dengan berjalan kaki saya menuju lockard road. Saya menyusuri jalan itu dalam cuaca dingin. Satu demi satu cafe dan bar saya lewati. Namun langkah saya terhenti ketika menatap wanita yang tadi saya temui di Subway. Dia tersenyum. “ Mampirlah. “ katanya. Saya mengangguk. Dia sediakan table untuk saya.
“ Wine atau bir ?
“ Wine, red wine” kata saya singkat.
Dia berdiri dekat table saya yang ada di teras khusus ruang smoking. Matanya awas memperhatikan orang lewat. “ Masih terlalu awal anda datang. Nanti jam 11 keatas akan rame tamu” katanya.
“Jam berapa pulang ? tanya saya.
“ Jam 3 pagi. “
“ Jam berapa sampai di rumah ?
“ Jam 4. Saya hanya tidur 3 jam. Karena jam 8 pagi saya harus kerja di restoran cepat saji di Causeway bay.” katanya.
Sejak adanya kebijakan orang China daratan bebas masuk ke Hong kong. Sepertinya kompetisi antara penduduk Hong Kong dan China semakin keras. Namun mereka tidak pernah membahas soal kebijakan itu. Itu udah policy pemerintah. Tidak ada yang lebih baik antara orang China daratan dan Hong Kong. Pemerintah menjamin keadilan distribusi sumber daya ekonomi. Setiap orang punya kesempatan yang sama dalam putaran waktu. Waktu memang berharga, tapi orang berlebih waktu tidak akan kaya. Tetapi memanfaatkan waktu dengan baik, itulah sumber kekayaan.
Mereka engga ada waktu menilai orang lain. Sehingga diantara mereka tidak terperangkap dalam kebencian dan halu yang tak sudah. Saya salut dengan wanita muda itu. Juga salut dengan semua orang Hong Kong dan China yang focus kepada diri sendiri, berjuang memperbaiki diri dan menjadi pemenang untuk kehormatan diri dan keluarga.
Mungkin karena sistem politik China yang sadar bahaya demokrasi liberal dan kapitalisme. China hanya menggunakan demokrasi dalam konteks emansipasi rakyat dalam pembangunan dan menjadikan kapitalisme sebagai metode bersaing dalam beproduksi. Sebuah antitesis terhadap pemikiran mereka yang ada di financial club.
Jam 11 malam, Wanita Philipina mendekati table saya. “ Are you alone “ Katanya menawarkan diri untuk menemani saya. Saya menolak halus. Wanita philipina itu korban dari demokrasi di negerinya. Dia harus pergi dari negerinya untuk makan. Dan wanita SPG itu tetap di negerinya dengan semangat kerja keras dan terhormat. Itu karena pemimpin mereka tahu bagaimana kehormatan bangsa dan negara harus dibela. Tahu menjaga kehormatan para wanita. Setidaknya walau sistem mereka juga oligarki namun para pemimpinnya tidak terjebak megalomania.
Who's running the World ?
ReplyDeleteBiden, Putin and Xi were arguing on Who’s in charge of the world?
US , Russia or China?
Without any conclusion , they turned to "Narendra Modi", the Indian Prime Minister and asked him who’s in charge of the world ?
Modi replied : All I know is:
1. Google CEO is an Indian .
2. Microsoft CEO is an Indian .
3. Adobe CEO is an Indian .
4. Net App CEO is an Indian .
5. MasterCard CEO is an Indian .
6. DBS CEO is an Indian .
7 Novartis CEO is an Indian
8. Diageo CEO is an Indian .
9. SanDisk CEO is an Indian .
10. Harman CEO is an Indian .
11. Micron CEO is an Indian
12. Palo Alto Networks CEO is an Indian .
13. Reckitt Benckiser CEO is an Indian .
14. IBM CEO is an Indian .
15. Britain’s Prime Minister is an Indian.
16. Britain’s Home Secretary is an Indian .
17. Ireland’s Prime minister is an Indian .
And the American Vice President is Indian .
So who's running the World ?
Very interesting !
After listened to Modi, Xi replied: "We Chinese top talents only serve their own motherland; only people who can't get a job in their own country, work for the whites."