Monday, May 02, 2022

Persahabatan

 



Bertempat di Jalan Cikini, bilangan Jakarta Pusat, berdiri megah sebuah hotel bintang tiga. Hotel ini dimiliki oleh keluarga kaya raya turun temurun. Di hotel inilah sahabatku Fernandez, tinggal selama ada di Jakarta. Aku mengenalnya pertama kali dari seorang teman yang bekerja di bank asing. Aku tidak tahu pasti berapa lama dia sudah tinggal di hotel ini. Aku tidak menanyakan itu padanya karena tentu saja, aku tak ingin bertanya sesuatu yang tidak penting. 

Semua karyawan hotel, akrab denganya. Dia adalah pria berkewarganegaraan Mexico. Penampilannya sederhana  namun pancaran matanya menunjukan bahwa dia orang yang cerdas. Dia fasih berbahasa Inggris dan Indonesia. Bahkan bahasa Jawa dan Sundanya lebih baik dariku. 


Aku sendiri tidak punya hubungan bisnis dengan Fernandez. Namun aku senang berjumpa dengannya karena dia, teman yang asik diajak ngobrol. Itulah sebabnya di setiap akhir pekan, aku selalu menyempatkan waktu untuk bertemu Fernandez. Yah, sekedar untuk ngobrol ringan tentang banyak hal.


Ketika aku sampai di loby hotel, tampak Ester sedang duduk sendirian di lounge sambil membaca sebuah majalah wanita. Aku berdiri tepat di sisinya ketika kutangkap kerling mata itu, melirik padaku dan berkata, “Fernandez sedang pergi keluar.”  


Ester adalah salah satu sahabat wanitaku. Dia datang kemari juga dengan tujuan yang sama. Kami sering berkunjung ke hotel ini untuk sekedar ngobrol dan makan malam sambil menikmati red wine yang biasanya, di beli Ester dari luar hotel. Persahabatan kami telah berlangsung lebih dari dua tahun. Kali pertama bertemu dengan Eater, ketika aku membuka rekening private bankingdimana dia bekerja. Sejak itu kami menjadi akrab dan kadang, bila ada waktu senggang, kami makan malam di luar.


Ayah Ester adalah orang German sementara ibunya adalah orang Jawa. Dia cantik dengan wajah opalnya. Hanya saja Ester kurang suka bersolek sehingga penampilannya terkesan tomboy. Pakaian yang dikenakan Ester selepas bekerja sebagai Account Officer sebuah bank, selalu celana denim dengan atasan Tshirt. Kukira kalau dia bersolek, akan banyak pria yang ingin mejadikanya pacar bahkan menikahinya. Ester tidak peduli manakala usianya sudah di atas tigapuluh tahun dan dia masih sendiri. Yang pasti, dia merasa nyaman bersahabat dengaku. Mungkin karena kami berusia hampir sebaya, hanya terpaut dua tahun.


Dari pintu lobi utama hotel nampak Fernandez datang bersama temannya. Dia seorang pria dengan penampilan bak pragawan. Dia ganteng, tinggi dengan postur tubuh propotional, berambut pirang, bermata abu-abu dan hidung yang runcing. Dia berjalan dengan elegance dalam balutan hem putih dan setelan jas warna biru tosca. Di tangannya, dia menjinjing sebuah tas hitam kecil. Sementara Fernandez, membantunya untuk membawa sebuah koper hitam dengan ukuran sedang.


“Siapa pria yang bersama Fernandez itu?” Ester bertanya sambil melirik kearahku. Aku mengangkat bahu  “Tidak tahu. Ini kali pertama aku melihatnya. Mungkin tamunya dari luar negeri.”  menjawab sekenanya. 


Dengan senyum mengembang, Fernandez menghampiri kami. “Sudah lama menunggu? Maaf karena aku harus menjemput tamu di Bandara.” Kata Fernandez sambil menoleh kepada pria ganteng yang berdiri di sampingnya, “Kenalkan, ini Tomasi.” 


Kami berjabat tangan dan dengan percaya diri, aku memperkenalkan namaku sebagai Jeli.  Tomasi melempar sebuah senyum yang menawan. Kemudian Ester  menjulurkan tangan kepada Tomasi untuk menjabat tangannya dan dengan gayanya yang cuek, dia memperkenalkan diri sebagai Esterina. 


Mereka bergabung dengan kami dalam satu meja setelah Tomasi check in kamar. Kutatap Tomasi dengan  hormat sambil berbasa basi, “ini kali pertama Anda datang ke Jakarta?” 


“Benar. Ini kali pertama.”


“Bagaimana pendapat Anda tentang Jakarta?”  


“Kota besar. Sangat besar. Semoga saya menikmati kota ini sebelum berangkat ke Bali “


“Bali?” aku terkejut. Benarlah bahwa orang asing belum lengkap bekunjung ke Indonesia bila tidak ke Pulau Dewata.


“Ya, besok saya mau ke Bali menemani Tom. Apakah kalian mau ikut?”  tawar Fernandez.


“Tawaran menarik yang tak mungkin ditolak!” sahut Ester yang sedari tadi hanya diam.


“Bagaimana dengan kamu, Ja?”   


“Ikut!” kataku tegas sambil tertawa. Ester tersenyum melihat tingkahku. Kami  tahu, kalau sebuah rencana datang dari Fernandez, maka semua ongkos akan ditanggung olehnya. Namun Fernandez  membaca pikiran kami dan dia berkelakar, “hmmm… kamu pintar sekali memanfaatkan peluang, ya? Ini kesempatan terbaik menikmati Bali dengan pesta sepanjang malam. Kita berangkat dengan investment banker dari Eropa. Dia yang tanggung semua biaya.” Kata Fernandez sambil ujung dagunya menunjuk ke arah Tomasi.


Aku merasa konyol dan mentertawakan diriku sendiri karena tebakanku salah. Ternyata Tomasi yang menanggung semua biaya perjalanan. Tapi yang pasti, ini akan menjadi liburan yang sangat menyenangkan!


“OK, kalau begitu semua harus siap di hotel ini besok pagi. Karena kita akan terbang dengan pesawat pertama.” Tambah  Fernadez, lalu kami menyanggupi usulannya dengan mendentingkan gelas wine yang kami pegang.


Malam semakin larut dan kami juga semakin asik berbincang banyak hal. Pada beberapa kesempatan, aku mampu memancing Tomasi untuk berbicara tentang siapa dia sebenarnya. Namun bagaimanapun, Tomasi terkesan tertutup kecuali dia menegaskan bahwa dirinya punya bisnis di bidang investasi surat berharga dan masuk ke bursa pasar uang di pusat keuangan dunia. Bagiku ini bisnis yang luar biasa yang hanya dilakukan oleh segelintir orang. Kalau benar apa yang dia katakan, maka dia adalah elite player.


Keesokan paginya, kami sudah berkumpul di hotel. Fernandez sudah menyiapkan taksi pribadi untuk membawa kami ke bandara. Aku duduk di barisan tengah dengan diapit oleh Fernandez dan Ester. 


“Bagaimana hasil test kerja kamu?” Tanya Fernandez kepada Ester.


“Lusa aku ikut wawancara akhir di Hong Kong. Kalau lolos, mungkin bulan depan aku akan pindah ke Hong Kong.” 


Fernandez melirik ke arah Ester yang duduk di sebelahnya dengan wajah heran. “Mengapa harus pindah? Orang seperti kamu dibutuhkan oleh negeri ini. Bagaimana Indonesia akan maju bila orang sehebat kamu lebih memilih bekerja di luar negeri?”


Dengan gaya acuhnya Ester menjawab, “Aku muak dengan sang diktator. Sehebat apa pun kita, tidak akan dihargai secara pantas. Di sini pengusaha menjilat kepada penguasa dan  menindas karyawan. Karena pengusaha merasa kemajuan usahanya lebih disebabkan kedekatannya kepada penguasa untuk menguasai bisnis rente. Tidak! Aku tidak mau menua di negeri ini. Kita hidup hanya sekali. Dunia ini luas dan kesempatan di luar terbentang lebar. Sayang kalau usia di buang  dengan menyia-nyiakan kesempatan untuk berkembang. Ya, kan?”


Aku tersenyum sekaligus kagum akan sikap Ester untuk menentukan pilihan hidup juga masa depanya. Namun Fernandez berusaha meyakinkan bahwa dia mempunyai prinsip yang berbeda dengan Ester. “Tetap aku tidak sependapat dengan kamu. Setiap  generasi harus berkorban untuk masa depan negaranya. Kakekmu juga berkorban untuk kemerdekaan negera ini. Mungkin bukan harta saja yang hilang, tapi juga nyawa yang dipertaruhkan untuk merebut kemerdekaan dari Belanda. Dan kini, kamu bisa merasakan era kebebasan dari system colonial.” 


Nampak Ester agak terpengaruh secara emosional ketika Fernandez mengingatkannya akan cinta Negara. Namun itu hanya sebentar saja. Ester dengan diplomasi berkata, “Aku tetap mencintai negeri ini. Hanya beri aku kesempatan untuk berkembang di usia muda. Kelak bila telah berhasil, aku akan pulang membangun negeri ini”  Ester tersenyum dan menoleh ke arahku yang menahan tawa demi mendengar kalimat Ester. “Kata-katamu seperti putra Minang,” kataku. “Merantaulah dulu, Buyung. Karena di kampung belum berguna!” Ester gemas dan mencubit pinggangku. Kami tergelak bersama.


Selama di Bali, Tomasi lebih banyak menghabiskan waktu bersama Fernandez. Kalau pun bersama aku dan Ester, itu hanya waktu makan malam. Dan setelah makan malam, Fernandez akan kembali ke kamar. Entah apa yang  diperbincangkan keduanya. Aku tak begitu peduli dengan mereka. Sementara aku dan Ester, menggunakan kesempatan liburan ini dengan sebaik-baiknya. 


Dengan motor sewaan, kami menuju Pantai Kuta. Aku tidak bisa mengendarai motor dan tentu saja tidak paham jalanan di Bali. Namun Ester dengan cekatan mengendarai motor memboncengku. “Jangan ragu! Pagut erat tubuhku dari belakang agar motor ini stabil,” kata Ester mengingatkan. Dia melaju hanya mengandalkan papan petunjuk arah yang terpasang di pinggir jalan.


Semula perjalanan terasa ringan dan menyenangkan. Akan tetapi, lama kelamaan kami mulai kehilangan arah. Tak mau lama-lama dengan ketersesatan, Ester bertanya  kepada seorang  petugas lalu lintas yang berdiri di pinggir jalan. Ester berusaha mengingat dan mengikuti petunjuk arah jalan ke Kuta. Setelah memutar di beberapa ruas jalan, kami berhasil masuk ke kawasan Kuta. Tapi kami tak bisa menemukan pantai Kuta dengan mudah. Motor terus bergerak mengikuti setiap belokan jalan. Dan yang kami jumpai hanya bar, kafe, toko, distro, hotel dan bule-bule yang berjalan di trotoar jalan.


“Jangan cemas, Jel! Aku adalah perempuan petualang yang mampu melebarkan sayap sampai ke Hong Kong. Masak menemukan pantai Kuta saja aku tidak mampu?” Ester berkelakar setelah beberapa kali bertanya. Aku setuju saja dengan apa yang dia lakukan. Dan pencarian kami membuahkan hasil setelah dua jam perjalanan. Di hadapan kami, terhampar  samudra yang bertepi di kaki langit, Pantai Kuta!


Ester memarkir motor di pinggir kiri jalan yang sengaja disisakan untuk tempat parkir. Di sebelah kanan jalan, berdiri MacDonald dan cafĂ© berjajar-jajar. Kami mencari tempat yang cocok untuk duduk sambil menatap laut. Sebagian pantai ini tampak teduh tertutup pohon-pohon kelapa berdaun rendah. Beraneka penjual menggelar karpet dan tikar di bawahnya. Menjajakan aneka panganan seperti bakso, soto dan lumpia. Pelatih surving dengan kulit yang menghitam terbakar matahari, menata dan mendirikan papan survingnya sedemikian rupa. Di mataku, gundukan papan surving di sepanjang pantai Kuta itu tampak seperti bukit-bukit kecil berwarna-warni. 


Malam mulai turun dan pantai tampak gelap dan sepi. Kami hanya bisa duduk di atas pasir sambil menatap langit. Sesekali, aku melirik bule yang terlentang di atas pasir beralas kain sarung di dekat kami. 


Malam itu kami menghabiskan waktu di pinggir Pantai Kuta tanpa banyak cerita. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing hingga aku dikejutkan oleh suara ponsel. Sebuah pesan singkat dari Tomasi, mengingatkan agar kami kembali ke hotel untuk makan malam. Kemudian kami bergegas meninggalkan pantai Kuta. Perjalanan pulang sama dengan perjalanan saat berangkat, kami kembali tersesat. Kami sudah berusaha mengikuti petunjuk arah, tapi hal ini tidak berfungsi. Kami berkelana hingga kemana-mana. Setiba di Hotel, kami di sambut oleh Fernandez dan Tomasi dengan wajah kesal karena menunggu cukup lama.


Keesokan harinya, aku dan Ester pergi ke Pantai Sindu dan  Legian. Perjalanan saat siang hari lebih lancar dibandingkan perjalanan saat malam. Walaupun sesekali kami masih tersesat di jalan. Kami juga pergi ke Tanah Lot, dan Nusa Dua dan masih tersesat juga. Untung kami bisa sampai di Tanah Lot dengan selamat. Akan tetapi, sesaat setelah sampai, tiba-tiba hujan datang dengan derasnya. Kami berteduh di tempat istirahat yang tersedia di sekitar area. 


Kami melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat wisata di Bali. Kami masuk ke perkampungan yang masih lekat dengan budaya asli. Kami mandi bersama penduduk kampung di kolam air pancuran. Airnya bening dan dingin. Laki perempuan mandi satu kolam. Para wanita bertelanjang dada. Ester agak ragu melepas pakaianya.


”Kenapa ragu? Bukalah bra kamu,” candaku, “lihatlah mereka, begitu menikmati kebebasan alam yang diberikan Dewata untuk umatnya.” Aku menahan tawa. 


Tentu saja aku berharap Ester tidak melepas bra yang dipakainya. Dia turun ke kolam dengan bikini dan bra masih melekat di badan. Namun dia tidak bisa jauh dariku. Ester berlindung di balik punggungku bila ada pria kampung yang mendekatinya.


Kemudian, kami mendaki bukit. Sesampai di atas, Ester merentangkan tangan dan berteriak, “Hai duniaaa… Inilah aku! Bulan depan aku akan meninggalkan negeri ini untuk terbang tinggi ke negeri orang. Aku terbang untuk menjadi bagian dari orang-orang hebat yang menghargai waktu dan bekerja keras di usia muda, untuk menikmati hari-hari bahagia dimasa tua!” 


Kuperhatikan tingkahnya dari belakang dan aku tersenyum. Dia berbalik, berlari ke arahku lalu memelukku dengan erat, “Jel…” serunya riang. “Kamu adalah sahabat terbaikku, Jel. Aku akan selalu merindukanmu. Jangan pernah melupakanku, ya?” Sambungnya tanpa melepas pelukan. Udara senja yang sejuk di atas perbukitan, membuat kami terhanyut  dalam lamunan. Kami bersedekat dan membiarkan angan membumbung tinggi ke langit. Bayangan matahari menjelma seperti bongkahan emas raksasa yang tersembunyi di balik bukit. Burung-burung melintas, terbang pulang ke sarang  dan Ester melepas pelukan. Lalu dia bertanya dengan suara manja, “bagaimana dengan bisnismu, Jel?”


“Sejauh ini baik namun aku bingung karena dollar terus menguat. Aku tidak tahu tiga tahun  kedepan, apa yang bakal terjadi. Mungkin negeri ini akan bangkrut karena dollar terbang ke langit meninggalkan rupiah yang terpuruk ke lubang  lumpur.”


“Tiga tahun lagi? Artinya tahun 1998, ya? Kau yakin?”


“Entah!” Sahutku sambil mengangkat bahu.


“Kalau terjadi apa-apa di negeri ini, jangan lupa temui aku di Hong kong, ya?” Kata Ester sambil memegang pipiku. “Berjanjilah,” katanya lembut. Ujung jemarinya mencubit pipiku. Dia meyakinkanku dengan wajah manja. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Malam turun perlahan menyelimuti perbukitan dengan kegelapan. Bintang-bintang mulai beraksi, saling berkompetisi memamerkan keindahannya. Kami memutuskan untuk kembali ke hotel setelah mengucap janji bahwa kami akan selalu menjadi sahabat.


Di hotel, Fernandez dan Tomasi sudah mananti di restoran untuk makan malam. Sesuai janji yang telah di sepakati, kami akan menikmati kebersamaan malam ini sepuas-puasnya. Karena  pukul sepuluh esok pagi, kami harus kembai ke Jakarta. 


Tomasi membawa kami ke tempat karaoke yang tersedia di hotel.  Di ruang karaoke itulah kami merasakan kehangatan bersama Tomasi.  Berkali-kali dia membawakan lagu dengan apiknya sambil berdansa dengan Ester. Aku dan Fernandez mengikuti tarian itu dengan gelas minuman di tangan. Usai sebah lagu dilantunkan oleh Tomasi, kami saling berpelukan dan tak henti tertawa. Sungguh, malam itu adalah malam yang menyenangkan.


Menjelang dini hari, kami sudahi keceriaan di kamar karaoke. Aku menuntun Ester kembali ke kamarnya karena dia tidak bisa berjalan stabil. Ester mabuk berat! Tomasi dan Fernandez masih melanjutkan pembicaraan di kamar Fernandez. Aku merebahkan Ester di tempat tidur dan menyelimutinya. “Mengapa tidak temani aku tidur, Jel?” terdengar suara Ester parau. Ini kali pertama aku menyentuhnya dan tentu ini pertama kai dia disentuh pria. Dan paginya dia sangat bahagia. 


Sebulan sejak wisata ke Bali itu, Ester mengabarkan padaku bahwa dia diterima bekerja di bank  investasi di Hong Kong. Sejak itu pula aku  jarang bertemu dengan Fernandez karena dia pindah ke apartement yang cukup jauh dari kantorku. Lagi pula Fernandez jarang ada di Jakarta. Dia sering melakukan travelling ke luar kota. Entah apa yang dia lakukan. Walau aku tahu sedikit tentang bisnisnya yang katanya bergerak di bidang riset tambang emas. Tetapi aku tidak tahu pasti bisnisnya yang sesungguhnya. Disamping itu, keadaan ekonomi Negara semakin mengarah kepada pelemahan pertumbuhan karena kurs rupiah yang terus melemah. Aku sibuk mencari solusi merestruktur hutang perusahaanku yang bermata uang dolar. 


Beriring berjalannya waktu, aku sering kali merindukan Ester. Rindu kebersamaan yang indah tanpa ada beban kecuali kami menikmati persahabatan yang tulus. Ester, kuharap kau baik-baik saja di tempat dan pekerjaan barumu. Gumamku dalam hati.


***


Tahun 2011 saya ke Davos ikut konferensi. Saya ditemani oleh Esther. Dia sahabat saya sejak tahun 1993. Walau sejak tahun 1996 dia sudah pindah ke Hong Kong, berkarier sebagai banker  kami tetap terjalin komunikasi. Wala tidak sering. Di masa masa sulit awal berbisnis di CHina, saya tidak mau ganggu dia. 


Namun tahun 2005 setelah saya established, saya temui dia. Sejak itu inten lagi komunikasi kami. Dialah yang membantu saya punya akses ke perbankan di Hong Kong. Karena saat itu jabatannya sudah VP di Bank first class. Dia benar benar tulus membina saya, sebagai sahabat, sebagai mentor dan juga banker. Jadi saya tidak pernah marah atau kecewa kalau dia kadang marah dengan sikap saya. Dia jadi watchdog saya di border line. Sehingga kalau saya lompat pagar dalam bisnis, dia lebih dulu tarik batang leher saya. Dia bodyguard saya di front line bisnis. Sehingga berkali kali saya kena prahara, dia selalu ada di sisi saya. 


Apalah saya.Orang kampung. Di negeri saya sendiri saya gagal jadi pebisnis. Tetapi ada wanita seperti Esther yang sahabat saya mau membantu saya di negeri orang. Andaikan tanpa dia, engga mungkin saya bisa bisa mengembangkan investment holding. Siapa yang mau bicara dengan saya, apalagi berhadapan dengan banker asing. Bahasa inggris saja gagap. Berlalunya waktu saya dapat diakui komunitas financial di Hong Kong. Semua proses LBO yang saya lakukan di banyak negara dapat berhasil. Selama itu Esther tetap jadi mentor saya yang super cerewet.


“ Saya kadang kawatir dengan ekspansi kamu yang begitu cepat. Kenapa sih bikin repot.  Udahan dech. Nikmati saja hidup sebatas ini saja. Stop mulai sekarang! Kata Esther di pesawat pulang dari Swiss ke Jakarta.  Saya tetap sibuk dengan Laptop saya.


“ Gua engga ada pilihan. Semua bisnis gua, lue kan tahu. Semua dari hutang. Tanpa leverage, mati gua. Leverage satu satunya cara agar growth perusahaan tetap terjadi. Mau gimana lagi?


“ Ya sampai kapan? tadinya tahun 2006, modal awal kamu hanya USD 20 juta. itu tanpa hutang. Kini sudah diatas USD 3 miliar.   Hutang tak terbilang. Lue lebih miskin daripada tahun 2006. Sadar engga ?


" Berbisnis adalah jalan spiritual gua. Itu cara gua berbagi. Membagi kesempatan kepada banyak orang. Biarlah karena itu gua jadi korban. Gua baik baik saja. Karena sesuatu yang baik itu tidak mudah dan murah. Terasa duduk diatas bara, dan setiap hari terasa sesak. Ya gimana lagi. Harus diperjuangkan sampai pada batas tak tertanggungkan. Mungkin gua bisa saja tinggal di kampung. Menjauh dari berbagai kesulitan ini. Hidup aman. Tetapi yang aman itu sebenarnya tidak aman. Kita hanya punya dua pilihan. Dikalahkan umur atau pemenang.  Jadi orang kalah itu memang aman dari resiko, Tetapi tidak akan menjadi apa apa, dan bukan siapa siapa" Kata saya.


“ Tahu engga lue" Kata Esther menatap saya. " Lue telah mengeceewakan istri lue yang bertahun selalu ada disisi lue dalam kawatir dan sepi. Lue engga sadar. Lue berubah, sayang. Gua tidak lagi lihat Ale yang dulu gua kenal tahun 1993. Pria yang pertama menyentuh gua. Masih ada kesempatan, sayang. Engga ada istilah terlambat untuk berhenti. 


“ Ya.” Kata saya. Saya tidak mau terus bicara. Saya tahu dia lebih utamakan kebahagian saya.


Sampai di bandara Hong Kong. “ Udah dech dengan laptopnya. Lue istirahat. Pulang ke Apartemen. Tidur “ Kata Estther di dalam kendaraan. 


“ Gua harus rapat dengan BOD.”


“ Gila lue, setelah terbang diatas 10 jam lue masih kepikiran meeting. “


Saya diam saja. Di dalam kendaraan Esther tertidur. Mungkin lelah sekali dia. Saat itu usia saya 48 tahun. Esther 49 tahun. Kendaraan standar Limo sampai di apartement. Estther masih tidur. Saya gendong di punggung dia masuk apartement.


“ Dari awal gua engga pengen seperti ini. Berkali kali gua bilang, gua orang kampung. Tapi lu hentakan dimana gua berdiri. Lue provokasi gua. Lue pengen gua menaklukan dunia. Setelah gua melangkah dan tahu medan bertarung. Mana bisa keluar begitu saja. Kamu engga hitung, berapa orang musuh gua di luar sana. Berapa banyak investor yang berjudi dengan agenda gua. Itu semua ongkos yang harus gua bayar sampai kapanpun” Kata saya. Entah Esther dengar ataut tidak.  


Setelah saya letakan dia diatas tempat tidur. Saya letakan cheque USD 2,5 juta diatas meja lampu tempat tidurnya “ Lunasi hutang kamu di bank untuk bayar apartement. Biar aku saja yang tersandera hutang” Saya tulis singkat diatas kertas.  Esther tidak pernah cerita kalau dia berhutang ke bank untuk beli apartement. Bertahun tahun dia cicil. Dia sangat halus memperlakukan persahabatan kami. Tak pernah dia mengeluh masalah personal. Padahal kalau dia minta ke saya. Pasti saya bantu. Apalagi tak terbilang dia bantu saya mengkses perbankan.  


Kalaulah persahabatan saya dengan teman teman wanita, seperti Esther, Wenny, Yuni, Risa, Kang atas dasar uang dan sex. Mungkin tidak akan bertahan lebih dari 10 tahun. Mereka menghormati status saya sebagai family man. Persahabatan itu mengalahkan ego personal, yang ada hanya cinta tanpa syarat. Kecuali satu sama lain berharap bahagia. Kini kami menua bersama. Tetap saling menjaga dan mendoakan.



***


Tahun 2013, Ester datang ke Jakarta. Aku memang janji akan ajaknya ke kawasan kebun sawit. investasiku. Ada perasaan ganjil yang aku rasakan. Sepertinya ada yang aneh di desa ini. Tak henti aku bertanya dalam hati, ada apa gerangan dengan desa ini? Kehidupan sebuah desa yang seharusnya ramai, bersemangat dan penuh wajah sumringah, kini nampak murung. Mentari, kabut bahkan dedaunan perkebunan seolah ikut bermuram durja. Sepertinya mereka sedang berempati pada para petani.  


Esther menatapku seperti ada yang ingin dia sampaikan“ Inilah potret sebuah desa yang sengaja diciptakan untuk menampung warga kelas teri dari Jawa. Kumpulan manusia malas yang tersingkir dari kampung halamannya sendiri. Tergerus dan terpaksa menyingkir demi percepatan pembangunan. Mereka harus rela dikirim ke pulau lain untuk mengukuti program transmigrasi. Sebuah kata yang tampak modern namun menjerumuskan. Tujuannya untuk mengurangi penduduk dari wilayah padat ke wilayah jarang. Solusi instan dan cerdas. Namun pola pikir instan ini yang membuat segalanya jadi kacau.


Alih-alih memberdayakan wilayah mati, yang terjadi justru penyebaran semangat kemiskinan dan genetika pecundang ke wilayah lain. “ Kata Esther mengekpresikan sketsa  desa dengan persepsi dia. 


“ Mereka bukan pemalas. Buktinya mereka rela pergi dari kampung halaman. Mereka juga pekerja yang cerdas. Sekali lagi, mereka cerdas! Buktinya mereka  menolak bertani karena hasilnya tidak lebih baik dari pada menjadi kuli. Kalau benar pemerintah ingin mereka giat bertani, sudah seharusnya pemerintah juga menjamin harga jual panen mereka, bukan?” Kataku.

 

Perlahan-lahan pagi bergulir, merangkak menjemput siang. Kami  masih berjalan menyusuri jalan-jalan setapak. Dari kejauhan nampak sebuah warung kopi yang penuh oleh pengunjung. Mereka adalah kumpulan para kuli dan buruh tani. Warung kopi adalah tempat mereka bergabung membunuh hari. Masa bodoh dengan waktu. Di warung kopi mereka asik main domino, berkelakar dan bertukar cerita dengan beragam obrolan kosong. Ada juga yang hanya diam, larut menyaksikan keasikan orang-orang pinggiran. Khusyuk menikmati kopi hangat. 


“ Para kuli dan buruh tani itu menciptakan surga sendiri, di warung kopi! “ kata Esther.


“ Ya, Tempat di mana mereka menemukan sebuah keluarga yang di bangun atas dasar kesamaan nasib. Tempat mereka kembali bertemu untuk mengumpulkan cerita tentang kejenuhan hidup. Bukankah surga dapat dibangun di mana saja dan dihuni oleh siapa saja? kataku. Kami memilih duduk agak jauh dari mereka yagn sedang main kartu. 


“ Mereka memilih jadi kuli sama seperti nenek moyang mereka dulu yang terjajah. Memilih nasib menjadi wong cilik adalah lebih baik, lebih nyaman dan aman dari pada membebani pikiran dengan hal-hal rumit. Menjadi kuli dan buruh tani juga pilihan untuk menjauhkan diri dari godaan berbuat buruk. Setidaknya menjadi kuli atau buruh tani jauh lebih baik daripada menjadi  pencuri atau koruptor. 

Mereka percaya itu. Meski mereka juga sadar, bahwa status mereka sangat rendah dibandingkan yang lain. Hanya sedikit lebih baik di atas budak. Itu pun karena perbudakan sudah dihapuskan secara nama. Meski prakteknya masih sering terlihat dan terasa. Pun mereka tak peduli dan tak perlu tahu soal menyoal perbudakan itu. Waktu mereka terlalu berharga untuk memahami dan mengerti tentang status juga tentang kedudukan. Sebutan kuli atau buruh sudah sangat cukup memberi mereka kepercayaan diri. Bukankah kuli dan buruh tani jauh lebih baik daripada seorang gelandangan atau pengangguran? Jadi, tidak ada alasan apa pun untuk merasa rendah diri.

Ini adalah negeri kuli. Di setiap sudut kota, di kampung-kampung, di mana pun, jabatan kuli menyesaki rumah penduduk di sana-sini. Tidak percaya? Ribuan kuli kita di negeri jir, an, Hong Kong, Makau, Arab  adalah akibat melimpah ruahnya jumlah kuli di negeri ini. Dan mereka, yang kini duduk di warung kopi, tidak sudi jadi kuli di negeri orang. Mereka seolah tak menghiraukan kawannya yang dengan semangat membara bersusah payah untuk bisa jadi kuli di negeri orang. Sesekali mereka hanya mencibir, "kalian tak malu jadi kuli di negeri orang


Masa lalu telah membuang mereka. Kini mereka tak punya pilihan. Dengan hati lapang mereka berusaha untuk  terlihat wajar dan menerima masa lalu sebagai sebuah keputusan yang tak salah. Di telikung nasib, ditransmigrasikan dan akirnya kini menjadi kuli perkebunan. 


Mereka sengaja membuang jauh ingatan masa lampau. Seperti seseorang yang membuang sauh ke dasar laut. Bahkan kalau perlu, melarung dan membiarkannya hilang ditelan ombak. Orang tua, kakak, adik, abang, saudara-mara adalah wajah-wajah yang tak seharusnya hidup dalam ingatan mereka saat ini. Sebab kehadiran wajah-wajah itu hanya akan membuat kebebasan hidup mereka jadi terkekang dan penuh beban. Hanya akan menegaskan kembali rasa kehilangan dan kekalahan. Ini memuakkan!. Sama memuakkannya dengan wajah kampung-kampung tempat kelahiran mereka di tanah Jawa. Kampung yang membuat penghuninya merasa terbuang. Merasa tak punya nilai. 


Anak-anak yang terlahir dari sana adalah anak-anak yang menderita, ketakutan dan trauma akan masa depan. Anak-anak yang setiap subuh bertelanjang dada, bermain congkak  di bawah asuhan beruk-beruk  di hutan karet. Anak-anak yang pandai memanjat batang kelapa melebihi tupai. Anak-anak yang tahan berendam dalam lumpur gambut di akar-akar bakau untuk berburu ketam  atau siput. Anak-anak yang tiba-tiba tumbuh oleh seleksi alam dan kini siap dipekerjakan sebagai kuli. Atau menjadi anak buah tongkang yang berlayar dalam gelap ke negeri orang.


Hal-hal memuakkan inilah yang kini harus mereka tanggung. Mereka tertawa terbahak-bahak menertewakan kekalahan. Menertawakan segerombolan masyarakat yang tak punya masa depan. Masa bodoh dengan pecundang! Pekik mereka berusaha melepaskan masa lalu. Dan mereka pun terkekeh, seperti seseorang yang baru saja mencebur ke sungai dan meninggalkan karung berat di punggungnya. Lalu berendam dan bermandi air kebahagiaan. “ Kata Esther. Dia tidak mau menyentuh kopi yang dipesannya. Abu rokok bertebaran di sekeliling lantai. Bercampur ludah di sana-sini. Ludah yang di keluarkan bersama umpatan memuakkan yang mereka buang di tanah itu. 


Satu per satu para kuli datang ke sini. Mereka seperti memiliki waktu khusus untuk sepakat bertemu, berkumpul di warung kopi. Dengan sigap dan terlatih, mereka menggelar pesta judi kelas kampung. Membanting angka-angka keberuntungan. Beragam jenis minuman alkohol murahan pun jadi taruhan. Kata-kata yang membaur adalah lintasan-lintasan pikiran yang tak santun. Ruwet. Seronok. Jorok. Jauh dari norma dan tata krama.


Bagi para kuli, hari-hari begitu mudah terlewati dan kehilangan makna. Warung kopi di pinggir kebun sawit ini seolah menjadi pereguk kegalauan dan harapan.  Dan membiarkan sesuatu yang buruk itu berlalu begitu saja.  Hidup seorang kuli adalah hidup yang terbatas. Mereka tak terlalu berkeinginan untuk merespons sesuatu yang sedang bergerak di luar mereka. BBM, korupsi, asap hutan, demonstrasi, amuk massa, tawuran antar suku, penculikan, pembunuhan, kemiskinan dan segala macamnya sudah terlampau akrab di telinga mereka. 


Mereka tak ambil pusing dengan permasalahan dunia karena hidup sudah teramat pusing. Dan kini tak ada urusan selain menghitung keberuntungan dari meja judi. Urusan di luar diri mereka adalah urusan di dunia lain. Mencampurinya hanya akan membuat mereka tak bisa bebas berpikir tentang bagaimana memenangkan taruhan saat bermain di meja judi. Dan tentu, tak bisa membuat mereka bebas tertawa.


Kemudian kami melangkah keluar. Meninggalkan kedai kopi dan meneruskan perjalanan ke tempat lain. Dalam dandanan yang tidak formal, tentu tak ada satu pun dari mereka yang mengenal kami. Kami pun bebas menyusuri kehidupan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kehidupan yang tak pernah ditemukan dalam seminar atau laporan dari para ahli ekonomi.


Di suatu rumah yang kami lewati terdengar suara berteriak. Keterkejutan memaksa kami untuk mendekat. Lelaki penghuni rumah tak mempedulikan kehadiran kami. Begitu pula dengan wanita yang berusaha melepaskan pukulan dengan  kayu besar di tangan.


“Bangsat ya, kamu! Udah miskin, engga tahu diri. Gaji mingguan yang tak seberapa, kamu habiskan di meja judi dan melacur. Ini anak yang akan lahir mau diapain?!” Teriak wanita itu sambil mengarahkan kayu  kepada seorang pria di depannya. 


Dengan tangkas lelaki itu menangkis lalu melepaskan kepalan tangan hitamnya ke dagu si wanita. Pukulan telak mengenai dagunya dan wanita itu jatuh terjerembab. Dengan santai, pria legam itu berlalu  tanpa mepedulikan wanita  yang mungkin saja tengah pingsan.


Sekelompok pemuda kekar menghadang langkah pria itu di ujung jalan. Kami tak begitu paham apa yang selanjutnya terjadi. Yang pasti, sekilas kemudian pria itu sudah menjadi bulan-bulanan dan tersungkur ke tanah setelah para pemuda kekar selesai menghajarnya.


“Awas, ya! Kalau sampai minggu depan kamu masih menempati rumah itu, maka nyawamu sebagai gantinya. Segera lunasi hutangmu!” Kata salah seorang pemuda yang nampak parlente. Berwajah khas orang kota.


Kami tak ingin terlalu lama menyaksikan peristiwa demi peristiwa. Sebaiknya kami terus melangkah dan menjauh dari tempat itu. Kamipun sampai di rumah lain di pinggir kebun, yang sebenarnya tak layak disebut rumah. Ini  tak lebih baik  kandang kambing. Namun disinilah sebuah keluarga tinggal. Mereka adalah sepasang suami istri dan dua orang anak gadisnya. Keduanya masih terlalu muda dengan wajah yang nampak dipaksa dewasa. Inilah potret kehidupan lain yang juga sulit kumengerti.


Dengan ramah, mereka  mempersilahkan kami masuk. Di dalam kami tak melihat perabot apa pun kecuali sebuah dipan reot dan suasana rumah yang kotor. Ketika mereka menghidangkan minuman, ada perasaan sungkan untuk meminumnya. Kami mencium masih ada aroma sabun yang melekat pada gelas. Mungkin mereka tidak mencuci dengan bersih. Maklum, air bersih memang tidak mudah di sini.


“ Saya akan pindah kerja. Penghasilan sebagai kuli kebun di sini tak banyak yang bisa diharapkan,” kata sang suami.


“ Mau kerja di mana?” Tanyaku.


“ Saya akan melamar jadi TKI ke tanah Jiran. Katanya penghasilan di sana cukup baik. Banyak teman yang kembali membawa uang banyak dan bahkan dapat membeli kebun. Sementara di sini, tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Kita bekerja karena tidak ada pekerjaan lain dan terpaksa menerima gaji sedikit yang tidak cukup untuk menutup kebutuhan harian. Terpaksa hidup kekurangan tanpa masa depan. Semua kami lakukan dengan terpaksa walau juga tidak ada yang memaksa. Mungkin nasib yang memaksa kami untuk menerima kenyataan, tidak dimanusiakan oleh bangsa sendiri. Untuk itu saya berkeinginan merantau saja. Gaji sebagai kuli di negeri orang cukup membuat kita dihargai sebagai manusia,” kata pria kurus itu bersemangat.


Sementara sang istri hanya diam dan menunduk pasrah. Dia tak kuasa menahan mimpi sang suami yang menggebu. Raut wajahnya terlihat sangat tertekan. Seakan dia ingin cepat-cepat keluar dari masalah yang melilit keluarganya. Kukira dia terlalu risau karena sebentar lagi suaminya akan pergi jauh dan mereka tidak akan berjumpa untuk beberapa lama. Tapi kenapa harus risau bila kepergian suaminya akan membawa perubahan besar bagi keluarga? Ternyata dugaanku keliru. Dan kekeliruanku terjawab ketika beberapa saat kemudian, ada suara mobil mendekat dan berhenti tepat di depan rumah. 


Seorang pria keluar dari dalam mobil yang langsung di sambut dengan antusias oleh sang suami. Sedang sang istri hanya bisa menggigit bibirnya  dan segera masuk ke dalam kamar, meninggalkan suami yang asyik bicara di luar dengan pria kota itu. Tak berapa lama istrinya keluar lagi bersama dua orang anak gadisnya. Pria itu lalu menuntun kedua gadis,  masuk ke dalam mobil sambil diiringi senyum srigala. Senyum yang licik dan culas. Sang suami hanya menyipitkan mata ketika mobil itu bergerak menjauh, membawa kedua putrinya dari tempat tinggal mereka.


“Suami saya butuh uang untuk mengurus segala sesuatunya demi bekerja di tanah Jiran. Pria itulah yang memberi pinjaman uang kepada suami saya. Kedua anak gadis kami akan berkerja dengan pria itu untuk membayar hutang kami,” hanya itu yang keluar dari mulut sang istri ketika kembali masuk dan menemuiku.


Aku mengerti betul arti ‘bekerja’ di sini. Namun apa yang bisa dilakukan oleh sepasang suami istri itu? Tak ada yang bisa dijadikan jaminan oleh keluarga yang tak punya kejelasan masa depan, kecuali anak gadisnya.  Besok sang suami akan pergi meninggalkan dirinya dalam kesendirian. Habis sudah harapan wanita paruh baya itu. Dia harus merelakan kepergian suaminya untuk menjadi kuli di negeri orang dan anak gadisnya menjadi pelacur di negerinya sendiri. Tragis! 


***


Hanya semalam di Kawasan Kebun Sawit, keesokannya Esther sudah berkemas di Mess. “ Pulang kita. “ katanya tegas.


“ Loh katanya mau liburan.? Kataku.


“ Sebaiknya cepat pergi dari sini. “ katanya terus memasukan pakainya ke dalam tas. Aku hanya tersenyum. Kenal betul sifatnya.


“Di dalam pesawat menuju Jakarta, “ Aku baru paham tentang hegemoni modal yang bagaimanapun tidak sehat untuk tujuan membangun peradaban. Entahlah. Sebagai banker aku sesak melihat realita dihadapanku kemarin.” Kata Eshter.


“ Sebetulnya hegemoni modal bukan hanya terjadi pada rakyat lapisan bawah. Pada lapisan atas juga sama. Bahkan negara juga terpasung dengan hegemoni modal. SBN tidak akan dipercaya kalau tidak ada underwrite dari lembaga keuangan papan atas. Dan tidak ada underwrite itu yang gratis. Ada standar kepatuhan yang harus dipenuhi oleh pemeritah, yang diantaranya  memberikan kebebasan modal menguasai sumberdaya negara.


Semua investasi asing maupun swasta yang sumber dananya dari luar negeri, entah melalui direct investment, atau penerbitan obligasi, sama saja. Tanpa dukungan investment banker dan underwriter first class, tidak akan ada sumber daya keuangan mengalir,. Tidak akan ada proyek terbangun. Semua dukungan modal itu dengan syarat yang merantai tangan negara.  Setelah proyek beroperasi, semua hasil produksi dikuasai oleh kartel perdagangan, yang mengontrol demand and supply, harga, yang pada waktu bersamaan arus kas korporat mereka kendalikan, termasuk pemasuk pajak untuk negara mereka yang kendalikan. “ Kataku.


“ Jadi, hidup mati korporate dan negara di tangan pemodal. Korporat dan negara sebagai sumber kemakmuran adalah omong kosong. Ya bagaimana negara dan korporat akan berpikir untuk kesejahteraan rakyat, sementara kedua tangan mereka dirantai?  “ Kata Esther dengan mimik dingin. Aku diam dan membiarkan Eshter berpikir sendiri dengan dirinya. 


***


" Mengapa kita harus merdeka, kalau akhirnya berhadapan dengan realita dimanana sistem terbangun tidak membuat kita merdeka secara ideal. “ Tanya Esther kemudian. Padahal saya sudah siap siap mau tidur.


“ Sebetulnya istilah merdeka itu konsep idealisme dari para kaum republikan. Mereka segelintir saja. Sebelum Jepang masuk tahun 1942, di Nusantara ini sudah ada kerajaan atau kesultanan. Keberadaan mereka di bawah koloni Belanda. Awalnya kehadiran PMA ( VOC) dilegitimasi oleh kerajaan atau kesultanan yang ada di Nusantara. Dari abad 17 dan 18, Belanda merupakan republik. Kemudian Belanda dijajah oleh Prancis, di bawah Napoleon. 


Ketika Belanda merdeka dari Prancis dan mendirikan sistem monarki, VOC bankrut dan diserahkan kepada Belanda. Belanda resmi menjadikan nusantara sebagai koloninya tahun 1813. Itupun tidak semua wiilayah yang jadi koloni Belanda. Aceh hanya jadi koloni Belanda selama 38 tahun dan Bali selama 36 tahun. Yang sampai 340 tahun jadi koloni Belanda hanya Maluku dan Banten/Jakarta.  


Selama 340 tahun Belanda di Indonesia lebih kepada kepentingan bisnis dan kebetulan para keluarga kerajaan dan bangsawan memberikan dukungan secara langsung. Ya mutual simbiosis. Kadang kerajaan membutuhkan perlindungan dari Belanda atas serangan dari kerajaan lain. Atau Belanda ikut membantu proses suksesi pengeran, yang kadang berujung perang saudara. 


Ya seni adudomba agar hanya pengeran yang loyal ke Belanda saja yang naik tahta. Situasi inilah yang membuat kaum terpelajar geram. Mereka bukan hanya tidak suka dengan Belanda tetapi juga tidak suka dengan kaum bangsawan dan kerajaan yang berkolaborasi dengan Belanda, yang membuat rakyat semakin miskin “


“ Lantas siapa dan bagaimana sampai muncul gerakan kemerdekaan? Bukankah sebelumnya keberadaan kerajaan atau kesultanan menerapkan sama dengan sekarang. Kerjasama ekonomi dengan asing untuk kepentingan mereka. Kerjasama itu dilegitimasi oleh hukum juga. "


“ Sebetulnya gerakan kemerdekaan itu bukan hanya sekedar mengusir kolonial tetapi gerakan melawan sistem feodalisme dari kerajaan yang bertaut dengan kolonialisme. Ini soal keadilan, dan islam punnya misi untuk itu. Itu sebabnya gerakan kemerdekaan secara politik kebangsaan pertama kali oleh Sarekat Islam dari seorang HOS Tjokroaminoto.  Sementara Tjokroaminoto sendiri terinspirasi oleh paham pembaharuan islam dari KH Ahmad Dahlan  dan Kh Hashim Ashari”


“ Siapa yang menginspirasi KH Ahmad Dahlan  dan Kh Hashim Ashari itu ?


“ Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi Rahimahullah. Ia adalah seorang ulama Indonesia asal Minangkabau. Ia lahir di Koto Tuo, Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Jadi kalau boleh disimpulkan, arsitek pembaharu politik di Indonesia adalah Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi. 


“ Mengapa sampai Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi Rahimahullah bisa menginspirasi mereka “


“ Ya karena mereka berdua adalah murid kesayangan dia waktu mereka belajar di Makkah.”


“ Tapi itu kan soal agama. Bukan Politik.” Tanya Eshter antusias ingin tahu.


“ Islam bukan hanya urusan ritual tapi juga harus bertanggung jawab melakukan perubahan politik untuk tegaknya kalimah Allah. Itu sama dengan ajaran Tauhid.”


“ Gimana ceritanya sehingga pemikiran itu bisai meluas dan menjadi api revolusi terhadap status quo ?


“ Sepulang KH Ahmad Dahlan  dan Kh Hashim Ashari dari Makkah, mereka didatangi oleh HOS Tjokroaminoto. Sejak itu mereka berkenalan dan akrab. Sering diskusi. Sejak itu HOS Tjokroaminoto terinspirasi dengan pemikiran KH Ahmad Dahlan  dan Kh Hashim Ashari” 


“ Terus..”


“ Kebetulan HOS Tjokroaminoto punya rumah kos yang menampung para pelajar dari luar kota. Diantara pemuda yang ngekos itu adalah Sukarno, Alimin, Musso, Suherman Kartosuwiryo, dan Soemaoen. Selama ngekos itu mereka sering mendengar diskusi antara Tjokro dengan tokoh nasional seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Ashari, KH Mas Mansyur. Dari diskusi ini para pemuda itu tahu bagaimana menggunakan politik sebagai alat mencapai kesejahteraan rakyat. 


Mereka belajar tentang bentuk-bentuk modern pergerakan seperti pengorganisasian massa dan perlunya menulis di media. Mereka juga belajar bagaimana berorasi mempengaruhi massa dari atas panggung. Setiap hari diantara mereka sering terlibat diskusi cerdas. 


Dari tempat kos di rumah Tjokroaminoto itulah lahir tiga golongan dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Satu, gerakan Darul Islam oleh seorang Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Yang sampai sekarang basis pengikutnya masih kuat di Aceh, Sulawesi, Jawa Barat. Kedua, gerakan Komunis oleh pemikiran seorang Samaoen, Musso. Yang kini ajarannya dinyatakan terlarang oleh UU. Ketiga, sosio-nasionalisme dari pemikiran seorang Soekarno. 


Hebatnya ketika menghadapi Belanda mereka kompak. Bahkan Tjokroaminoto sendiri di era Kolonial pernah aktif dalam PKI. Dalam perkembangannya Seokarno sendiri pernah menggabungkan pemikiran tiga sahabatnya itu dalam front nasional bernama NASAKOM. Tetapi kemudian mereka bertiga itu berpisah jalan. 


“ Mengapa mereka bertiga itu sampai terbelah pemikirannya? 


“ Karena politik feodalisme dan kebangsaan. Setelah merdeka, walau ada UUD, namun phalsafah hukum yang tersurat maupun tersirat, tetap saja hukum Kolonial Belanda. Ya hukum berpihak kepada kekuasaaan dan kekuasaan berpihak kepada pemodal."


“ Gimana dengan sekarang. Apakah golongan islam masih kuat dan diperhitungkan dalam sistem politik?


“ Ya. Masih sangat kuat. Walau sejarah paska kemerdekaan mencatat, Darul Islam atau Khilafah atau NI sudah terlarang, dan Komunis juga terlarang. Namun pemikiran mereka tidak pernah hilang. Mau bukti? liat aja soal RUU Haluan Indiologi Pancasila, yang kandas disahkan DPR. 


“ Mengapa? 


“ Kalau ada Haluan idiologi Pancasila, maka definisi idiologi Pancasila menjadi definisi kaum sekular. Golongan islam engga percaya dengan kaum sekular. Mereka inginkan Pancasila dimaknai secara bebas oleh setiap golongan. " Kataku.


" Bukankah sekarang parlemen dikuasai oleh kaum sekular?. Paksa saja lewat voting"


"Kaum nasionalisme sendiri tidak punya reputasi untuk memaksakan kehendak atas nama Pancasila. Lah mereka gagal kok dengan nasionalisme. Gagal mendistribusikan keadilan ekonomi kepada rakyat karena kalah oleh kepentingan pemodal. Ya terpaksa kompromilah. “ Kataku. 


" Jadi kalau ingin mempersatukan, pastikan pemodal dibawah kekuasaan agar distribusi sumber daya sesuai dengan sila ke lima, ya keadilan sosial bagi semua. Itulah spirit cinta untuk bisa kokohnya persatuan" Kata Esther menyimpulkan. Cara banker bertanya kepada calon debitur dia pakai untuk mengetahui jalan pikiranku dan persepsiku. Dengan cepat dia dapat menyimpulkan, dan  kesimpulanya yang indah : Cinta.

" Tepat. Hanya cinta yang bisa mempersatukan, bukan jargon atau apalah. Hanya cinta yang membebaskan kita dari nafsu berkuasa dan kemaruk harta. Ya keadaan kini, sayang, sumber masalah karena miskin Cinta. Saling curiga, membenci, hedonisme, individualisme, itu karena miskin cinta. " Kataku. Esther tersenyum dan dia kemudian tertidur merebahkan kepalanya di bahuku. Kami menua bersama. AKu berubah jadi Srigala dan dia berubah jadi kelinciku...



***


Perjalananku sendiri lamat saja. Belum pernah kurasa hidup menjadi amat sepi. Hidupku datar saja namun selalu ada harapan karena kamu selalu ada untukku. Selalu, kuingat tentang kisah picisan kita, Esther. Setiap aku menelusurikota pada malam hari. Bahkan dari gigil udara malam, dendang lagu tentangmu dapat memancing kehangatan. Kamu adalah mataku. Yang kugunakan untuk menaklukan dunia. 

Bagiku, pelan adalah keselamatan. Menekuri ketelitian. Menghindari bakhil yang celaka. Hanya mata hati yang berfungsi. Pandangan itu menipu. Semenjak beberapa tahun lampau. Ketika passion-ku wakafkan. Karenanya tak mengenal aku kebanggaan atas credit card centurion dan palladium. Tetapi karena itu, aku bisa mendengar bulan mendengkur, di antara awan dan gedung tinggi. Bulan selalu tertidur selepas tengah malam. Bosan barangkali. Lelah juga mungkin. Tapi kamu selalu mengatakan, ”bulan bukan bosan. Ketika kota hening, ketenangan akan membiusnya.” Tak setuju benar aku perihal itu. Tapi memang keheningan selalu dapat membius. Keheningan adalah jenis racun dengan wujud yang lain.

”Kamu ingin hadiah apa untuk ulang tahun?” tanyaku ketika membalas WA mu mengabarkan kau akan ke Jakarta di hari ulang tahunmu. Ingin mengbabiskan kebersamaan denganku.

”Gandeng aku seperti ditahun 1993 berjalan dimalam hari dari Cikini ke Raden Saleh, Hotel Pardede!”. Itu jawaban WA mu.

”Ayolah, ke Jekarta, kita lakukan napak tilas seperti dulu saat kita masih muda.”

Ingatanku melambung jauh di tahun 1996 di Bali. Kamu tertawa, nampak susnan gigimu begitu indah. Dapat kulihat bibirmu indah sekali ketika menyuap es cream.. ”Tak percayakah kamu? Baiklah, esther, aku hanya pria kampung. Peragu dan kadang inferior, di mata orang normal seperti kamu. Yang tak selalu memiliki mimpi besar seperti kamu, yang ingin menguasai dunia. Menaklukan Hong kong. Bahkan selama ini, aku takut dengan kemewahan. Sepertinya aku tidak bisa menjadi predator yang rakus.”

”Jangan, jangan pernah bicara seperti itu lagi, Jaka.? Suatu saat kamu akan jadi elang perkasa. Aku meliat itu di matamu, mata elang, sayang” kamu merapatkan wajahmu ke wajahku seakan sedang mencari mata elang itu. Sementara aku memperhatikan sebuah lesung pipit tersemat di hulu pipimu, kiri.

Aku terpengkur. Nanar kesabaranku. ”Esther, tak usahlah berharap aku akan jadi apa seperti imaginasimu. Terimalah aku sebagai sahabat yang terburuk dari yang buruk yang kamu punya.”

”Kamu yang terbaik, Jel, Terbaik dari yang terbaik. Tahu mengapa? kamu mengerti arti dari balas budi. Bukan hanya tentang berbagi. Harga diri. Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu, mimpimu.”

”Mimpi? aku tidak punya mimpi, Esther.”

”Peluk aku.”Esther membentangkan kedua tangannya. Aku memeluknya.

“ Dengar, kamu pria satu satunya yang pernah menyentuhku. Tidak akan ada orang yang bisa merendahkan kamu. Ingat itu”

Bahkan bertahun-tahun aku menghadapi pasang surut. Jangankan jadi elang, jadi ayam jago aku tak pantas. Sementara engkau, esther telah jadi ayam merak di pusat keuangann dunia. Bahkan ketika aku menemuimu di Hong Kong, aku sedang sekarat menuju kebangkrutan. Sudah luluh benar rasanya kejantananku. Kodrat sebagai seorang lelaki. Simbol kesuksesan. Dan mimpi itu lapuk dimakan rayap. Waktu. Dan bumi yang berputar menyelipkan kusam. Seperti sesusun batu di balkon rumah susun ”Maaf, Esther, nasib baik enggan menghampiriku,” kataku ketika melahap makan malam sebelum kepulanganku ke Jakarta setelah 1 tahun di Hong Kong dalam perjuangan lelah dan kalah di tahun 1999.

***
Tahun 2018, Jam 5 sore, Jakarta
“ Aku di Pullman Hotel Thamrin. Datanglah” WA dari Esther. Aku terkejut secepat itukah dia datang. Dia menantiku di loby. Dari jauh dia merentangkan kedua tanganya. Aku memeluknya hangat. 
“ Akhirnya kamu datang juga. “ kataku. Esther memerah wajah. 
“ Aku libur sampai minggu depan. Mau ke Yogya ke makam ibu.”
“ Mau aku temanin.?
“ Engga usah. AKu ingin sendirian aja.”
“ Yakin ?
“ Ya..”

Aku hanya tersenyum. Kami asyik ngobrol panjang lebar. Cerita soal kelakuan Wada, dan cerita sendu tentang Lyly yang mewakafkan semua tabunganyna untuk panti Asuhan di mana dia pernah dibesarkan. Kami menikmati makan malam. “ Jel, kamu tidak pernah menggodaku bahkan ketika menikmati makan malam direstoran semahal ini” 

Aku berdiri dari tempat duduk seraya menarik lengannya. “ kemana ? Esther nampak bingung.
“ Kita naik taksi ke Cikini raya. Terus dari sana kita ke Jalan Raden Saleh. Kita bergila seperi dulu kala kita muda di Hotel Pardede “
“ Emang masih ada hotel itu ?
“ Lihat aja nanti. Kita mampir dulu ke Plaza Indonesia beli Wine. Gimana?
“ Siapa takut….Ayuk”

Saya terharu. Begitu arti sebuah persahabatan. Secara spiritual persahabatan itu sejati , selalu membuat kamu rindu dan selalu ingin jadi kanak kanak….dan saling menguatkan mimpi dan seling bergandengan tangan untuk berubah lebih baik karena waktu. Dulu kali pertama aku mengenalnya usiaku 30 tahun dan Esther 32 tahun. Sekarang tahun 2018, usiaku 55 tahun dan Esther 57 tahun. Kami  memang berubah, menua namun hati kami tidak pernah berubah.

No comments:

Post a Comment