Saturday, May 28, 2022

Jangan lagi...

 


Muklis datang juga ke pertemuan yang diadakan Amir. “ Sombong sekali Bung. Lama tak jumpa kita. Padahal tak mantap diskusi kita kalau bung tak hadir. “ Kata Amir menyambut Muklis di teras. “ Sudah datang semua teman ? Kata Muklis.

“ Dari tadi. Mirna juga datang. “

“ Mirna ?

“ Ya. Tiga kali datang tiga kali dia tanyakan Bung. Tapi Bung selalu beralasan tidak hadir“ 


Di dalam ruangan sudah hadir 8 orang pria dan satu wanita. Mardi menepuk bahu Muklis. “ Tuh lihat wajah Mirna. Senang sekali dia bung datang.” Mereka semua tertawa. Mirna merona wajah. Kemudian, hening. Karena Darto mendehem. 


“ Baik kita lanjutkan diskusi kita “ Kata Mardi. Semua menyimak.


“ Cobalah jujur kita bersikap. Negeri ini tidak akan jadi republik kalau tidak ada janji keadilan sosial sesuai amanah Pancasila. Karena faktanya sebelum kita merdeka. Sudah ada kerajaan yang eksis dan diakui international di nusantara ini. Dan mereka kaum bangsawan dan kerajaan happy aja. Ngapain merdeka segala kalau akhirnya dijajah asing lagi dalam bentuk lain” Kata Mardi


“ Ya benar.  Ngapain mereka mau bergabung dengan kita kaum republikan kalau tidak ada janji keadilan dan kehidupan lebih baik. Apalagi mereka hidup di bawah sistem kolonialisme yang kesejahteraan mereka sudah established. “ kata Amir.


“ Ya. Walau kolonialisme, sistem berjalan sesuai dengan UU dan aturan yang disepakati bersama antara kolonial dengan kerajaan. Selama itu peradaban berlangsung secara normal. Jalan, sekolah, universitas, irigasi, jembatan, kereta api, kapal dll dibangun secara terprogram.


Sementara kita kaum republikan tidak menerima sistem kolonialisme itu karena sebetulnya kita marah kepada sistem feodalisme yang mendukung keberadaan kerajaan dibawah kolonialisme. Mereka adalah elite dan kita mayoritas adalah rakyat jelata. Kita ingin adanya keadilan. Walau tidak mungkin diperlakukan sama dengan mereka kaum bangsawan dan belanda itu tapi kita ingin dimanusiakan. Karena selama ratusan tahun kita tidak merasa dimanusiakan.


Kita inginkan revolusi tidak setengah hati, yang pada gilirannya yang berkuasa adalah mereka kaum feodal juga. Kita ingin revolusi kaum proletar. Biarkan api revolusi terus menyala sampai tak lagi ada yang tersisa kaum bangsawan. Kaum hipokrit. Ini revolusi mental. Benar benar mengubah mental feodal menjadi mental egaliter.  Hanya dengan cara itu kita bisa menata kembali republik ini dengan cara baru dan semangat baru” Kata Darto. Suaranya lambat namun dengan nada tegas. Tidak ada satupun jeda dalam setiap kata katanya. Itu tandanya dia memang sangat menguasai masalah bangsa ini.


“  Bung harus paham “ Kata Muklis, “ Benar rakyat jelata merasa tidak dimanusiakan. Tetapi itu sudut pandang kita dari kaum terpelajar. Rakyat jelata sendiri tidak merasa tidak dimanusiakan. Masyarakat kita adalah masyarakat religius. Mereka tidak melihat diluar dirinya. Mereka hanya melihat dirinya dan lingkungan terdekatnya. Dari itu mereka mendekat ke Tuhan. Soal kekuasaan yang berkolaborasi dengan kolonial, engga ada urusan dengan mereka. “ Lanjut Muklis.


“ Ya. Suka tidak suka , masyarakat kita masih terikat dengan primordial. Hubungan antara patron dan klen itu sangat kuat. Itu budaya kita. Mengubahnya tidak mudah. Akan terjadi bentrokan horisontal. Itu sangat tidak bijak.” kata Amir. Semua terdiam. Kemudian Darto terus bicara dan semua menyimak. Muklis perhatiannya lebih kepada Mirna. Kadang dia melirik Mirna yang mencatat semua kata kata Darto. Maklum Mirna adalah kolumnis kator Berita Tionghoa.


Usai diskusi jam 10 malam. Mereka bubar tanpa ada kata kesimpulan. Berjanji akan melanjutkan acara diskusi minggu berikutnya.  Menjelang Pemilu 1955 memang terjadi banyak diskusi lintas golongan, idiologi dan agama. Namun tetap dengan suana persatuan dan idealisme yang membara. 


Muklis beriringan sepeda dengan Mirna. Menyusuri jalan Di Ponegoro, Menteng kearah Tanah Abang“ Masih tinggal di Tanah Sereal kamu Mir.”


“ Masihlah. Babah larang aku ngekos di menteng dekat kantor. Abang tinggal dimana? 


“ Tanah abang. Babah sehat ?


“ Sehat.  Udah lama abang tidak mampir ke rumah. Mama tanyain terus. “


“ Apa mama bilang?.”


“ Mana anak Minang kesayangan mama, katanya. “


“  Ya hari minggu , abang mampir ya.” Kata Muklis dengan wajah sedih. Sulit menjelaskan keadaan rumah tangganya selama ini, yang tidak memungkinkan dia dekat dengan keluarga Mirna.


“ Sempatkanlah. Mentang mentang sudah jadi asisten Walikota lupa tempat kos lama”


“ Jabatan boleh tinggi tetapi rezekiku engga  berubah. Masih lebih enak waktu dulu jadi wartawan dan tinggal di Tanah sereal. Bisa tiap hari ketemu amoy cantik.  Gimana hubunganmu dengan Abun? 

“Tidak jelas. Pergi tampa kesan. Sepertinya aku  ditakdirkan jadi jomblo. Usia seperempat abad belum ada jodoh.”


“ Masih lebih bagus. Aku menikah dan akhirnya bercerai. Bukan menceraikan tetapi diceraikan wanita, yang lebih suka dengan pengurus partai. Lebih kaya tentunya.” 


" Oh ya Abang bercerai ? Kapan.? Mirna terkejut.


" Seminggg lalu. Kalau tak cerai manapula aku bisa ikut diskusi dengan teman teman”


***

Tahun 1956, Muklis mendapat posisi sebagai asisten Menteri. Mungkin kedekatan Muklis kepada Menteri itu karena sama sama berasal dari partai agama. Muklis memang secara diam diam penyokong partai islam. Sejak jadi asisten menteri, sudah jarang Muklis datang berkunjung ke rumah Mirna. Apalagi Mirna sibuk sebagai aktifis partai Komunis Indonesia. 


Posisi Mirna sebagai staf propaganda  partai komunis. Mirna terlibat membantu partai menulis propaganda mendukung wakil Komunis di sidang kostituante. Sementara Muklis juga sibuk menulis menyudutkan komunis di sidang konstituante. Maklum dewan konstituante bertugas  menyusun UUD yang baru. Antara golongan islam dan komunis berusaha agar agenda mereka masuk dalam UUD. Sementara Kelomnpok Nasionalis menolak keduanya. Setelah pemilu mereka terpisah dan berjarak. Antara golongan islam dan komunis saling curiga dan saling mengejek di media massa.


***

Tahun 1958, Mirna dapat kabar Muklis pulang ke Padang. Setahun setelah itu, 1959 Soekarno mengeluarkan dekrit kembali kepada UUD 45 dan membubarkan konstituante. Mirna dapat kabar bahwa Muklis ikut dalam pemberotankan PRRI. Saat itu entah mengapa dia sangat mengkawatirkan Muklis. Apalagi sebelum mamanya meninggal, Muklis ada mampir ke rumahnya. Memberi uang untuk mama berobat. Saat itu Mirna sedang sibuk sebagai aktifis PKI dan tidak ada waktu mengurus mamanya sakit. Seakan partai lebih utama daripada orang tua.


Mirna menggunakan semua akses politiknya menemukan keberadaan Muklis. Namun tak kunjung ada berita tentang Muklis. Tahun 1960 Mirna dapat kabar dari temannya di AD bahwa Muklis ada di tangsi militer. Mirna tidak peduli dengan statusnya sebagai kader partai Komunis. Tidak peduli kalau PKI ikut mendukung Soekarno melancarkan operasio militer terhadap PRRI.  Betapa sedih hati Mirna ketika melihat kaedaan Muklis. Badannya kurus dan kumal. Wajahnya nampak menua. Tapi matanya tetap terpancar semangat.


“Abang sehat. ? Tanya Mirna dengan raut wajah kawatir dan rindu.


“ Mama gimana kabarnya? Kata Muklis. Mirna menangis. Tak nampak Muklis berbeda dari sebelumnya.  Ternyata politik telah membuat dia paranoid terhadap Muklis. Perhatia Muklis kepada mamanya tidak berkurang.


“ Sudah meninggal bang. “ kata Mirna menangis.  Muklis terpengkur dan nampak airnya mata berlinang. “ Dulu waktu, mama sedang sakit. Dia sangat merindukan kamu, Mir. Sulit aku menjelaskan kesibukan kamu. Doktrin partai kamu memang memishkan kamu denga orang yang kamu cintai.…”


“ Ya bang, Maafkan aku. " Mirna terus menangis. " 


“ Mengapa kita harus berjarak hanya karena politik. Padahal politik itu hanya bicara tentang kekuasaan golongan saja. Tak ubahnya dengan era kolonial. Kalaulah para elite itu berpikir hanya untuk rakyat. Tidak ada yang sulit untuk dipersatukan. Tidak perlu tentara harus menembaki dan memburu rakyatnya sendiri. Masalah kita, kalau berbeda, kamu disana , saya disini. Mana nilai nilai perjuangan kita diawal mendirikan republik ini?


Kalaulah kita percaya kepada Tuhan, tidak perlu kita saling membenci. Urusan politik cukuplah sebatas prosedure formil kekuasaan saja. Namun secara personal kita sebagai rakyat harus tetap bersatu. Jangan karena politik kita sebagai rakyat terbelah, sehingga tidak punya kekuatan tawar dihadapan penguasa. Kalau rakyat bersatu dari semua golongan, manapula kekuasaan bisa seenaknya memperlakukan kita. 


Mir, aku dari partai Masyumi, dan kamu dari Partai Komunis. Sejak Pemilu 1955 dan dibentuknya dewan konstuante kita dipakasa oleh politik berseteru. Lewat media massa aku terus memojokan tulisan kamu. Kamu juga mengejek tulisanku. Kitapun secara personal sudah sulit untuk bertemu. Aku sedih. Bukan karena perbedaan politik itu. Sedih karena seharusnya aku menjagamu. Itu pesan dari Mama mu kepadaku sebelum meninggal.” Kata Muklis dengan raut sedih dan sesal.


“ Minggu depan abang sudah bebas. Akan ada amnesti  dari Bung Karno” Kata Mirna. Muklis menatap lama kepada Mirna. Muklis tahu bahwa Mirna sangat menyesal atas keadaannya. Dia mungkin tidak pernah membayangkan kalau politik bisa memakan anak bangsa sendiri.  Mirna tidak tahu, Berapa banyak rakyat di Padang yang terbunuh oleh operasi militer menumpas pemberontak. Dan itu hanya karena politik kekuasaan.


***

Tahun 1970, Muklis mendampingi menteri berkungung ke  Paris dalam  rangka diplomasi hutang luar negeri. Dia sudah bertekad menemui Mirna di Paris. Dia dapat kabar Mirna bekerja sebagai wakil kantor berita Tiongkok. Bayangannya kepada masa masa berdarah dan kelam sekitar tahun 1965 paska pemberontakan G-30 S PKI. Kebetulan ketika peristiwa itu Mirna sedang di Beijing atas tugas  sekjen Partai Komunis Indonesia. Mirna memutuskan tidak kembali ke tanah air. Berita Radio situasi tanah air mencekam. Banyak orang PKI dibunuh dan dipenjara. Termasuk Darto dan Amir juga dikirim ke penjaran Pulau Buru. Yang lain meninggal.


Sementara etnis  Tionghoa, saat itu banyak terjadi pengusiran dan penganiayaan oleh amuk massa. Muklis berusaha menyelamatkan Ayah Mirna dan kedua adiknya. Membawa mereka ke Lampung. Tinggal bersama pamannya yang Tentara  Setelah keadaan politik reda, Ayah Mirna tetap tinggal di Lampung namun di daerah pesisir pantai. Jadi pedagang hasil bumi. Kedua adik Mirna menamatkan sekolah SMA di Jakarta. itupun berkat bantuan dari Muklis.  Mereka berdua tinggal di rumah Muklis. 


Namun Muklis putus komunikasi dengan Mirna. Tidak tahu keberadaan Mirna. Muklis gunakan semua sumber dayanya untuk mengetahui keberadaan Mirna. Akhirnya dari Dubes Indonesia di Paris dia dapat kabar keberadaan Mirna. 


Jam 10 pagi Mirna datang ke kamar Hotel Muklis. Mengenakan longcoat, Dia tetap cantik walau tidak lagi muda. Usia kepala 4. Mirna langsung memeluk muklis. Lama pelukan itu tanpa suara. Muklis tahu Mirna manangis.


 “ Tahun 1967, Aku sebenarnya mau pulang ke tanah air. Tetapi pemerintah indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Sementara aku tahun 1965 sudah dapat suaka politik di Tongkok. Tahun 1966 jadi warga negara Tiongkok. Aku kangen babah, Akok, Amok. Gimana kabar mereka.? Kata Mirna dengan airmata berlinang.


“ Aku berusaha menyelamatkan mereka dari chaos politik. Mereka aku bawa ke lampung. Sekarang Baba sehat. Buka usaha di Lampung. Akok dan Amok tinggal bersamaku sampai tamat SMA. Mereka sekarang sedang kuliah di Universitas partikelir. Maklum tidak ada universitas negeri mau terima mereka. Padahal mereka pintar sekolah. Mereka sangat merindukan kamu, Mir, Apalagi Babah, setiap hari kadang termenung kalau ingat kamu, dan akhirnya menangis”


“ Abang..” Tedengar suara tertahan dalam isakan tangis. “ kenapa abang baik sekali kepada keluaga Mirna..” 


“ Mir, aku datang ke jakarta dalam keadaan tak punya apa apa. Tapi Babah tampung aku. Beri aku pekerjaan di toko. Dia juga membiayaiku kuliah sampai tamat. Sehingga aku bisa bekerja.  Selama itu aku tinggal di rumah kamu tidak pernah bayar. Aku bagian dari keluaga kamu, Mir. Kita terpisah karena politik tetapi batin kita tetap satu. Agama dan etnis kita berbeda tetapi secara kemanusiaan kita sama.”


“ Ya bang..” Mirna terduduk dengan air mata masih sembab. Hening. Muklis mendekati Mirna yang duduk di sofa kamar.


“ Aku rencana musim  semi tahun ini akan menempati pos-ku di Paris sebagai wakil tetap pemerintah untuk urusan utang luar negeri. Aku pernah gagal berumah tangga. Karena feodalisme. Istriku bermental feodal sementara aku kaum jelata. 


Muklis berlutut di hadapan Mirna. “ Menikahlah denganku Mir.. “ Mirna terkejut. Hampir tidak percaya dengan kata kata Muklis. “ Kalaupun aku hitam dan jelek, tapi aku mencintaimu. Mau ya..” Lanjut Muklis. 


Mirna mendekati Muklis yang berlutut dihadapannya. dia berkata sambil berlutut juga  “ Abang adalah heroku. Dari sejak SMA aku suka abang. Tetapi abang selalu anggap aku adik. Dan ketika abang menikah karena pilihan orang tua, aku sempat sedih. Apalagi sejak itu abang tidak pernah datang lagi ke rumah. Mirna rindu, bang.  Mirna, mau menikah dengan bang. Bawalah Mirna pulang ke tanah Air. Mirna kangen sama adik adik dan Babah. “ Tahun 1970 bulan desember, Salju diluar berjatuhan bagaikan kapas. Pagi itu mereka tenggelam dalam kerinduan yang dalam. Hari esok menanti mereka. Bahwa cinta adalah cinta. 


Namun setelah itu, Muklis tidak pernah lagi bertemu dengan Mirna. Diapun menghentikan usahanya mendapatkan Mirna kembali. Karena hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Indonesia tidak memungkinkan dia memboyong Mirna ke Indonesia. Cintanya kepada Mirna dibawanya ke liang lahat.


***


Tahun 2002, Mirna datang ke Indonesia. Tapi yang dia temui hanyalah pusara Muklis. Dia rangkul Akok, Amok dengan senyuman getir” Apapun politik, kita sebagai rakyat harus terus bersatu. Jangan dibelah oleh perbedaan agama dan politik.  Hanya itu caranya agar sejarah kelam bau amis darah tidak terulang lagi. Cukuplah kami saja yang merasakannya. Kami adalah generasi yang gagal. Gagal menjadi dirinya sendiri.” Kata Mirna berjalan keluar dari TPU. Saat itu usianya 72 tahun. 


" Mah, itu tadi pusara papaku ya.? Tanya Mei Lan.


" Ya sayang. Dia hero mama. Papa biologis kamu. Jangan ada dendam. Cintai negeri ini seperti kamu mencintai mamah, ya sayang."


" Ya mah" Kata Mei Lan memeluk Mirna. " Kamu mewarisi semua bakat papa kamu. Kamu muslim yang baik dan cerdas. "


" Aku ingin berbakti kepada Indonesia. Boleh Mah?


" Boleh sayang. Tapi kamu harus selesaikan phd kamu di Tianjin University. Mama bangga kalau kamu ingin berbakti kepada Negeri ini, karena dalam darah kamu ada darah Minang, darah para pendiri bangsa ini. Negeri ini butuh banyak sarjana hebat untuk mengisi kemerdekaan. Mereka harus jadi hero bagi mereka yang masih berada di kubangan kemiskinan. " Kata Mirna.

3 comments:

  1. Speechless
    Politik rindu dendam; suka-benci; hidup dan mati
    Padahal Tuhan sengaja menciptakan perbedaan demi mendidik kebijaksanaan.
    Skeptis dan keputusasaan bikin merindu ke liang lahat

    ReplyDelete
  2. Iyus rustam6:09:00 AM

    Rangkaian cerita yang menyentuh

    ReplyDelete
  3. Anonymous4:39:00 AM

    Humanity.
    Aliran politik hanyalah kavling perjuangan.

    ReplyDelete