Istri berkenan mengantar saya meeting di Hotel Bintang V di kawasan Sudirman Jakarta. Sore itu jalanan jakarta macet. Hujan turun rintik rintik. Sebentar lagi mungkin akan turun hujan besar.
“ Lihat mereka naik motor dan melihat awan gelap. Rasanya seperti nasip rakyat negeri ini. Seperti kura kura, tepatnya. “ Kata istri sambil setir kendaraan.
“ Kenapa kura kura “ Kata saya tersenyum. Teringat pendapat sains bahwa manusia itu termasuk keturunan langsung spesies kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada abad ke-19.
“ Papa lihat aja kura kura itu. Ia botak dan bermata besar. Dia tidak bisa melangkah cepat. Cangkangnya adalah pikirannya. Nasipnya hanya bisa melotot melihat bintang di langit. Jangankan ke bintang, melangkah saja sudah terlalu berat dengan angan angannya.
“ Bagaimana dengan pejabat ? apa analoginya?
“ Pejabat itu seperti burung pemakan bangkai. Walau retorikanya indah, penampilannya keliatan bersehaja, namun dia tetaplah pemakan bangkai. “ Kata istri tersenyum.
Langit mulai menggelap. Nampak keriuhan kendaraan yang memadati jalan Daat Mogot menuju Grogol. Entahlah, kenapa saat itu saya menganggap lucu analogi istri itu. Tetapi juga terkesan sangat miris. Orang minang berguru kepada Alam. Selalu punya cara mengungkapkan pikiranya lewat metapora. Bakat itu ada pada istri saya. Saya terdiam dan akhirnya tertidur sampai dibangunkan istri ketka sudah sampai. “ Mama shopping. Nanti kalau sudah selesai meetingnya, telp mama ya. Biar mama jemput di lobi Hotel” Kata Istri berpesan.
***
Pertemuan itu diadakan di Restoran Jepang yang berada di dalam hotel Bintang V. Memilih restoran jepang untuk bertemu pejabat dan anggota Dewan, karena ada kamar tertutup untuk makan. Lebih privasi daripada di Lounge Executive yang terbuka sebagai ruang publik. Pertemuan ini diatur oleh teman. Dia pengurus ormas keagamaan. Dia akan membawa anggota DPR , dan direksi BUMN, serta pejabat yang ada di ring kekuasaan Presiden. Saya datang, mereka sudah ada lebih dulu di tempat.
“ Maaf, kita datang lebih awal dari waktu yang ditentukan. Kawatir hujan dan jalanan macet. “ Kata teman tersenyum. Setelah ramah tamah barang sebentar, kemudian direksi BUMN berkata “ Pak, tanah ini milik perusahaan dengan izin PIR. Mereka siap jual dengan harga per hektar Rp. 150 juta. Harga jual sesuai SPK ke proyek KEK sebesar Rp. 500 juta perhektar. Ya hanya USD 3,5 per meter. Nothing lah bagi investor asing.” Kata teman. Dia tahu karena saya punya akses kepada investor asing.
“ Soal izin dan pembebasan lahan engga usah kawatir. Orang kita semua. Gampang aturnya” Kata anggota DPR yang ikut hadir dalam rapat itu. Dia berharap saya tidak ragu. Saya tatap mereka satu persatu yang hadir dalam rapat itu. Ada peluang dan ada akses politik untuk menjamin bisnis ini jalan. Dua hal itu memang yang diharapkan investor asing. Mereka paham menarik hati investor asing. “ Ini proyek B2B. Kewajiban BUMN menyediakan lahan dan investor sediakan proyek financing. Fair enough. Kita hanya butuh pengakuan saja dari investor soal harga itu, biar mudah jadikan lahan itu sebagai setoran modal” lanjutnya.
Saya tahu bahwa tanah itu walau akan jadi modal disetor BUMN lewat skema financing, namun uang beli tanah itu berasal dari PMN, dan akan menambah pemupukan modal bruto negara. Karena PMN itu berasal dari APBN. Tetap saja uang APBN dibancaki 4 kali lipat dari harga sebenarnya.
“ Saya tidak menjanjikan apapun. Nanti saya kabarin kalau investornya bersedia dengan proposal itu. “ Kata saya bersikap normatif. Namun sebenarnya saya muak. Yang pasti investor akan apraisal harga tanah sebagai bentuk setoran modal pada proyek. Engga sulit mereka dapatkan konsultan lokal untuk tahu harga mark up 5 kali lipat. Kemungkinan besar mereka tidak setuju.
“ Nah itu tugas yakinkan investor. Setelah itu kita bagi uangnya” Kata teman. Saya senyum aja. Hanya berlanngsung 1 jam rapat. Saya keluar setelah bayar bill kena Rp. 8 juta untuk empat orang makan.
Saya segera berlalu di restoran itu menuju Mall. Di jalan aya bertemu dengan teman lama. Dia pengusaha tambang. Terpaksa ngobrol sebentar. Kami masuk cafe. Pesan kopi ” Gila harga batu bara naik. Keren dah. Pesta lagi kita” Katanya tersenyum.
“Tapi gimana dengan kewajiban Domestic market obligation (DMO). Kan kontraknya longterm semua. Harga kan engga otomatis naik sesuai harga international” Kata saya. Karena kawatir kalau kenaikan batu bara itu akan mempengaruhi harga DMO. Akan menambah cost produksi PLN. Makin rugi aja PLN.
“ Ah gampang itu. “ Katanya tersenyum.
“ Gampang gimana? “ Kata saya terkejut. “ Kalau semua perusahaan tambang batubara melakukan ekspor, PLN bisa tumbang. Dan lagi engga mungkin PLN naikan harga pembelian batubara sesuai harga international. Kalaupun naik, ya tarif listrik juga harus naik. Itu bisa berdampak politik. Apa pemerintah mau.? Lanjut saya berargument.
“ Ya suruh aja BUMN tambang batubara jual ke PLN. Kan harga engga perlu naik. Swasta biarkan ekspor semua. Dapat cuan gede “
“ Gimana sih? Apa iya direksi BUMN tambang batubara mau?
“ Ah tinggal kita ganti direksi BUMN holding tambang. Ganti yang nurut sama kita”
“ Gila luh.”
“ Bukan gila. Negeri ini kita punya. Suka suka kitalah. Kan ada istilah you win you take all” Katanya tersenyum. Saya juga tesenyum tetapi tepatnya menyeringai. Dan segera berlalu seraya berjanji untuk ketemu lagi lain waktu. Saya bayar bill untuk dua cangkir seharga Rp. 150.000. Ya, untuk makan malam saja habis uang Rp. 8 juta atau sama 3 kali upah UMR sebulan. Bill minum kopi aja sama dengan makan dua keluarga miskin sehari. Ketdak adilan itu fakta, bukan fiksi.
Bayangan saya kepada omongan istri tadi. Rakyat memang kura kura. Kecerdasan dan kecepatan melangkah kalah dengan politisi. Mudah di-provokasi soal kebenaran dan kesalahan. Ya pejabat negeri ini adalah burung pemakan bangkai. Ketika rakyat berhadapan satu sama lain perang di sosial media, mereka berputar putar di atas seraya menyanyikan lagu “ Negeriku elok dan rakyatku bego.” Tiga hari kemudian saya baca berita " Direksi Holding Tambang diganti semua oleh Menteri. " Saham perusahaan tambang batubara melambung. Pesta dimulai. Tapi saya yakin tidak ada pesta tanpa akhir. Hanya masalah waktu.
Makan malam aja 8 juta. Tolong saya pak saya butuh 7 juta. Cek inbox fb
ReplyDeleteMakan malam aja 8 juta. Tolong saya pak saya butuh 7 juta. Cek inbox fb
ReplyDeleteCerpennya bagus !!!
ReplyDeleteTerus berkarya babo... 👍🏽👍🏽👍🏽
ReplyDeleteCerpen Babo bukan fiksi tapi pengalaman pribadi. Saya mengalami juga ketika saya pulang ke Indonesia setelah bertahun Tahun kerja sebagai tenaga teknis Fi perusahaan tambang besar di oztralia. Itu di era Order Baru kerja dgn konsultan Canada yg kerja di bawah Bapenas. Cara2 mark up B2B dan penyelewengan Dana pinjaman soft loan dari Bank Dunia itu sudah menjadi semacam praktek yg biasa mulai dari tingkat Kementrian sampai tingkat Gubernur, Bupati, Walikota, camat lurah. Menyediakan ..setelah hampir Dua Tahun saya putuskan kontrak kerja sebelum saya terperosok kedalam sistem yg merusak bangsa dan kembali ke Oztrali. Salam
ReplyDeleteAku suka judulnya..
ReplyDeleteBagaimana jalan keluar dari lingkaran kotor ini ya babo?…
ReplyDeleteMiris 😢
ReplyDeletesetuju tidak ada pesta yg tdk berakhir, hanya masalah waktu saja
ReplyDelete