Friday, August 20, 2021

Nisa...

 





Tahun 2017, Di lobi hotel Mandarin Guangzhou,  seorang wanita tersenyum kearah saya. Dia mendekati saya “ Bang, apa kabar? tegurnya. Saya sempat mikir siapa wanita ini. Orang china tapi bisa bahasa Indonesia. Dia terus tersenyum seakan memberikan waktu saya mengingat. “ Ah ya, Nisa kan.” Kata saya segera mengulurkan tangan. Tapi dia langsung memeluk saya. 

“ Ada apa ke Guangzhou ? kata saya.

“ Ikut Canton Fair. “ 

“ Oh usaha apa kamu ?

“ Saya punya pabrik iles iles. “

“ Iles iles crackers ? 

“ Ya. Tapi juga produksi powder untuk suplai ke pabrik kimia dan pharmasi  “

“ Jadi kamu ada booth di canton Fair?. Wah hebat kamu. “

Dia tersenyum. 

“ Lama ya kita engga ketemu. Terakhir tahun 2003. Sekarang kamu cantik dan keren..” Kata saya.

“Tumben bisa merayu.” Katanya tersenyum. “ Abang kemari ada apa ?

“ Aku juga mau ke Canton Fair. “

“ Liat doang apa punya booth?

“ Pabrikku yang punya booth. AKu mau liat aja.”

Dia ajak saya minum kopi dan setelah jam 10 sama sama pergi ke Canton Fair..


***

Nisa kali pertama saya kenal tahun 1987 waktu dia bekerja sebagai pegawai bioskop. Tugasnya sebagai kasir. Kebetulan saya kenal baik dengan anak pemilik bioskop itu. Namanya Bobi. Saya tahu dia pacaran dengan Bobi. Kalau ada makan di luar dan bertemu saya, Bobi selalu ajak Nisa. Jadi persahabatan saya terjalin dengan Nisa berkat Bobi. Waktu mereka menikah di Cirebon, saya hadir bersama istri. Setelah itu sudah jarang bertemu, bahkan kemudian putus komunikasi. Karena mereka pindah ke Medan.


Tahun 1993 saya bertemu lagi dengan Nisa. Dia kerja di restoran di bilangan Jayakarta, Mangga besar. Ada apa dia? Mengapa istri putra dari keluarga kaya akhirnya jadi pelayan restoran. “ Gimana kabar Bobi “ Tanya saya.


“ Kami sudah bercerai dua tahun lalu.”


“ Oh kenapa ?


“ Saya diperlakukan kasar. Seperti pembantu rumah tangga. Tetapi lebih buruk. Ini engga dibayar. Dia kasih uang belanja harian. Setiap hari dia pulang larut malam dalam keadaan mabok. Kadang kalau dia lagi kesel, hal sepele bisa jadi besar. Dia tidak segan pukul saya. Yang menyakitkan, kadang dia bawa perempuan ke rumah. Tidur di kamar dan saya disuruh tidur di kamar pembantu.” Katanya. Saya hampir tidak percaya. 


“ Sosok Bobi yang saya kenal dia orang baik dan lembut. Kenapa dia berubah?


“ Sejak papanya meninggal, wirasan jatuh ke dia. Kan dia anak tunggal. Hanya setahun setelah itu bioskop dia jual. Sebelumnya Ruko yang ada di Senen dan Tanah Abang juga dijual. Mungkin karena uang banyak, dia salah gaul. Ketipu berkali kali dengan temannya dan akhirnya  semua asset terjual. Diapun kenal dengan dunia malam. Ya rusaklah dia. Saya berusaha menasehati dia, malah dia pukul saya.”


“ Ya kenapa dia pukul kamu?


“ Dia selalu ungkit bahwa saya tidak perawan waktu menikah dengan dia. Dia curiga abang  yang perawani saya. Padahal saya kenal abang kan dari dia dan kita tidak pernah pacaran. “


“ Duh paranoid sekali dia.”


Sejak itu saya sering ketemu Nisa. Tahun 1994 dia menikah lagi dengan tamu restoran tempat dia kerja. Suaminya 20 tahun lebih tua dari dia. Saya senang. Tahun 1996 saya bertemu lagi dengan dia di Restoran Korea samping HI. Dia kerja disana. “ Gimana suami kamu? Tanya saya. 


“ Hanya setahun dia kontrakin rumah. Setelah itu dia tidak pernah datang lagi. Kalau di telp dia marah marah. Belakangan saya tahu dia balik lagi ke istri pertamanya. “ Katanya dengan airmata berlinang.  Sejak itu saya sering ketemu dia. Tahun 2000 dia menikah lagi dengan orang Korea. Pindah ke Semarang. Suaminya punya usaha pengolahan jahe.  Saya disconnect lagi dengan dia.


Tahun 2003 saya bertemu lagi dengan Nisa di Semarang. Dia sudah bercerai dengan suaminya. Karena kembali ke Korea. Saat itu dia cerita banyak soal bisnis suaminya. “ bang, kamu bisa bayangkan. Jahe dibeli dengan harga murah seton. Harga setelah di proses ektrak, 10 kg sama dengan harga 1 ton jahe segar. Untung gede banget. Aku tahu itu karena aku pegang kuangan suamiku. “ 


“ Terus apa rencana kamu?


“ Aku mau beli mesin blower dan mesin giling. Yang sederhana saja. Aku ada tabungan. Tetapi suamiku pergi ninggalin hutang ke petani dan uang sewa tempat. Rumah juga masih ngontrak. Terpaksa tabunganku terkuras bayar hutang. “ Kata Nisa. Saya tahu  Nisa ceritakan itu karena dia dalam keadaan putus asa. Namun tidak kehilangan harapan.


Sebulan kemudian aku panggil Nisa ke Jakarta. Aku akan bantu dia beli mesin asalkan dia bisa produksi jahe powder untuk saya ekspor, Dia senang sekali. Tapi saya tidak beri uang untuk beli bahan baku.” Tenang aja Bang. Kalau mesin sudah ada dan pabrik udah aku sewa di LIK, pedagang akan datang sendiri antar jahe. Mereka mau dibayar sebulan. “ Katanya menentramkan saya.


Hanya tiga kali ekspor 6 kontener hutang beli mesin dan sewa tempat sudah dia lunasi.  Sejak itu aku tidak lagi berhubungan dengan dia. Karena aku sudah hijrah ke China.


***

Usai menghadiri canton fair saya kembali ke hotel. Jam 7 malam, Nisa telp saya. “ Bang, Nisa undang makan malam. Mau ya?

“ Ini ajakan kencan atau apa ? Biar aku traktir. “

“ Aku yang traktir. Boleh ya.”

“ Ya udah. Di mana ?

“ Di hotel ini. Lantai atas loby. 


Ketika saya datang ke restoran, NIsa sudah lebih dulu datang. Dia menggunakan gaun sederhana namun modis. 


“ Nisa mengapa kamu waktu tahun 2003 nampak tegar. Tidak seperti sebelumnya. “ Tanyaku. Mungkin pertanyaan naif. Tetapi suka tidak suka aku adalah saksi hidup seorang Nisa. Aku ingin dapatkan hikmah dari sikap dan jalan hidupnya. 


“ Bang, semua soal pilihan.  Kegagalan pertama dan kedua, aku akui niatku salah. Niatku menikah karena ingin mengubah nasip dengan cara too good to be true. Bukan karena cinta. Penderitaanku juga bersama mantan suamiku karena berharap banyak kepada mereka.  Padahal mereka juga tidak bodoh amat. Mudah mereka bersikap mudah juga mereka lupakan. Yang salah aku. Bukan mereka. Ya mindset rakus. Apa beda dengan palacur”


“ Oh i see”


“ Karenanya aku tidak marah kepada mereka. Tidak larut dalam dendam. Biasa aja. Itu konsekwensi dari pilahanku sendiri. Waktu ketemu Bobi tahun 97, aku biasa saja. Engga ada kesan membenci. Ketemu dengan Mas Bram, juga aku biasa aja. Yang jelas aku bukan lagi wanita yang dulu mereka kenal. Sikapku itu menyembukan luka tampa noda. Saat aku mulai bangkit, dan berkembang seperti sekarang ini,  aku sadar itu karena aku hanya bergantung kepada Tuhan. Bukan kepada manusia.”


“ Hebat kamu.”


“ Yang hebat itu kamu, bang “


“ Apaan? kataku mengerutkan kening


“ Belakangan aku tanya sama teman abang, ternyata abang ekspor jahe itu ke korea. Harga modal. Abang engga dapat untung. Tapi abang bisa tarik uang dariku. Halus sekali abang bantu aku. Tanpa membuat aku rendah dan tidak berpikir macam macam. “


“ Oh gitu. Aku juga udah lupa.”


“ Tetapi setelah tahu abang membantuku, sampai kini aku terus merasa berhutang. Tahun 2015 aku temukan abang di facebook. Jadi lingkaran sahabat dumay abang. Tetapi abang tidak pernah kunjungi wall aku. Aku maklum abang ada 5000 teman. Wajarlah kalau tidak ada waktu berkunjung ke setiap teman. " Kata Nisa. " Kadang aku bermimpi menghabiskan malam bersama abang."kata Nisa dengan dengan wajah merona.


“ Engga usah merasa berhutang. Lupakan saja. Kita kan berteman. Kalau aku bantu kamu itu sudah nature aku. Biasa aja” Kata saya dan dia tersenyum. “ Kamu sudah menikah lagi ?


“ Suamiku sekarang ya bisnisku. “ Kata nisa tertawa. “ Engga mikir suami lagi. Focus ke bisnis aja.” Lanjutnya.  Kami mengakiri makan malam itu jam 11 malam. Ternyata panjang cerita. Saya liat Nisa lelah karena kebanyakan minum Wine. Saya antar dia ke kamar hotelnya. Menuntunnya ke tempat tidur dan dia merebahkan tubuhnya dengan mulut setengah terbuka. Roknya tersingkap. Nampak kakinya berbalut stoking hitam sampai pangkal paha. CD warna merah. 


Dari jendela Hotel nampak lampu kota menghias jalanan dan gedung. Malam di Guangzho seperti merangkai angan yang tak sudah. Suasana kosmopolitan tidak bisa menyembunyikan suara gaduh orang berkompetisi, mengejar waktu dan asa. Hidup memang bukan mencapai apa yang diinginkan tetapi melewatinya dengan rendah hati tampa keluhan, amarah, benci dan dendam. Pada akhirnya hidup bukan apa yang kita dapat tetapi apa yang kita beri. Semua karena Tuhan tentunya…


Saya matikan lampung kamar dan melangkah keluar kamar. “ Selamat malam Nisa “


***


Disclaimer: Nama dan tempat adalah fiksi belaka.

Sumber : Mydiary.

No comments:

Post a Comment