Saturday, April 24, 2021

Murahnya mahar bang Udin



 




Bang Farhan adalah sepupuku. Ponakan abak. Sejak kecil aku sudah dijodohkan dengan Bang Farhan. Aku tidak bisa menolak tradisi adat. itulah takdirku sebagai wanita minang. Bang Farhan tamat SMA dia diterima di PTN di Bandung. Abakku membiayai kuliahnya. Karena ayah bang Farhan sudah meninggal. Abak sebagai paman yang harus bertanggung jawab terhadap kamakananya. Waktu aku kelas 1 Madrasah Aliyah Bang Farhan sudah ke Bandung. Jadi praktis hubunganku dengan Bang Farhan terkesan tidak dekat. Apalagi usia kami bertaut 4 tahun.


Di sekolah aku punya kakak kelas. Namanya Sabarudin. Aku panggil Bang Udin. Dia anak yang cerdas. Namun pendiam. Kharismanya membuat dia terpilih sebagai ketua OSIS. Bang Udin juga juara MTQ tingkat sekolan dan kecamatan. Dia juga pernah mewakili sekolah dalam lomba cerdas cermat khusus Al Quran dan hadith. Kalau aku dekat dengan bang Udin karena rumahnya bersebelahan dengan uni dari abakku. Aku sering ke rumah Maktuo ku. Aku juga sering belajar tarikh dari bang Udin. Dia pandai sekali bercerita tentang tarikh islam.  Aku juga belajar memahami dasar dasar tafsir Al Quran dari bang Udin.


Bang Farhan tamat kuliah aku sudah tamat Madrasah Aliyah. Dia kembali dan tinggal di kampung sebelum dapat kerjaan. Saat itu aku diminta Abak jangan lagi sering bertemu bang Udin. “ tak patut dilihat orang” Karena aku sudah dijodohkan dengan bank Farhan. Bagiku tidak ada masalah. Memang tidak ada hubungan istimewa dengan bang Udin. Tamat Madrasah ALiyah, bang Udin pergi ke kekabupaten. Dia bekerja di toko Babah Afin saudagar kaya di kabupaten. Akupun jarang bertemu dengan Bang Udin.  Apalagi dia pulang ke kampung sebulan sekali.


Satu saat aku datang ke rumah Maktuo, aku dapati Bang Farhan sedang bersama wanita di teras. Aku terkejut. Wanita itu aku kenal.  Habibah namanya. Lebih tua dariku 1 tahun. Kuliah di IKIP Padang. Kebetulan sedang liburan. Aku sempat tegur bang Farhan. Tapi bang Farhan diam saja. Seperti tidak peduli. Aku masuk ke dalam rumah. Maktuoku, sepertinya mendukung atau tidak berdaya terhadap sikap bang Farhan. Aku lebih baik pulang ke rumah. Namun di teras Habibah yang sedang bersama Bang Farhan menegurku. “ Upik, tak ada recana kuliah kau? 


“ Tergantung abak. Aku hanya patuh apa kata abak” Kataku.


“Oh rupanya kau berharap bang Farhan melamar kau ya?


“ Siapa yang berharap.? Aku tidak pernah berharap kepada manusia. Cukuplah kepada Allah aku  berharap.”


“Eh sombong sekali kau. “ Kata habibah menunjuk keningku “ Tak mungkin bang Farhan mau melamar kau. Soal biaya kuliah yang abak kau bayar, orang tuaku bisa ganti semua. Tinggal sebut berapa? lanjut habibah seraya mendorongku. Aku membalas. Tetapi bang Farhan malah ikut mendorongku. Aku terjatuh. Saat itulah Bang Udin datang. Dia mendirikanku. “ Bang, si upik ini adik abang. Mengapa tega sekali abang perlakukan dia begini? Kata bang udin.


Aku pulang diantar bang Udin. Selama di jalan aku menangis. Bang Udin menasehatiku. “ Upik boleh menangis. Itu manusiawi. Tetapi tak boleh meratap dan mengeluh. Sabar sajalah.” Kata Bang Udin.


“ Aku tak terima abakku dihina. Kalaupun abakku membantu uang kuliah Bang Farhan, itu karena dia melaksanakan tanggung jawab sebagai paman kepada kamanakan. Tidak pernah abak paksakan bang Farhan harus menikah denganku. Kalaupun  dia tidak suka, abak bisa maklum” kataku.


Setahun setelah itu, bang Farhan bekerja di Riau. Diapun menikah dengan habibah. Waktu pernikahan,Abak paling repot mengurusnya. Akupun ikut senang. Tapi bang Farhan takut sekali berbaik hati kepadaku. Sepertinya dia takut dengan istrinya. Aku tetap sendiri. Usiaku sudah 20 tahun. Suatu sore, abak mengajakku berbicara. 


“ Pik, tadi paman Si Udin datang ke paman kau. Dia inginkan kau menjadi istri dari ponakannya si Udin. Kalau kau tak suka. Abak bisa maklum. Cobalah sebutkan siapa pria yang kau suka. Abak akan lamarkan”

Aku hanya diam.


Tapi setelah itu aku pergi ke kabupaten menemui bang Udin. Aku terkejut. Bang Udin tidak lagi kerja sama babah Afin. Tetapi sudah dagang sendiri walau di kaki lima. “ Hebat abang. Sudah dagang sendiri.” Kataku. 


“ Ya Pik. Dimodalin Babah Afin. “ Kata bang Udin dengan merendah. Dia memang lahir dari keluarga miskin. Tapi taat beragama.


“ Ya Bang. Itu berkat abang sabar dan jujur. Induk semang sayang ke abang” kataku. Aku sebenarnya ingin bertanya soal lamaran keluarga bang Udin. Tetapi aku malu. Bang Udin memang sahabatku sedari kecil. Apa salahnya aku bertanya.  “ Bang, tadi abak tanya Upik soal kedatangan paman bang Udin. Abang tahu soal itu? Kataku dengan hati hati.


“Ya. Minggu lalu, memang abang bicara dengan Paman idrus. Abang cerita soal keinginan melamar Upik. Tapi kalau Upik tak suka, ya tak apa. Maafkan abang ya Pik. “ Kata Bang Udin. 


Jantungku berdetak kencang. Aku berlari menjauh meninggalkan bang Udin. Langsung naik bus dengan hati berbunga. Bang udin tidak segagah bang Farhan. Kulitnya hitam. Badanya kurus. Tapi hidunya mancung. Walau tidak sarjana tapi dia berani melamarku. Padahal kami tidak pernah pacaran.


***

“ Pik, uang abang hanya ada Rp. 1 juta. Itupun uang hadiah dari babah Afin. Dia tahu abang mau menikah. Belum cukup untuk melamar upik.” Kata Bang Udin.


“  Bang, ingat engga kata guru madrasah kita dulu. Semakin murah mahar wanita semakin terhormat wanita itu dihadapan Allah. Upik engga akan terhina dapat mahar murah.”


“ Ya udah.  Abang kasih seperangkat alat sholat dan sempak aja ya Pik. Maaf.” Kata Udin malu malu.


“ Upik engga akan maafkan kalau abang beralasan menunda melamar karena uang tidak cukup.  Biaya pesta pernikahan, semua abak yang tanggung. Kan begitu adat kita. Apalagi.? Kataku.


“Siap Pik ! abang tak perlu ragu lagi untuk melamar Upik” kata bang Udin.


Benarlah. Bulan syawal  bang Udin resmi melamarku. Kini sudah 10 tahun pernikahan kami. Aku merasa bahagia, bukan karena harta berlebih. Tetapi mendapatkan suami pekerja keras, rajin sholat dan rendah hati.  Murah hati kepada siapa saja. Sayang kepada kedua orang tuanya dan santun kepada mertuanya.


Belakangan aku dapat kabar. Bang Farhan masuk pengajian LDII. Dia menikah lagi dengan  teman sepengajian dengannya. Habibah menolak dipoligami. Mereka pun bercerai. Habibah akhirnya menikah dengan Sukri. Jadi istri pertama. Belakangan Sukri menikah lagi. Habibah memilih pasrah.


No comments:

Post a Comment