Friday, May 01, 2020

Ikhlas…




Namanya Iwan. Usianya bertaut 4 tahun dari ku. Iwan terlahir tanpa ayah. Mengapa aku bilang tanpa ayah? Karena usia Balita, ibunya datang ke kampung dari kota. Dia dititipkan dengan neneknya. Setelah itu ibunya pergi dan tak pernah kembali lagi. Usia 10 tahun, neneknya meninggal. Tidak ada lagi yang mengurus Iwan. Dia sebatang kara. Orang kampung juga tidak peduli dengan dia. Tetapi Iwan tetap bisa hidup mandiri. Kadang kalau pulang sekolah, aku melihat Iwan sedang bekerja di gudang Kopi dekat pasar. Dia memilah milah biji kopi. Dia dapat upah dari pekerjaan itu. Iwan biasanya kembali kerumah menjelang sore.

Iwan tinggal seorang diri di rumah peninggalan neneknya. Dia pandai memasak walau masak ala kadarnya. Jarang sekali meliat Iwan berkumpul dengan teman sebayanya. Waktunya lebih banyak bekerja di Gudang Kopi. Mungkin karena kaki iwan yang sebelah kiri agak kecil. Dia berjalan miring sebelah. Itu sebabnya aku sering mendengar Iwan di olok olok oleh teman sebayanya. Dia tidak pernah sekolah. Namun dia bisa membaca dan berhitung. Neneknya yang mengajarinya.

Mengapa aku cerita tentang Iwan. Menjelang remaja, walau keadaan miskin dan cacat namun tidak menghalangi niat Iwan untuk mencintai Marjiah, anak Tuan Datuk pemilk Gudang Kopi. Aku tahu betul, bagaimana Iwan sangat perhatian kepada Marjiah. Pernah aku melihat Iwan di hujat oleh Marjiah di hadapan teman temannya, Hanya karena Iwan datang ke sekolah membawakan payung. Itupun karena disuruh oleh Ayah Marjiah. Aku tahu, Marjiah malu di hadapan teman temannya.

Setamat SMU, aku pergi ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas. Marjiah juga pergi ke Jakarta. Aku hanya pulang setahun sekali waktu liburan. Saat aku pulang liburan. Aku mendengar kabar bahwa Ayah Marjiah sudah meninggal. Belakangan ibu Marjiah menikah lagi dengan pria yang lebih muda. Marjiah tetap tinggal di Jakarta menyelesaikan pendidikannya. Tahun kedua, aku pulang, kudapatin Ibu Marjiah gila. Semua harta peninggalan suaminya habis dibawa pergi oleh suaminya. Saat itu Marjiah terpaksa pulang kampung untuk merawat ibunya.

Menurut cerita ibuku, “Sempat dua bulan Ibunya Marjiah di pasung. Karena tidak ada uang untuk membawanya ke rumah sakit Jiwa. Suatu waktu, Iwan datang ke kampung. Entah siapa yang mengabarinya. Entah mengapa, seminggu kemudian Marjiah kembali ke Jakarta. Ibunya ikut Iwan ke kota untuk berobat dan tinggal dengan Iwan”
“ Iwan! “ kataku terkejut.
“ Ya Iwan. Bahkan biaya Marjiah selama di Jakarta ditanggung oleh Iwan.” kata Ibu.
“ Dari mana iwan dapat uang? apa kerjanya “ Tanyaku.
“ Iwan sudah jadi pedagang hasil hutan. Tadinya setiap hari dia pergi ke hutan. Mengambil getah gaharu dan getah mata kucing. Kemudian, lama lama dia jadi pengumpul. Diapun pindah ke kota” Kata ibu, itu sebabnya aku tidak tahu. Karena tidak pernah lagi melihat iwan di kampung.

Tahun ke empat aku pulang. Aku dapat cerita dari ibu, 
“ Bulan lalu, Marjiah pulang kampung membawa Bayi. Orang kampung geger. Tapi Iwan datang kerumah Marjiah. Entah apa yang dibicarakan. Tetapi yang jelas setelah bertemu Iwan, bayi itu dibawa Iwan ke kota. Keesokanya Marjiah kembali ke Jakarta.”
“ Jadi iwan merawat Ibunya Marjiah yang gila dan Bayi nya? 
“ Benar. Tapi ibunya sudah sembuh dan masih menumpang hidup dengan Iwan. Padahal keluarga besar Ibunya Marjiah banyak yang mampu. Tapi mereka tidak peduli” Kata ibu.

Tamat Universitas, aku bekerja di Jakarta. Aku pulang kampung dengan kendaraan sendiri. Dalam perjalanan aku mampir di restoran. Aku melihat ada orang masuk ke restoran dengan berjalan miring. “ Bang Wan.” teriakku. Aku segera menghampirinya. 
“ Eh kau Yung. Dimana kau tinggal sekarang ? kata Iwan seraya memelukku.
“ Di Jakarta Bang. “
“ Wah hebat. Udah Insinyur kau ya. Kerja di jakarta pula.” Katanya dengan wajah kagum.
“ Biasalah Bang. Baru belajar bekerja. Abang gimana?
“ Ya apalah aku. Orang kampung. ya beginilah.” khasnya yang selalu merendah. Ketika kami sedang asyik bicara ada anak Balita berlari dari luar langsung masuk ke restoran dan menghambur dalam pelukan Iwan. “ ayah’ Terdengar balita itu memanggil Iwan.
Balita cantik itu mirip Marjiah. Aku tak sanggup bertanya siapa ibunya.
“ Kau pernah bertemu dengan Marjiah di Jakarta? Kata Iwan.
“ Engga pernah, bang”
“ Udah empat tahun dia tidak pernah pulang. Telp tidak pernah diangkat. Surat tidak pernah dibalas. Semoga dia baik baik saja. “
“ Gimana dengan Mak Nur “ Maksudku ibunya Marjiah.
Marilah ke sebelah. Rumahku di sebelah. Katanya menarik lenganku. 
“ Sebentar bang. AKu bayar dulu makanannya.
“ Tak perlu kau bayar, Restoran ini punya ku.” 
“ Oh..”
Di sebelah restoran itu ada Ruko dua lantai. Lantai bawah tempat usaha pengumpul hasil hutan, termasuk jual sarang burung walet. Iwan mengajak ku ke lantai dua. Aku melihat di dekat jendela ada sofa. Disitu aku melihat Mak Nur. Wajahnya nampak murung. Tak ada reaksi apapun ketika aku menyalaminya “begitulah dia. Setiap malam dia teriak teriak dengan isyakan tangis menyebut nyebut nama Marjiah. Setelah itu, dia akan tertidur.
“ Abang tinggal bersama Mak Nur disini ?

“ Tidak.Aku tinggal di belakang bersama Anak ini “ katanya seraya mendekap erat Balita itu .
“ Yung” Seru Iwan. Dia terhenti seakan berpikir sesuatu. Kemudian. “ Kalau kau bertemu Marjiah di Jakarta. Suruhlah dia pulang. Aku tidak pernah memaksanya mencintaiku. Dengan segala bantuanku kepadanya dan ibunya, juga anaknya, tidak ada niatku memaksanya jadi istriku. Aku hanya berharap menjadi bagian dari keluarganya. Kalaupun itu dia tidak mau, tak apa. Pulanglah. Rawat ibunya dan besarkan anaknya. Aku akan tetap membantu sampai dia punya suami sesuai pilihannya.“

“Abang mulia sekali hatinya.”

“Sedari kecil aku tidak pernah melihat ibu dan ayahku. Sebelum meninggal Ayah Marjiah berpesan kepadaku untuk menjaga Marjiah dan ibunya. Itu aku ingat betul. Aku terharu. Siapalah aku ini?. Anak sebatang kara. yang miskin. Mengapa sampai Ayah Marjiah berpesan seperti itu? Aku yakin, pesan Ayah Marjiah adalah pesan cinta dari Tuhan kepadaku. Ternyata walau aku tidak punya orang tua tetapi saat itu Tuhan memberi tahuku, aku punya kesempatan untuk menjadi anak yang berbakti dan kakak yang melindungi adik perempuannya. Tahukah kamu?, Yung, tanggung jawab kepada ibu, adik perempuan itu seumur hidup. Itulah jihad sesungguhnya. Begitu agama mendidik kita. “

Iwan terdiam, "Setiap malam aku berdoa kepada Allah, agar dengan segala keikhlasanku kepada Marjiah, ibunya, Anaknya, bisa meringankan dosa ibu dan ayahku, yang entah dimana kini. Dan berharap kalau mereka masih hidup, Tuhan pertemukan aku dengan mereka, untuk kuberbakti sepanjang hayat dikandung badan." Iwan nampak berlinang air mata. Saya terharu karenanya.

Sesampai di rumah, aku cerita kepada ibu tentang pertemuanku dengan Iwan. “Iwan itu lahir dari ayah yang tidak jelas. Ibunya pergi entah kemana. Dia cacat sejak lahir. Karena akhlaknya baik, walau dia tidak pernah sekolah, cacat, namun tidak menghalanginya untuk sukses sebagai pedagang. Tahu mengapa? Iwan tidak pernah dendam dengan masa lalunya dan tidak membenci wanita yang telah menghinanya. Semua dia balas dengan cinta, maka kebaikan yang datang, rezekinya pun lapang.'" Demikian kata ibu.***

No comments:

Post a Comment