Friday, May 01, 2020

Babo dan kaki.







Di Lapau Mak Siti, seperti biasa kami berkumpul selepas Isya. Sekedar menanti kantuk. Biasanya jam 10 malam kami akan segera angkat kaki. Kecuali ada yang nantangi main ceki.

“ Menurut kau, dari organ tubuh kita, bagian mana yang paling penting “ Tanya Samad.

“ Semua penting. Semua ciptaan Allah “ Jawab Sabri.

“ Bodoh kau. Kutanya mana yang penting. Kau jawab semua penting. Dasar kau memang seumur hidup tak bisa bedakan mana yang penting dan mana yang bukan “

“ Heh Samad, kenapa kau bilang begitu? jaga bicara kau. Aku lebih tua dari kau. Paham kau” kat Sabri sewot.

“ Eha, Kemarin kau utamakan pergi pengajian di surau tetangga desa. Sementara sawah kau yang harusnya dapat giliran air kau abaikan. Sampai pagi orang lain yang menikmati jatah air kau. Besok besok seperti biasa panen kau lebih buruk dari kami. Tapi kau bilang itu kehendak Tuhan. Anehnya keorang orang kau bilang kami tidak adil. Kau pandai menghibur diri atas nama Alla. Pandai menyalahkan orang lain atas nama Allah. Padahal kau memang pemalas. Lebih utamakan ikut pengajian guru Nando yang punya istri lebih dari satu tapi hidupya tak lebih menumpang dari santunan orang lain.”

“ Heh..panjang sekali kau ceramahi aku. Aku bukan kau, Samad. Hidup kau memang hanya dunia dan urusan akhirat tak penting bagi kau. Semoga Allah memberikan hidayah kau”

“ Kudoakan semoga Allah membukankan pikiranmu sehingga cerdas bersikap dalam hidup. “

“ Kau pikir aku tidak cerdas ?

“ Tanah dan ladang kau lebih luas dari kami. Tapi kami punya motor. Di rumah kami ada antena parabola. Kami semua sekolah. Sementara keluarga kau malahan anak di perbanyak. Satupun engga ada yang sekolah sampai kekota. Orang tua kau suruh kalian banyak mengaji tapi kau tak di ajarkan bagaimana bisa mandiri. “

“ ya ya sudahlah. Kenapa pula kalian bertengkar.Engga akan sudah itu urusannya. Sekarang aku jawab pertanyaan Samad. Yang penting diantara organ tubuh kita adalah Kaki.” kataku.

“ Coba kau jelaskan mengapa kaki “ tanya Samad.

“ Kau ingat si Masri ?

“ Ya, ingat. Kamanakan si Dulah.”

“ Betul. Tadi dia miskin di kampung tapi karena ringan kakinya sampai dia di jawa. Sekarang dia kaya raya sebagai pedagang. Bahkan sudah pula pergi haji. Semua kamanakan dan orang kampung yang datang ke kota di bantunya modal. “ Kataku.

“ Ah itu riya. Dan lagi orang orang itu tidak dibantu tapi dipekerjakannya agar dia semakin kaya.”

“ Bukan riya tapi berbagi kesempatan. Dia pekerjakan oran agar orang punya rasa hormat dibantu. Pahamkau, Sabri.” Kata Samad lagi.

“ Kalau menolong karena ALlah tak perlulah berharap apapun” Kata Sabri sengit.

“ Hanya orang dungu dan tak punya rasa malu kalau badan sehat dan kuat mau diberi begitu saja. Jangan kau bawa bawa nama Allah kalau alasan itu halal mengemis bagimu.”

“ Aku tidak pernah mengemis. “ Kata Sabri dengan nada keras.

“ Kalau kau tak berharap kepada manusia dan hanya kepada Allah tak akan keluar dari mulut kau mengeluh sepanjang hari. Penat aku mendengar kau terus mengeluh dilapau, bahkan di surau.” Kata samad.

“ Baiknya aku pulang. Tak pantas aku bersama kalian yang munafik dan kafir.” Kata Sabri. Sebelum pergi Sabri berkata kepada Mak Siti 

“ Dia yang bayar minum kopi ku “ Menunjuk kearah Samad.

“ Kau bilang aku kafir dan munafik tapi minum kopi kau minta perai. Kantong ku ternyata tak ikut haram bagimu ya Sabri.”

Sabri hanya tersenyum kecut. Mereka bersahabat sedari kecil dan canda dalam satire mewarnai pergaulan mereka.

***
Babo (Kakek) ku pernah mengajak ku masuk kedalam kebun dan terus melangkah mendaki bukit. Sampailah di pinggir hutan tak bertuan.” Kita sampai disini karena kaki pemberian Tuhan. Karena kaki kita melihat begitu besarnya tumbuhan berjejer. Didalamnya ada binatang . Ada kehidupan, Tentu ada rezeki. Kau sebagai pria minang, jangan kau beratkan melangkah. Ringangkan kaki untuk melangkah kemana saja kau suka. Bumi ini terlalu luas untuk hanya dipahami oleh Babo yang hanya pandai mengaji. NIkmat Allah itu tidak akan kau rasakan dengan menghafal Al Quran dan mendengar apa kata guru di surau. NIkmat Allah itu hanya kau rasakan apabila kau gunakan kakimu melangkah. Sekali kau ragu melangkah maka yang tampak hanya kampung halamanmu. Dan itu hanya masa lalu yang tak akan membuatmu menjadi apa apa.”

Aku hanya manggut manggut. Karena entah yang keberapa kali kudengar Babo bicara seperti itu. Tapi Babo tidak pernah mengajak ku sampai kedalam hutan. Ketika kutanyakan itu, “ Nanti bila kau sudah dewasa, pergilah merantau ke negeri orang. Carilah ilmu dan pengalaman darimanapun sumbernya. Setelah itu pulanglah kemari, Masuklah ke hutan itu dengan ilmu dan pengalaman. Kelak kau akan berguna sebaik baiknya dirimu bagi orang lain.” demikian pituah Babo.

***
Tahun berganti , aku melanjutkan SMA di kecamatan. Kudengar banyak pria minang pulang kekampung tidak menerobos hutan tapi mereka datang dengan pakaian Guru mengaji. Ada sorban dan janggut. Setiap di surau yang terdengar kutukan dan hujatan kepada pemerintah. Kutukan kepada wanita minang yang hanya pakai baju kurung tanpa jilbab. Lambat laun orang kampung semakin kurang minat merantau. Karena mendengar kotbah di Surau bahwa di kota tempat maksimat bekulindan. Semakin banyak orang menjauh dari Surau. Hanya masalah waktu azab Allah akan datang. Neraka semua bagi mereka. Kita lebih baik hidup miskin di kampung daripada di kota jad calon penghuni neraka. Cerita orang kampung yang sukses dirantau tak lagi mewarnai setiap pembicaraan di lapau. Tak ada lagi motivasi anak muda untuk merantau. Yang ada hanyalah rasa takut. Takut masuk neraka.

Ketika liburan sekolah aku kembali ke kampung. Kudapati Babo sudah jarang bicara. Tak lagi mengajakku wisata ke pinggir hutan. Babo hanya kadang memperhatikan aku kalau sedang belajar di ruang tengah rumah. Kadang dia mengelus kepalaku ketika sedang membaca buku “ Rajin rajinlah kau belajar. Namun sehebat apapun kamu dikampung, kau belum akan berguna. Merantau akan menjadikan kau seorang pria sejati. Yang tentu berguna bagi orang kampung” Kata Babo. Kulihat wajah tuanya nampak semakin tua. Dan aku bertekad setelah tampat SMA akan merantau.

Benarlah, setamat SMA aku merantau. Sahabatku Samad ikut aku merantau walau dia hanya tamat SMP. Sabri tetap di kampung. Dia bahkan mendoakan agar kami dapat hidayah. Kami hanya mengaminkan. Namum ketika mengantar kami ke terminal bus , dia nampak sedih berpisah dengan kami sahabat masa kecilnya.

***
Tak terasa sudah 15 tahun aku merantau. Aku sudah jadi pengusaha yang mengageni produk impor. Telapak kakiku bukan hanya menginjak tanah Jawa tapi sudah pernah menginjak negeri China, Korea, Jepang, bahkan Eropa. Aku sudah menikah sesuai pilihan orang tua. Istriku adalah anak Mak Tuo-ku sendiri. Orang minang menyebut aku kembali ke Bako. Atau menikah dengan keluarga ayah. Selama 15 tahun, baru sekali aku pulang ke kampung, itupun ketika mendengar kabar bahwa aku sudah di tunangankan dengan keponakan ayah. Sementara Samad pergi merantau ke Sulawesi. Dia sukses sebagai pengusaha ekspedisi laut. Kami pernah bertemu waktu melaksanan rukun islam ke lima di tanah makkah. Dia juga sama tak rindu untuk pulang kampung. Apalagi semua saudara dan orang tuanya sudah ikut dengan dia di rantau.

“ Aku tak merasa itu kampung yang pernah kita tinggalin. Suasana kampung tak lagi seperti dulu. Canda tawa teman sepermainan tak terasa hangat lagi ketika orang orang berbaju gaya padri dengan janggut dan jidat hitam semakin banyak di kampung. Entah darimana mereka itu mendapatkan ajaran. Adat sudah lama di punggungi. Surau tak lagi diisi kisah hikmah agar hidup berakal mati beriman. Tapi surau sudah jadi tempat dokrin bahwa akhirat lebih penting dan sorga adalah pilihan hidup. Hidup di dunia tidak penting.” demikian alasan Samad. Aku hanya mengangguk dalam miris.

***
Dan, suatu waktu aku dapat kabar dari pak Tuo bahwa di kampung ku sekarang banyak sekali pekerja dari jawa berdatangan. Tapi mereka tidak menetap. Mereka hanya melewati kampung kami dengan kendaraan truk besar menuju pinggir hutan. Alat berat berdatangan. Semua pohon direbahkan, Bukit di ledakan. Akar kayu dibakar menimbulkan asap menghitam menutupi pandangan dijalan kampung. Memang jalan kampung di perbaiki. Diaspal. Kantor lurah di perbaiki. Surau diperbesar menjadi ukuran masjid yang megah. Rumah guru dan iman masjid di rombak seperti rumah orang kota. Para pemuka kampung tanpa bekerja tapi hidup senang dengan rumah berantena parabola, termasuk salah satunya Sabri.

Hutan itu telah menjelma menjadi kebun sawit dan ditengah tengahnya ada perkampungan orang jawa, yang tak pernah menyatu dengan warga kampung kami. Konon katanya orang jawa dapat tanah gratis 2 hektar dan jaminan makan selama pohon sawit belum menghasilkan. Tapi selama itu mereka harus bekerja keras agar pohon sawit terawat baik. Sementara penduduk kampung kami semakin muram dan semakin pemarah kepada pemerintah. Tapi para pemuka masyarakat dan tokoh agama mereka hidup senang tanpa harus kerja keras. Orang kampung bilang itu kharamah orang suci yang rezekinya bisa datang darimana saja…sebetulnya itu donasi dari simata sipit juragan kebun.

”Kau tahu apa sebenarnya yang membuat orang kampung kita kalah sama pendatang dari jawa ?”Kata ku suatu waktu kepada Samad ketika bertemu dengannya di Singapore.

Samad menggeleng.

”Karena mereka tak lagi menggunakan kakinya. Setiap hari pikiran dan fantasinya kepada sorga dan takut neraka. Akibatnya mereka engga kemana mana. Kakinya bengkak dan malas melangkah. Hilang akal sehat dan tentu hilang semangat menaklukan dunia untuk mencapai kesempurnaan iman dihadapan Allah. Bukan salah bundo mengandung buruk surat tangan sendiri. Bukan salah aseng mendapatkan kebun besar karena kita malas melangkah dan berbuat” 

Samad diam, hanya terpana. Sebenarnya, aku tak begitu yakin apakah memang perlu menyimpulkan seperti ini kepada Anda hingga cerita tentang Babo dan kaki punya versi lain. Karena belakangan memang aku tak bisa membangun kampungku tapi di kampung lain aku mencetak kebun Pisang di provisi lain di Yunnan, China dan Samad juga berhasil mencetak kebun coklat di sulawesi. Bumi ini luas dan milik Allah dan itu hanya untuk orang berlmu dan mau bekerja keras menghadang resiko dan kelelahan.***

No comments:

Post a Comment