Awalnya kami bahagia. Aku mengenal istriku sebagai gadis yang menyenangkan. Sungguh setiap kali aku melihat lesung pipitnya kala ia tersenyum, oh, Tuhan, aku merindukan saat-saat itu lagi. Saat ia tak henti-hentinya bicara dan terus bicara dari jok belakang vespa biruku kala kami menuju pantai menikmati rona senja. Senja selalu merona serupa wajahnya yang menyimpan malu karena rayuan mautku. Dan, di pengujung tenggelamnya matahari itu aku mencium bibirnya yang semanis madu. Sungguh tak ada yang lebih menyenangkan selain kenangan, begitu pun sebaliknya, tak ada yang lebih menyedihkan selain kenangan. Aku jadi ingin menangis. Boleh, kan, laki-laki menangis? Kau pernah menangis?
Aku sering menangis akhir- akhir ini. Tapi, aku bersyukur karena Tuhan menciptakan kenangan. Maksudku Tuhan memberikan kenangan dalam bentuk kertas putih karena bagaimana pun juga kitalah yang mengisi kenangan itu. Aku bersyukur karena kertas putih itu. Hanya itu kan yang bisa kita ziarahi setelah kita tak bisa kembali lagi pada sebuah kenyataan? Maafkan kesentimentilanku, kawan. Tapi, bukankah setiap manusia lebih dari sekali bersikap seperti itu? Aku tak ragu lagi tentang hal itu. Bagaimana denganmu? Kau punya istri cantik seperti istriku?
Istriku itu cantik, kawan, aku yakin jauh lebih cantik dari istrimu. Rambutnya tidak lurus, tapi keriting mendekati ikal, ia terlihat menyenangkan dan anggun dengan rambut seperti itu meskipun aku tahu ia tetap cantik dengan rambut lurus seperti yang kulihat saat rambutnya masih basah seusai mandi. Bau tubuhnya yang harum mengundangku untuk mendekatinya lalu berbisik di telinganya bahwa betapa terkejutnya aku setelah menyadari menikahi seorang bidadari. Tak butuh waktu lama untuk membuat handuk yang melilit tubuhnya terlepas dan kami saling memagut dan menggapai satu sama lain.
Istriku sekarang berusia 38. Masih cantik. Walau pulang kerja dia nampak lelah namun riasan dan kecerahan wajahnya tidak berkurang. Tapi, sejujurnya ia adalah perempuan tercantik yang pernah kukenal sampai hari ini. Sewaktu kami masih pengantin baru ia tidak langsung mencuci muka, kau tahu, ia langsung memelukku. Saat seperti itu tak pernah kami sadari bahwa kami sedang bahagia. Sering kali tak ada percakapan, hanya kepalanya yang bersandar, tapi tak diragukan lagi, itu masa-masa paling bahagia bagi kami. Aku membayangkan kami akan selalu begitu hingga rambut kami memutih dan saling merasakan betapa kulit kami yang bersentuhan terasa bagai daun-daun kering. Tapi kenyataan berkata lain. Bagaimana dengan kenyataanmu? Apakah kau masih bahagia, kawan?
Sejak Bisnis freight forwarder-ku bangkrut. Kami sudah jarang mengucapkan selamat pagi saat bangun. Kebiasaan lupa itu berlanjut ketika istriku memutuskan untuk melamar pekerjaan sebagai marketing executive perusahaan property. Sejak itu dia semakin sibuk, dan memang ada hasilnya. Dia sukses sebagai seorang marketing. Hidup kami berubah, tetapi hubungan kami juga berubah. Tidak ada lagi kehangatan seperti awal awal berumah tangga.
***
Adrenalinku berpacu cepat. Jantungku berdetak dengan irama tak beraturan. Istriku berjalan bermesraan dengan seorang pria tepat di depanku. Aku kenal pria itu. Atasannya di kantor. Sebetulnya aku ingin masuk kembali ke dalam kendaraan di gedung parkir itu sebuah hotel. Tetapi aku urungkan. Aku berdiri mematung menyaksikan pemandangan di hadapanku. Baru jantungku kembali normal setelah mereka masuk ke kuridor lift Hotel. Saat ini, aku sudah terlampau marah. Panasnya mendidihkan semua cairan di tubuhku. Aku sangat marah. Apa yang harus aku lakukan? melabrak dia bersama pria itu? Bukankah dia telah mengkhianati pernikahan kami. Menodai statusnya sebagai seorang ibu. Ya apa salahku sehingga dia tega mengkhianatiku. Mungkin lagi-lagi aku harus marah pada diriku sendiri yang tidak pernah dengan benar memperhatikan istriku sendiri. Membiarkannya bekerja tak mengenal waktu mencapai karir hebat. . Oh… Aku kehilangan kata-kata. Tiba-tiba aku merasa begitu lelah.
Pernahkah kau menunggui orang yang kau cintai menikmati kebersamaannya di hotel dan merasa kau akan gila bila terus berada di lobi hotel menanti dia keluar dalam kelelahan bersama pria. Bagimu udara terasa pengap dan nafasmu sesak. Hatimu hancur detik demi detik berlalu. Setiap detik sangat menyakitkan. Aku sudah tidak tahan. Sebaiknya aku pergi meninggalkan hotel itu. Sebuah catatan yang akan abadi dalam hidupku bahwa aku menyesal pernah menikah dengan seorang wanita pembohong, yang hanya mencintai dirinya sendiri. Tapi aku tidak punya alasan untuk menceraikannya. Kalau aku tanya soal hubungan dengan pria itu, dia pasti punya banyak alasan. Dia lebih pintar dariku soal merangkai kata kata. Setidaknya dia bisa berkata,
“ Dari mana rumah, kendaraan, dan segala isi rumah ini? Dari mana uang kita piknik ke luar negeri setiap tahun? Dari mana? Kamu? No. Itu semua dariku, dari kerja kerasku. Tapi aku tidak pernah menepuk dada. Aku tahu, bahwa aku seorang istri yang bagaimanapun harus menghormati suami. Patuh kepada suami. Kalau memang kamu tidak izinkan aku bekerja, ya aku tinggal di rumah. Pastikan harta yang ada tidak berkurang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena sudah lebih 3 tahun setelah bangkrut kamu tidak pernah bangkit lagi.”.
Itulah yang membuatku kawatir untuk mempermasalahkan apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Tapi sejak itu semua menjadi berbeda. Kami, bahkan, jarang bicara kecuali seperlunya saja. Aku tak ragu lagi untuk berkata bahwa kami bukan lagi dua jiwa yang dipersatukan Tuhan. Meski kami tidur masih dalam satu ranjang, sebenarnya di antara kami, yang mungkin bagimu hanya berjarak sejengkal, terdapat tembok kokoh yang menghalangi kami untuk saling menatap dan bertanya bagaimana kabarmu hari ini. Salah satu dari kami akan pergi tidur lebih dulu sedangkan yang lainnya pura-pura menonton acara televisi atau membaca koran selama satu atau dua jam hingga merasa yakin salah satu dari kami sudah tertidur pulas. Hujan memang telah lama tak lagi turun di ranjang kami. Bagaimana dengan ranjangmu? Apakah istrimu masih menggairahkanmu?
Bagi istriku, rumah tangga hanyalah status, dan kenikmatan didapatnya di luar rumah. Sementara aku menikmati bisnis process di luar rumah. Kami serumah tapi kehidupan kami ada di luar rumah.
***
Telah hampir 10 hari kami berdua terpaksa tinggal di Rumah. Itu karena himbauan dari pemerintah untuk social distancing agar penyebaran virus corona tidak terjadi meluas. Dari hari pertama staying at home, biasa saja. Hari kedua juga begitu, Ketiga juga begitu. Tapi masuk hari keempat, entah mengapa kami mulai saling bertatap namun cepat mengelak. Kebersamaan dalam kesendirian itu sangat menyakitkan. Lantas apa arti semua ini, kalau toh nyatanya kami bukan saja takut tertular tetapi juga takut akan kematian akibat virus corona itu.
“ Mas" seru istriku. Aku terkejut. Dia bicara dengan raut wajah berbeda. Sepertinya dia ingin bicara, membunuh sepi di rumah. "
" Ada apa ?
" Saya bingung. Karena begitu banyak pendapat ahli yang saya baca. Apalagi kalau sudah berargumen dengan contoh kasus kematian akibat Covid 19. Apapun argumen mereka sangat masuk akal dan menakutkan. Gimana saya menyikapi ini. ?
“ Siapapun boleh bicara, apakah dia ahli soal virus, ahli molokuler, atau dokter atau apalah. Tetapi faktanya belum ada satupun ahli di dunia ini yang bisa menemukan vaksin COVID 19. Artinya, mereka hanya berasumsi dengan pengetahuan yang terbatas. Kan bego kalau kamu terprovokasi dengan omongan mereka. Soal kematian adalah kisah lama dan terus berlangsung di dunia ini. Mengapa harus ditakuti?
“ Tapi Mas, Covid 19 ini memang mengerikan. Liat aja di Italia, China dan tempat lainnya.”
“ Mengerikan itu karena persepsi kamu yang terbentuk akibat semua orang membicarakan Covid19. Angka kematian akibat flue jauh lebih besar. Angka kematian akibat rokok jauh lebih besar. Angka kematin di jalan jauh lebih besar. Mengapa itu tidak mengerikan? karena tidak semua orang membicarakannya. Pahamm ya.”
“ Bagaimana dengan larangan ditempat keramaian dan social distancing? Apakah itu tidak meindikasikan sesuatu yang berbahaya ?
“ Itu hanya pedoman agar tidak mengakibatkan penularan. Itu juga bagian dari social engineering. "
" Mengapa?
"Karena setiap orang itu berpotesi ada virus di dalam tubuhnya. Bisa virus apa saja. Masalahnya tidak semua orang merasakan keberadaan virus dalam dirinya , tergantung imun tubuhnya. Apa jadinya kalau kebetulan virus yang ada pada kita, menular keorang lain yang langsung aktif karena imunnya tidak kuat. Kan buruk jadinya. Hal ini kita bisa belajar dari orang Jepang. Mereka tidak melakukan langkah social distancing seperti negara lain. Orang tetap bekerja di kantor. Stasiun masih ramai. Jalanan masih ramai. Mengapa? karena mereka punya budaya hidup bersih dan terbiasa menjaga kesehatan orang lain dengan menggunakan masker ditempat keramaian. Kalau kita baru ramai setelah ramai dibicarakan Covid19 tetapi di Jepang itu sudah jadi tradisi keseharian mereka. Mereka juga engga punya budaya salaman atau saling hug atau kiss. Tetapi membungkukan tubuh sebagai tanda hormat. Itu juga cara efektif tidak menularkan virus kepada orang lain."
" Jadi memang sebaiknya pedoman yang dianjurkan pemerintah itu dituruti. Setidaknya kita ambil bagian dari social engineering. Bagaimana hidup bersih dan menjaga kesehatan diri dan orang lain. Karena setiap orang berpotensi sebagai pembawa virus.” Kata istriku tersenyum. Baru kali ini kulihat dia memberikan senyum terindah seperti awal menikah.
“ Apakah setelah wabah Covid19 ini selesai, orang bisa bebas lagi.” kata istriku.
“ Tidak ada istilah selesai. Karena virus tidak mati. Kalau orang bisa sembuh, itu bukan berarti dia kebal. Mungkin akan ada lagi virus virus lain. Kuncinya adalah social engineering. Bukan hanya hidup bersih tetapi bagaimana kita bisa peduli kepada orang lain. Bukan hanya peduli terhadap penyebaran virus tetapi juga sikap hidup berbagi. Kemiskinan adalah sumber masalah dari semua masalah. Yang paling mengerikan adalah timbulnya wabah bagi simiskin yang tidak teratasi dan ini tentu berdampak bagi siapa saja termasuk orang kaya. Kalau kita tidak berusaha mengurangi gap kaya miskin, maka kita sebenarnya menciptakan hidup penuh resiko di planet bumi ini."
Dia tersenyum. Suasana sepertinya penuh kebun bunga. Aku menyesal mengapa kami membiarkan waktu terbuang bertahun tahun hanya karena merasa direndahkan. Padahal setiap tindakan pasti ada alasannya. Dalam situasi sekarang kami berjarak dengan semua kesenangan di luar rumah. Yang ada hanya kami berdua. Ternyata kesenangan yang ada di luar rumah mengabur dan menjadi menakutkan akibat virus corona. Tempat teraman ternyata adalah di dalam rumah. Tempat seharusnya kami belajar untuk mencintai satu sama lain. Belajar untuk berdamai dengan kenyataan. Belajar dari ketidak sempurnaan kami sebagai manusia. Belajar dari rasa kawatir dan ketakutan. Belajar dari arti sebuah kematian yang pasti terjadi.
Entah mengapa di suatu malam, istriku berkata sebelum tidur. “ Besok aku akan mengirim surat pengunduran diri dari perusahaan. Aku ingin tinggal di rumah saja. Rian sudah remaja. Dia butuh aku. Boleh ?
Aku terkejut. Kata terakhir walau singkat, “ boleh” menegaskan bahwa aku masih suami dan penguasa tunggal di rumah. Dia masih menghormati status sakralku di hadapa Tuhan.
“ Usahaku masih merintis. Entah gimana kelanjutannya setelah wabah virus corona ini berlalu.” Kataku sekenanya. Tapi itu juga kelemahanku yang terbiasa mengeluh di hadapan istri.
“ Kita akan hadapi bersama. Aku punya tabungan. Kita akan baik baik saja. “ Katanya. Aku meremas jemarinya, dan tersenyum. Aku tidak akan bertanya tentang hubungannya dengan atasannya. Dan akupun tidak perlu cerita perselingkuhanku dengan relasi bisnisku. Yang jelas kami merasa bersalah, bertahun tahun kami tidak lagi saling sentuh. Jasad kami di ranjang yang sama namun jiwa kami ada di luar rumah. Berkat corona, berkat staying at home, kami bisa memaknai arti kebersamaan, yang memang harus diperjuangkan dan berkorban apa saja untuk itu. ***
No comments:
Post a Comment