Tiga bulan lalu Robi kirim File Pdf tentang penawaran akuisisi DBC Holding yang terdaftar di Singapore. Saya paranoid terhadap segala sesuatu yang mudah. Bagaimana mungkin DBC yang raksasa dan pemegang sahamnya yang juga raksasa, bisa begitu saja menawarkan pelepasan saham secara private placement. Sebelum diproses oleh team formal dari SIDC holding. File itu saya kirim ke Mia, team shadow saya. Minggu lalu saya dapat laporan dari Mia. Selama dua hari saya pelajari laporan itu.
Pertama. Benar bahwa DBC Holding yang akan di akuisisi memiliki sumber daya besar. Portfolio mereka terdiri dari Pembangkit listrik, Mineral tambang, Oil and gas. Mereka belum IPO. Valuasi sangat tergantung kepada kepastian hukum dari negara pemberi konsesi. Karena mereka tidak punya tekhnologi mengolah sumber daya kritis. Dan tidak ada R&D. Pengembangan yang ada sekarang lebih kepada Upstream Industri, yang produksinya di offtake oleh afialiasi dari DBC Holding. Artinya DBC didirikan memang untuk kepentingan afiliasi.
Kedua. Seluruh investasi berasal dari hutang dan equity. Karena sejak berdiri DBC tidak pernah mencetak laba. Jadi setiap ekspansi pemegang saham setor modal agar DER pada rasio wajar. Collateral berasal dari konsesi bisnis yang disekuritisasi dengan underlying offtake guarantee dari buyer. Yang underwrite sekuritisasi asset itu adalah 3 lembaga keuangan , yang kebetulan juga terafiliasi dengan pemegang saham dari DBC. Artinya memang DBC sengaja dihabisi sumber dayanya. Keuntungan ada pada afiliasi.
Ketiga. Seluruh anak perusahaan DBC sudah IPO. Rencana pelepasan saham holding tak lebih bertujuan untuk exit strategi dalam rangka risk management. Tidak ada indikasi lain. Karena portfolio nya berupa Tambang Batubara, PLTU sudah masuk sunset. Kesepakatan Paris berkaitan dengan pengurangan emisi karbon tidak bisa ditunda. Dua bisnis itu dalam jangka menengah harus di shut down. Sementara tambang Emas, data geologis untuk penambang bawah tanah beresiko. Karena berada di garis lipatan bumi.
Porfolio Oil and gas berfokus kepada explorasi. Tidak ada upstream Industri. Tambang nikel cukup luas namun kadarnya rendah sekali. Keuntungan dari bisnis ini karena adanya insentif bebas pajak terhadap Smelter dan IUP yang longgar AMDAL nya. Itu tidak layak jadi pertimbangkan. Ketergantugan kepada insentif cenderung korup.
***
Saya bertemu dengan Robi. Kami sudah bersahabat lebih dari 30 tahun. Tahun 83 sampai 85, Dia dan saya pernah jadi team sales pada perusahaan Jepang. Setelah itu kami berpisah jalan. Masing masing terjun ke bisnis. Belakangan saya tahu bisnis Robi bidang cargo dan logistic berkembang pesat di Singapore dan Malaysia. Kami jarang bertemu. Setahun bisa dihitung dengan jari ketemuan. Dia sibuk dan saya juga begitu.
Pertemuan kali ini tentu dia ingin tahu progress proposal yang dia ajukan kesaya. Saat bertemu. Saya jelaskan secara sederhana apa dasar saya menolak proposal itu. Karena dia orang bisnis dan saya bicara dengan data. Dia bisa menerima alasan saya. “ Engga nyangka, Ale yang gua kenal ternyata wawasannya luas sekali. Pantas kalau teman teman cerita kamu bisa membangun holding company berkelas dunia dan bermitra dengan konglomerat financial” katanya.
“ Saya engga sehebat itu. Saya hanya belajar dari alam. “ Kata saya.
“ Alam takambang jadi guru “ Kata Robi menegaskan. Dia orang Riau dan banyak bergaul dengan orang Minang.
“ Ya. Alam mendidik saya berpikir secara kausalitas dan patuh kepada hukum sunnatullah. Alua jo patuit, istilah minang. Makanya saya menolak retorika dalam bisnis. Saya focus kepada data dan informasi yang valid. Berusaha mengerti apa masalah. Kemudian menganalisanya berdasarkan masukan semua pihak. Mendapatkan point dari mengevaluasi itu semua untuk create solution atau membuat keputusan. “ Kata saya.
Kemudian kami lanjut bicara santai dalam suasana santai. “ Kenapa begitu banyak yang benci dengan Jokowi? Padahal dia sudah banyak berjasa” Tanya Robi.
“ Ya biasa saja. Kan ada istilah. Kalau orang tidak membenci kita, itu artinya kita dianggap tidak penting. Kalau orang tidak membicarakan kita dibelakang, itu artinya kita tidak diperhitungkan. Kalau orang berusaha mengalahkan kita, itu artinya kita something. Sama hal nya dengan presiden. Dimana mana presiden itu tempat kekecewaan dan harapan. Dimana mana pemerintah itu pihak yang selalu disalahkan dan tentu itu karena ia begitu sangat diharapkan” Kata saya.
“ Kan tidak harus membully. Seharusnya pandailah berterimakasih.” Kata Robi lagi.
“ Kemarahan itu situasional, bukan personal. Dalam situasi ekonomi suram sekarang. Banyak kelas menengah yang jatuh miskin dan orang miskin jadi blangsat, wajar saja orang mudah terprovokasi emosional “ Kata saya.
“ Bayangkanlah,” lanjut saya. “ orang bokek karena bisnis lesu dan stress karena PHK, kan engga secure. Dimana mana orang insecure kan begitu. Soal terimakasih, itu terlalu berlebihan. Presiden atau elite kan bukan pekerja volantir seperti penjaga pintu kereta. Mereka kan dibayar mahal dengan fasilitas luar biasa. Itu sudah terimakasih namanya. Kan duit untuk fasilitas itu dari pajak rakyat” kata saya.
“ Jadi problem negeri kita ini apa sih” Tanya Robi. Saya maklum dia banyak di luar negeri. Karena bisnis nya cargo membuat dia sering travelling ke luar negeri. Clients dan stake holder nya lebih banyak di luar negeri. Dan dalam usia menua dia tetap sibuk memimpin operasional perusahaannya.
“ Ekonomi kita itu tergantung kepada SDA. Sejak era colonial sampai sekarang tidak terjadi transformasi ekonomi dari SDA ke industry. Kamu kan tahu. SDA itu nilai tambahnya rendah. Kalaupun masuk proses hilirisasi, value added tetap saja rendah. Karena ketergantungan modal dan tekhnologi dari luar. Beda dengan industry kreatif yang lahir dari R&D. Itu bisa 100 kali nilai tambahnya.
Nah karena jumlah penduduk terus bertambah dan SDA yang terus berkurang. Maka terjadilah more expenses than income. Ya defisit, yang berujung kepada utang. Nah utang itulah yang trap kita di masa lalu, kini dan masa depan. Memang tidak ada hope” kata saya berusaha realistis.
“ Tapi negara lain juga berhutang. Ekonomi mereka juga bermasalah.” Kata Robi.
“ Negara lain terutama negara Industri itu berhutang karena kebutuhan leverage. Memang masalah tapi ada hope. Maklum industry kan butuh modal untuk leverage agar efisien dalam skala ekonomi. Namun Quick test liquidity ratio kuat banget. Cost of fund mereka murah banget. Misal Singapore. Walau utang mereka diatas 100% dari PDB, bayar bunga dan cicilan tidak significant Apalagi jepang. Walau debt to PDB hampir 300% namun bunga rendah banget. Bahkan mendekati 0%
Sementara kita walau Debt to PDB kita masih 40% namun Quick test liquidity ratio rentan sekali. Bayangkan aja, 45% dari pendapatan pajak habis bayar bunga dan cicilan. Angka rasio itu setiap tahun terus bertambah karena defisit APBN harus dibiayai dari utang” Kata saya.
Robi mengerutkan kening. “ So we do have a problem..” Kata Robi. “ So, bagaimana dengan program hilirisasi mineral tambang yang dibanggakan sebagai sumber devisa dan penyumbang PDB” tanya Robi
" Sebelum saya berpendapat. " Kata saya sambil udut rokok. " Mari kita bongkar praktek hilirisasi Nikel. Demi mendorong program hilirisasi itu diminati oleh investor Asing yang bisa mendatangkan FDI. Pemerintah buat aturan yang exciting. Ekspor nikel yang sudah di smelting akan dapat fasilitas bebas pajak dan tax holiday serta dapat fasilitas subsidi fuel batubara dengan harga DMO. Pemerintah juga mengatur harga pembelian Ore kepada penambang pemilik IUP. Disparitas harga Ore antara China dan Indonesia, gede. Bedanya USD 30 lebih murah di Indonesia.
Sekarang mari kita lihat manfaat bagi Indonesia terhadap kebijakan hilirisasi tersebut. 75% produksi smelter berupa NPI ( Nickel Pig Iron) dan ferro nickel (FeNi). Itu tidak 100% Nikel. NPI mengandung Nikel sekitar 1,5%-25%. Ferro nickel (FeNi) pada umumnya mengandung 20 – 40 % Ni. Makanya pabrik panci, sendok, pipa galvanis, interior stainless untuk rumah tidak banyak di Indonesia atau tidak berkembang. Kalaupun ada, mereka impor bahan baku dari China juga. "
" Mengapa ?
" Produk NPI ( Nickel Pig Iron) dan ferro nikel itu semua dikapalkan ke China. Sampai di China diolah lagi dengan ditambahkan unsur krom (Cr) dan mangan (Mn), bahkan molibdenum (Mo) dan niobium (Nb). Material katode (contoh NMC- 811) merupakan produk olahan berbasis nikel yang paling mahal. Kandungan nikel pada produk ini adalah 48,3%, dan dihargai sekitar 315% LME (harga NMC-811 sekitar US$ 29.000/ton). Produk asli turunan nikel yang paling mahal saat ini adalah serbuk nikel nano (nickel nanopowder), bahan dasar industri microchip dan telp selular. Jadi yang dapat nilai tambah berlipat ya China."
" Sekarang apakah ekspor produk hilirisasi nikel itu mendatangkan devisa (DHE)?. "
" Perhatikan skema berikut. Perusahaan yang dapat izin smelter dan IUP, biasanya ada kerjasama dengan investor asing. Investor asing ini bertindak sebagai offtaker dan juga lender sekaligus. Hanya saja cara mereka disamarkan. Investor asing menggunakan SPC dengan menunjuk lembaga keuangan sebagai S/A ( special assignee) di luar negeri. SPC ini bertindak sebagai lender dengan skema non arbitrase. Artinya collateral nya adalah produk smelter itu sendiri. Tentu setiap ekspor duitnya sebagian besar masuk ke rekening SPC di luar negeri. Paham ya, mengapa ekspor SDA tinggi tetapi tetap kita harus berhutang untuk menambah devisa. “ Kata saya.
“ Kalau lihat dari praktek lapangan, Indonesia tidak mendapatkan nilai tambah significant. Tidak juga mendapatkan devisa secara signifikan. Sebagian besar duit balik ke investor asing di luar negeri dan nilai tambah berlipat ya mereka yang nikmati. Sementara kita harus menanggung ongkos kerusakan lingkungan. Mengapa ini terjadi? Apakah tidak ada orang pintar dan cerdas di Indonesia? Kata Robi.
“ Tidak. Justru Indonesia gudangnya orang cerdas. “ kata saya.
“ Lantas mengapa ?
“ Menurut saya, umumnya penguasa terjangkit penyakit megalomania. Orang dengan megalomania merasa yakin bahwa dirinya memiliki kekuatan, kekuasaan, kecerdasan. Padahal mereka lack of knowledge and lack of spirituality. Karena tidak mau mendengar kritik secara intelektual. Ya anti intelektual. Doyan dipuji. Sehingga mudah di mangsa oleh komprador yang ada di ring kekuasaanya.” Kata saya.
Kami pindah duduk dari Executive lounge ke restoran di lantai atas “ Gimana kabar Aling” tanya Robi saat menanti menue datang. ALing dulu satu satunya wanita dalam team sales kami saat kerja di perusahaan jepang tahun 80an. " 2019 saya pernah ketemu dia Bandara FRA. Katanya dia sedang nego beli kapal di Norwegia. Engga sempat ngobrol banyak. Keliatannya dia rushing time. Tetapi keliatan se-usia dia masih fresh dan cantik " kata Robi.
“ Dia tinggal di PIK dan sejak tahun 2013 jadi Komut GI” kata saya.
" Saya ingat tahun 80an. Kita pergi rame rame ke Panti pijat di Gajah Mada. Tahu tahu Aling nongol. Bubar dah acara. Padahal lue doang yang engga ngamar. Tetapi dia marah besar. Aling itu keras banget dan bawel banget. Tetapi kamu sabar banget. Tapi dia bisa terima kamu menikah dengan pilihan orang tua. " Kata Robi. Kami berpisah setelah makan malam. Semoga Robi sehat selalu.