Aku dapat kabar Dina sakit. “ Dia tinggal sendirian di Rumah nya. Hanya di temanin pembantu saja “ Kata Edi. Dina sahabatku. Aku kali pertama mengenalnya di acara bedah buku tahun 1983 “ Bumi manusia “ karya Pramoedya Ananta Toer.. Saat itu memang buku itu dilarang oleh rezim Soeharto. Usiaku 20 tahun. Masih sangat muda untuk tahu politik. Aku terpesona dengan narasi Dina dalam memahami makna kebudayaan dan feodalisme. Usianya lebih tua 3 tahun dariku. Mungkin karena dia mahasiswi. Dan aku orang kampung yang hanya tamatan SMA, berusaha menjadi bagian dari budaya metropolitan.
Setelah itu aku berusaha dekat dengan Dina. Aku tahu diri. Berusaha menghormatinya sebagai kakak dan juga mentor dalam politik. Belakangan aku tahu Dina aktif di partai dan terpilih menjadi anggota legislatif. Aku teman curhatnya dalam segala hal. Dina memang tidak berjarak denganku. Makanya aku bingung. Mengapa dia berubah. Setidaknya mengapa kata kata tidak sesuai dengan sikapnya.
“ Ini politik Ale, kadang harus merangkak di bawah rumah demi dapatkan telur. Tan Malaka bergabung dengan Partai Komunis bukan karena dia komunis tetapi itulah cara dia melawan imperialis. Karena saat itu hanya partai komunis yang punya cantolan kuat secara internasional. “ katanya berusaha meyakinkanku atas pilihannya masuk ke partai penguasa dan akhirnya jadi anggota dewan. Aku berusaha maklum walau aku tidak pernah bisa memahami. Bagaimana orang yang tadinya sangat membenci rezim akhirnya jadi penghuni cangkang rezim.
Setelah Dina jadi anggota dewan, kami sudah jarang bertemu. Akupun sibuk dengan bisnis. Kalaupun kami bertemu, itu karena permintaan dia. Aku tidak bisa menolak. “ Aku bisa gunakan akses politik untuk kemudahan kamu berbisnis. Mengapa kamu tidak manfaatkan itu “ katanya satu waktu. Aku diam saja. Usia emasku, bukan mencari yang mudah. Aku memilih semak belukar, dan berusaha melewatinya. Walau terluka dan kadang terjatuh, itu mendewasakanku.
Belakangan aku tahu Dina sering ikut pertemuan secara gelap dengan kelompok prodem. Dia tidak pindah ke PDI, dan namun dia membantu prodem lewat lobinya dengan elite kekuasaan. Ikut arus dalam perubahan PDI yang diwarnai sengketa kepengurusan antara kubu Megawati dan Suryadi.
“ Kemenangan partai kamu sebenarnya adalah kemenangan pro demokrasi.” Kataku usai pemilu 1997.
Dina terkejut.” Maksud kamu ?
“ Pemilu 1997 ini, Megawati berhasil menarik simpatik massa islam. Gus Dur mendukung dia. Pertarungan internal PDI dimanfaatkan Megawati untuk melambungkan namanya secara nasional. Kalau itu terjadi, ABRI akan melirik ke dia. “ Kataku.
“ Mengapa ?
“ ABRI itu doktrin ideologinya adalah rakyat. Kalau rezim tidak lagi didukung oleh NU, maka moncong bedil tidak lagi diarahkan ke rakyat tetapi ke istana. Tanpa dukungan militer, rezim pasti jatuh” Kataku. Dina tersenyum. Mungkin dia pura pura tidak tahu. Atau memang dia sekedar menguji pemahaman politik ku.
Kemudian benarlah, Dina cerita panjang lebar soal intrik internal Partainya yang masing masing berusaha menarik ABRI dalam intrik tersebut. Itu dipicu oleh sifat jelous partainya yang melihat Pak Harto semakin dekat dengan kelompok Islam intelektual, yaitu ICMI. “ Sudah saatnya Pak Tua itu dijatuhkan.” Katanya geram.
***
“ Ale, kamu bisa bantu teman temanku untuk placement uang di bank asing. “ Kata Dina satu waktu awal tahun 1997.
“ Kenapa ? untuk apa ?
“ Banyak diantara mereka mau pindahkan uangnya keluar negeri. Alasan karena politk sudah tidak kondusif lagi.
Saat itu kurs Rupiah terhadap USD berkisar Rp. 2300. Tidak ada tanda tanda akan jatuh rupiah. Itu artinya stabilitas politk baik baik saja. Bahkan IMF dan Bank Dunia masih memuji ekonomi indonesia. Aku berusaha membantu Dina dengan menghubungi banker di Singapore. Sampai akhirnya banker itu bersedia dengan proposalku. Aku buka kantor di hotel bintang V di Jakarta.
Setelah itu, Dina setiap hari bawa tamunya ke ruang Business center Hotel. Setelah bertemu denganku, mereka isi form aplikasi dan tanda tangani. Dalam 5 menit mereka sudah punya rekening offshore. Dengan itu mereka akan minta banknya untuk transfer uang itu ke luar negeri. Caranya sederhana sekali. Bank asing itu punya cabang di Indonesia. Itu bisa dilakukan secara cross settlement atau pindah buku dari rekening dalam negeri ke rekening offshore di luar negeri. Saat itu belum ada larangan cross settlement antara rekening dalam negeri dengan rekening luar negeri.
Ternyata bukan hanya aku, ada beberapa orang juga jadi agent rekening offshore dari beberapa bank asing di luar negeri. Maklum kami dapat finding fee sebesar 0,25% setiap placement fund. Ratusan triliun uang rupiah berpindah ke USD. Sampai tiga bulan keadaan ekonomi Indonesia baik baik saja. Kurs masih stabil. Namun pada tanggal 14-15 Mei 1997 badai hedge fund melanda Thailand. Nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS, jatuh akibat para investor mengambil keputusan “jual” besar besaran.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan negara asia lainnya. Sejak saat itu, posisi kurs rupiah mulai tidak stabil. Walau BI berkali kali intervensi tidak ada artinya. September 1997, Pak harto mengundang IMF untuk menyelamatkan moneter Indonesia. Tetapi sudah tidak tertolong lagi. Lewat tahun 1997, rupiah terjun bebas. Soeharto pun jatuh.
“ Kita jahat ya Din ? kataku saat nonton TV pengumuman Soeharto mengundurkan diri.
“ Dia lebih jahat.” kata Dina ketus.
“ Tapi kan karena kita rupiah jatuh dan berujung krisis moneter. "
" Kalau rupiah engga jatuh, dia tidak akan jatuh” Kata Dina sekenanya.” Dan lagi, bukan hanya kita. Semua teman dekat dia ikut jatuhkan dia. Itu para pengusaha rame rame minta KLBI dan BLBI. Kan pengusaha teman dia juga. Semua penguasa jatuh bukan karena oposisi tetapi oleh ulah dia sendirii. Teman temannya sendiri”
“ Tetapi oposisi legitimate, lebih terbuka melawan. Sementara kita…” kataku
“ Apa bedanya?. Terbuka atau tidak tidak, sama saja. Lawan ya lawan aja. Hidup kan begitu. “ Kata Dina sekenanya.
“ Apa rencana kamu dengan fee yang kamu terima? tanyaku.
“ Aku mau mengundurkan diri dari panggung politik.” Kata Dina. “ Dan kamu, apa rencana kamu ? Tanya Dina balik.
“ Aku mau hijrah bisnis ke luar negeri.” Kataku.
***
Aku datang ke rumah Dina di kawasan Kuningan, jakarta. Saat aku datang dia tunggu di ruang tengah. “ Katanya sakit ? kok engga tidur di kamar” Kataku menyalaminya. Usianya kini 63 tahun. Aku tahu Dina aktif di NGO international yang berdedikasi masalah HAM. Dia tetap keliatan cantik dan pancaran mata cerdasnya tidak mengabur. “ Ah capek tiduran terus.” Katanya menyentuh pipiku dengan kedua telapak tangannya. “ Edi yang kasih tahu kamu ya”
“Ya. Katanya kamu sakit” Kataku.
“ Kalau bukan kabar sakit engga mungkin kamu mau kunjungi aku” Katanya tersenyum. Dasar orang politik selalu ada cara bersikap terhadap kelemahan orang lain. Dia tahu aku peduli dia. Dan itu selalu dimanfaatkan.
“Keadaan pemerintah sejak periode kedua kekuasaan Jokowi semakin tidak jelas. Kurs terus melemah. Deindustrialisasi. Rente meluas seiring memburuknya index korupsi. Dan demokratisasi hanya sebatas procedural belaka. Karena presiden mampu mengkudeta secara konstitusi lembaga demokrasi. Kita set back setelah berdarah darah memperjuangkan reformasi tahun 1998” Kataku.
“ Ale…Serunya dengan wajah teduhnya. “ Awal merdeka kita melihat cahaya sorga di upuk. Namun kita hanya berdiri di pangkal akanan. Berusaha menggapai cahaya itu. Dalam lelah dan airmata. Rezim berganti cahaya pun memudar." Dina terdiam. Air Matanya berlinang. " Negeri ini sudah membusuk sejak era Orba. Walau kejatuhan Soeharto bau amis darah, namun kita tidak berani menyebut nya revolusi. Maksimal reformasi. Kalau ditanya mengapa ? akan selalu berbeda jawabannya. Mau gimana lagi? Hipokrit sudah seperti air susu ibu. "
Dina berdiri dan mengambil buku di rak, Democracy for Sale: Dark Money and Dirty Politics dan satu lagi, Republic, Lost, dan Dark Money.
" Negara.., katanya seraya memegang buku itu. " dalam prakteknya, terdiri atas “para menteri kabinet, birokrat, orang-orang yang, pendek kata, seperti umumnya orang, menyimpan dalam hati mereka hasrat untuk memperbesar kekayaan dan pengaruh, dan dengan bersemangat menangkap kesempatan untuk itu. Ya, gimanapun negara adalah manusia yang memerintah. Manusia, adalah makhluk yang menampik kepedihan dan penderitaan yang pada waktu bersamaan mereka ingin damai namun dengan laku Homo homini lupus. “
“ Memang harus diakui pada manusia itu ada otak reptil yang kadang mereka gunakan mengatasi dilemanya. Termasuk menemukan cara, menikmati hasil kerja orang lain lewat pajak seraya menghembuskan retorika tentang keadilan dan masa depan yang lebih baik. Itulah politik. Perang atas nama geostrategis, perampasan lahan rakyat atas nama pembangunan, penipuan kurs atas nama kendali moneter dan inflasi, dan hal-hal lain yang mengerikan. “ Kataku lirih. Dina terdiam dan hening. Sepertinya kami diderai masa lalu, yang dulu sangat bersemangat menantikan sorga kaum marhaen.
“ Ale, " seru Dina kemudian. " kita sudah menua. Pengalaman hidup kita dipimpin oleh 7 presiden mengajarkan banyak hal. Setidaknya kita tidak melihat negara dalam bingkai ideal. Sebab ia punya keterbatasannya sendiri. Negara tak terbentuk untuk bisa memuaskan semua orang. Dimana mana negara hanya memuaskan segelintir orang. Walau lewat demokratisasi mayoritas termarginalkan namun itu juga tidak salah. Karena tiap politik punya utopia dan punya kalkulasi, dan di antara itulah hadir elite politik yang dengan kecerdasannya mengeksploitasi mayoritas penduduk demi agendanya.” Lanjut Dina.
Aku menghela nafas. Selalu setiap pergantian rezim dipenuhi oleh euforia dan impian utopia dan akhirnya utopia itu hanya ilusi. Akhirnya cerita lama selalu berulang yang kuat memakan yang lemah, yang cerdas menelan yang bodoh.
“ Yang pasti dunia ini adalah ladang ujian bagi orang beriman. Untuk menguji tentang sabar dan sukur. “ Kataku, yang mungkin itu caraku kembali ke fitrah pemikiran.
“ Tuhan berkata, Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, Kami telah beriman, dan mereka tidak diuji? Ya, tidak dikatakan beriman sebelum diuji. Kalau diuji dengan harta ya bersyukur, kalau diuji dalam kemiskinan ya bersabar. Apapun itu bukanlah antara kita dengan keadaan tetapi antara kita dengan Tuhan saja. Karena pada akhirnya manusia mati sendiri sendiri. Siapapun itu.
Agama berkata. Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Kalau tidak mampu menjangkau orang banyak dengan tangan, sampaikan hakikat kebaikan itu walau hanya setetes embun. Setidaknya buatlah diri kita tidak merepotkan orang lain atau tidak membuat orang lain terganggu. Itu aja. Karena Tuhan diatas sana berkata, Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri.
Karenanya tidak salah bila kamu terus kritis untuk mengingatkan. Negara bukan entitas suci dan penguasa bukan nabi atau volunteer yang bekerja tanpa dibayar. Sikap kritis itu sikap manusiawi. Sikap orang yang punya daya survival yang tinggi. Engga nerimo begitu saja. Akal yang selalu berfungsi untuk menilai dan bersikap“ Kata Dina
“ Ya hanya sekedar mengingatkan, walau kadang dengan putus asa di balik narasi teologi dan filosofi. Tidak lebih. Tidak berharap banyak. " Kataku lesu.
" Ale,..Manusia memang membuat sejarah, demikian kata Marx , tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya sendiri. Rezim jatuh, itu karena situasi dan kondisi yang terjadi begitu saja. Ya semacam invisible hand. Kadang dalam situasi damai tanpa prolog, kalau saatnya terjadi, terjadilah. “Dina menepuk bahuku. “ Seperti kejatuhan Soeharto ya kan. “ kata Dina tersenyum, seakan dia mengingatkan bahwa selagi ada orang yang kritis tanpa memihak, Indonesia akan baik baik saja.
Kami bersahabat sejak muda. Di usia menua ini, kami merasa sudah selesai. Tak lagi dengan semangat aksi. Dan kami tidak menyesal dengan pilihan hidup kami. Selanjutnya generasi muda yang harus melewati hidupnya. Masa depan mereka tergantung pilihan mereka pada hari ini..