Tahun 1934
Usia Sumardi barulah 16 tahun. Dia dapat kabar di Lasem sedang diperlukan banyak kuli tabang kayu jati. Belanda punya proyek di Lasem. Pohon yang masih muda dipelihara, dan pohon-pohon yang sudah tua ditebangi. Pemerintah Belanda membutuhkan kuli-kuli. Walau dia terlalu muda untuk pergi merantau. Namun dia tetap bertekad pergi. Dan sampai di Lasem langsung diperkejakan sebagia kuli tebang.
Lasem merupakan wilayah pesisir yang memiliki peran penting dari masa ke masa . Kota tua ini juga menjadi saksi transisi kekuasaan dari beberapa kerajaan di Jawa, mulai dari Majapahit hingga Mataram Islam. Kontak kerajaan Mataram dengan VOC sejak abad 17 membawa akibat semakin merosotnya kekuasaan Kerajaan Mataram. Itulah pengaruh paham kapitalisme.
Ternyata perlakuan Belanda sangat kasar. Bedeng di lokasi proyek sangat buruk. Upah tidak selalu diberi tepat waktu. Yang keliatan malas ditendang. Tidak peduli pekerja itu sedang sakit. Sumardi dan teman temanya sebisa mungkin menerima perlakuan Belanda itu. Setidak nya mereka dapat makan, Tidak perlu kelaparan. Dalam perjalanan dari bedeng ke Hutan. Sumardi berpapasan dengan kendaraan. Di dalam kendaraan itu ada gadis. Cantik. Kulit hitam manis. Wajahnya oval. Kendaran melaju lambat. Sumardi bisa melihat utuh gadis itu.
Dia merasa tak pantas untuk gadis itu. Jangankan mendekat, berhayalpun dia malu.” Itu gadis dari kota. Dia sengaja di datangkan oleh tuan Tjeng untuk mandor hutan. Mener Jacobus. “ Kata Amat teman Sumardi “ Namanya Sumarni.” sambung Amat
“Dari mana kamu tahu namanya? tanya Sumardi
“ Orang bedeng sebelah utara dekat rumah Mener Jacobuss tahu semua nama gadis itu. Sering terdengar gadis itu menyanyi. Suaranya indah sekali” kata Amat. Subandi maklum.Karena dia berada di bedeng selatan. Yang memang jauh dari mandor hutan.
Satu malam, Sumardi keluar dari bedengnya menuju arah utara. Dia ingin mendengar suara gadis itu menyanyi. Ya sekedar mendengar saja itu sudah kemewahan. Di tengah jalan. Sumardi meliat dari jauh ada bayangan bergerak. Dia dekati dengan Obor api ditangannya. Ternyata gadis itu. “ Tolong aku” kata gadis itu. “ Aku sumarni, selir mener Jacob.” Suara gadis itu terbata bata. Wajahnya berlumuran darah.
“Ada apa mbak Yu.” tanya Sumardi dengan ragu dan kawatir.
Walau wajah wanita itu berdarah. Namun tidak tersirat dia ketakutan. Dia hanya lelah berlari. “ Saya telah membunuh mener” kata gadis itu. Membunuh? Sumardi terkejut. Ini bukan biasa. Sangat luar biasa. Yang dibunuh mener belanda lagi yang sering membentak dan menganiaya kuli tebang. “ Kalau begitu, mbak yu ikut saya. “ kata Sumardi mengajak gadis itu mengikuti langkahnya. Dia pergi membawa gadis itu ke bedengnya. Hari sudah malam. Semua penghuni bedeng sudah lelap tidur dalam kelelahan.
Pagi pagi suara ribut terdengar di bedeng. “ Mandor terbunuh. “ kata Amat. “ Katanya yang bunuh Dulah, kepala kuli. Memang sudah dendam barangkali. “ Sambung Amat. Polisi datang. Semua kuli termasuk Dulah dikumpulkan di halaman bedeng. Mereka dipaksa mengaku siapa pembunuh Mener Jacob. Tidak ada yang mengaku. Dulah di cambuk dan dipukuli. Entah siapa yang mengawali. Para kuli menyerbu polisi. Letusan senjata tidak dihiraukan oleh kuli. Pada peristiwa siang itu, 6 polisi terbunuh di hutan jati itu. Para kuli berlari mencari selamat. Termasuk Sumardi dan Sumarni.
Sumardi membawa Sumarni ke desanya di Pacur. Mereka sampai hari telah berangkat malam. Sumardi dengan santun mempersilahkan Sumarni masuk dan duduk dibale bale bambu. Aku masak air dulu untuk kita minung.” Kata Sumadi berlalu kedapur yang kumuh.
“ Mengapa rumah ini kosong. Kemana orang tuamu’ Kata Sumarni
“ Aku sebatang kara. “ kata Sumardi saat menghindangkan minum kepada Sumarni. Dia merasa tak pantas duduk bersedekat dengan Sumarni di bale bale itu. Dia tetap bersimpuh di lantai. “ Aku lahir sudah tidak ada ayah. Ibuku tidak pernah cerita tentang ayahku. Ibuku meninggal saat aku usia 11 tahun. Dari seusia itu aku berusaha bertahan hidup sendiri di rumah ini. Apapun aku kerjakan untuk bisa makan. Sampai akhirnya aku harus pergi ke lasem” Lanjut Sumardi
Sumarni terharu mendengar cerita Sumardi. “ Mener aku bunuh karena aku sudah tidak tahan disiksanya. Entah kenapa disaat dia terbaring dalam kelelahan. Aku punya keberanian menghujamkan pisau ke tubuhnya. Bukan sekali tetapi berkali kali” Kata Sumarni.
Dari tadi Sumardi hanya mendengar dan tidak bertanya..” Anak ini terlalu muda untuk dewasa. “ Sumarni berguman. “ Berapa usia kamu” tanya Sumarni.
“ 18 tahun, mbak Yu.” Kata Sumardi.
“ Aku 20 tahun. Kamu adiku.” kata Sumarni tersenyum.
Lama Sumarni tatap Sumardi. Seperti ada cahaya dan kekuatan terpancarkan dari wajah Sumardi yang lugu. Karena itu Sumarni merasa rendah di hadapan Sumardi “ Aku pembunuh, tetapi yang dituduh para kuli termasuk Sumardi. Dia telah membeli jiwaku.” Kata Sumarni dalam hati. Dia menyentuh wajah Sumardi dengan kedua telapak tangannya. Sumardi hanya diam tanpa bereaksi. Wajah Sumarni dengan wajahnya sangat dekat. Malam itu Sumardi merasa menjadi pria seutuhnya ketika Sumarni mendesah pada setiap hentakannya. Dia tahu. Sumarni melakukan itu dengan cinta tulus sebagaimana besarnya cinta Sumardi kepadanya. Ya kadang cinta itu datang pada padangan pertama. Hanya sedetik mata saling bertatap. Selanjutkan adalah keindahan yang penuh misteri. Lemah terhadap cinta akan melumat diri sendiri. Jalan terang dan gelap saling bersanding bersama cinta. Tanpa ketulusan cinta adalah malapetaka mengiringinya.
Keindahan dalam kebersamaan itu hanya berlangsung 3 hari. Karena pada hari ketiga. Polisi bersama mata mata datang ke rumahnya. “ Kamu kuli hutan jati di lasem? Kamu kami tangkap” Kata Polisi itu. Sumarni berlutut di hadapan Polisi.” Jangan bawa dia. Dia tidak berbuat apapun. Tuduhan itu tidak benar’ kata Sumarni berusaha menahan pagutan polisi kepada Sumardi. Tapi Polisi terus menyeret Sumardi. Sumarni merasa setengah jiwanya hilang saat Sumardi dalam keadaan tangan terikat diseret oleh kereta kuda ke kantor Polisi.
***
Di Rogojampi ada keluarga besar Tionghoa. Kepala keluarga itu bernama Tjeng. Ia sedang membangun banyak rumah di kota kecil ujung Jawa Timur tersebut. Rumah-rumah itu kemudian disewakan kepada siapa saja yang ingin hidup di sana. Konglomerat Tjeng berpikir bahwa pada suatu saat Rogojampi akan berkembang, dan bakal menjadi daerah hunian yang memadai.
Tuan Tjeng melihat betapa Pemerintah Belanda punya komitmen untuk bekerja sama dengan kaum intelektual bumiputra untuk memajukan kota yang sejuk itu. Infrastrukturnya sudah mulai dibentuk. Ada pabrik beras, pengolahan kopra, klinik, apotek, jalan aspal, pegadaian, masjid, gereja dan klenteng Tan Hoo Cin Jin yang bagus. Juga sekolah-sekolah. Di kota ini bahkan telah didatangkan seorang guru dan seniman dari Batavia untuk memimpin sekolah yang didirikan Taman Siswa. Konon untuk memajukan pendidikan rakyat yang tadinya hanya sampai pada kelas ongkoloro
Apa yang dipikirkan Tuan Tjeng tidak melenceng. Banyak orang dari luar kota pindah ke Rogojampi, dan hidup tenteram sebagai penghuni. Di sinilah Sumarni terdampar. Dan singgah sebagai pembantu rumah tangga keluarga Engkong Dan Engkong menempati sebuah rumah amat besar untuk ukuran di Rogojampi. Rumah itu disewa dari Tuan Tjeng itu. Di rumah itulah Sumarni bekerja.
Sumarni tampaknya hidup bahagia. Ia menunaikan tugasnya sebagai pembantu dengan baik. Keluarga Engkong memperlakukannya seperti anggota keluarga. Dia memiliki kamar tidur yang ia pilih sendiri. Pada suatu masa ia memilih tidur di sebuah bilik yang letaknya bagian belakang rumah. Enak kamarnya, keluasan ruang serta ventilasi cahaya cukup. Dia sangat nyaman. Bebas, ngorok, mengigau semau apa dia mau. Yang penting bangun tugas pagi dimulai, tidak berangkat malam sebelum pekerjaan dirasa usai.
Hal lain menyebabkan bahagia adalah karena, pintu jendela kamarnya ngadep wetan, atau menghadap Timur. Di depannya ada halaman terbuka, sehingga bisa menanam perdu kemangi pohon susu. Setiap kali memetik buah terong susu berbentuk lucu itu, dan diberikan kepada salah satu anak Engkong jumlahnya sembilan. Namun, ketika salah satu keluarga engkong datang dari jauh dalam keadaan menderita sakit, dia harus merelakan kamarnya. Dia tidur di tikar di kolong ranjang besi yang tinggi. Ia tidur di sana berminggu-minggu.
Telah tiga tahun berlalu sejak kepergian Sumarni dari Pacur, Wajah kesakitan Sumardi diseret kereta dalam keadaan tangan terikat. selalu membayang. Dia selalu tidak bisa menahan tangis. Terutama ketika dia pergi belanja ke pasar dan melihat kereta kuda. Satu waktu, Tuhan mempertemukan Sumarni dengan Tuan Tjeng. Saat itu Tuan Tjeng sedang dalam kendaraan yang melaju lambat di tengah ke ramaian pasar. Dia berusaha menghindar. Tapi Tuan Tjeng lebih dulu sigap. Menghentikan kendaraanya dan mengejar Sumarni. “ Marni! Teriak Tuan Tjeng. Sumarni terpaksa menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang.
“ Kamu tidak bisa lari begitu saja dariku. “ kata Tuan Tjeng. Sumarni hanya menunduk. Dia ingat ayahnya yang penjudi telah menjualnya kepada Tuan Tjeng. “ Kamu harus patuh perintahku.” kata Tuan Tjeng menyeret Sumarni ke dalam kendaraan. “ Apalagi ayah kamu sudah mati. Tidak bisa lagi bayar utang kepadaku. Kamulah yang bayar”
“ Hari ini kamu akan tinggal di rumah yang saya sediakan. Kamu jadi selir mener Herman di Rembang” kata Tuan Tjeng. Sumarni hanya diam. Nanti pakaian baru akan dibelikan untuk kamu ‘ Lanjut Tuan Tjeng.
Tionghoa adalah etnis yang dikenal eksklusif dengan mempertahankan warisan leluhur, mulai dari kepercayaan agama hingga adat istiadat. Kalau ada sentimen pribumi terhadap Tionghoa. Hal ini dipicu oleh kebijakan Belanda seperti, membagi struktur dan lapisan sosial masyarakat, dan perlakuan diskriminati inilah yang membuat jurang pemisah antara kedua etnis. Apalagi Tionghoa menjadi mitra Belanda dalam melakukan penjajahan dan menggerakkan roda perekonomian dan perdagangan distribusi.
Pada tahu 1740 terjadi tragedi Angke. Genocida etnis Tionghoa oleh tentara VOC di Batavia. Mereka yang selamat dari genocida itu, melarikan diri ke beberapa kota di pesisir Jawa bagian pantai utara seperti, Semarang, Juwana dan Lasem. Pada tahun 1741, akibat kerusuhan di Kartasura, Ngawi dan banyak kota di Jawa Tengah banyak orang Tionghoa juga mengungsi ke sana. Sehingga adanya persekutuan di antara mereka dengan Muslim Jawa dalam Perang Sabil.
Artinya sejarah membuktikan sebenarnya etnis Tionghoa dan pribumi adalah korban kolonial dan sama sama bertarung melawan sistem kolonial. Kalaupun ada etnis Tioghoa yang bersekutu dengan Belanda, itu hanya sikap pragmatis dan oportunis, sama seperti elite bangsawan pribumi yang bersekutu dengan belanda. Tidak bisa disimpulkan bahwa etnis Tionghoa pro belanda atau asing. Ya seperti halnya Tuan Tjeng yang pro Belanda dan Engkong yang pro pribumi
Tahun 1942.
Mener Herman usianya diatas 50 tahun. Lebih tuan dari Mener Jacobs. Walau Mener Herman datang sebulan sekali ke rumah namun perlakuannya kepada Sumarni sangat baik. Dia tidak pernah perlakukan Sumarni seperti Nyai pada umunya. Sepertinya dari awal Mener Herman sudah jatuh cinta dengannya. Namun Sumarni tidak pernah bisa melupakan Sumardi. Waktu berlalu ingatan tentang Sumardi tidak pernah pupus. Terakhir dia tahu, Sumardi di penjara di Semarang.
Tak terasa sudah 8 tahun berlalu. Sumarni mendengar Jepang masuk ke Indonesia. Mener Herman tidak pernah datang lagi. Rumah besarnya diambil oleh Tentara Dai Nippon. Setelah para serdadu itu bosan mengggahi dan menggilir tubuhnya. Diapun dibuang begitu saja. Pergi meninggalkan rumah dengan hanya pakaian melekat pada tubuhnya. Usianya tidak lagi remaja. Sudah kepala 3.
Harapannya mencari tahu tentang Sumardi. Dia yakin Sumardi sudah bebas dari Penjara. Karena Belanda sudah pergi. Tapi kemana mau mencarinya. Akhirnya langkahnya ditujukan ke Pacur. Sampai disana. Tidak ada yang tahu dimana Sumardi.
Dalam kebingungan itu dia putuskan ke rumah engkong di Rogojampi. Saat dia datang. Disambut dengan suka cita oleh engkong dan istri. Mereka tinggal hanya berdua. Anak-anak Engkong sebagian telah tersebar. Yang perempuan ada yang ikut suaminya, yang lelaki ada yang bekerja di luar kota. Seakan kehadiran Sumarni sebagai teman dalam kesepian. Sumarni tidak bertanya berapa upahnya sebagai pembantu. Dia hanya perlu tempat tinggal dan menumpang hidup. Tugasnya merawat engkong dan istrinya.
Tahun 1945.
Gaung proklamasi yang dikumandangkan Soekarno bertepatan dengan berita kalahnya Jepang dalam perang dunia kedua. Telah membangkitkan semangat kemerdekaan bagi seluruh anak negeri. Terutama di Jawa Timur. Tetapi tidak bagi Sumarni. Setelah proklamasi selanjutnya adalah hari hari yang menegangkan. Banyak etnis china yang dibunuh oleh gerombolan.Perampok. Itu terjadi meluas.
Satu malam gerombolan datang kerumah Engkong. Dalam keadan sakit engkong dan istrinya dibunuh oleh gerombolan itu, dan mereka juga memperkosa Sumarni dengan cara brutal. Setelah perampok itu pergi, dengan sisa kekuatannya dia merangkak melihat dua manusia yang telah sekian lama tempat dia berlindung, kini telah jadi mayat. Sepanjang malam dia menangis. Keesokannya tetangga datang mengurus pemakaman dua orang tua malang itu.
Salah satu tentangga, seorang ibu bernama Bariyah yang berempati mengajaknya pindah ke Madiun. “ Tinggal di sini tidak aman. Sebaiknya ikut Ibu saja ke Madiun. Ibu dapat kabar putra ibu sudah mapan di sana.” kata Bu Bariyah. Sumarni manut saja. Seperti air mengalir dia menganyut saja. Karena tidak ada pilihan.
***
Di Madiun, Sumarni tinggal di rumah putra dari bu Bariyah. Ternyata putra ibu Bariyah itu seorang pejuang Republik dari barisan BKR. Tapi situasi tidak aman juga. Pergerakan mengusir Dai Nippon terjadi dimana mana. Sementara terdengar kabar Belanda akan kembali datang ke Indonesia untuk kembali menjajah. Para pejuang sudah bertekad melawan Belanda dan harus hengkang dari Indonesia. Merdeka atau mati.
Satu hari, tahun 1946 di depan pintu rumah berdiri pria tinggi dan perkasa dengan seragam. Sumardi ! Sumarni ragu untuk mendekat. Dia tertunduk. Jantungnya bergetar keras. Merasa tak pantas dihadapan Surmardi. Mengingat perjalanan hidupnya selama ini. Tapi dia merasa tubuh mungilnya tenggelam dalam dekatan pria itu. Sumardi berbisik. “ Maarkan aku Marni. Aku tak henti mencarimu. Maafkan aku” kata Sumardi. Bu Bariyah dan putranya terharu menyaksikan pertemuan dalam kerinduan itu. Ternyata putra Bu Bariah itu sahabat Sumardi di BKR.
Tahun 1948
Sejak pergi dari rumah Putra bu Bariyah, Sumardi dan Sumarni menikah dan tinggal di Madiun. Saat itu Sumarni sadar. Disaat Tuhan kabulkan doanya mengembalikan Sumardi. Dia harus penuhi kewajibannya menjadi istri yang baik. Berkorban apa saja untuk kehormatan suami. Karenanya dia rela melepas Sumardi menyabung nyawa melaksanakan tugasnya sebagai prajurit untuk perang gerilya. Sementara saat agresi Belanda, dia harus mengungsi ke Desa. Mereka terpaksa berpisah karena perang.
Satu waktu Sumardi pulang ke rumah tengah malam. Wajahnya dalam keadaan kusut. “ Marni harus ikut aku. Kita harus segera mengungsi sekarang” kata Sumardi dengan tergesa gesa.
“Mengapa tidak tunggu pagi saja mas” kata Sumarni.
“Sekarang juga” Kata Sumardi dengan wajah pucat.
Belum sempat berkemas. Pintu rumah ada yang dobrak. Tentara bersenjata sudah berada di ruang tamu. Senjata diarahkan kepada Sumardi. Salah satu dari tentara itu menendang Sumardi . Sumardi terjatuh. Kedua tangan Sumardi diikat dalam keadaan tengkurap. Sumarni memeluk Sumardi. “Jangan!” kata Sumarni meraung. Namun tentara itu menendang tubuh Sumarni. Entah mengapa Sumardi bergerak liar dalam keadaan terikat. Salah satu tentara menembaknya. Sumardi tersungkur di depan istrinya.
Sumarni tidak lagi menangis. Dia membisu saat dibawa ke markas BKR. Keesokanya Sumarni dibolehkan pulang. Baru dia tahu, ternyata suaminya terlibat permberontakan PKI di Madiun. Dia tidak mengerti politik. Dia hanya tahu bahwa Sumardi adalah satu satunya pria yang telah berkorban untuk melindunginya. Satu satunya pria yang dia cintai. Satunya pria yang selalu dalam pikirannya.
Tahun 1950.
Setelah kematian suaminya. Sumarni kembali ke rumahnya. Dia harus memulai hidup tanpa harus menanti Sumardi pulang. Setidaknya penantian dan kerinduannya kepada Sumardi selama bertahun tahun telah terbayar. Walau kebahagiaan sesaat, tetapi bagaimanapun dia sudah berstatus istri Sumardi. Dia kini berstatus janda. Dia membantu kerja bertani lahan milik orang lain dan ikut membantu dapur darurat untuk para gerilyawan yang mampir ke desa. Suasana gotong royong sangat terasa. Semua orang hidup berkekurangan tapi berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing.
Tahun 1949 Sumarni kembali ke Madiun. Perang sudah mereda. Tempat yang ditujunya adalah rumah Bu Bariyah. Dia hanya ingin mengucapkan terimakasih. Ternyata putra Bariyah sama dengan Sumardi. Terlibat PKI. Namun bernasip baik. Dia melarikan diri ke Semarang. Disana dia dilindungi oleh sahabatnya yang juga komandan Batalion. Bariyah terpaksa berpisah dengan putranya. Dia tinggal sendirian di rumah. Baryah berela hati menerima Sumarni.
Satu hari tahun 1950. Seorang pria datang ke rumah Bu Bariyah. Sumarni tahu dan sangat kenal. Pria itu adalah Acong. Putra dari engkong. “ Lama saya cari tahu dimana kamu, Marni. Saya dan sedara saya berhutang kepada kamu. Disaat kami tidak ada, kamu yang merawat kedua orang tua kami, dan disaat terakhir ajalnya, hanya kamu yang ada. Kamu juga yang mengurus penguburannya” Kata Acong berlutut dengan airmata berlinang.
” Sekarang, mari ikut saya , Marni. Kita ke Surabaya. Kamu bukan lagi orang lain, tetapi kamu bagian dari keluarga kami. Adik adiku sangat merindukan kamu. “ Lanjut Acong. Bu Bariyah menguatkan Sumarni untuk ikut keluarga Acong.
Hanya tiga bulan setelah berkumpul dengan putra putri engkong. Salah satu putri engkong melamar Sumarni untuk Acong. Saat itu usianya 38 tahun. Sumarni tidak menolak. Dia ikut aja aiir mengalir. Nganyut aja..
Tahun 1965
G 30 S PKI meletus. Tahun 1966 Acong ditangkap oleh tentara. Karena dia tergabung dalam Baperki atau Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, organisasi massa yang bertujuan menentang diskriminasi berdasarkan keturunan seseorang. Sumarni meraung ketika Suaminya diikat kedua tanganya naik truk. Hari berganti minggu dan minggu melewati bulan dan tahun silih beganti. Acong tidak pernah pulang ke rumah. Dia tahu kemudian tahun 1969, suaminya dibuang ke Pulau Buru.
Sumarni baru bertemu kembali dengan suaminya tahun 1977. Saat itu usia suaminya 72 tahun. Setahun setelah itu suaminya meninggal. Dia merasa sangat dekat dengan Tuhan. Tak ada lagi sedih, marah dan kecewa. Dia telah melewati semua yang dirasa tentang ketidak adilan dan dia tetap percaya bahwa keadilan sejati hanya ada di sisi Tuhan. Tugas manusia melewati hidup ini dengan prasangka baik. Kembali kepada Tuhan dalam sebaik baiknya kesudahan.