Malam di bulan oktober 1945 hujan deras sejak lepas maghrib. Asiong terkurung di kamar kos Mahdi. Tadinya mereka berdua berkumpul di daerah Cikini bersama sama teman awak media. Mereka membahas situasi terakhir paska proklamasi kemerdekaan. “ Keadaan tambah kacau. Sesama anak bangsa saling bunuh. Revolusi berubah menjadi aksi balas dendam. Babah pedagang yang mensuplai pangan untuk Belanda di rampok dan dibunuh. Bahkan rumah Asisten Wedana Depok juga dirampok. Praktis wilayah Depok dirampas oleh Pemoeda. Para gelandangan menyerbu gedung pangan di Depok.“ Kata Murad anak medan.
“ Minggu lalu 11 Oktober, Tentara Keamanan Rakyat menyerang Belanda. Tiga hari kemudian, gerombolan orang menyerbu, dan sepuluh warga terbunuh. Orang-orang Eropa dan orang Indo, juga orang pribumi yang beragama Kristen, dikumpulkan di belakang Stasiun Depok. Mereka ditawan dan dibawa ke Bogor. Semua pria, wanita, dan anak-anak itu hampir seluruhnya ditelanjangi. Mereka semua dijadikan sebagai tawanan dan dibunuh. Tidak hanya mereka, orang dari etnis Ambon dan Manado juga menjadi sasaran. “Kata Darto.
“ Ya. Para pemuda bersama tokoh masyarakat mengganyang siapapun yang berkulit putih dan kuning bermata sipit. Bahkan orang pribumi yang pernah berkerja dengan Belanda atau Jepang, diculik dan dibunuh. “ kata Mahdi.
***
" Aku harus pulang! Kata Asiong.
" Hujan deras begini? malam begini? Mahdi mengerutkan kening. Mahdi tahu. Asiong gundah memikirkan orang tua dan adiknya di Rumah bilangan Grogol. Mereka berdua bekerja di kantor berita Tionghoa.
" Ya. "
" Kalau begitu aku ikut kamu. " kata Mahdi.
" Bung, kamu engga sadar ya. Ini sedang revolusi. Orang seperti aku ini sasaran balas dendam. Sebaiknya biarkan aku jalani takdir ini sendiri. Kamu engga usah ikutan. " Kata Asiong. " Doakan saja aku selamat sampai rumah" Lanjut Asiong. Tapi Mahdi tetap bersikeras. " Engga ada urusan. Engga ada akal sehat. Kamu mati, aku juga ikut mati. Ini revolusi. " Kata Mahdi. Asiong tak bisa melarang Mahdi ikut bersamanya ke rumahnya.
Dini hari menjelang subuh, mareka baru saja menjejakkan kaki di kawasan grogol Jakarta Barat. ini setelah menyelinap menghindari laskar-laskar perjuang yang anti-orang-orang kuning dan bermata sipit seperti Asiong. Saat sampai rumah. Mama Asiong memeluknya dengan menangis di hadapan jasad papanya. Asiong terkulai lemah. Dari balik kain penutup jasad, Mahdi melihat darah masih merembes membasahi bawah dipan. Ada tujuh tusukan yang bersarang di tubuh. " Papa Asiong sudah meninggal sejak beberapa jam lalu, nak. " Kata mama Asiong.
”Maafkan aku datang terlambat, ma. Aku berusaha pulang dari Cikini. Aku terlambat .. ” kata Asiong menahan tangis. Dia harus tegar. Karena dia anak tertua. Kedua adik laki laki Asiong, A Cong dan Beng Sin, tetap tenang. Tapi tidak bagi Ling Ling, adik perempuannya. Dia menjerit di samping papanya. Tak ada seorang pun tetangga yang melayatnya. Hanya ada dua paman Asiong, Cia dan Hong Peng yang ikut datang. Di samping mama Asiong, Liing ling terus menangis. ”Sudahlah, Ling. Jangan menangis terus-menerus. Relakan kepergian Papa. Tuhan akan menerimanya di surga,” katanya Mahdi menenangkan diri.
”Kemana saja kokoh? Ling Ling memukul dada Asiong dalam dekapan erat Asiong. " Katanya kokoh punya teman para pemoeda pergerakan? Papa kita mati di tangan bajingan-bajingan yang mengaku laskar perjuangan itu,” teriaknya sambil menggerung-gerung. Asiong hanya diam mematung.
”Kita harus menguburkan papa secepatnya sekalipun perlengkapan penguburan tidak lengkap. Situasi darurat harus dihadapi dengan cara-cara darurat,” kata Asiong ”Orang-orang yang berkedok membela Republik itu sampai sekarang belum diketahui laskar mana. Kita terjepit di antara dua kekuatan besar.”
”Sudahlah, kita pikirkan nanti saja. Sekarang kita harus menguburkan papa kalian cepat-cepat. “ Kata paman Cia. “ Bagaimana kalau kita kuburkan di halaman belakang rumah,” kata Pamannya ”A Cong, kau pergi ke tempat Paman Qu. Suruh dia membungkus mayat dan mendoakan arwah papa kau agar diterima di surga. Dia orang baik, tentu mau menolong kita. Jangan menangis terus. Kau anak laki laki. Jangan cengeng!”
Mereka kemudian pergi mengambil cangkul dan mulai mencari tempat yang tepat untuk menguburkan jenazah. Asiong dan Mahdi mencangkul tanah basah menggali tanpa henti, akhirnya lubang sedalam lebih dari satu meter itu berhasil dibuat. Paman Cia menggotong mayat keluar diiringi tangisan Ling-Ling. Akhirnya tubuh pria paruh baya itu dibenamkan ke tanah dalam suasana hujan rintik-rintik.
“ Semalam, hampir lima orang tak dikenal mendatangi rumah. Papa pertama kali membukakan pintu. Papa sangat tenang. Dia sangat percaya kepada mereka. Papa hanya pedagang. Dia tidak ngerti politik. Kelima orang itu bertanya apakah papa terlibat Pao An Tui atau tidak, apakah ia pergi untuk membela Republik atau KNIL.” Ling Ling meceritakan kronologi peristiwa kematian papanya.
”Papaku selamanya membela Republik. Ia lahir di sini. Dan mati pun di sini. Tak sudi ia membela orang-orang Belanda itu.,” kata Ling-Ling. “ Tapi setelah papa dengan tegas mengatakan membela republik, tiba-tiba salah satu dari kelima orang itu menarik dan menusukkan parang yang disembunyikan di selangkangannya. Aku melolong-lolong. Lebih enam kali orang itu menusuk papa, sampai papa menjelempah di lantai. Setelah papa ambruk, mereka kabur dari tempat itu. “ Lanjut Ling Ling
Mereka memang serba sulit. " Orang-orang di Jakarta dan kota besar lain ramai-ramai membicarakan nasib babah-babah kaya yang rumahnya terus dijarah. Dan mereka merelakan diri menjadi kacung Pao An Tui. Sementara, babah-babah kaya itu, yang menyandarkan nasib hartanya pada Pao An Tui tak pernah memikirkan nasib orang- orang miskin seperti kita, walaupun kita loyal terhadap Republik." Kata Asiong.
Mahdi heran, kenapa laskar-laskar itu menyerang keluarganya, kaum peranakan Cina miskin. Berkali-kali dia lihat Asiong duduk dan berdiri, resah. Matanya menyelundup keluar, menembus dinding dan menerawang ke angkasa yang gelap. " Sudah tersebar desas-desus Pao An Tui membela Jenderal Spoor. Orang-orang seperti Babah Can itu setiap hari hilir mudik bersama-sama KNIL. Padahal ia menyatakan dirinya di depan banyak orang membiayai Pao An Tui. " Kata Paman Cia.
Mahdi mengangguk. " Memang benar, bukan hanya di Jakarta. Di surabaya, Semarang isu itu pun lebih santer. Kabarnya KNIL memaksa beberapa orang petinggi Pao An Tui untuk memihak Belanda. " Kata Mahdi. Asiong mengenal baik Oei Kim Sin, teman masa kecilnya, Meskipun ayahnya Keng Hong bekerja menjadi pembantu di rumah keluarga Oei yang kaya raya. Ia tahu seperti apa kesetiaan Oei pada Republik.
”Kabarnya rumah Babah Can dan beberapa orang kaya dijaga orang-orang bayaran KNIL.” Kata Paman Cia. " Benar, aku tahu sendiri ada opsir KNIL bertandang ke rumah Babah Can tiga hari yang lalu,” kata Paman Hong San yang dari tadi diam saja. ”Orang-orang kita di Semarang lebih beruntung. Mereka jumlahnya lebih banyak, dan tidak banyak terpencar-pencar. Penjagaan keselamatan hidup mereka lebih mudah. Kabarnya tuan Perdana Menteri Syahrir berkunjung ke tempat kediaman Seng Kun, kepala Pao An Tui Semarang?”
”Benar. Yang Mulia Perdana Menteri teman baik Seng Kun selama gerakan bawah tanah. Ia malahan memberikan bantuan untuk gerakan kita.” Kata Asiong.
”Tak ada musuh dalam selimut? Orang-orang bermuka dua itu yang menyebabkan bencana orang kecil macam kita ini. Akibatnya pembunuhan besar-besaran seperti yang terjadi di Karawang dan Surakarta. Kita selalu menjadi kambing hitam dalam segala hal,” kata Hong San.
”Sekarang apa yang harus kita lakukan, Kokoh ?” tanya Ling Ling. ”Kita mesti menyelidik siapa yang membunuh Papa. Nyawa harus dibayar dengan nyawa.”
Asiong tersenyum kecut. Ia teringat dengan korban-korban di Surakarta dan Karawang. Tidak hanya puluhan, tapi ratusan, terbunuh sia-sia. Apakah ia harus menuntut nyawa? Revolusi memang makan banyak korban. Ia telah tercebur ke dalamnya. Dan sekarang revolusi yang diceburinya telah meminta nyawa papanya. Ia tak akan menuntut balas dendam. Dia hanya memeluk Ling Ling dan berharap adiknya sabar. Malam turun semakin sunyi. Mereka benar-benar berada di tempat yang sulit. Pao An Tui dan Milisi republik TKR sama sama tidak percaya kepada mereka. Padahal mereka rakyat miskin, hanya karena mereka etnis Tionghoa harus jadi korban.
***
Setelah pemilu 1955, Asiong dan Mahdi bertemu di kampus. Mereka sama sama mahasiswa ekonomi. Tapi akhirnya Asiong memilih berhenti kuliah dan menjadi pedagang hasil bumi. Sementara Mahdi berkarir sebagai pejabat dan politisi. Tahun 1965 terjadi lagi Chaos Politik. Banyak orang China dituduh komunis. Mahdi yang saat itu sudah jadi pejabat, bisa menyelamatkan Asiong dan adik adiknya. Tapi Ling Ling bersama suami dan anak anaknya memilih pindah ke Malaysia dan belakangan mereka menetap di Hong Kong. Setelah orde baru tampil di panggung kekuasaan. Asiong focus mengembangkan bisnis ekport komoditas pertanian. Paska kerusuhan Mei 1998, Asiong pindah ke Singapore. Karena saat kerusuhan rumahnya di jarah oleh gerombolan. Kedua adiknya A Cong dan Beng Sin pindah ke Canada.
Tahun 2000, Mahdi sempatkan berkunjung ke rumah Asiong di Singapore. Mereka berdua sudah uzur. Usia Mahdi 78 tahun. Terpaut hanya 1 tahun dengan Asiong
“ Di negeri dimana keadilan sosial tidak tercipta. Hidup orang seperti kami sangat beresiko. Resiko balas dendam. Padahal kan kamu tahu Di, tidak semua orang China itu kaya raya. Kamu bisa lihat kemiskinan etnis China di Sengkawang. Bahkan tidak jauh dari istana Merdeka, dibilangan kebun sayur belakang jalan Gajah Mada masih banyak ditemui orang China miskin. Yang kaya itu hanya segelintir saja. Tapi Rakyat tidak paham itu. Mereka mudah sekali diprovokasi oleh politisi dan melampiaskan dendamnya kepada etnis kami. " Kata Asiong. Mahdi hanya diam menatap kosong.
" Padahal sumber ketidak adilan itu karena hukum tidak tegak. Cobalah perhatikan. Saat Soekarno jatuh, rakyat melampiaskan dendamnya kepada kami. Banyak dari kami yang dibunuh di jalanan, dan terusir dari Indonesia. Pak harto jatuh. Rakyat melampiaskan dendamnya lagi kepada kami. Sementara Golkar yang menjadikan Soeharto berkuasa 32 tahun, aman saja. Bahkan mereka bisa terus ikut pemilu dan menjadi bagian dari elite kekuasaan reformasi. Saya tidak mengatakan semua pejabat dan politik jahat. Mereka hanya segelintir saja. Tapi segelintir itulah yang membuat negeri ini sulit untuk bergerak maju ke depan dengan semangat egaliter. " Kata Asiong.
" Korupsi dan konspirasi jahat menjarah sumber daya alam itu terjadi karena pemimpin dan politisi tidak amanah. Dampak kejahatan kemanusiaan yang ditimbulkan karena korupsi sangat massive. Dampaknya adalah kemiskinan dan kemakmuran yang sulit diraih. Kematian karena kemiskinan dan hopeless rakyat jauhn lebih banyak daripada korban kekacauan. Walau rezim berganti dari Kolonialisme ke Republik, mindset menjajah tidak berubah. “ Kata Asiong dengan nada getir. Mahdi tidak meragukan kecintaan Asiong kepada republik ini. Hanya nasipnya memang tidak beruntung. Diusia senja, Asiong memilih hijrah, bukan karena benci. Tapi berusaha berdamai dengan kenyataan. “ Saya cinta Indonesia dan bisnis saya di Indonesia diteruskan oleh kedua putra saya. Walau mereka warga negara Singapore namun mereka bisnis di Indonesia. Kalau situasi berubah, tentu saya ingin pulang ke Indonesia dan mati di Indonesia..” Lanjut Asiong.