Di kafe itu, aku meneguk kenangan. Ini gelas bir ketiga, seakan itu kenangan terakhir yang bakal aku reguk. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi, benarkah ini memang gelas terakhir, jika aku sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima. Itulah yang menggelisahkanku, karena aku tahu segalanya tak pernah lagi sama. Segalanya tak lagi sama, seperti ketika aku mencium Aling pertama kali dulu.
Dulu, ketika aku masih salesman. Saat senyumku masih ringan diusia muda belia. Dengan rambut tersisir berminyak tanCho. Tapi tetap saja aku inferior dihadapan Aling. Karena aku pria miskin. Aku benci dengan kehidupan yang tidak adil. Aku hanya merasa superior di hadapan Aling saat berkata " aku harus melawan ketidak adilan. Tak mungkin bisa makmur bangsa ini bila kemerdekaan hanya berganti penjajah saja. Kalau tadi dijajah londo namun kini dijajah bangsa sendiri. "
“ Kamu tidak hidup dalam realita, dan kamu ingin menciptakan perang, bukan untuk siapa siapa. Tapi untuk dirimu sendiri.” Kata Aling. Aku dengan percaya diri menjawab ”Aku perlu masa depan tapi tidak dengan lingkungan brengsek seperti sekarang. “ Kata-kata itu kini terasa pahit. Karena aku hanya sekedar bersikap merasa inferior. Tapi mengapa bukan kata kata romantis? Ketika segala kemungkinan masih berpintu? Aku tidak punya kemewahan merayu dengan retorika. Kehidupanku yang miskin tidak qualified untuk kehidupan romansa. Aku hanya bisa marah. Marah kepada nasipku.
Tahun 1984 aku pernah masuk bui karena tragedi Tanjung Priok. Walau dibebaskan saat proses penyidikan. Namun itu membekas abadi dalam diriku. Mengapa ? Politisi yang aku bela, hidupnya lebih bahagia dengan harta dan jabatan, dan tidak peduli dengan korban akibat provokasinya. Andaikan perjuangan aku sukses, tentu politisi itu lebih bahagia hidupnya. Dan aku tetap jadi jelantah. Akhirnya aku lantunkan doa “ Tiada Tuhan selain Allah, sesungguhnya aku termasuk orang yang zalim.” Ya aku zalim karena bego dan bigot. Tetapi tetap berusaha idealis tentunya.
Waktu bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaanku. Kenanganku. Itulah yang membuat aku kembali ke kafe ini. Kafe yang seungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama dalam kenangan. Untuk gelas bir ketiga yang bisa menjadi keempat dan kelima.
”Besok kita ketemu, di kafe kita dulu….” kata Aling. Aku tak percaya bahwa Aling akhirnya meneleponku.
”Kok diam….” kejarnya.
”Hmmm.”
”Bisa kita ketemu?”kembali mengejarku.
”Ya.”
”Tunggu aku,” Aling berharap. ”Meski aku tak yakin bisa menemuimu.” Lanjutnya.
Menemui? Apakah arti kata ini? Yang sangat sederhana, menemui adalah berjumpa. Tapi untuk apa? Hanya untuk sebuah kenangan, atau adakah yang masih berharga dari ciuman-ciuman masa lalu itu? Masa yang harusnya aku jangkau dulu. Ketika aku yakin, aku tak mungkin bahagia tanpa Aling. Ah, aku jadi teringat di antara ciuman-ciuman yang terasa gemetar dan malu-malu. ”Aku selalu membayangkan, bila nanti kita mati, kita akan menjelma sepasang kunang-kunang.” Kataku.
Aling tersenyum, kemudian mencium pelan. ”Tapi aku tak mau mati dulu.”
”Kalau begitu, biar aku yang mati dulu. Dan aku akan menjadi kunang-kunang, yang setiap malam mendatangi kamarmu….” Kataku.
”Hahaha,” Aling tertawa renyah. ”Lalu apa yang akan kamu lakukan bila telah menjadi kunang-kunang?”
”Aku akan hinggap di dadamu. " Kataku cepat.
”Kunang-kunang…mau ke mana? Ke tempatku, hinggap dahulu….” Kata aling.
Dada yang membusung. Dada yang kini pasti masih segar karena tidak pernah menyusui bayi dan disentuh pria selain aku. Dada yang masih aku rindu. Dada yang sarat kenangan. Dada yang akan terlihat mengilap ketika seekor kunang-kunang hinggap di atasnya. Ingat dulu. Aling membuka satu per satu kancing bajunya. Dia hanya memejam saat aku sentuh. Dia pasrah menyerahkan tubuhnya dan dengan wajah penuh bahagia ketika melihat titik darah di sprey tempat tidur. Aku selalu membayangkan itu. Sampai kini pun masih terus membayangkannya. Itulah yang membuat aku masih betah menunggu meski gelas bir ketiga sudah tandas. Selalu terasa menyenangkan membayangkan Aling tiba-tiba muncul di pintu kafe, membuat aku selalu betah menunggu meski penyanyi itu telah terdengar membosankan menyanyikan lagu-lagu yang aku pesan.
Gelas bir itu sudah tidak berbusa. Hanya kuning yang diam. Tidak seperti kunang-kunang beterbangan gemerlapan berpendar kekuningan. Kuning di gelas bir itu mati. Sementara kuning di luar bir gemerlapan. Hidup. Aku jadi teringat pada percakapan dulu. Setelah sekian tahun aku menikah dengan wanita pilihan orang tua. Percakapan tentang bir dan kunang-kunang.
”Aku menyukai bir, seperti aku menyukai kunang-kunang,” Kataku, setelah ciuman yang panjang. ”Warna bir selalu mengingatkanku pada cahaya kunang-kunang. Dan kunang-kunang selalu mengingatkanku kepadamu.”
”Kenapa? Aling berkerut kening.
”Karena di dalam matamu seperti hidup ribuan kuang-kunang. Aku selalu membayangkan ribuan kunang-kunang itu berhamburan keluar dari matamu setiap kamu merindukanku.”
”Tapi aku tak pernah merindukanmu.” Kata Aling tersenyum.
”Bohong….” kataku seakan dipermalukan sebagai pecundang
”Aku realiistis. Kamu sudah jadi suami orang. Mengapa harus merindukanmu. Rindu itu adalah kekalahan bila tidak lagi terikat komitmen. Atau tepatnya kebodohan”
“ Jadi apa yang tersisa ?
“ Ya persahabatan saja. “
“ Termasuk kiss dan huge itu?
“ Ya. Kenapa ? salah? Toh dulu sebelum kamu menikah, kita lanjut dengan saling membuka baju, tapi kini itu tidak pernah terjadi” Kata Aling tangkas dan cerdas. Aku semakin merasa pecundang dihadapannya.
Aku tak menjawab. Tapi bergegas mencium aling Rakus dan gugup. Begitulah selalu, bila aku merasa bersalah dan kalah. Seolah ciuman bisa menyembunyikan kekalahanku. Tapi aku tak bohong kalau aku masih mencintainya. Walau pada akhirnya, setelah percakapan dan ciuman, dia pasti akan bertanya: ”Apakah kamu tidak menyadari setiap pelukan dan kiss itu sama dengan kamu mengungkit masa laluku yang bodoh. Bodoh menolak kamu menikahiku tapi euforia kamu perawani. Yang pasti walau aku mencintaimu, tapi rasanya aku tak mungkin bahagia bila menikah denganmu….”
”Jangan lagi hubungi aku!” Kata Aling. Tapi dia menciumku lama. Barangkali, segalanya akan menjadi mudah bila saat itu diakhiri dengan pertengkaran seperti kisah dalam sinetron murahan. Misal: Aling menamparku sebelum pergi. Memaki-maki, ”Kamu memang laki-laki bajingan!” Atau kata-kata sejenis yang penuh kemarahan. Bukan sebuah ciuman yang tak mungkin aku lupakan.
Dan kini, seperti malam-malam kemarin, Aku ada di kafe kenangan ini. Kafe yang harum bir. Kafe yang mengantarkanku pada sebuah ciuman panjang di bibir. Dan aku masih menunggu. Aku melirik ke arah penyanyi itu, yang masih saja menyanyi dengan suara sendu. Aku melihat pelayan itu sudah setengah mengantuk. Tinggal aku seorang di kafe. Barangkali, bila aku bukan pelanggan, pasti pelayan itu sudah mengusirku dengan halus. Sudah malam, sudah tak ada lagi waktu buat meneguk kenangan. Aling tidak juga datang. Mungkin tidak akan pernah datang lagi.
Pada gelas kedelapan, akhirnya aku bangkit, lalu memanggil pelayan dan membayar harga delapan gelas kenangan yang sudah aku reguk habis. Ya, malam pun hampir habis. Sudah tak ada waktu lagi buat kenangan. Sudah tidak ada kenangan dalam gelas bir kedelapan. Setiap kenangan, pada akhirnya punya akhir bukan? Inilah terakhir kali aku ke kafe itu. Besok aku tak akan kembali ke kafe kenangan ini. Kemudian aku beranjak pergi dari kafe itu. Saat itu usiaku 33 tahun, tahun 1996.
Hidup pada akhirnya memang pilihan masing-masing. Kesunyian masing-masing. Sama seperti kematian. Semua akan mati karena itulah takdir yang sejak lahir sudah manusia emban. Tapi manusia tetap bisa memilih cara untuk mati. Dengan cara wajar ataupun bunuh diri. Dengan usia atau cinta. Dengan kalah atau menang? Pada saat aku tahu, bahwa pada akhirnya perempuan yang paling aku cintai itu adalah istriku. Karena hanya dia yang berani berkomitmen denganku. Jelas itu bukan Aling. Pada saat itulah aku menyadari aku bukan pecundang.
Saat gaung reformasi semakin kencang dan akhirnya tahun 1998 Soeharto jatuh. Aku melihat para elite politik Golkar dan TNI yang mendesign Soeharto berkuasa selama 32 tahun tetap exist. Yang TNI bahkan dapat jabatan menteri, belakangan jadi presiden. Ada yang jadi Menko dan ketum Partai, pemilik partai. Lantas aku yang berusaha idealis malah terpuruk. Masa depan masih panjang, otak reptil ku bangkit. Aku harus hijrah dari negeri ini. Hijrah menjauh dari Aling setidaknya. Malu karena selalu dia hadir disaat aku bangkrut. Seakan aku hanya kunang kunang untuk hinggap di buah dadanya.
Usia 40 aku hijrah ke China. Selanjutnya berusaha survival di negeri orang. Di China walau negara komunis tapi hukum tegak. Jadi siapapun yang legitimate masuk ke China, akan diperlakukan sama dengan warga negara china. Kompetisi terbuka secara sehat. Aku terseret gelombang arus perubahan besar besaran di China. Dari sana aku menemukan arti sebuah kolaborasi dan sinergi. Keterbatasan bisa dilewati dan hambatan bisa diatasi karena modal sosial China sebagai bangsa sudah established.
Selama 10 tahun aku berjuang di CHina dalam ritme kerja yang luar biasa keras. Aku bekerja 18 jam sehari. Melintasi benua dan banyak negara. Akhirnya masuk usia 50 tahun aku bisa menemukan jati diri. Bahwa tidak ada manusia yang terlahir sebagai pecundang. Hanya lingkungan yang membuat orang jadi pecundang. Di China aku memang berubah. Tidak jadi ayam merak tapi jadi elang. Aling datang lagi kepadaku. Kami bertemu di Hong Kong. Tapi aku sudah selesai dengan dirinya. ”Aku memilih menikah atas restu orang tua, karena tidak punya pilihan. Karena kamu menolak menikah denganku. Aku sadar, hidup bukan apa yang kita mau tapi melewatinya dengan ikhlas. Itu akan menjadi lebih mudah dari pada aku kecewa, broken heart kamu tolak.” Itulah yang ku ucapkan. Aku hanya ingin jadi sahabatnya. Dia pun menemukan kebahagiaan dari arti sebuah persahabatan
Kini usia 60 tahun, aku menikmati hidup tanpa sesal akan masa lalu. Aling juga menua. Usianya 2 tahun diatasku. Tapi yang lebih bersukur adalah aku punya waktu banyak bersama keluarga. Dan tentu ada waktu ke kafe bertemu Aling. Tentu bukan ke kafe kenanangan kami. Dulu “waktu” kebersamaan dengan keluarga dan sahabat adalah sesuatu yang sangat mewah bagiku. Kini “waktu” membebaskanku, rasa sukur selalu membuncah kepada Tuhan. Hidup memang soal pilihan, namun setidaknya dalam politik dan kehidupan percintaan, aku tidak memilih waiting for godot seperti lakon drama karya Samuel Beckett.