“ Padang, masih ingat Ridwan teman sales kita dulu waktu di Mitsubishi” Kata Florence via WA.
“ Ingatkan saya. Siapa dia. Maklum saya tidak ingat.”
“ Itu anak Riau, yang dulu ngekos di Menteng Dalem. “
“ Ah ya. Ingat saya. Sigendut itu ya. Ada apa ?
“ Dia mau ketemu kita. “
“ Tinggal di mana dia sekarang?
“ Tinggal di Penang, Malaysia. Keliatanya dia sukses sebagai pengusaha.”
“ Ok ayolah kita ketemu. Dimana ?
“ Dia nginap di Hotel Mandarin Sudirman.”
“ Kalau gitu kamu langsung aja meluncur ke sana. Nanti kalau udah sampai telp saya.”
“ Ya udah."
Bayangan saya melambung ke 39 tahun lalu waktu kami masih muda. Ridwan, atau saya panggil Iwan. Usianya lebih tua dair saya 3 tahun. Dia sarjana ekonomi dari PTS. Lebih memilih jadi sales daripada kerja kantoran. Dari dia saya sering diajak ke dalam lingkaran komunitasnya. Kadang kalau ada forum diskusi saya dan Florence di undangnya. Ada diskusi yang sangat mencerahkan dan saya tulis dengan rapi di buku harian saya. Sehingga setiap saat saya bisa ulang ulang membacanya.
November 1967. Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, dan Soemitro Djojohadikusumo berkunjung ke Geneva. Mengingat pentingnya misi kunjungan ini membuat udara musim dingin itu terasa panas. Mereka datang atas undangan dari The Time-Life Corporation untuk bertemu dengan kalangan investor kelas dunia. Investor inilah yang akan menjadi undertaker kebutuhan pendanaan pembangunan indonesia menuju masyarakat sejahtera.
Ketika itu yang hadir dari kalangan investor adalah General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, tak ketinggalan David Rockefeller yang menjadi tuan rumah. Dalam pertemuan yang berlangsung tiga hari itu, pihak investor berjanji akan menanamkan dananya untuk bisnis di bidang pertambangan Migas dan Nikel ( Freeport ). Indonesia akan mendapatkan pajak, bagi hasil dari kegiatan usaha tersebut.
Soemitro Djojohadikusumo menyampaikan gagasanya kepada David Rockefeller tentang design pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangkan panjang. Belakangan dikenal dengan istilah Repelita. Sebetulnya gagasan yang disampaikan oleh Soemitro ini sudah dikenal luas oleh para ekonom ketika itu. Gagasan ini termuat dalam buku The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto yang ditulis oleh W.W.Rostow. Belakangan Rostow menjadi mentor para Tekhnorat ekonomi indonesia yang sebagian besar alumni Barclay University. Tahun 2003 Rostow meninggal.
Apa design pembangunan yang disampaikan oleh Soemitro? Pada tahap awal dia sadar bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih hidup secara tradisional atau traditional society. Merupakan masyarakat yang mempunyai struktur berkembang dalam fungsi-fungsi produksi yang terbatas. Belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Terdapat suatu batas tingkat output per kapita yang dapat dicapai. Karenanya pada tahap ini kebijakan yang diambil adalah kapitalisme yang diorganisir oleh negara atau disebut Liberalisme Sosial, yakni perlunya intervensi negara untuk mengelola pendidikan, stabilitas ekonomi (dan politik), dan mendesain sistem negara kesejahteraan.
Seluruh sumber sumber penerimaan negara dikontrol penuh oleh negara. Pertumbuhan ekonomi dipicu oleh sepenuhnya peran negara. Peran rakyat hanya sebagai pelangkap. Dalam kesempatan itu Soemitro menyampaikan bahwa pembangunan harus bergerak cepat. Kalau hanya mengandalkan cash in berupa surplus penerimaan negara dari pajak dan bagi hasil tambang, indonesia akan tertinggal.
Karenanya Soemitro minta agar negara Barat dan Amerika berada di garis depan memberikan bantuan pinjaman kepada indonesia seperti program The Marshall Plan yang dikenal dengan istilah the European Recovery Program (ERP) paska perang dunia kedua. Belakangan usulan ini direalisir dengan berdirinya IGGI ( Intergovernmental Group on Indonesia) dan kemudian berubah menjadi CGI ( Consultative Group on Indonesia).
Untuk diketahu bahwa ciri dari phase the traditional Society ini adalah negara mengatur supply and demand, termasuk menentukan harga barang dan jasa melalui mekanisme subsidi dan monopoli negara. Jadi by design memang tidak ada sama sekali rakyat di tempatkan sebagai key player. Rakyat hanya di tempatkan sebagai objek yang hidupnya diatur dan ditentukan oleh penguasa. Salahkah ini? Bisa ya bisa juga tidak. Karena bila proses ini dilalui dengan benar dan konsisten dimana pemerintah focus dengan teori Rostow maka sesuai Repelita jangka menengah Indonesia akan berhasil keluar dari traditional society menjadi the take off atau lepas landas.
Mengapa? Dalam teori Rostow disebutkan alokasi anggaran untuk pembangunan ekonomi harus menjamin terjadinya keadilan distribusi barang,modal dan sumber daya. Karenanya subsidi di arahkan kepada sektor produksi bukan konsumsi. Dalam prakteknya apa yang terjadi ? Selama era Soeharto, pertumbuhan ekonomi yang pesat melahirkan wabah korupsi yang luar biasa sehingga teori Rostow mendistribusikan modal dan sumber daya dalam banyak program ekonomi justru dinikmati oleh segelintir orang. Konglomerasi Swasta dan Konglomerasi negara terjadi meluas dalam bentuk monopoli. Rakyat banyak tidak begitu peduli karena hampir semua kebutuhan pokok disubsidi oleh negara.
Ya, liberalisme sosial sangat utopis karena bersandar kepada kemuliaan hati penguasa yang berkuasa secara totaliter. Tak banyak pemimpin yang amanah dengan sistem utopis itu. Makanya engga aneh bila pada akhirnya melahirkan negara yang diurus oleh gerombolan penjarah.
Belakangan menjelang kejatuhan Soeharto, Rakyat banyak baru menyadari bahwa harga murah yang mereka nikmati selama 32 tahun era Soeharto bukanlah subsidi nyata yang diberikan dari surplus penerimaan negara tapi dari hutang. Ini dilakukan semata mata agar citra peminpin tetap tinggi di hadapan rakyat dan stabilitas politik terjaga. Jadi subsidi bukan lagi kebijakan ekonomi tapi sudah menjadi kebijakan politik, alias kebijakan menipu rakyat agar pemimpin tetap dicintai rakyat.
***
1 jam kemudian saya dapat telp dari Florence bahwa dia sudah bersama Ridwan di lounge Hotel. Saya segera meluncur. Tak lebih 15 menit saya sudah bersama mereka. Ridwan langsung memeluk saya. Tubuhnya masih tambur. Rambut sudah memutih semua. “ Ren. Si Ale tidak berubah ya. Hanya agak putih aja sekarang. Mungkin kelamaan di China” Kata Ridwan.
“ Abang juga engga berubah. Hanya kumis dan rambut memutih. Selebihnya sama saja.”
“ Alhamdulilah. Yang penting sehat. Tapi jel..
“ Apa ? Saya terkejut melihat wajahnya sedih.
“ Kalau engga salah tahun 83 kalian sudah serumah hampir setahun. Mengapa tidak menikah? Katanya.
“Abang tanya ajalah ke dia” Kata saya menunjuk ke Florence .” Dia tak ingin menjadi istriku. Padahal tiga kali aku lamar. Ya akhirnya aku menikah dengan pilihan orang tua.” Lanjut saya. Florence hanya senyum. “ Yang pasti mencintai itu pilihan dan menikah itu takdir. Engga jodoh aja. Ayo bicara yang lain aja “ menimpali dengan wajah merona.
“ Gimana pendapat Abang tentang Indonesia sekarang? Tanya Florence.
“ Secara ekonomi jauh sekali ada perubahannya sejak Jokowi berkuasa. Lebih baik tentunya. Namun sayang sekali kita tidak bisa beranjak dari kesalahan masa lalu. Sekeras apapun Jokowi menghela kapal besar Indonesia ke route baru, tetap saja sulit. Karena awak kapal yang pegang kemudi dan juru mesin, tetap saja mengarahkan kapal ke route orde baru. “ Bang ridwan memang pandai beranalogi ala melayu.
“ Kenapa begitu bang.” Tanya Florence.
“ Ya karena kita sendiri tidak pernah selesai dengan idiologi. Pancasila disepakati sebagai falsafah. Itu ibaratnya, kita berlayar dengan peta. Tetapi tidak sepakat mau kemana. Kini saya dengar orang Indonesia bingung menyebut haluan idiologinya. Kalau dia menyebut Pancasilais, kawatir dicap SIPILIS oleh kelompok Agama. Tahun 2005 MUI sudah mengharamkan paham SIPILIS itu. Kelompok agama juga kawatir bicara Pancasila bersyariah. Karena takut dicap mau makar. Padahal mayoritas penduduk negeri ini adalah islam. Memang riskan bagi NKRI.” Kata Bang Ridwan. Saya meyimak saja.
“ Nah bila tidak jelas idiologinya maka tentulah tidak jelas juga agenda bangsa ini. Padahal syarat suatu bangsa adalah adanya idiologi. Tanpa idiologi negara dan bangsa itu tidak ada ruh. Dampaknya semua kebijakan pembangunan bidang sosial, ekonomi dan politik hanya bersifat pragmatis. Misal subsidi itu awalnya bagus. Sebagaimana Teori dari Albert Hirschman. Dimana memberikan kelonggaran dan fasilitas pada orang kaya atau pemilik modal yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selama proses pembangunan ala Rostow itu, subsidi diperkenalkan agar ekspansi modal tidak berdampak buruk kepada rakyat yang masih tradisional. Kelak dari pertumbuhan itu modal akan mengalir kebawah untuk mengangkat rakyat dari kubangan kemiskinan. Nyatanya era Soeharto, teori itu malah malahirkan konglomerasi dan rakyat tersisihkan. Dan setelah Soerharto jatuh, tidak ada perubahan significant. Tetap saja sama. Mungkin rezim era reformasi berguru tentang kekuasaan dari Soeharto. Yaitu subsidi itu melanggengkan kekuasaan. “ Kata Ridwan tersenyum.
“ Ya wajar saja. Toh sekarang para elite politik 65% adalah ex orde baru. Walau mereka berganti nama, Partai Golkar, Nasdem, Hanura, Perindo, Gerindra, PD. Semua kan anak didik Soeharto dan mereka punya teman konglomerat yang hidup mapan di era Soeharto. Apalagi oligarki bisnis yang ada sekarang juga adalah besar berkat era Soeharto. “ Kata Florence.
“ Masalahnya era Soeharto, kekuasaannya terikat dengan kepentingan geostrategi dan geopolitik AS dan Eropa Barat. Mereka selalu memberi uang kepada Soeharto lewat pinjaman lunak. Sehingga dia bisa terus menggunakan instrument subsidi untuk menstabilkan politik dan keamanan. Tetapi di era sekarang, kan sudah beda sekali. Kita sumber daya keuangan berasal dari pasar. Semua jadi terbuka.
SBN kita dibeli oleh publik lokal maupun international. Semua orang bisa menilai fundamental ekonomi kita. Bermain main dengan pasar kan bahaya. Apalagi menutupi kesalahan lewat polesan data statistik. Itu tidak bisa menutupi bolong APBN akibat beban cicilan utang dan bayar bungan serta beban subsidi yang semakin membesar. Sampai kapan ini akan terus ditutupi. Kan engga bisa pasar dikendalikan lewat politik pencitraan. Hukum pasar kan hukum besi. Lihatlah Turki, sekali default, cepat sekali mata uang jatuh dan diikuti dengan inflasi merangkak naik. Begitu juga yang terjadi kepada Myanmar, Srilangka dan Venezuela.” “ Kata Ridwan
“ Ya bang. “ Kata saya. “ Ada cerita teman di china. Deng berkata kepada menterinya. “ hapus semua subsidi dan ekspansi sosial kepada rakyat. Mengapa ? Tanya menterinya. Menurut Deng, Subsidi itu sama saja dengan memberikan racun buruk bagi kebudayaan. Mendidik rakyat untuk terus tergantung kepada pemerintah. Lantas apa artinya revolusi kebudayaan kalau kita tidak berubah. Tetap menjadikan rakyat budak. Rakyat harus kita berdayakan secara ekonomi agar mereka bisa membeli berapapun harga barang. Dengan begitu kita juga membuka kompetisi dan ekonomi jadi proses akal sehat.
Subsidi itu sama saja dengan intervensi pemerintah terhadap harga. Itu jelas paradox. Mengapa ? Era subsidi itu udah berlangsung sejak era Soeharto. Dan hasilnya kita bangkrut tahun 1998. Setelah reformasi, kita ulang lagi rezim subsidi. Artinya kita hanya mengganti presiden tapi secara budaya dan sistem kita tidak berubah significant.
Sekarang pertanyaannya. Mengapa harus ada subsidi dan mengapa pemerintah takut menghapus subsidi? Jawabnya engga perlu S3 untuk tahu. Penyebabnya adalah pemerintah tidak jujur mengelola sumber daya. Sehingga uang hanya berputar diatas saja. Berdasarkan data dari Global Wealth Report 2018 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse, ketimpangan berdasarkan kekayaan, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6,% kekayaan nasional. Kalau meliat rasio GINI, tahun 2021, adalah 0,38. Engga jauh bedalah. Dengan data riset credit suisse. Ada perubahan tapi tidak significant.
Benarkah subsidi melahirkan budaya feodal? Mari kita lihat data riset. Berdasarkan Indeks Crony Capitalism, Indonesia berada dalam urutan ke-7 terburuk di dunia. Peringkat Indonesia terus memburuk, dari urutan ke-18 pada 2017 menjadi ke-8 pada 2014 dan ke-7 pada 2016. Sekitar dua pertiga kekayaan dari orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor kroni (crony sectors). Kroni itu lingkaran yang ada di pemerintahan, partai politik, DPR, LSM, ormas Agama dan para patron. Mereka itu kaya raya dari pengusaha. Sebenarnya, mereka hanya dapet secuil, lebih banyak yang menikmati pengusaha. Kenapa mereka mau? Ya karena bego dan rakus. Dah gitu aja.”
“ Ya benar kamu Jel. Salah satu kekaguman saya pada Jokowi adalah keberanian menghapus subsidi BBM. Mengapa saya sangat salut kepada Jokowi.? Saya ini pedagang. Cara berpikir saya sederhana. Kurangi cost dan tingkatkan pendapatan. Pendapatan itu meningkat kalau produksi meningkat. Kalau sulit naikan pendapatan, ya kurangi ongkos yang tidak terkait dengan produksi. Sederhana aja. Dengan cara berpikir seperti itulah bisnis berkelanjutan. Kalau engga? ya jadi bego aja.
Saya tahu. Per 1 Januari 2015 pemerintah menetapkan harga BBM sesuai harga keekonomian. Harga dasar keekonomian BBM dihitung dengan menggunakan rata-rata harga pasar minyak mentah dan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika periode tanggal 25 sampai dengan tanggal 24 bulan sebelumnya. Ya harga pasar + margin. Sehingga dengan kebijakan itu, pemerintah bisa menghemat anggaran Rp. 200 triliun/ tahun. Sehingga dana subsidi itu dialihkan ke proyek infrastruktur. Pertamina bisa megelola cash flow secara bebas karena tidak diatur harga dan mereka monopoli. Keren ya. Jelas ya. Business is business.
Tetapi kebijakan itu hanya setahun doang. Pas harga crude naik di pasar dunia. Jokowi mulai gamang. Akhirnya Jokowi intervensi harga pasar itu dengan kebijakan subsidi lagi. Dan terus aja begitu. Nah dana keperluan infrastruktur terpaksa didapat dari pinjaman lewat pelonggaran fiskal, memperlebar defisit. Engga lagi dari dana pengalihan subsidi. Dan akhirnya karena subsidi udah engga cukup. Ya pakai lagi skema dana kompensasi.
Betul kata kamu. Lucunya pas harga crude jatuh ketitik terendah. Engga ada tuh terdengar pertamina kurangi subsidi dan tetap aja minta dana kompensasi. Mengapa? karena hitungannya tidak jelas. Hubungan antara Pertamina sebagai badan usaha dengan Pemerintah tidak jelas. Berubah ubah terus. Sesuka pemerintah aja.
Kini situasi harga BBM terlanjur meroket akibat harga pasar crude naik. Harga BBM dipatok USD 100/barel, APBN jebol Rp 350 triliun. Sekarang udah usd 120. Akan terus naik. Pemerintah berusaha menahan harga di bawah harga keekonomian. Sampai berapa lama?. Ketidak pastian pasar harus disikapi dengan realistis. Engga bisa terus buying time sementara tiap hari uang dibakar dan kantong semakin kempes. Ingat loh hari hari mendatang likuiditas mengering akibat tapering the fed. Kalau hutang sulit didapat, ongkos menggunung, ya terpaksa kurangi APBN atau setidaknya kurangi defisit, kalau engga ya cash flow pasti jebol. Makanya jangan kaget bila kurs rupiah terus melemah.
Bagaimanapun ini kesalahan masalalu. Karena menahan harga terus. Tentu tidak ada kesalahan yang gratis. Masalahnya, apakah kita mau berubah atau tidak.? Biarin rakyat menerima kenyataan harga BBM naik. Itu pasti ada trade off nya. Pasti lebih baik daripada cash flow jebol dan negara terjebak dengan hutang yang pasti semakin tinggi Yield nya. Dan pasti akan berujung kepada krisis hutang. Ya sebaiknya lepas aja harga BBM ke pasar. Kalau terlambat, kita habis. Tamat kita semua” Kata Ridwan.
“ Kalau Direksi Pertamina minta negara bailout kerugian itu lewat dana kompensasi dari APBN. Kan lucu banget. Mereka selama ini dibayar mahal gajinya, tetapi rugi minta negara bailout. Kalaulah punya integritas dan malu, ya tidak seharusnya Pertamina rugi. Lucunya, pemerintah mau beri kompensasi itu sama saja pemerintah atau komisaris dan Meneg BUMN mengakui kesalahan Pertamina selama ini diketahui dan dibiarkan saja. Bisa saja itulah buah konspirasi antara elite dan pedagang. Kalau Jokowi tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan merasa dibohongi oleh pembantunya , ya segera pecat semua direksi dan menteri terkait. Ganti orang yang lebih pintaran sedikit. Berani engga Jokowi” Kata Florence.
“Wah seru juga ya ngobrolnya. Seakan nostalgia lagi kita. Senang lihat Florence. Tetap cantik di usia menua dan rambut masih hitam legam. Tak nampak keriput di wajahnya. “ Kata Ridwan.
“ Ya abang. Tapi dihadapan si padang ini aku seperti nenek sepuh. Harus dijaga terus. “
“ Bersukur kau Ren. Mana ada sahabat sejati seperti dia. Walau kalian bukan suami istri, dia tetap jaga kau. “ Kata Ridwan.
***
Kami pergi ke restoran untuk makan malam di kawasan Cikini tempat dulu kami pernah nongkrong saat masih muda. Ridwan nampak kagum ketika dalam kendaraan Florence. " Tak kusangka, adiku satu ini udah jadi pengusaha hebat. Kendaraan Mercy seri terakhir. "
" Dia preskom bang. Perusahaan yang sahamnya dimiliki holding international di Hong Kong. "Kata saya.
" Beruntung kau punya sahabat seperti Ale yang kata kau jelek. Dia jaga kau sampai usia menua ini" Kata bang Ridwan. Florence tersenyum sambil setir dan melirik Ridwan dari kaca spion.
"Yang miris sejak era Soeharto, masalah rente itu tidak pernah hapus di negeri ini. " Kata Ridwan saat kami sampai di restoran. " Sesuai aturan, kiri kanan sekian meter rel kereta, itu lahan negara. Tidak boleh ada tempat tinggal. Tetapi nyatanya, itu tempat tinggal pavorit kaum miskin perkotaan. Mengapa dibiarkan? karena Lurah dan Camat serta aparat Pemda dapat fee dari mandor yang sewakan ruman dan tahan di lokasi ini. Bahkan RT dan RW juga kebagian.
Bantaran kali yang merupakan aliran pengendali banjir juga adalah lahan negara. Tapi jadi tempat tinggal kaum miskin perkotaan? itu juga sama. Linkaran rente dari RT , RW, Lurah dan Pemda ikut menikmati rente. Ada juga kawasan tambang galian C yang banyak ilegal. Itu juga bisa eksis karena para petugas dari RT, RW, Lurah dan Pemda ikut menikmati rente. Bahkan ruang publik seperti jalan dan trotoar, taman kota di rentekan oleh aparat untuk PKL.
Lahan PTPN milik negara yang tidak lagi berproduksi, juga dijadikan rente oleh lurah, sampai Pemda, untuk disewakan kepada rakyat sebagai lahan garapan. Yang miris, hak garapan ini diberikan kepada patron seperti tokoh masyarakat. Kalau sudah penuh sesak, lahan itu sulit untuk dibebaskan. Nah, nanti datang pengusaha yang mau membeli lahan itu dengan membayar harga tanah sesuai kesepakatan — pasti murah— dengan plus ganti rugi bagi penggarap. Lambat laun asset negara dipreteli begitu saja. Jadi jangan kaget kalau ada rente di level atas. Itu sudah budaya kita.
Kalau level bawah aneksasi lahan secara ilegal namun permissive, di level atas, bukan lagi pemissive tetapi dilegalkan. Yaitu izin HPH/HTI/HGU dan bayar biaya izin. Dengan alasan Hutan Tanaman Industri/ Kebun Sawit, Hutan produktif ditebang untuk tanam kayu bahan baku kertas atau CPO. Dari hasil tebang kayu hutan saja, pengusaha sudah untung besar. Kemudian Izin lahan itu ditrasfer ke perusahaan offshore di luar negeri, untuk dijadikan agunan hutang . Andaikan proyek engga jalan, mereka sudah kaya dari hasil tebang kayu hutan, sementara lahan tergadaikan dengan asing.
Tambang juga sama. Ribuan hektar lahan tambang diserahkan kepada swasta atau BUMN. Sebelum diolah, pengusaha utilize konsesi tambang itu dalam bentuk PI ( participant interest ) kepada investor. Tanpa keluar modal dan kerja keras, pengusaha dapat fee dari setiap ton produksi tambang. Bisa beli private jet, bayar selir, beli pecun, hidup hedonis ,manjakan pejabat, termasuk jadi donatur partai.
Yang kita sedihkan. Tata niaga jadi tidak efisien karena rente. Kita tidak pernah benar benar mandiri dibidang industri berbasis SDA karena tata niaga yang tidak sehat. Bayangkan saja. 10 tahun batubara diuntungkan karena windfall kenaikan harga international. Tidak ada pajak penjualan masuk ke kas negara. Padahal nilai ekspor diatas USD 500 miliar. Liatlah yang kaya raya dari batubara, semua mereka pasti terhubung dengan elite negeri ini. Belum lagi hilirisasi SDA hanya penikmat fasiltas bebas pajak. Senyatanya nilai tambahnya kembali kepada asing." Kata bang Ridwan
Florence tersenyum. Dia melirik saya. Saya tahu dia ingin berkata. Saya diam saja dia seakan berpikir. " Karena hasrat, manusia saling membutuhkan dan saling memudahkan. Namun karena itu kelas terbentuk. Kelompok yang segelintir menindas rakyat yang lemah. Negara hanya jadi mediasi saja. Sebagai pembatas kelas itu. " Katanya.
" Mengapa? Bang Ridwan tersenyum
" Saya teringat dengan kata kata teman di China. Dengan beras kasar yang kumakan, dengan air yang kuminum, seraya lenganku bertelekan ke sebuah bantal—masih kurasakan sukacita pada benda-benda. Materi memang memabukan walau karena itu harus jadi predator dan dimangsa. Hukum rimba tak terelakan. Mark gusar kepada kapitalisme tetapi Mark, tidak punya solusi ketika mayoritas rakyat mati kelaparan akibat tidak ada produktifitas. Ternyata mimpi komunis adalah utopia, hanya sebatas membangkitkan hasrat terhadap benda tetapi lupa bagaimana struggle menciptakan benda. Memang hidup tidak ada yang ideal. Apapun itu idiologi. Dan Deng menghapus kebanggaran soal Idiolog Terserah apa dan siapa saja. Yang penting bisa berproduksi dan kompeten. "Kata Florence.
Saya tersenyum. Bang Ridwan mengangguk.
" Tahun 1967 Gordon Tullock, lewat publikasinya berjudul The Welfare Cost of Tariffs, Monopolies, and Theft, dia menulis tentang hubungan pemberian hak monopoli kepada pengusaha oleh penguasa. Kemudian, berkembang dengan penjelasan bahwa pemburu rente adalah pengusaha yang mendapatkan lisensi khusus, monopoli, dan fasilitas lain dari penguasa sekaligus menghambat pelaku lain masuk pasar. Dari situ kemudian lahir theory of economic rent-seeking. Kata rente di sini tidak sama dengan pengertian rente yang dijelaskan Adam Smith. Rente dalam pengertian Adam Smith adalah sewa yang berarti memperoleh keuntungan dari jasa sewa-menyewa.
Sementara, pemburu rente dalam kajian ekonomi politik adalah perburuan untuk mendapatkan fasilitas lisensi, monopoli, ataupun cara-cara memperdagangkan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan bisnis. Mereka mencari keuntungan bukan melalui persaingan yang sehat. Oligarki politik lahir karena adanya oligarki pengusaha untuk menguasai sumber daya negara dengan cara rente itu juga" Lanjut Florence.
Bang Ridwan menatap kami berdua. " Kita hanyalah anak bangsa yang terpaksa hengkang keluar negeri. Ale tahun 2003 hijrah ke China. Florence tahun 90 hijrah ke Singapore. Saya tahun 93 hijrah ke Malaysia. Karena kita generasi yang gagal melakukan perubahan. Kita kalah namun kita tidak pernah berhenti mencintai Indonesia. Biarlah masa lalu jadi catatan gelap. Betapa generasi kita pernah kehilangan 32 tahun masa emas begitu saja. Kita tetap berharap anak cucu kita bisa punya masa depan lebih baik dari generasi kita. Belajar lah dari masa lalu dan tidak ada istilah terlambat untuk besok, kini dan di sini. ***