“ Neneknya sudah meninggal. “ Kata pria itu, yang juga kakek dari Fatimah. “ Sejak tahun lalu saya kena TBC. “ Lanjutnya seraya menatap anak gadis kecil usia 7 tahun. Kehidupan yang sangat miskin di Lebak tahun 1986. Saya tahu itu isyarat bahwa dia mengkawatirkan masa depan cucunya.
“ Biarlah Fatimah ikut saya ke Jakarta. Saya akan masukan dia ke Panti Asuhan Putri, biayanya saya yang tanggung.” Kata saya. Pria tua itu hanya tersenyum. Dia tidak berdaya apapun untuk menghalangi permintaan saya. Karena sebelumnya selama 3 tahun saya biayai Fatimah dengan mengirim uang setiap bulan. Tapi rasa sayang dan berat berpisah tidak bisa disembunyikan. “ Ikut Om ya. Kamu akan di tempatkan di panti. Selama disana kamu baik baik kamu ya Fatimah. “ Pesan Kakek itu seraya mengelus kepala Fatimah.
Saya menempatkan Fatimah di Panti Asuhan Putri dibawah yayasan keagamaan. Kepada pengurus panti saya katakan “ Ibunya sudah meninggal, Sementara ayahnya tidak tahu dimana. Neneknya yang sangat mencintainya juga telah tiada. Sementara kakeknya sakit sakitan dan miskin. Saya akan memberikan donasi kepada panti. “ Pengurus panti bersenang hati. Ketika saya hendak pergi, Fatimah menangis. Saya peluk dia. “ Om akan selalu ada untuk kamu. Jaga diri kamu baik baik di sini, Jangan nakal. Patuhi ibu asuh kamu ya.”
***
Tahun 1982
“ Mas, aku numpang tidur ya malam ini di tempat mu ‘’ Itu tandanya dia memang lagi tidak ada tamu yang mau bookingnya. Juga takut pulang karena ditunggu uang kontrakan. Atik, namanya. Bertubuh mungil dengan raut wajah yang sebetulnya cantik. Hanya karena kemiskinan membuat auranya mengabur. Kami bersahabat karena merasa senasip.. Aku dan Atik memang terdampar di tempat yang salah.
Aku bekerja sebagai kuli di gudang sebuah expedisi. Karena kebaikan hati pemilik gudang, akupun tidak perlu pusing untuk memikirkan tempat tinggal. Pemilik gudang mengizinkanku membangun ruang kecil di belakang halaman gudang. Dinding kamar itu menempel di tembok pagar gudang dan pintunya menghadap ke pintu belakang gudang. Tinggi tembok pagar itu hanya 1,5 meter. Hingga tidak terlalu sulit untuk dilewati. Ini juga pertimbangan pemilik gudang mengizinkan aku membangun ruang kecil agar sekalian dapat menjaga kemungkinan orang melompati pagar itu.
Di dalam kamar itu hanya berisi tempat tidur yang tingginya lebih dari 80 cm dari lantai. Di dinding kamar terdapat lemari tempel yang berisi buku pelajaranku. Biasanya, aku baru tidur setelah menjelang dini hari. Karena harus belajar untuk mendapatkan certifikat Penata Buku. Ini adalah jalan yang dapat kuharapkan untuk merubah nasip yang hanya berbekal ijazah SLTA.
Biasanya menjelang dini hari , akan terdengar suara langkah di luar tembok. Itu artinya Atik dan teman temannya sedang berusaha menaiki pagar tembok. Akupun segera menyediakan kayu yang di senderkan di tembok agar mereka mudah masuk kedalam pagar. Setelah itu mereka masuk kedalam kamarku. Mereka tidur di bawah tempat tidur. Kadang pernah berjumlah lima orang. Mereka berjejalan di ruang sempit itu. Sementara aku terus asik belajar.
Sebelum tidur sudah menjadi kebiasaan wanita untuk saling ngobrol. Mereka berbicara berbisik bisik. Kawatir mengganggu aku yang sedang belajar. Kadang yang mereka ceritakan adalah sangat menyedihkan tapi setelah itu merekapun tertawa. Ya mentertawakan penderitaan itu dengan polos. Seperti cerita mereka digaruk oleh petugas namun dapat diselesaikan setelah bersedia untuk melayani nafsu petugas. Selalu begitu setiap malam. Mereka datang mengendap ngendap dan pagi pagi sebelum gudang buka, mereka sudah pergi entah kemana.
Suatu hari..
“ Mas, bantu kami “ teriakan suara di balik pagar. Aku terkejut segera melompat keluar pagar. Nampak Atik dipapah oleh teman temannya.
“ Kopral bangsat itu, gebukin Atik. “ Kata temannya. Tentu yang dimaksud Kopral adalah petugas yang berkuasa di wilayah itu. Yang selalu datang setiap malam untuk minta uang setoran dari preman preman yang menjadi “ jago” di wilayah itu. Para preman mendapatkan uang setoran dari para pelacur. Pria berkuasa dan wanita diperas. Sangat ironi.
‘’ Kenapa masalah nya.Kok sampai jadi begini. “ kataku sambil memapah Atik naik melewati pagar. Kepalanya mengeluarkan darah. Kening dan tangannya nampak lebam. Atik hanya meringis. Aku tahu dia snagat menderita.
“Tidak tahu sebabnya, tahu tahu Kopral itu sudah menyeret Atik ketengah jalan. Dia menendang dan memukul Atik dengan sepatu bot nya. “ Kata temannya. Aku segera memberi bubuk kopi ketempat luka yang menganga agar dapat menghentikan pendarahan. Sementara teman temannya melap tubuh Atik dengan air hangat. Tak berapa lama Atik tertidur. Semalaman itu mereka tidak ada yang tidur. Atik tidur di atas tempat tidurku. Kami hanya duduk diam memagut kaki sambil jongkok di dinding kamar.
“ Terlalu sulit hidup seperti kami. Setiap hari kami diperas oleh preman, kopral. Padahal penghasilan kami tak seberapa. Mengapa ? Apa salah kami ? . Tidak adakah rasa kasian mereka itu kepada kami” Kata teman Atik.
“ Apakah tidak sebaiknya kalian berhenti saja bekerja seperti ini. Pulang kampung aja. Karena di sini tidak aman bagi kalian. “ kataku.
“ Pulang ? ‘’Mereka berpandangan satu sama lain. ‘’ tidak ada yang dapat kami lakukan di kampung. Hidup terlalu sulit di kampung. Apalagi dengan status kami sebagai janda. Keluarga kami kuli tani. Tak punya sawah untuk digarap sendiri. Ah , Mas..jangan pernah bicara tentang kampung.’’
‘’ Tapi sampai kapan kalian akan begini terus ?. Coba, apa yang kalian dapat setelah sekian lama berkerja ‘’
“ Kami tetap hidup sampai sekarang dan engga tahu sampai kapan. Aku engga pernah mikir tuh ...Biar aja dilalui hidup ini dengan apa adanya. ‘’ Kata temannya. Pagi ketika fajar menyingisng dan suara azan menggema. Aku berwudhu untuk sholat. Atik terjaga dari tidurnya ketika aku usai sholat. Sementara teman temanya semua terlelap.
“ Mas “ serunya.
“ ya , Tik. Gimana rasanya keadaan kamu sekarang “
“ Ya engga apa apa Mas. Hanya perih aja. Terimakasih ya Mas. “ katanya sambil berusaha untuk berdiri. Aku segera menahan tubuhnya “ mau kemana Tik, ? “ kataku. Dia menatapku dengan tersenyum. Akupun terdiam dan dapat memaklumi bila akhirnya dia membangunkan teman temannya untuk segera keluar dari kamarku. Dia mengkawatikan kemarahan pemilik gudang bila mengetahui aku membawa orang lain kedalam kamar ini. Mereka pergi. Aku mengikuti mereka sampai keluar. Mereka duduk di warung kopi yang berada tepat di depan gudang
Seminggu kemudian Atik sudah nampak baikan. Dia kembali dengan pekerjaannya. Diatas jam 7 malam dia sudah berada di depan losmen menjajakan dirinya. Aku selalu melihatnya ketika pulang makan dari warung. Tapi malam itu aku tak dapat menyembunyikan kekawatiranku. Wajah Atik nampak pucat. Walau dia berusaha menghiasnya dengan senyum dan gincu tebal.
“ kamu sakit, tik.? “
“ Enggak. Aku sehat , kok. Emang kenapa ? “
“ Engga. “ kataku berusaha menyembunyikan kekawatiranku. Kemudian sekonyong tubuhnya terhuyung. Dengan bersimbah keringat ditubuhnya. Badannya terasa panas. Aku berusaha menahan tubuhnya. Atik tidak sadarkan diri. Teman temannya semua berdatangan. Mereka berusaha membangunkan Atik tapi dia tetap tidak sadarkan diri.
Aku memutuskan membawa Atik ke rumah Sakit umum dengan bajay. Di ruang emergency., Atik hanya didiamkan oleh petugas sebelum kami yang mengantar mengisi formulir. Aku menyerahkan KTP ku kepada petugas Rumah Sakit dan menyatakan bahwa aku adalah keluarga dari Atik.
Betapa terkejutnya aku ketika dokter mengatakan bahwa Atik terjangkit penyakit Raja Singa yang Akut. Karena ternyata penyakit ini sudah lama diidap oleh Atik namun tidak pernah tuntas diobatin. Petugas mengharuskan Atik harus di opname. Kami yang mengantar saling berpandangan. Tidak tahu harus berbuat apa. Karena darimana uang untuk membayar pengobatan Atik yang harus diopname.
“ Kalau anda tidak punya uang, maka anda harus mengisi formulir ini " kata petugas. Formulir itu berkaitan dengan tunjangan sosial bagi keluarga yang tidak mampu.
“ Setelah formulir ini diisi maka anda harus mengurus surat surat pendukungnya dari RT, RW, Lurah, camat,dan Walikota. Untuk sementara dia dapat tinggal di rumah sakit ini. Tapi ,paling lambat lusa semua kelengkapan surat surat sudah harus disampaikan kemari. Jelas kan , dik. “ kata petugas rumah sakit . Aku hanya mengangguk dan menyerahkan formulir yang sudah kuisi. Aku sendiri tidak tahu bagaimana melengkapi surat surat itu. Formulir yang kuisipun bukan memuat informasi yang sebenarnya. Namun menyerahkan Atik di rumah sakit adalah lebih baik karena dia berada dibawah pengawasan dokter. Begitu pikirku.
Setelah seminggu Atik dirumah sakit. Aku dan teman temannya tidak berani datang membesuknya. Karena ingat akan janji dengan pihak rumah sakit untuk melengkapi surat surat. Sebulan berlalu , teman temannya sudah mulai melupakan Atik. Tapi tidak denganku. Pikiranku terus kepada Atik. Bagaimanakah keadaannya sekarang. Sudah sembuhkan dia.? Kalau sudah sembuh mengapa dia tidak datang kemari ? atau dia sudah pulang kampung ? Atau dikirim ke Panti Rehabilitasi? Akupun tidak bisa terus dengan dihantui pikiranku. Maka aku memutuskan untuk datang ke rumah sakit. Hanya ingin memastikan keadaanya.
Ketika aku sampai di rumah sakit. Atik sudah tidak ada diruangan ketika awal kami mengantarnya. Dari petugas rumah sakit , aku ketahui bahwa Atik sudah dipindah keruang sebelah belakang. Setengah berlari aku menuju ruangan itu. Di dalam ruangan yang memuat lebih dari 20 pasien. Disudut ruangan dekat jendela itu ada nama tertulis. Atik. Kuhampiri perbaringan itu. Atik nampak tidur. Dia nampak pucat. Matanya cekung. Tak berapa lama, matanya terbuka. Dia lama menatapku.
“ Tik, Ini aku. Kamu gimana ?“ Kupegang tangannya. Terasa lembut sekali. Hanya kulit pembalut tulang.
“ Mas...” suaranya tertahan dan tergantikan dengan air mata yang jatuh berlinang di pipinya. “ Setiap jam, setiap hari, setiap minggu, aku selalu berharap Mas datang menjengukku. Aku kangen , Mas...” Katanya kemudian. Tak berapa lama , dia tersenyum ketika kuusap keningnya. Tak disengaja aku melihat ada seperti butir nasi yang melekat di tepi tempat tidurnya.
Aku mengambil butir itu. Tapi nampak bergerak. Akupun terkejut. Ini ulat belatung. Kuraba tanganku kebawah punggung Atik karena dari sana asal ulat itu. Terasa panas tanganku seperti ada cairan melekat. Atik nampak meringis. Ketika tangan kulepas , di telapak tanganku ada beberapa ulat menempel di jari. Akupun segera berlari mencari suster .
“ Suster, tolong keluarga saya. “ kataku tanpa sadar menyebut diriku keluarga.
“ Yang mana ? jawab suster bingung.
“ Nomor 19 , Sal F. “ kataku.
Suster itu melihat catatan didepan mejanya. “ Anda keluarganya ? “
“ ya “
“ Mengapa baru sekarang datang ?
“ Ya…tapi tolong suster..” kataku dengan wajah kawatir. Suster itu mengikuti langkahku menuju ruang Atik. “ Lihat suster..lihat..dibalik punggunya ada banya ulat..ini kenapa ? Mengapa ini dibiarkan ? “ kataku setengah berteriak. Suster itu membalikan tubuh Atik dan nampak begitu banyak ulat menempel di punggungnya. Kemudian suster itu membersihnya dengan cairan. Nampak Atik meringis menahan sakit. Tapi tidak ada teriakan bahkan dia masih sempat tersenyum kearahku..
“ Untuk kamu ketahui. Dia lumpuh. Tubuhnya tidak bisa digerakan. Makanya punggungnya memanas dan akhirnya melepuh. Karena lembab makanya berulat. “
“ Kenapa suster “
“ Baiknya kamu ikut saya ke ruang dokter. Kami sudah lama menunggu keluarganya datang. “ Kata suster itu. Akupun mengikuti suster keruang dokter.
“ Anda keluarganya.? “ Kata dokter itu.
“ Bukan, dokter. Saya temannya. “ jawabku ragu ragu.
“ Lantas dimana keluarganya “
“ saya tidak tahu, dokter. “
“ Baiklah, teman kamu itu terkena penyakit kelamin yang akut. Penyakit itu telah menggerogoti tulang punggungnya yang mengakibatkan dia lumpuh.”
“ Apakah dia dapat disembuhkan,dok “
“ Bisa ! tapi biayanya mahal sekali. Sementara anak itu tidak ada yang menjamin. Makanya kami berusaha untuk mengurangi penularan penyakit kebagian tubuh lainnya. Tapi , mungkin besok , anak itu akan dipindahkan ke panti sosial. Itu sudah jadi kebijakan rumah sakit.’’ Kata dokter. Aku kembali keruangan itu. Atik nampak tersenyum kearahku. Keadaan ini agak menentramkanku namun tetap tidak bisa menyebunyikan kesedihanku melihat keadaan Atik. Karena aku tidak bisa berbuat banyak untuk membantunya.
‘’ Berdoalah , Tik. Mintalah kepada Tuhan. Hanya itu yang dapat kamu lakukan.’’ Kataku sambil menggenggam tangannya. Airmataku berlinang. Aku merasa gagal melindungi sahabatku. Entah kenapa aku merasa dia sudah menjadi bagian dari diriku sendiri.
‘’ Apakah mungkin, Tuhan masih mau mendengar doa dari pelacur sepertiku.?’’katanya dengan tatapan kosong.
‘’Tentu, tentu, Tik. Tuhan itu pengasih penyayang. Siapapun kita berhak mendapatkan kasih sayang Allah. Mintalah dan bertobatlah. “ kataku.
Dia mengangguk. Ditatapnya aku lama sekali. Kemudian air mata menganak sungai di tubir matanya. Ku usap airmatanya. Dia tersenyum dan berkata dengan suara lambat.
“ Ya, aku sudah bertobat , Mas, Entah kapan itu, aku lupa. Ketika aku bermimpi dituntun oleh seorang kiyai untuk membaca doa. Di tengah suasana yang begitu indah. Aku melihat Mas , ada di sana juga. Tersenyum kearahku. Aku bahagia sekali. Akupun terjaga. Dokter bilang aku tidak sadarkan diri selama tiga hari. Padahal perasaanku hanya tidur seperti biasa. Sejak itulah aku tidak pernah berhenti sholat walau hanya dengan menggerakan mata. Untunglah sedari kecil aku dididik agama oleh orantua di kampung. Aku terus tidak berhenti berzikir. ‘’ katanya dengan senyum.
‘’ Apa doamu , Tik. Boleh aku tahu ? ‘’ Kataku dengan wajah ceria. Aku senang ternyata Atik menemukan Tuhan ditengah deritanya.
‘’ Aku tidak pernah meminta kepada tuhan. Aku hanya mengikuti doa dari kiyai itu yang ada di dalam mimpiku. “
“ Apa itu ? “
“ Tiada tuhan selain Allah, Sesungguhnya aku termasuk orang yang zolim. Hanya itulah yang kusebut setiap hari, setiap detik jantungku. Akhirnya aku tidak pernah lagi merasakan pedih dan sakit. Aku sangat bersyukur atas nikmat yang Allah berikan dengan penyakit ini. Hingga aku disadarkan untuk bertobat. Aku tahu dosaku tak terbilang. Tak banyak yang kuharap selain tobatku diterima Allah. Aku ingin kembali ke Allah dengan sesalku atas segala dosaku. Mungkinkah Allah mau menerimaku ?" Atik berlinang air mata.
" Allah itu maha pengampun. Kasih sayangNya lebih dulu ketimbang amarahnya. Setiap waktu Allah menanti hambanya yang berdosa untuk datang kepadaNYA memohon ampun. Sebesar apapun dosa ampunan Allah masih lebih besar. Ya kan Tik.”
" Ya , Mas”
***
Keesokannya aku sudah berada dirumah sakit untuk menemani Atik diantar ke Panti social. Aku terus berada di sampingnya ketika berada di dalam mobil ambulance menuju panti. Matanya tertutup. Bibirnya begerak halus. Tentu Atik sedang zikir.
‘’ Mas, ... ‘’ katanya ketika sampai di panti.’’ Kalau ada waktu , ingat ingat aku ya. Hanya Mas, sahabat ku di dunia ini.. “
"Ya Tik , Tentu..Kamu adalah sahabat ku. Aku tidak mungkin melupakanmu. Tapi…’’
‘’ Tapi apa , Mas..’’
‘’ Mulai minggu depan aku sudah harus pindah kerja. Aku tidak lagi bekerja di gudang itu.’’
‘’ Alhamdulillah. Terkabul juga cita cita Mas. Bekerja di kantoran’’
‘’ Aku dapat kerja sebagai salesman. Tapi akan aku usahakan untuk menjengukmu disini.’’
‘’ Ya engga apa apa, Mas. Kalau Mas, sibuk tidak usah dijenguk. Cukup doanya saja.’’
Tiga bulan kemudian aku sempatkan datang untuk menemuinya di panti. Atik nampak teramat kurus. Hanya kulit pembalut tulang. Ketika kutemui , Atik tersenyum bahagia.
‘’ Aku senang lihat Mas, sekarang. Sudah rapi dan mukanya nampak bersih. Lain ya kalau sudah jadi orang kantoran.’’ Katanya. Aku cerita tentang pekerjaan baruku. Dia juga menceritakan keadaannya selama di panti. Para sukarelawan merawatnya dengan baik. Mereka juga mengajarinya menulis dan membaca.
Ketika akan pulang aku sempat mampir ke kantor panti untuk memberikan dana santunan. Dari petugas panti aku ketahui bahwa keadaan Atik semakin memburuk. Penyakitnya telah memakan paru parunya. Hanya masalah waktu , dia akan menjemput ajal. Aku tak bisa menahan haru. Namun dia tetap tegar ketika kutemui tadi.“ Ketabahannya sangat luar biasa. Dia selalu cerita tentang anda. “ kata petugas Panti.
Tahun 1983
Setelah aku kembali dari perjalanan bisnis luar negeri. Aku gunakan waktu untuk menjenguk Atik di panti. Aku ingin membawa Atik kedokter terbaik. Tapi apa yang kutemui ?. Telah berlaku takdir untuknya. Atik dijemput oleh Allah. Atik menemui sang penciptanya. Petugas Panti mengatakan ‘’ dia sangat tenang sekali menemui ajalnya. Kami semua menyaksikan ketika matanya terpejam sambil menyebut asma Allah. Dia tersenyum. ‘’ aku terduduk lemas. Petugas panti itu memberikan sepucuk surat kepadaku.
‘’ ini ada surat yang dititipkannya kepada kami. Sebulan yang lalu. Dia berpesan bila ajalnya tiba , mohon agar surat ini diberikan pada anda’’.
Dalam perjalanan pulang aku membaca surat itu. Mas,...Terimkasih karena telah mencurahkan perhatiannya kepada Atik selama ini. Kasih sayang Mas lah yang membuat Atik tidak pernah merasa sendiri dibumi Allah ini. Mas tidak pernah bertanya tentang masa lalu Atik karena begitulah cara Mas memperlakukan Atik. Mas terlalu bijak menjaga perasaan Atik.
Sebetulnya sebelum aku kenal dengan Mas, Kopral itu adalah pria kekasih Atik. Dia yang menghamili Atik namun dia tidak pernah bertanggung jawab. Bahkan dia pula yang memaksa Atik menjadi pelacur. Atik dipaksa untuk menyetor uang kepadanya setiap hari. Kalau tidak maka dia akan memukul Atik. Kalau Mas, ada waktu datanglah ke kampungku. Disana ada anak perempuan berusia 4 tahun tinggal bersama ibuku yang janda lagi miskin. Aku tidak tahu bagaimana nasipnya setelah aku tidak ada. ...
Surat itu berhenti sampai kelimat ...Aku tidak tahu bagaimana nasipnya setelah aku tidak ada...Aku terhenyak. Petugas Panti memberikan alamat keluarganya dikampung ‘’ alamat ini baru kami peroleh dari Atik sehari menjelang ajalnya. ‘’ . Kata petugas Panti.
***
Tahun 1989 saya menjadi rekanan Pertamina untuk jasa ekspedisi. Saat itu saya berkenalan dengan orang AS, Tom. Dia bekerja sebagai konsultan Pertamina. Lama lama kami akrap sebagai sahabat. Waktu memberi uang bulanan untuk donasi panti, saya pernah ajak Tom ke Panti Asuhan bertemu dengan Fatimah. Saya cerita soal Fatimah. Dia terharu.
“ Apakah mungkin Fatimah saya adopsi saja. Istri saya setuju, Kami sudah menikah lebih dari 15 tahun tanpa anak.” Katanya waktu hendak pulang ke negerinya. istrinya mengangguk kepada saya sebagai bentuk harap agar saya setuju. Tentu saya sambut dengan suka cita. Sebulan proses adobsi diurus oleh Panti.
Saat berpisah di Bandara. Fatimah lama memeluk saya. Sepertinya dia tidak mau berpisah dengan saya. “ Imah takut, Om.” Katanya terbata bata. Saat itu usianya 10 tahun.
“ Engga usah takut, sayang. Kamu akan baik baik saja. Om Tom akan rawat kamu dan sekolahkan kamu sampai jadi sarjana. “
“ Amerika jauh, Om? Om, engga ketemu lagi dengan Imah? Katanya bingung.
“ Kita akan ketemu lagi, tentu setelah Imah jadi sarjana, ya sayang” Kata saya membujuknya. Tapi karena Tom dan istrinya juga sangat lembut memperlakukannya, Imah bisa tenang perg dari saya. Setelah itu saya sering komunikasi lewat Fax dengan Tom menanyakan keadaan Fatimah. “ Fatimah anak yang cerdas. Hanya empat bulan dia sudah fasih bahasa inggris. “ Kata Tom. Itu berkat Tom yang bisa bahasa indonesia. Tentu tidak sulit mengajarkan bahasa inggris kepada Fatimah. Tahun kedua di AS, Fatimah sudah masuk sekolah di Delaware.
***
Tahun 1997 saya dapat kabar bahwa Fatimah diterima di Harvard. Dia ambil jurusan hukum. Tahun 2006, Tom pindah kerja ke Hong Kong sebagai investment banker. Namun Fatimah setelah tamat di Harvard law school bekerja di American Express Bank, New York, Saya baru bertemu kembali dengan Fatimah tahun 2008 saat ada business trip ke New York. Sebelum berangkat Tom sudah beritahu Fatimah bahwa saya akan datang ke New York.
Fatimah jemput saya di Bandara Kennedy. Dia tidak lupa wajah saya. Dari jauh dia berlari ke arah saya “ I miss you so much my dear uncle. “ katanya memeluk saya dengan erat. Wajahya mirip Atik, ibunya. Cantik. Tinggi sekitar 164 cm. Walau tubuhnya mungil untuk ukuran orang AS, namun kecerdasaan terpancar di wajahnya. Rasa percaya dirinya tinggi sekali. Melihat keadaan Fatimah, saya merasa sudah mentunaikan amanah Atik, amanah dari sahabat tentunya. Semoga Atik damai di alam baqa.***
Sumber : MyDiary.
Disclaimer : Nama dan tempat fiksi belaka.