Aku terjatuh. Batu kapur yang ada di pikulanku juga terjatuh. Sementara tubuhku berguling guling menuruni tebing. Tidak ada yang memar pada tubuhku. Karena memang tempat pijakanku tanah becek yang habis disirah hujan. Namun kaki dan bahuku lecet walau tak berdarah. Ini cukup membuat aku meringis. Sementara teman temanku yang melihat kejadiaan itu tertawa terpingkal pingkal. Hidup memang ironi. Kadang penderitaanpun layak jadi ketawaan.
“ Makanya , pikiran kamu jangan kerumah terus. Engga usah dipikirin rumah. Kita disini kerja aja. “ Kata temanku sambil berteriak. “ Dan lagi apa yang mau dipikirin , wong kerja sekeras apapun, tetap aja tidak cukup untuk makan sehari. “ Kata temanku yang lain. Mereka mengetahui bahwa aku sedang dirudung masalah keuangan. Istriku sedang hamil tua dan aku bingung mendapatkan uang untuk membawa istri kerumah sakit atau kebidan atau kedukun.
Tapi sebetulnya bukan itu yang kupikirkan. Aku sedang bingung mendapatkan uang untuk rencananya pergi menjadi TKI. “ Wah…mahal sekali biayanya !” Kataku mengerutkan kening, ketika mengetahui biaya yang harus disediakan untuk mengurus keperluaan berangkat ke luar negeri sebagai TKI. “ Darimana aku mendapatkan uang sebanyak itu,?.Tanyaku kepada teman.
***
Waktu istirahat kerja aku hanya makan ubi rebus. Aku melamun. Memikirkan tentang hidupku. Terlahir dari keluarga miskin. Tahun 1959. Namun kemudian organisasi Tani sayap kiri merampas tanah tuan tanah, Kemudian ayahku dapat kebagian tanah itu 1 hektar. Bukan hanya ayahku, tapi ada ratusan kuli tani dapat tanah gratis dari organisasi tani. Karena itu kehidupan berubah. Ayahku tidak lagi bekerja di lahan orang tetapi di lahan sendiri. Itulah kemerdekaan yang seharusnya setiap orang bekerja diatas lahannya sendiri.
Namun terjadi pergolakan politik paska 1965. Ayahku bersama ratusan petani yang dapat tanah dari Organisasi tani ditangkap. Sementara pimpinan Organisasi Tani dikirim ke Pulau Buru. Maklum mereka itu bukan orang biasa. Mereka adalah guru, tokoh masyarakat dan orang cerdik pandai. Sementara Ayahku dan kawan kawan dibawa ke pinggir laut oleh Tentara. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengah ayahku. Yang aku tahu, pagi hari orang kampung geger. Karena disuruh gotong royong menyeret ratusan mayat yang bergelimpangan ke dalam lubang. Saat itu aku meraung. Ibuku hanya terdiam menahan getir ketika melihat salah satu mayat yang diseret itu adalah ayahku.
Satu saat ibuku dijemput tentara. Setelah itu tidak pernah kembai lagi. Usia 6 tahun, Pamanku yang mantri guru membawaku dari jawa ke Sumatera. Usia 12 tahun paman meninggal. Tetanggaku mengajakku bekerja sebagai anak bagan. Berada di tengah laut dalam kesendirian dan kerja keras sepanjang musim. Usia 16 tahun aku pindah kerja di darat. Pekerjaan yang kudapat adalah sebagai buruh di perkebunan milik negara.
Dua tahun bekerja di perkebunan, aku berkenalan dengan Sumiati yang bekerja sebagai anak bedeng. Sebenarnya anak bedeng kata lain dari pelacur. Aku mencintai Sumiati dan ingin membahagiakannya. Akupun menikahinya. Usia kami bertaut 4 tahun. Sum lebih tua dariku. Akupun pindah ke Lampung, dekat dengan keluarga Sumiati. Aku ingin memulai kehidupan sebagai keluarga kecil. Aku bekerja sebagai buruh di tambang kapur milik pak Haji, yang juga tokoh masyarakat. Setiap tahun pak Haji pergi ke makkah, sementara kami buruhnya tidak pernah dinaikan upah.
***
Pikiranku selalu kepada Bejo. Lima tahun lalu Bejo pergi ke luar negeri menjadi TKI dan sekarang kehidupan keluarganya telah berubah. Rumahnya sudah berdinding beton. Televisipun sudah menyala di rumah. Istrinya sudah pula mengendari motor sendiri dan tidak perlu berjalan kaki kepasar. Anak anaknya juga dapat bersekolah dengan pakaian bagus. Sementara aku masih terjepit dengan kesulitan hidup dan tidak pernah dapat merasakan makan cukup setiap harinya. Berganti tahun, tidak ada kemajuan , kecuali anak yang dilahirkan terus bertambah.
Aku kadang mendengar cerita tentang penderitaan para TKI di negeri jiran itu dari teman temanku. Bekas guratan pecutan di punggung dari para TKI yang baru datang menjadi cerita seram bagi siapa saja yang ingin mencoba merubah nasip di negeri orang. “ Hidup di negeri sendiri jauh lebih enak. Makan ora makan yang penting kumpul. “ Demikian temanku yang lain mengomentari penderitaan para TKI diluar negeri. Tapi bagiku ,masalahnya adalah ora makan ya mati !.
Semua orang di negeri ini senang dengan dirinya sendiri. Yang miskin , semakin miskin dan yang kaya semakin kaya. Seperti halnya Pak Haji pemilik tambang kapur itu , andai dapat menghentikan kebiasaan pergi haji tiap tahun dan membagikan uang pergi haji itu untuk menaikkan penghasilan buruhnya tentu akan sangat berarti bagi buruhnya. Tapi , kenyataanya Pak haji lebih doyan jalan jalan ke mekkah daripada berbagi.
Aku memikirkan nasipku dan tentu juga nasip masa depan anak anakku. Anakku yang tertua sudah berangkat menjadi wanita belia. 17 tahun usianya. Yang nomor dua juga wanita, berumur 14 tahun. Yang terakhir sekarang masih dalam kandungan istriku. Inilah yang menyesakkan hatiku. Ada pria dari kota berjanji akan membantu mengurus segala sesuatunya untuk aku dapat bekerja sebagai TKI. Syaratnya ya , aku harus rela menyerahkan anak gadisku dibawa oleh pria itu. Aku menolak. Aku tahu bahwa cerita duka para wanita yang bekerja di kota di negeri ini jauh lebih seram dibandingkan cerita duka para TKI diluar negeri.
Hari telah berangkat sore. Ditanganku ,tergenggam uang Rp. 30,000 sebagai upah kerja kerasku seharian menjadi kuli penambang batu kapur. Setelah dipotong ongkos ojek dan angkutan umum maka yang tersisa sampai dirumah hanyalah Rp. 20,000. Itupun kalau aku tidak makan siang. Bila aku harus makan siang maka yang tersisa hanyalah Rp. 15.000. Agar dapat menghemat uang, akupun terpaksa pulang seminggu sekali dan makan sekali sehari.
Kemana harapan akan dijemput untuk masa depan keluargaku? Ya bila malam datang , selalu ada agent togel yang datang kebarak. Tapi aku memilih tidak mengadu nasip lewat kupon togel. Mungkin aku termasuk orang yang pengecut menghadapi ketidak pastian walau harapan besar. Beda dengan teman temanku ,yang tidak peduli dengan resiko kalah. Bagi mereka selagi ada harapan maka togel adalah hiburan tersendiri. Setidaknya mereka masih dapat hidup dalam harapan untuk besok dan besok. Walau besok tidak pernah datang.
Ini akhir minggu. Jadwalku harus kembali ke rumah. Ditangaku ada uang tidak lebih Rp. 150,000 dan tentu setelah dipotong ongkos maka akan sampai di tangan istri tidak lebih Rp. 125,000. Itulah uang yang harus dihemat istriku untuk makan selama seminggu lagi. Terlalu sulit dikatakan cukup dan terlalu jauh disebut manusiawi. Tapi itulah nasip yang harus ditanggungnya.
Aku harus berbuat sesuatu untuk merubah nasipku. Bayangan tentang keberhasilan Bejo sebagai TKI telah membakar semangatku bahwa saatnya aku harus hijrah mencari ruang yang bisa membayarku dengan manusiawi. Tapi, membayangkan nasip anak gadisku , akupun menjadi ngeri.
Ketika aku sampai di rumah, kudapati istri sedang terduduk muram dibale bale. Nampak mata istriku sembab oleh airmata.
“ Apa yang terjadi , Sum ? “ Kataku lembut.
Sumiati langsung menghambur memeluknya“ Maafkan aku, Mas..Murni sudah pergi kemarin.” Kata istriku
“ Pergi kemana ? “ Aku terkejut dan terus berlari keluar kamar dan berteriak teriak memanggil nama anak gadisku.
“ Mbak Mur, sudah pergi ..” Anak gadisku yang nomor dua menatap kosong kearahku. Aku terduduk lemas.
“ Mas, Dia sendiri yang maksa untuk ikut kerja kekota. Aku sudah berusaha melarangnya tapi dia tetap maksa…” aku melirik kearah istriku. “ Ini ada surat dari Murni. “ Lanjut istriku sambil menyerahkan surat itu.
Ayah..Kita miskin. Setiap hari aku melihat kita selalu kekurangan. Adik sudah lama berhenti sekolah dan nasipnya tidak lebih sama dengan aku. Kelak , sebentar lagi adik akan lahir lagi. Tentu nasipnya akan sama dengan kami. Tidak ada pendidikan, kurang gizi dan tidak ada masa depan. Kita tidak punya apa apa lagi untuk kita jual agar memberikan kesempatan bagi Ayah dapat hijrah bekerja di tanah Jiran.
Pergilah , Ayah…kita sekarang sudah punya cukup uang. Pak Darto memberikan uang kepada Ibu. Aku rasa itu cukup untuk mengurus segala sesuatunya yang Ayah perlukan untuk menjadi TKI.
Ayah..Kalau ayah sudah berhasil di tanah Jiran, kirimilah kami uang agar kita bisa membayar hutang kepada Pak Darto. Aku ingin di kampung menemani Ibu dan mendidik adik adiku. Maafkan aku Ayah bila lancang berbuat tanpa restu ayah. Namun itulah mungkin yang bisa aku lakukan untuk Ayah, untuk keluarga kita. Aku akan baik baik saja. Doakan Aku ya Ayah…
Aku tak bisa menahan tangis. Terlalu mahal harga yang harus aku bayar, hanya karena ingin dihargai sebagai manusia di negeriku sendiri dan mendapatkan bayaran dari tenagaku di negeri orang. Aku hanya dapat berdoa , semoga Murni akan baik baik saja. Besok, ya tentu besok, Istriku akan melepasku pergi ke tanah Jiran untuk menjadi kuli di negeri orang dan sementara anak gadisku sudah lebih dulu pergi ke kota untuk menjadi pelacur di negerinya sendiri.
***
"Kita benamkan mereka ke dalam lumpur kesengsaraan, sampai ke batang lehernya. Pemerasan kepada orang yang tidak punya apa-apa selain tenaga.” Brooshoft, De Etische Koers in de Koloniale Politiek" hal. 65). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah penduduk miskin dengan pengeluaran kurang dari Rp. 500.000 perbulan pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang.